Sunday, December 24, 2006

sore di tugu yogya

di stasiun itu kau melambai
meninggalkan senja secepatnya
senyum panjang yang getir
seperti basah hujan sejauh jalan
ketika aku dan kau berpisah

aku tak pernah bisa
melangkah sejak saat itu
hanya bisa menyapu lorong
tempat orang-orang bergeming
dengan wajah getir membisu
meringkuk memeluk dingin
di kursi tua atau lantai kotor
larut sendiri-sendiri
menyudutkanku
memaksaku ingin mengejar keretamu
memelukmu sepanjang musim
sepanjang detikku

dan tak akan kulepas
tak kubiarkan
kau melambai sekali lagi...

diam begitu saja

kita pernah tak percaya akan sampai
di titik ini
batas ketika semua yang kosong terisi
kita tak akan pernah mengira
bisa melepas
jejak-jejak lama yang mustahil pudar

orang-orang mungkin bingung
kenapa kita begini dan tidak begitu
lalu kau menjawab
cinta ini milik kita
berhenti karena mereka
sama artinya membiarkan langit runtuh

lalu kutanya
tidakkah kau ingin
sedikit pun
membiarkan aku terbang
jauh melupakan apa saja yang kita lakukan
tidak jawabmu
karena kau tak akan pernah bisa bernapas
tanpa cintaku
meski kau tahu aku ada yang memiliki

aku terdiam
kau terdiam
pagi melindap
dingin
udara sunyi
gerimis

kita saling memandang
tak berkata apa-apa
diam begitu saja
seperti sepasang camar
yang berteduh di beranda itu

Thursday, December 21, 2006

pucuk kilimanjaro

tidakkah kau lihat pucuk kilimanjaro itu perempuanku? salju abadi yang menyelimutinya mencair disapu gelombang panas bumi yang renta. salju yang tak pernah lelah kita kagumi, karena kita ingin cinta ini seperti itu. tapi tidakkah kau lihat? atau sedikit pun cemas? aku masih ingat ketika di senja itu, kau melukis wajah anak kita yang belum muncul ke dunia. di teras belakang rumah mungil kita, kau tersenyum sembari menggambar bola mata. matamu berkaca, seperti meyakinkan bahwa kita adalah takdir yang tak terpisahkan.

aku masih ingat sekecil apa pun tentangmu perempuanku. renyah tawa juga air mata yang pernah kau teteskan di pundakku masih basah. sebegitu jauh kita melangkah, tak pernah kupercaya kita kini saling memunggungi di ranjang. aku tak bisa menahan apa pun, tak lagi ingin berharap apa pun... aku cuma ingin memberitahu padamu. tidakkah kau lihat pucuk kilimanjaro itu? salju abadinya mencair... perih sekali dada ini perempuanku... perih sekali...

Tuesday, December 19, 2006

tak akan pernah siap

sesungguhnya kita akan pergi
jauh sekali
meninggalkan semua ini
tiada pernah kembali

kita akan rebah di tanah
menjadi humus setelah belatung menguyah
tiada kita bisa
tak akan pernah mampu meronta
protes menjadi sia-sia

mulut kita terkunci
tangan kita lumpuh
mata kita buta
semua bicara tanpa dusta

kita pergi
akan pergi kawan
dan kita sesungguhnya
tak akan pernah siap
sedikit pun tak siap
karena kita
terlalu memuja dunia...

ilir-ilir

lir ilir
lir ilir
tandure wong sumilir
tak ijo royo royo
tak sengguh penganten anyar
tak sengguh penganten anyar

bocah angon bocah angon
penekno blimbing kuwi
lunyu lunyu penek no
kanggo mbasuh dodo dira
kanggo mbasuh dodo dira

dodo dira
dodo dira
kumitir bedah ing pinggir
dondomana jrumatono
kanggo sebo mengko sore

mumpung padang rembulane
mumpung jembar kalangane
sun surak-o surak iyo...

sunan giri, kemudian diaransmen kyai kanjeng pimpinan emha ainun nadjib dengan sangat njawani. dahsyat.

Saturday, December 09, 2006

aku pamit

tak kulihat sedikit pun
kau berniat
menikmati selain yang satu itu
sebatas itukah
hatimu menghargai
cinta dan sayang
yang kau ucapkan
di setiap pengujung malam

tidak tahukah engkau?
semula
aku kerap dihantui mimpi
kita bisa menjadi satu
rebah bersama pada ruang dan waktu
tempat kita bisa memungut daun-daun
menapaki jalan basah di hujan januari nanti

tidak sedikit pun kulihat itu ada
lalu salahkah
bila aku
memintamu berhenti
dan menurunkan aku
di sudut jalan ini
jalan tempat kita dulu pernah tergelak
jalan tempat kita pernah melukis janji
pada senja hari
ketika gerimis baru saja berhenti

Thursday, November 23, 2006

cahaya bulan

akhirnya
semua akan tiba
pada suatu hari
yang biasa
pada suatu ketika
yang telah lama
kita ketahui

apakah kau
masih selembut dahulu?
memintaku minum susu
dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan
letak leher kemejaku

kabut tipis pun
turun pelan-pelan
di lembah kasih
lembah mandalawangi

kau dan aku
tegak berdiri
melihat hutan-hutan
yang menjadi suram
meresapi belaian hati
yang menjadi dingin

apakah kau
masih membelaiku
semesra dahulu?
ketika kudekap
kau dekaplah lebih dekat
lebih dekat

apa kau
masih akan berkata?
kudengar detak jantungku
kita begitu berbeda
dalam semua
kecuali dalam cinta...

gie
dahsyat puisi ini

Tuesday, November 21, 2006

Republik Copet

Selamat Datang di Negeri Copet. Kalimat itu terbentang di setiap gerbang kedatangan, menyambut mereka yang baru pertama kali menginjakkan kaki di negeri copet. Inilah sebuah negeri yang tak akan ketemu mencarinya di peta. Meski begitu, negeri copet amat terkenal, dengan bendera merah putihnya yang bergambar jari tengah dan telunjuk menggamit dompet.

Satu hal yang membedakan negeri ini dengan ribuan negeri lain di dunia adalah kebiasaan ajaib ratusan juta penduduknya. Tanpa kecuali, dari anak-anak sampai yang tua renta, memikili kepandaian mencopet. Dan jangan heran, mencopet bukan kejahatan di negeri ini. Membolak-balik kitab hukum sampai kiamat pun tak akan ketemu kalimat bahwa mencopet adalah tindak pidana kriminal. Tak ada hukuman penjara buat pencopet, karena memang itulah mata pencarian utama penduduk.

Kalaupun ada yang berstatus pegawai negeri, pengusaha, dokter, wartawan, pemuka agama, pelacur, tukang sapu, pemulung, penyair, guru, arsitek, teknokrat, atau atlet, penyiar, pelawak, artis, itu cuma kerjaan sampingan. Semacam hobi. Mencopetlah kerjaan pokok mereka.

Itulah sebabnya di negeri ini tak ada pengangguran. Semuanya bekerja. Banyak negara yang ingin belajar tentang cara menekan tingginya angka penganggur, tapi selalu gagal. Umumnya, kegagalan itu lantaran rakyat di negeri lain tidak kreatif. Beda dengan penduduk di negeri copet yang selalu bekerja dan berpikir keras untuk menemukan cara atau inovasi-inovasi baru dan jitu mencopet. Di negeri lain, penduduk kerap masuk penjara karena mencopet. Mereka juga punya kelemahan. Aturan dan hukumnya terlalu galak. Mencopet dianggap kejahatan, sehingga banyak orang takut. Di negeri copet tidak. Pekerjaan copet-mencopet amat dimuliakan.

Di negeri copet, setiap orang yang menjadi korban tak boleh marah, apalagi sampai melapor ke pihak berwajib. Percuma. Aparat kepolisian tak akan menggubris. Malah bisa jadi lebih sial, si pelapor yang bakal dijebloskan ke penjara. Lha wong mencopet sudah jadi tradisi. Mau bagaimana lagi?

Di negeri copet orang tak perlu ekstra hati-hati menyimpan uang. Sia-sia saja menyimpan duit, karena mereka memang sudah menyadari bahwa suatu saat uangnya pasti akan raib dicopet. Tapi tidak apa-apa. Orang-orang berpikir, toh, mereka juga bisa mencopet balik kepada siapa pun, termasuk pada keluarga sendiri. Begitu seterusnya seperti lingkaran. Kruwel-kruwel tidak karuan.

Tak ada dompet di negeri copet. Untuk apa menyembunyikan duit di dompet jika bakalan dicopet? Pernah ada orang yang nekat berbisnis jual beli dompet. Tak sampai sepekan gulung tikar. Orang-orang lebih senang dan sering menyimpan uang di saku celana atau ditenteng-tenteng saja di kepalan tangan.

Hidup di tengah masyarakat yang semuanya jago mencopet memang agak repot. Di mana dan serapat apa pun uang disimpan pasti akan lenyap. Duit di balik celana dalam saja bisa raib. Kepandaian copet mencopet penduduk di negeri copet memag tak diragukan. Sudah sejak dulu, sejak ratusan tahun silam begitu. Tak jelas betul ini tertular dari ulah penjajah yang dulu rajin mencopet rempah-rempah atau memang sudah dari sananya demikian.

***

Negeri copet dipimpin kepala kampung, semacam presiden di negeri-negeri demokratis modern. Itulah sebabnya negeri copet kerap pula disebut Republik Copet. Saat ini, kepala kampungnya bernama Cepot. Dia copet karir, yang naik ke puncak kekuasaan setelah bertahun-tahun beroperasi di jalan, pasar, atau terminal. Sejak kecil, bakat mencopetnya memang dahsyat. Ayahnya bekas carik di desa miskin yang sering kebanjiran. Dari ayahnyalah Cepot belajar mencopet yang baik. Mula-mula ia kecil-kecilan mencopet uang milik ayah atau ibunya. Melihat bakat yang ada di diri si anak, orang tua Cepot lalu mengajari cara mencopet yang cepat tanpa jejak. Perlahan, tetangga yang jadi korban, sampai akhirnya ia beroperasi di bus atau kereta.

Untuk mengasah bakatnya yang tak tebendung, Cepot pun merantau ke kota-kota besar. Dari kota di sudut barat, sampai belahan timur sudah ia jelajahi dan ia selalu sukses mencopet di mana pun berada. Tahun berganti, daerah operasi Cepot pindah ke areal yang lebih spesifik dan sulit. Misalnya di kantor-kantor pemerintahan atau bank. Cepot tak akan pernah bisa melupakan aksinya di sejumlah bank. Saat itu ia sukses besar, lolos mencopet tanpa terlacak dengan nilai miliaran rupiah.

Lantaran kepandaian mencopetnya yang nyaris tanpa cacat, Cepot cepat dikenal. Sifatnya yang murah hati amat disenangi. Setiap habis mencopet, meski hasilnya tak banyak, dia tak lupa membagi-bagikan pada siapa pun yang dijumpai, meski bila orang itu lengah, diam-diam ia akan mencopet uang itu kembali.

“Nyopet itu napas saya, Dik. Saya bisa mati kalau sehari saja tidak mencopet,”
begitu kata Cepot suatu ketika, kepada seorang wartawan muda yang tengah menurunkan laporan khusus tentang maestro-maestro copet.

Nasib dan bakat alami yang dimiliki Cepot membuat jalur hidupnya berubah drastis. Dari yang cuma ngetop di tingkat kelurahan, lambat laun pamornya kondang di tingkat kota dan provinsi. Apalagi, ia selalu menciptakan gaya copet yang inovatif, membuat ketenarannya meroket sampai tingkat nasional. Sebagai bentuk penghargaan terhadap kinerja Cepot yang bisa meraup omzet miliaran rupiah, negara pernah memberikan anugerah pada Cepot sebagai copet terbaik dan terpuji tingkat nasional.

Sesungguhnya, Cepot tak pernah menyangka bakal duduk di pucuk kekuasaan. Semuanya terjadi begitu saja, ketika negeri copet menggelar pemilihan kepala kampung secara langsung--sesuatu yang baru karena sebelumnya rakyat selalu memilih tanda gambar partai. Selain sembilan nama politisi kondang, muncul pula Cepot di koran-koran dan televisi, lengkap dengan foto dan deskripsi aktivitas mencopetnya. Di luar dugaan, Cepot terpilih. Dia menang mutlak di setiap kawasan. Semua senang. Rakyat benar-benar puas. Cepot yang dulu kere dan penghasilannya cuma sekitar lima puluh ribu per dua minggu, mendadak kaya raya. Pembantu-pembantu di pemerintahannya memanggil dengan sebutan bos besar, cocok dengan perutnya yang buncit.

Cepot belum lama menduduki kursi kekuasaan. Sekitar dua tahunan kalau tak salah. Cepot tak pernah menyangka, posisinya sebagai kepala negara amat menyenangkan. Cuma ongkang-ongkang kaki di singgasana, diselingi acara memimpin rapat, sesekali jalan-jalan ke mancangera, ujung-ujungnya uang masuk kantong tanpa perlu susah payah mencopet. Ada saja yang memberi hadiah atau upeti. Cepot sampai heran heran. Padahal, dia sama sekali tak ada bakat memimpin. Jangankan memimpin sebuah negeri, jadi ketua kelas pun tak pernah.

***

Hari ini, orang-orang bergeming di depan televisi, di samping radio, menyimak pidato Cepot yang disiarkan langsung dan mendadak dari istana negara.

“Sungguh, sejujurnya saya amat mencintai negeri ini. Negeri inilah yang membuat saya bisa menyadari bahwa hidup sebenarnya adalah kreativitas. Kita tahu, rutinitas yang kita jalani setiap hari, dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, dan sampai tahun berganti, sudah begitu mendarah daging. Di negeri ini kita memang dilahirkan untuk mencopet. Tidak ada negara yang memiliki kelebihan seperti yang kita miliki. Tapi bung, bahagiakah kita sesungguhnya menyandang gelar sebagai negeri copet? Coba kalian rakyatku tercinta tanya dalam hati, tanyakan kenapa? Kutukan atau anugerahkah bakat copet-mencopet yang kita miliki dan tak dipunyai penduduk negeri lain?”

Orang-orang masih menyimak pidato Cepot.. Dari televisi atau radio transistor. Di gedung-gedung perkantoran, di lorong-lorong gang sudut kota, tepian kali, atau di bawah pohon tempat bercukur. Sambil menguyah pisang goreng, menggaruk jidat yang tak gatal, atau menguap. Perasaan mereka sama: kesedihan mendalam akan keputusan Cepot mengundurkan diri sebagai presiden.

“Terus terang saya lelah. Saya merasa gagal. Tapi saya tidak akan menyalahkan pendahulu-pendahulu negeri ini meski merekalah yang membiarkan kita sebagai bangsa bisa begitu gemar mencopet, sampai-sampai negeri kita dijuluki negeri copet. Tidak malukah kalian rakyatku tersayang? Tidakkah kalian bahwa ini sebagai sebuah salah kaprah karena ternyata kita begitu bangga akan predikat negeri copet? Tanyakan kenapa?”

“Saudara-saudaraku terkasih, ini sudah saya pikirkan masak-masak. Saya harus memutuskan agar sebaiknya kita tak terus menerus larut dalam sebuah kebahagiaan semu. Kita harus berubah, Bung! Harus. Saya hanya bisa mengimbau, tidak bisa memaksa, karena meski saya pemimpin negeri ini, perubahan itu tidak bisa saya lakukan sendiri karena semua tergantung kalian semua juga. Terus terang, saya pesimistis. Saya tidak yakin kita bisa mengubah makanan sehari-hari yang kita santap.”

Satu per satu orang yang di depan televisi menyeka pipinya, menangis karena di layar terlihat Cepot berlinang air mata dan mengusap sudut matanya.

“Dengan kesadaran penuh pula…” Cepot terbata, berat mengucapkan lanjutan kalimatnya, “Dengan ini… Sa saya menyatakan… mengundurkan diri sebagai presiden republik copet.”

Orang-orang bangkit dari tempat duduknya. Mereka tak menyangka Cepot melakukan itu.

“Adapun tugas dan hal-hal lain yang berkaitan dengan roda pemerintahan, saya kembalikan kepada rakyat dan orang-orang yang pantas. Silakan kalian memilih, tapi jangan pilih saya lagi. Saya sudah tidak tahan. Saya benar-benar tidak kuat lagi memimpin negeri ini. Saya ingin mati dengan tenang, karena meski hukum kita tak pernah bisa menyentuh aksi copet mencopet yang kita lakukan, ada hukum lain yang tak akan pernah bisa kita hindari. Kalian pasti tahu itu. Terima kasih… Merdeka!”

Setelah mengucapkan kalimat terakhir, Cepot meneguk segelas jus jeruk di sudut mimbar. Tapi tak sampai lima menit ketika berjalan menyalami meneteri-menteri yang selama ini membantunya, Cepot limbung. Ia terjatuh, mulutnya berbusa. Keringat dingin meruap dari pori-porinya. Tiga ajudan yang berdiri di dekatnya segera menolong. Terlambat, Cepot keburu mengembuskan napas terakhir setelah kejang-kejang sebentar. Adegan itu masih disiarkan langsung. Rakyat melihatnya terpana. Ada yang menjerit tidak percaya. Menangis, meraung. Tak seorang pun tahu bahwa sebetulnya ada yang menuangkan arsenik ke gelas Cepot sebelum ia berpidato.

Ke depan, tak terbayang Republik Copet akan seperti apa. Suasana masih penuh duka. Di sudut-sudut jalan, terbentang bendera setengah tiang, merah putih dengan gambar jari tengah dan telunjuk menggamit dompet.

Tebet, November 2006
Cerpen ini akan dimuat di PLAYBOY Indonesia

Friday, November 17, 2006

diagonal

sesungguhnya aku tengah berada di simpang
pada ruang yang tak benderang
karena lampu-lampu dipadamkan
dan matahari tak kunjung datang

aku jadi teringat masa-masa itu
ketika waktu sama sekali tak menentu
hari berganti tetap saja begitu
aku luruh bersama rindu

entah tentang kamu atau siapa
entah tentang itu atau bagaimana
yang aku tahu
kini aku tengah berada di simpang
pada jeda yang semestinya tak membuatku gamang...

Friday, November 10, 2006

orang tua

ibuku ulang tahun dan ayahku terbaring sakit. hari ini, aku tidak tahu, harus bahagia atau menangis. betapa sulit menyatukan keduanya. ketika aku kecil, aku tak pernah berpikir mereka akan menjadi tua, renta dan lemah. jujur, kini aku begitu takut. meski aku sadar umur di tangan Kuasa, masa hidup orang tuaku mungkin tinggal sebentar lagi. kebahagiaan apa yang sudah kuberikan pada mereka? tidak ada.

hari ini aku sesungguhnya tak sanggup... untuk berkata apa-apa... untuk berpikir apa-apa... aku cuma ingin ayahku sembuh dan ibuku bahagia di hari jadinya... selamat ulang tahun ibu, sembuhkan ayahku Tuhan...

anakmu yang tak pernah membahagiakan...

Sunday, November 05, 2006

Janji Manismu

By: Terry

Dunia ini penuh kepalsuan
Mungkinkah tiada keikhlasan
Apakah ini suatu pembalasan
Kusadar kebesaran-Mu, Tuhan

Aku bagai seorang pengembara jalanan
Terombang ambing di lautan gelora
Mencari kebahagiaan
Dahan untuk menopang kasih
Mungkinkah suratan
Hidup kan selalu sendirian

(*) Hati membeku mengingatkan
Kata janji manismu
Ku dilambung angan angan
Belaian kasih sayang suci darimu
Oh kejamnya
Lidah tidak bertulang
Ucapan cinta mengiris kalbu
Ku kan pergi membawa diri
Cinta di hati terkubur lagi
( Cinta di hati terkubur lagi )

Tidak kupahami
Mengapa terjadi
Peristiwa pahit menggores hati
Perjalanan hidup ini
Sudah tertulis
Kutempuhi dengan kesabaran
Kusadar kebesaran-Mu, Tuhan

(*)
Cinta di hati terkubur lagi

asik lagu ini... :)

Monday, October 30, 2006

semu

kita tak sedang memahami apa pun
kita tak sedang menunggu apa pun
kita hanya sedang menjadi dungu
tanpa pernah tahu
kenapa kita bisa menjadi begitu
semu...

Thursday, October 26, 2006

perempuan

seorang teman yang kesulitan cari pacar mengeluh. katanya...
perempuan jawa klamar klemer
perempuan sunda matre
perempuan padang pelit, keluarga suka ikut campur
perempuan batak keras
perempuan irian item
perempuan betawi nyablak
perempuan bali cantik tapi ribet
perempuan kalimantan nggak mau ngalah
perempuan sulawesi susah diatur

lalu dia tanya, "gue pilih yang mana dong?"

"pilih aja laki atau kambing, repot amat sih lo!"

Monday, October 16, 2006

ais

suatu siang, ais tiba-tiba nyodorin kue pancong dari kantong plastik yang biasa dijual di depan sekolah anak sd. ada lebih dari 20 potong. masih anget.

"choy, mau gak?"
"apaan nih is?"
"ane ulang taun choy."

gue diem.

"ambil aja satu."

sambil liatin mata si ais, gue ambil satu. gue ga tau harus bilang apa saat itu. perasaan gue campur baur. ada beberapa alasan kenapa gue begitu. ais, dia temen kerja, belum diangkat jadi karyawan. rajin salat. dan jarang ngomong.

hobinya ga jelas. bikin blog pun isinya aneh-aneh. resep makanan sampe tentang alien yg ditulis dengan diksi yang kacau. sekali dua kali main friendster, itu pun cuma coba-coba kenalan dengan cewek--pernah suatu kali dia cerita kenalan dan ngajak ketemu, begitu ketemu tuh cewek ga mau lagi kontak-kontakan. hahaha. bego.

ais, sepintas, baiklah anaknya. alisnya tebel. berjanggut, dengan tinggi sekuping orang dewasa. di jidatnya ada cap item khas orang rajin salat.

dan yang bikin gue sangat trenyuh adalah, sewaktu dia mungutin koran-koran bekas di kantor. sewaktu gue tanya buat apa, dia cuma jawab singkat dengan air muka yang datar. "emak ane jualan pisang goreng di rumah, ini buat bungkusnya choy."

ais... gue ga tau harus bilang apa. dari seluruh acara ulang tahun temen, cuma lo yang bikin gue berhari-hari--bahkan sampe sekarang--terus menerus keingetan dan jadi susah tidur kalo inget. terlebih lagi kalo inget waktu lo mungutin koran-koran itu... untuk bungkus pisang goreng "emak ane" di rumah. duh. (andai lo liat matanya waktu ngomong itu...)

ais... mak yang jual pisang goreng... ulang taun dengan kue pancong... dan status karyawan yang belum pasti...

Tuhan, di mana sih diri-Mu di saat-saat begini?

Friday, September 15, 2006

dan

dan kutuliskan rindu ini pada secarik kertas, yang pernah kau berikan, di sebuah resto saat pertama kali kita bersua. rindu yang terpatri, rindu yang menumpuk berhari-hari. tak bisakah kau melihat pertemuan itu belakangan begitu menyiksaku, hingga tahun berganti?

dan kutuliskan rindu ini pada secarik kertas, simpanlah sampai lelah dalam kesunyiannya yang begitu sulit kita pahami...

Wednesday, August 30, 2006

hitam

jika ombak itu adalah cinta
sungguh ia tak sempat berkata
gemuruhku duka...

seorang dara duduk pada jendela
memandang...
menghirup...
menyerap...
udara yg menebal pada cuaca
menunggu sebuah rindu datang lagi

senja membawanya di sini
lalu sunyi...
lagi sepi...
kemanakah angin itu mengalir
di manakah suara itu bertitir
hujan malah tertawa
melebar sayap menutup senja

padahal...
amatlah kutunggu datangnya ia
mengobarkan lagi rindu-rindu dari sana
untukku!

rindu kuning
rindu biru
rindu merah
kini semuanya menjadi hitam...

menjaring angin

mungkin
terlalu banyak kepedihan
yang kau dekap sampai hari ini
dan terlalu banyak pula
rasa perih yg kau rasakan
nuranimu pasti sedang menangis

rupanya
ada saat sang waktu
menghadapkan kau pada sebuah pemberhentian
ada saat sang waktu membuatmu
terjaga dari mimpi indah
dan ada saatnya sang waktu
membunuh kebersamaan
tapi mengapa...
harus ada kata mengalah
pada sebuah takdir yang tak masuk akal

kelak suatu hari nanti
akan kau gapai angan yang terbang tinggi
mengempas...
melambai...
akan kau buka pintu pembebasan yang terputus itu
kelak suatu ketika
akan kau tanya
untuk apa mencintai
bila akhirnya mesti lari

akankah kau temui
semua yang pernah terlukis dibenakmu
sebuah kebodohan dan elegi
bukankah tak semestinya cinta mengalah
wahai perempuan

Saturday, August 26, 2006

tak bisakah?

berkali-kali
kuhapus wajahmu
yang pernah kulukis di tepi langit
saat senja turun
meninggalkan kita
di januari yang basah

berkali-kali
kutepis lambaimu
yang pernah memanggilku di
saat surya baru saja
menghampiri kita
di januari yang indah

berkali-kali
kutinggakan bayangmu
yang mengikuti
setiap kali kumelangkah
di setiap detik yang lelah
di setiap waktu yang tak pernah
menginginkan kau kembali

tak bisakah kau pergi
dan membiarkan aku sendiri?

Friday, August 18, 2006

kita

kita pernah tidur di atas awan, lalu melayang di antara rinai hujan. sebentar kita terjatuh di liang, berderak melangkah untuk kemudian kita tersangkut-sangkut lagi rompal kerakal. air mata kita barangkali air mata keabadian, yang tak kering meski panas menyiram. kita berlari melawan arus lautan, di antara sunyi batu karang dan elang yang pulang... kita percaya, matahari belum lelap dan bulan juga tak tertidur sepanjang malam... ada yang kita jelang, sampai perjalanan ini lelah dalam kesunyiannya... dan pada detik yang tak lelahnya berputar, engkau tetaplah bintang pada pekat hati yang terdalam... tak seorang pun kuasa menggantikan. tak seorang pun. tak seorang pun....

Wednesday, August 16, 2006

kenapa?

senja jatuh ketika burung-burung pulang menerabas awan berarak. guguran daun-daun jati di tanah basah, meruapkan aroma kenangan. dan setiap waisak tiba, kenapa aku selalu teringat rautmu yang membisu di sudut malam?

Wednesday, August 02, 2006

"...."

gila, pusing banget...

Saturday, July 22, 2006

dan kami tak pernah....

sungguh
kami tak pernah
ke pantai bersama
untuk membangun istana pasir
atau mengejar matahari tenggelam

kami juga tak pernah
memanjat pohon bersama
untuk membangun rumah
di sela dahan dan ranting
atau memunguti daun-daun kering
yang berjatuhan di taman

ada banyak hal
di dunia ini
yang tidak kami lakukan bersama...

dan di kesunyian
ketika rintik gerimis
berhenti di sisa malam
ketika kota takut
menjemput hari esok
aku bertanya

untuk apa dia ada?
membayangi setiap gerakku

untuk apa dia menganggap
kalau tak pernah kuanggap
begitu juga sebaliknya
seakan-akan kami berjalan
dengan mata yang tertutup rapat

lalu,
pada keramaian aku belajar
sesungguhnya
setiap bunga punya harum sendiri
setiap jiwa punya warna sendiri

kadang hitam tak selamanya jahat
dan putih tak selalu baik, ternyata

tapi,
ada satu hal yang meyakinkan
selepas mendung berlalu
masih ada mega di tepi langit
mengajarkanku
mengingatkanku

tak perlu mata terbuka
untuk bisa memahami
betapa berartinya engkau, lamunanku...

Wednesday, July 12, 2006

Zizou

JIKA huruf Arab yang mengeja namanya di-Latinkan dengan lafal Inggris, ia adalah Zinad-Din. Di Indonesia ia akan dipanggil Zainuddin. Konon itu berarti ”ornamen iman”.

Orang tuanya datang dari Dusun Taguemoune, di bu-kit-bukit Aljazair yang jauh. Seperti banyak orang dari wilayah Afrika yang dilecut niat memperbaiki nasib, Smaïl Zidane, si ayah, pergi merantau ke Paris. Tapi kemiskinan tetap menggilas, dan ia pindah ke Marseille, di selatan, sebuah kota yang tak teramat jauh dari negeri asal.

Pada pertengahan 1960-an itu, Smaïl bekerja sebagai pe-tugas gudang, sering dalam giliran malam. Ia ingat Zai-nuddin mudah bermimpi buruk bila si bapak tak pulang. Sebab itu pada waktu senggangnya ia penuhkan perhati-an bagi anak yang lembut hati yang dipanggilnya Yazid atau ”Yaz” itu.

Ketika Zidane muda sudah jadi pemain bola termasyhur, dan seluruh Prancis mengeluelukannya sebagai pahlawan, dan para pengagumnya memanggilnya ”Zizou”, bukan ”Yaz”, ia tak melupakan apa yang diberikan ayahnya.- ”Saya mendapatkan semangat dari dia,” katanya. ”Ayahlah yang mengajari kami bahwa seorang imigran harus bekerja dua kali lipat kerasnya jika dibandingkan dengan orang lain—dan tak boleh menyerah.”

Daerah La Castellane, di bagian utara Kota Marseille, tempat Zainuddin Zidane dibesarkan, tempat ia bermain bola di lapangan Place de la Tartane, bukanlah wilayah yang ramah. Orang menyebutnya sebagai quartier difficile, perkampungan sulit. Di tepi jalan yang berdebu itu, di deretan perumahan kotak-kotak itu, hidup si muslim, si miskin, si minoritas, yang akhir-akhir ini merisaukan Prancis: beban, ancaman, atau bantuankah mereka?

Dalam hal itu ”Zizou” mau tak mau memikul sebuah pertanyaan—meskipun kita tak tahu sadarkah ia akan hal itu.

Ketika Prancis keluar sebagai kampiun Piala Dunia 1998, sebuah perayaan spontan meluap di Paris: satu setengah juta manusia berderet di Champs Elysees. Sebuah potret besar Zidane, pencetak gol yang menjadikan negerinya sang juara, diproyeksikan di Arc de Triomphe. Ribuan orang berseru, tiba-tiba, ”Zidane! Président!”

Zainuddin, keturunan minoritas yang disebut les beurs, serta-merta jadi sebuah ikon bagi sebuah bangsa yang sering disebut ”paling rasialis” di Eropa.

Agaknya Piala Dunia sebuah simptom: kompetisi itu adalah ekspresi nasionalisme dalam demamnya yang tak berbahaya. Juga nasionalisme yang tak sama dengan rasialisme. Eropa pernah melahirkan Naziisme, tapi ada sesuatu yang sering diabaikan: nasionalisme punya kemampuan untuk melupakan.

Prancis semenjak revolusi pada abad ke-18 merupakan contohnya. Dari pengalaman itu pada abad ke-19 Ernest Renan mengemukakan pentingnya ”lupa” dalam membentuk bangsa: sebuah ”nasion” terjadi ketika ikatan kedaerahan, rasial, dan keagamaan tak lagi diingat-ingat. Telah tumbuh hasrat untuk berbareng (le désir de l’être ensemble) di antara anasir yang berbeda-beda. Sebuah kebersamaan pun terbangun.

Zidane menerima dan diterima oleh kebersamaan itu—yang bernama ”Prancis”—ketika ada kehendak ”melupa-kan” ikatannya dengan sesuatu yang bukan ”Prancis”. Ju-ga di lapangan hijau itu: ”Prancis” hadir bukan cuma pada warna kaus yang seragam, tapi juga pada agresivitas- Zidane yang melupakan diri bahwa ia seorang pemain Real Madrid—seperti halnya lawannya hari itu, Ronaldo dari Brasil.

Demikianlah identitas ”Prancis” berkibar dari lupa dan benturan. Kompetisi Piala Dunia memang metafora yang bagus tentang antagonisme, di mana perbedaan yang mutlak tak pernah ada. Sebuah pertandingan selalu mengasumsikan semacam persamaan: tak ada pihak yang 100 persen ganjil bagi pihak lain. Yang terjadi adalah ada yang menang, ada yang kalah.

Sebagaimana dalam kehidupan: ada antagonisme da-lam tiap kebersamaan, dan si menang naik, si kalah turun. Kesetaraan yang penuh tak bisa tercapai; tiap angka 0-0 akan diselesaikan dengan tendangan penalti. Tapi dorongan ke arah kesetaraan akhirnya tak dapat dielakkan, dan argu-men untuk mengekalkan perbedaan akan terguncang. ”Kami berasal dari sebuah keluarga yang tak punya apa-apa,” kata Smaïl Zidane menyaksikan tempik-sorak bagi anaknya di seantero negeri. ”Kini kami dihormati orang Prancis dari segala jenis.”

Tapi justru karena itulah Zidane membawa sebuah pertanyaan bagi Prancis: bisakah logika perbedaan diguncang oleh logika kesetaraan? Bagaimana mungkin ”mereka”—yang muslim, yang lain—dianggap sederajat dengan ”kita”, mayoritas?

Tampak bahwa di sini yang ditekankan bukanlah lupa, melainkan ingatan—dan wajah buruk nasionalisme pun menyeringai.

Setelah kemenangan tim Prancis pada tahun 1998 itu, Jean-Marie Le Pen, pemimpin Front National—yang sela-lu mencurigai minoritas—akhirnya menerima Zidane dengan catatan: sang bintang adalah ”putra Aljazair Prancis”. Itulah alasannya kenapa Zainuddin layak diterima di antara ”kita”: Zizou datang dari keluarga ”harki”, kata Arab untuk menyebut orang Aljazair yang bertempur di pihak Prancis, sang penjajah, pada masa perang kemerdekaan.

Zainuddin membantah itu: keluarganya bukan pengkhianat. Tapi bisakah ia mendefinisikan diri, ketika dunia privat seseorang diserbu kebencian hitam-putih orang ramai? Oktober 2001, sebuah pertandingan persahabatan dicoba antara tim Prancis dan Aljazair di Stade de France. Pertandingan itu simbolik: kedua negeri itu tak pernah bertemu di lapangan bola sejak perang kemerdekaan Aljazair. Tapi seperti diceritakan Andrew Hussey dalam The Observer, menjelang hari itu Zidane diancam akan dibunuh. Poster dipasang: ”Zidane-Harki”. Akhirnya permainan tak selesai. Beberapa anak muda keturunan Arab berseru mengelu-elukan Usamah bin Ladin dan mengutuk Republik Prancis.

Demikianlah lupa dan ingatan bisa dibongkar pasang untuk diteriakkan, juga bagi si pemalu yang bersuara lirih itu, Zinedine Zidane.

CP

Friday, July 07, 2006

sajak orang kepanasan

karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu .....
karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan .....
maka kita bukan sekutu

karena kami kucel
dan kamu gemerlapan .....
karena kami sumpeg
dan kamu mengunci pintu .....
maka kami mencurigaimu

karena kami terlantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan .....
karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar .....
maka kami tidak menyukaimu

karena kami dibungkam
dan kamu nrocos bicara .....
karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan .....
maka kami bilang TIDAK kepadamu

karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana .....
karena kami cuma bersandal
dan kamu bebas memakai senapan .....
karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara .....
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu

*rendra, si burung merak

Wednesday, July 05, 2006

gengsi

berapa harga sebuah gengsi? jawaban sederhananya, tergantung standardisasi masing-masing orang. ada yang murah, sedang-sedang saja, mahal, bahkan teramat mahal.

bicara soal gengsi, tak akan pernah bisa lepas dari yang namanya materi. ingin ini dan itu, jelas perlu uang untuk mewujudkannya. tapi kalau hidup harus memaksakan diri demi gengsi, apakah perlu?

mereka yang bijak pasti akan bilang tidak perlu, tapi kita hidup di tengah zaman yang isinya tak melulu orang bijak. di antara kita barangkali pernah melihat, ada orang yang selalu ngebela-belain agar penampilan lebih wah. ada semacam niat agar citra di luar dirinya menonjol dan dengan demikian mereka yang melihat akan respek. padahal, apa yang dimunculkan bukanlah dirinya sendiri alias buah dari pemaksaan.

ada banyak contoh, sebetulnya. salah satu contoh saja, ada orang yang menolak naik bus karena enggan dibilang bukan kaum berpunya. meski kendaraan pribadi tidak punya, maka dipaksakannyalah naik taksi. akibatnya, uang gaji yang pas-pasan habis begitu saja demi transpor. tabungan kosong. boro-boro bisa beli baju atau kredit cicilan rumah. hidup begini bagi mereka yang gajinya cukup tentu tak akan jadi soal.

gengsi itu merusak, lho. bikin hati jauh dari rasa bahagia, karena yang dipikirkan hanyalah bagaimana orang melihat kita, bukan karena kita ingin bahagia. dan jika Anda merasa gengsian--untuk mendeteksinya tanyakan saja hati kecil dan jawab dengan jujur--lebih baik lupakan saja agar hidup Anda bisa bahagia.

"jika kita ingin hidup bahagia, kita harus hidup sederhana. apabila Anda memakai jas mahal, Anda pasti khawatir akan rusak, kotor atau hilang. apabila Anda mengelilingi diri dengan barang mewah, Anda kerap cemas barang itu hilang atau rusak. di mana hartamu berada, di situ pikiranmu berada. engkau akan terbelenggu oleh sesuatu yang fana," begitu kata toyohiko kagawa, pemikir jepang.

ingatlah, ada banyak hal di dunia ini yang tak melulu mengedepankan citra....

Sunday, July 02, 2006

i love!

i love my beb and klinsi! viva germany!

Wednesday, June 28, 2006

ternyata

ternyata tidak mudah
kelihatannya saja mudah
apa yang kita bayangkan
apa yang kita impikan
tidak selalu
tidak begitu

ternyata memang sulit
kita sering kebingungan
bingung sekali
sampai-sampai
kita tak punya waktu
mengela napas sejenak
tiada guna saja
pokoknya

Sunday, June 25, 2006

maafkan aku

aku sedang jauh
jauh sekali
sampai-sampai tak mampu
melihat-Mu

begitu lama
aku tak berlabuh
lama sekali
sampai-sampai aku lupa
kapan terakhir
aku mencumbu-Mu

siksa aku Tuhan
dan dengan kalah
ingin kuucapkan
maafkan, Tuhanku...

Monday, June 12, 2006

Negeriku

Bersih, bersih, bersih, bersihlah negeriku
Malu, malu, malulah hati
Kotornya teramat gawat, ya kotornya sangat
Inilah amanah yang menjadi keramat

Bersih, bersih, bersih, bersihlah diriku
Sebelum menyapu sampah dan debu-debu
Nyanyian berkarat sampai ke liang lahat
Atas nama rakyat yang berwajah pucah

Negeriku, negeri para penipu
Terkenal ke segala penjuru
Tentu saja bagi yang tak tahu malu
Inilah sorga, sorganya sorga

Negeriku, ngeriku

Busuk, busuk, busuk, busuk bangkai tikus
Yang mati karena dihakimi rakyat
Adakah akhirat menerima dirinya
Adakah di sana yang masih bisa bercanda dengan rakus

Negeriku, negeri para penipu
Terkenal ke segala penjuru
Tentu saja bagi yang tak tahu malu
Inilah sorga, sorganya sorga

Negeriku, ngeriku

Bersih, bersih, bersih, bersihlah negeriku

*dewa dari leuwinanggung

Friday, May 26, 2006

tahukah kau itu?

dan rinduku
tak pernah
selesai perempuanku
bila detik
hari ini usai
selalu saja ada
detik berikutnya
tentangmu
dari waktu ke waktu

tiada batas
tiada lelah
tahukah kau itu?

Sunday, May 21, 2006

simpan senyumku

dan waktu
akan
membuatku
terbiasa
mencintaimu
dari jauh...

selamat jalan
kekasihku
simpan senyum
yang pernah
kutitipkan
dalam matamu

di saat
semua
seolah
tiada lagi
kata pisah...

kau di mana?!

kau lihatlah
sudut-sudut terminal
pojok-pojok jalan
simpang-simpang
halte-halte

tempat di mana
wajah-wajah itu lagi
yang memapah hujan
dan panas awan

kau lihatlah
lorong-lorong pasar
kolong-kolong jalan
himpit-himpitan
tepi-tepi kali
nisan-nisan makam

tempat di mana
wajah-wajah itu lagi
yang menelan geram
tak sanggup melawan...

kau di mana?
tak dengarkah
mereka berteriak?
kau di mana?
tak dengarkah
mereka menangis?
kau di mana?
tak dengarkah
mereka memaki!

kau di mana?!
kau di manaaa?!
di mana bangsat!
bangsat!
bangsat!!
bangsat kau!!!

Saturday, May 20, 2006

lalu aku harus apa?

apakah aku harus?
aku tak bisa menjawab
lalu aku harus apa?
jika kau tetap berkeras

kau paksa aku mengalah
sedang kemustahilan ini
begitu kental
tidak ada jalan
meski hanya celah

dan kau tetap berkeras
dasar perempuan!
kenapa hatimu lembut
tapi watakmu keras?

kadang-kadang
ya, kadang-kadang
aku tak pernah bisa paham
apa sebetulnya
makna di balik ini
di balik pertemuan kita

kau pikir mudah
mecintai orang
yang ia sendiri
mencintai pilihannya?

beritahu aku Tuhan
kenapa waktu
tak kunjung berhenti...

Friday, May 19, 2006

semestinya...

semestinya
kita bisa
selesai malam ini
sedetik setelah
kubilang aku pergi

tapi yang terjadi
justru sebaliknya
aku tak pernah sanggup
untuk sekejap pun
menjauh dari hatimu

mungkin ini cinta
tapi bisa pula
hanya sisa-sisa
penasaran yang tercecer
rindu-rindu
yang tersia-siakan

dan kau pun tahu
aku tak pernah bisa
menghilang darimu
meski berulang kali
kukatakan
aku akan pergi

Thursday, May 18, 2006

kupu-kupu

dan kupu-kupu pergi
perlahan meninggi
menjauh
entah kapan kembali...

dan kuhanya bisa membisu di sini...

Tuesday, May 09, 2006

kosong

... di hadapan sebuah keranda

tiada yang kau ucapkan
meski banyak kata
ingin kau keluarkan
waktu tak memberimu
kesempatan untuk sejenak
berbicara
tentang daun-daun
angin senja
dan bulan yang remang

lalu kau menoleh
dengan mata berkaca
bibir gemetar
mata memicing jengah
kau ingin muntah
mencoba tumpah
pada sisa malam
yang sedetik pun
tak memberimu keberanian

aku masih berutang
kau bergumam
setengah tersengal
setengah merapal
doa-doa yang tipis
di sela alunan tangis
ketika kau terpaku
dan aku membisu

di hadapan jenazah ayahmu
yang luruh bersama waktu...

Sunday, May 07, 2006

aku tidak tahu

aku tidak tahu...
apakah aku harus
merasa sesak atau lega
aku tidak tahu

aku tidak tahu
apakah aku harus
berduka atau bahagia
aku tidak tahu

aku tidak tahu...
apakah aku harus
tertawa atau menangis
aku tidak tahu

yang aku tahu
malam ini
masih ada gerimis
sisa hujan senja

ada bayangan dia
dan keponakan-keponakanku
di jalan basah
yang tersiram lampu kota

Thursday, May 04, 2006

lelaki itu

hujan belum reda
dan lelaki itu masih berdiri di beranda
menatap ranting-ranting
dan daun-daun basah
menanti indah singgah
meski ia tak akan kembali merengkuhnya

tapi lelaki itu masih berdiri di beranda
menghirup aroma lumut
dan kecipak rumput air
menunggu tiada lelah
hingga matahari datang menyapa
dan indah kembali singgah

meski ia tak akan kembali merengkuhnya...

Monday, April 17, 2006

aku di sini

mengantuk perempuan setengah baya
di bak terbuka mobil sayuran
jam tiga pagi itu
tangannya terangkat saat sorot lampu
mobilku menyilaukan matanya

aku ingat ibuku...
aku ingat istri dan anak perempuanku

separuh jalan menuju rumah
saat lampu menyala merah
di depan terminal bis kota
yang masih sepi

aku melihat seorang pelacur
tertidur mungkin letih atau mabuk
aku ingat ibuku...
aku ingat istri dan anak perempuanku

di bawah temaram sinar merkuri
bocah telanjang dada bermain bola
oh pagi yang gelap
kau sudutkan aku

suara kaset dalam mobil aku matikan
jendela kubuka
angin pagi dan nyanyian sekelompok
anak muda mengusik ingatanku

aku ingat mimpiku
aku ingat harapan yang semakin hari
semakin panjang tak berujung

perempuan setengah baya
pelacur yang tertidur
bocah-bocah bermain bola
anak muda yang bernyanyi
sebentar lagi ayam jantan kabarkan pagi
hari-harimu menagih janji

aku di sini
ya aku di sini
ingat ibu
istri
dan anak-anakku

*dewa dari leuwinanggung

Thursday, April 06, 2006

di laut lepas

kita duduk di beranda
menyapa senja
yang sebentar lagi beranjak

tak ada air mata di sini
hanya buih ombak
sapuan angin pantai
dan nyanyian nyiur

Tuhan mungkin sedang tidur
membiarkan kita larut
pada apa yang semestinya
tak kita lakukan...

mencium terumbu
dan
bersenda bersama ikan-ikan
di laut lepas...

Tuesday, March 21, 2006

pada apa

melenguh pagiku
menuntun waktu
pada apa yang tak bisa
pada apa yang tersisa

kita pernah menjejak bersama
merenda hari
menunggu petang berganti
tapi kita tak pernah sehati

dan pada apa yang tak bisa
pada apa yang tersisa
kita hanya bisa berdiri
pada simpang
yang tak pernah menyatu...

Monday, March 13, 2006

hanya bahagia

burung-burung terbang rendah
pagi sunyi
angin bertiup sepi
di pucuk pinus
kudapati mentari menanti
ada yang hilang hari ini
hanya bahagia yang menemani

Friday, March 10, 2006

lelaki kunang-kunang

aku tak memilih jadi lampu pijar
yang menerangi pesta
aku ingin jadi kunang-kunang
menggantikan matahari padam
meski usiaku hanya semalam

aku sangat bahagia
menerangi orang-orang
yang diringkus kegelapan
meski dengan setitik cahaya

aku adalah redup di tengah pekat
tak mendamba menjadi bulan
atau merkuri
aku hanya ingin menjadi kunang-kunang
menggantikan matahari padam
meski usiaku hanya semalam

sp-yogyakarta

ada kalanya

ada kalanya yang kita harapkan, seperti yang kita harapkan
ada kalanya yang kita impikan, tak seperti yang kita impikan

ada kalanya yang kita impikan, seperti yang kita impikan
ada kalanya yang kita harapkan, tak seperti yang kita harapkan

ada kalanya yang kita bayangkan, seperti yang kita bayangkan
ada kalanya yang kita dambakan, tak seperti yang kita dambakan

ada kalanya yang kita dambakan, seperti yang kita dambakan
ada kalanya yang kita bayangkan, tak seperti yang kita bayangkan

ada kalanya yang kita inginkan, seperti yang kita inginkan
ada kalanya yang kita cintai, tak seperti yang kita cintai

ada kalanya yang kita cintai, seperti yang kita cintai
ada kalanya yang kita inginkan, tak seperti yang kita inginkan

mimpi, bayang-bayang, harapan, keinginan, dan cinta
kita ada di tengah-tengahnya
hanya bisa pasrah pada takdir
lalu untuk apa kita mesti lelah menangis?

Thursday, March 02, 2006

tentangmu terus menerus

perempuanku...

tawamu
membuatku terus menerus berpikir tentangmu

manjamu
membuatku terus menerus berpikir tentangmu

matamu
membuatku terus menerus berpikir tentangmu

candamu
membuatku terus menerus berpikir tentangmu

marahmu
membuatku terus menerus berpikir tentangmu

suaramu
membuatku terus menerus berpikir tentangmu

hatimu
membuatku terus menerus berpikir tentangmu

dan cintamu
membuatku ingin menikah denganmu...

Sunday, February 26, 2006

begitulah niatku

bila waktu
mengajariku bermain-main
kuberitahu engkau
sesungguhnya
aku tak pernah bisa
bermain-main

aku
barangkali
adalah lelaki yang kerap
menangisi sisa hari
rebah di tepi malam
menatap waktu
dengan mata memicing

tapi
semestinya kau tahu
aku tak pernah bermimpi
untuk tidur
dalam bayang-bayang

maka percayalah
bila waktu
mengajariku bermain-main
kuberitahu engkau
sesungguhnya
aku tak pernah bisa bermain-main
apalagi untuk sebuah kata
yang bernama cinta

dan bila waktu memberiku cinta
akan kurawat ia
seperti malam memeluk bulan
dan siang merengkuh matahari...

begitulah niatku ketika mecintaimu

Wednesday, February 22, 2006

aku pergi dulu

padamu cinta
aku pergi dulu
lima hari saja

lima yang dulu terasa sekejap
dan kini terasa begitu menyiksa

rindu yang menguat
membuat jarak jauh
juga lama waktu
memanggilku untuk segera
melihat senyummu

pada apa yang
kita selami bersama
pada apa yang
kita lalui berdua
dari detik ke detik
ketika waktu
seolah tak ada habisnya
melingkari kita dengan tawa

adakah kebahagiaan lain yang bisa menggantikan?
tak satu pun perempuanku...

padamu cinta
aku pergi dulu
lima hari saja

dan aku
akan kembali
dengan setumpuk rindu
sambil melangkah mengecup keningmu
dengan cinta yang tiada henti tumbuh...

Sunday, February 12, 2006

kini aku melihatnya

dan kau membuatku menjadi berani, beb
jika kemarin aku tak melihat
ada matahari di pagi hari
juga tetes embun di pucuk dedaunan
kini aku melihatnya
aku menikmatinya

aku melihat burung-burung terbang
menukik dan melayang di arak awan
dan kita berlari-lari kecil di bawahnya
di hamparan hijau rumput savana

berdua saja
menggenggam keindahan
memeluk cinta
sampai kita lelah dalam bahagia

misalkan

misalkan kita tak pernah bertemu
aku yakin
aku tak akan pernah mengerti
apa sesungguhnya keindahan itu

misalkan kita tak pernah bertemu
aku yakin
aku tak akan pernah paham
apa sesungguhnya kebahagiaan itu

misalkan kita tak pernah bertemu
aku yakin
aku tak akan pernah menyadari
betapa melelahkannya mendorong mobil

hehehe... i love u beb!

Friday, February 10, 2006

hore!

hore tempo menang! horeeeeee! biar mampus tuh tw!!!

Monday, February 06, 2006

setetes embun dari surga

ini kisah tentang lelaki yang kerap terganggu tidurnya, karena bertahun-tahun selalu bermimpi bisa membawa orang tuanya pergi rekreasi. dan semua berubah ketika ia mendapatkan kekasih yang baik hati...

aku bukanlah lelaki yang cengeng, sebetulnya. hanya ada satu hal yang begitu mudah bagiku dalam hidup, yaitu menangis. nyaris setiap malam, ketika aku pulang dan membuka pintu, mataku pasti basah. kalau kau melihat apa yang kulihat, mungkin juga kau akan mengalami kesedihan seperti yang aku alami. ayahku, dua tahun lagi usianya menjadi 60 tahun, tidur di lantai ruang tamu. beralas kasur lipat kotak-kotak seperti cokelat papan.

keadaan yang memaksanya tak tidur di kamar bersama ibu. di ruang seharusnya ayah bisa terlelap dengan nyaman itu, ada keponakanku berusia lima tahun, binyo namanya. ayah harus mengalah agar gerak tidur ibu dan binyo bisa lebih lapang. maka terpaksalah ayah merebahkan diri di hamparan kasur lipat, di lantai dingin ruang tamu, yang terdengar jelas bunyi kentungan pak hansip ketika memukul tiang listrik.

aku selalu gagal membiarkan kornea mataku kering. aku selalu kesulitan memejamkan mata setiap kali melihat keadaan itu. aku sungguh-sungguh terganggu. kalau pun sampai aku terlelap, tak jarang aku terbangun hanya karena membayangkan betapa menderita ayahku. berkali-kali ayah kutawari tidur di kamarku dan aku yang di ruang tamu, tapi ayah selalu menolak. dia bilang, tidak apa-apa karena lebih enak di lantai. adem rasanya.

aku tahu ia berdusta, karena sejatinya aku tahu betul tidur seperti itu benar-benar tak nyaman. kasur tipis hanya akan membuat badan pegal-pegal. terlebih lagi ayahku kerap sakit-sakitan. kalau kau melihat bagaimana wajah ayah, ibu, dan keponakanku ketika terlelap, mungkin kau tak akan pernah menyangka mereka bisa tertidur pulas.

setiap kali melihat adegan itu, yang ada dalam benakku hanya satu: ingin rasanya aku mengajak mereka berjalan-jalan, semacam rekreasi, sekadar membuat mereka tersenyum. segala macam masalah yang mereka alami setiap hari, rasanya sudah cukup mereka telan. haruskah ketika malam tiba ayah tidur di lantai, terpisah dari ibu? kenapa sih aku harus tinggal di rumah kecil, tak seperti rumah temanku yang besar, sehingga ruang tamu mereka tak akan berubah fungsi menjadi kamar tidur saat malam datang?

tapi persoalannya memang tak semudah yang kuangankan...

***derap hukum udah, sekarang ngantuk...

Monday, January 30, 2006

menjadi kecil

tapi burung-burung tak pernah bisa berenang dan saya yang tak bersayap sering kali bermimpi ingin terbang. kepada siapa sesungguhnya matahari diciptakan, bila malam terus saja menelan bulan dan melupakan jingga senja di kejauhan?

di sini, sesungguhnya saya hanyalah selimut yang koyak di tempat tidur, jarum jam yang melekat di dinding kusam yang kesunyian, mungkin sambil sesekali menelan tanda tanya...

setiap hari. tanpa henti...

menjadi kecil

lalu saya menjadi sentimental dan larut meratap, sedang detak detik tak pernah bisa berputar arah. waktu tak pernah memintamu hadir, meski kau telah terlahir. saya menahan napas. tak bisakah sejatinya hidup hanya ada bahagia dan membiarkan airmata mengalir karena lelah tertawa?

setiap hari. tanpa henti...

Friday, January 27, 2006

betul-betul menyiksa

tak bisakah
kau biarkan
sejenak diriku
sendirian
tanpa perlu
kau bayang-bayangi
kepalaku
dengan garis senyummu
terus menerus
membuatku
terus menerus
mengingatmu?


tak bisakah
kau biarkan
sejenak hatiku
menghindari
tanpa perlu
kau hantui
degup jantungku
berharap kau membenciku?
sehingga aku
terbebas dari
sosokmu
terus menerus

betul-betul menyiksa
betul-betul menyiksa...

Wednesday, January 25, 2006

karena-Nya

dan kita
yang masih dibiarkan-Nya hidup
jarang sekali menepi
sejenak mengunci diri
merenung
betapa berharganya
udara yang masuk ke paru

kita tak pernah
bersyukur sedikit pun
tak pernah
berterima kasih secuil pun
kita bisa tertawa
bisa menangis
bertepuk tangan
atau berlari

kita larut dalam keluh
merendahkan diri
berpikir aneh-aneh
menyiksa diri tak perlu

sedang kita
sejatinya hanyalah bidak catur
yang bisa berbahagia
karena-Nya

sekali lagi
karena-Nya...

i love sctv!

hore gajian!
i love sctv!

*setiap gajian tiba, kenapa gue selalu merasa lebih cakep ya? hm... potong rambut ah. biar jelek.

Tuesday, January 24, 2006

membayangkan playboy

pagi baru saja berangkat
mereda hujan
menyisakan hening
menelan muram
yang sekarat

lihatlah kawan
pohon-pohon terjungkal
air sebatas lutut mengalir
di jalur bebas hambatan
rumah-rumah hanyut bersama bukit
bayi-bayi mulas
meringis menenggak kuman

pagi baru saja berangkat
dan kita
tetap merasa sehat
pura-pura tak buta tak tuli
mengulur tangan
mengharap pujian

padahal sesungguhnya
tak pernah kita
benar-benar
meletakkan hati
di dada mereka
yang menjadi korban

tak percaya?
lihatlah malam nanti
kita masih bisa terlelap
mungkin sembari onani
atau masturbasi
membayangkan playboy hadir di sini

Monday, January 23, 2006

aku mencintai dia?

aku mencintai dia?
iya
apakah ia mencintai aku?
mungkin iya
mungkin tidak
tapi sepertinya iya, deh
lalu?

begini
kalau kau sibuk
memikirkan
segala macam balasan
cinta yang kau tumpahkan
sesungguhnya
kau sedang berdagang
tak benar-benar mencintainya
lalu?

cintai saja
tak perlu berisik
tak perlu meminta balas...
apalagi sampai menangis
i love u, beb!

kum! selamat jalan oom!

pesan singkat di ponsel pagi itu, 14 januari 2006, seketika membuat saya terhenyak. tiba-tiba ingatan saya tertarik ke belakang. pastinya kurang jelas, tapi kalau tak salah ingat, peristiwa itu terjadi di akhir 1996. saat itu saya belum lama menjadi wartawan, sedang semangat-semangatnya belajar menjadi wartawan yang baik dan benar.

saya ditugaskan meliput tentang proses masuk sekolah negeri yang ketika itu, diselimuti sejumlah kasus suap. sekolah negeri adalah impian dan banyak orang tua menggampangkan cara agar anaknya bisa tembus, meski sebetulnya ia tak lulus tes.

banyak sekolah yang diduga diam-diam menjalani praktek seperti itu. tentu tak resmi, karena yang terlibat suap menyuap hanyalah segelintir. bisa guru, bisa juga pegawai tata usaha. untuk mencari fakta itu, lalu saya masuk ke sebuah sekolah negeri di bilangan bulungan jakarta selatan. cara yang saya pakai tentu dengan menyamar, tak mengungkapkan identitas sebagai wartawan. saya berpura-pura sebagai kakak seorang adik yang gagal masuk sekolah negeri dan ingin supaya ia bisa duduk di bangku sekolah yang terbilang favorit itu.

lama kasak-kusuk di dalam, di tengah suasana pendaftaran siswa baru yang riuh, akhirnya saya menemukan seseorang yang bisa mengupayakan agar adik saya bisa masuk sekolah itu. tentu dengan bayaran sejumlah uang, karena adik saya memang sama sekali gagal dapat negeri. setelah deal harga, yang jumlahnya lumayan untuk membeli kerupuk satu lapangan sepak bola, saya pamit dan berjanji akan kembali esok hari membawa uang. rekaman di tape kecil di balik jaket pun saya matikan.

sudah pasti saya tak akan kembali, karena tujuan saya hanya mencari bahan untuk tulisan tentang suap menyuap masuk sekolah negeri. saya kembali ke kantor dengan perasaan riang. saya membayangkan atasan yang menugaskan saya bakal senang, karena saya mendapat bahan yang cukup, boleh dibilang bukti kecil-kecilan sebagai indikasi telah terjadi suap menyuap di sekolah itu.

setiba di kantor, saya dengan antusias bercerita ke bos. saya katakan, saya dapat bahan bagus dan bukti telah terjadi suap di sekolah itu. tapi reaksi atasan saya dingin saja. tak antusias, benar-benar datar. wajahnya seperti dinding tanpa cat. saya heran, sudah pasti. yang membuat saya lebih heran, karena si bos menyuruh saya untuk menelepon orang dalam itu dan menjelaskan bahwa diri saya adalah wartawan. "biar kita lebih fair," katanya.

sinting dalam hati saya. menelepon orang yang sudah saya jebak? saya berharap sang bos bercanda, tapi ternyata tidak. ia sungguh-sungguh memerintahkan itu.

saya tak langsung menelepon. butuh tiga jam berpikir dengan hampir setengah bungkus rokok untuk memunculkan keberanian saya menelepon. menjelang malam, akhirnya, dengan perasaan cemas, saya menelepon orang itu.

"hallo pak, ini saya yang tadi siang mau mendaftarkan adik."
"oh iya iya. gimana?"
"hm, a g gi gini pak. duh, bapak jangan kaget ya."
"kaget kenapa?"

terus terang saya benar-benar takut. saya cemas orang itu punya penyakit jantung dan membayangkan ia roboh mendadak begitu tahu saya adalah wartawan.

"begini pak. sebetulnya saya nggak sedang mendaftarkan adik ke sekolah itu. saya ini wartawan, yang menyamar untuk mengumpulkan bahan dugaan suap di sekolah."
"ha?! waduh! waduh! kok begini sih? saya bagaimana ini?! jangan begitu dong dik!"

setelah yakin bahwa orang di seberang telepon tak roboh karena jantungan, saya jadi memiliki keberanian untuk menjelaskan pelan-pelan. dan akhirnya ia mengerti, setelah saya jamin identitasnya tak terungkap. masih dengan perasaan tak percaya, akhirnya dia bercerita modus suap dan segala tetek bengeknya. saya nyaris tak percaya saat itu, karena hal yang saya takuti ternyata malah membuat saya bisa memperoleh bahan yang lebih baik.

saya tak pernah bisa melupakan peristiwa itu. dan bila tiba-tiba di pagi itu saya teringat kembali, tentu karena saya teringat sosok atasan saya yang menugaskan liputan itu. ia orang yang santai, jahil, berjiwa muda, dan kadang-kadang suka sok galak. lebih dari enam tahun saya bekerja bersama dengannya. tentu bukan waktu yang sebentar.

ada banyak kenangan hilang timbul, berkejapan seperti film lama yang diputar cepat. itu terjadi setelah saya membaca pesan singkat yang membuat saya terhenyak. isinya, achijar abbas ibrahim meninggal dunia karena serangan jantung pagi tadi. bos saya, yang biasa disapa oom abbas itu, pergi selama-lamanya... menyisakan getir pada pagi basah...

selamat jalan oom, semoga Tuhan bisa bijak melihat sisi baikmu...

Saturday, January 21, 2006

i love u!

hai, apa kabar?
selamat ulang tahun diriku...
i love u!

Friday, January 20, 2006

layang-layang

di senja ini
aku adalah layang-layang putus
terbang tanpa arah
singgah di pucuk cemara
lalu terempas di tanah
bersama bayang gelap
yang tak juga sirna...

Wednesday, January 18, 2006

sebelum kau hadir

pukul delapan pagi
kota terang tanah
hujan semalam
menyisakan lembab
pada batang cemara
dan
masih ada takut
setiap hari menepi
seperti kemarin
sebelum kau hadir

lalu waktu
terasah sendiri
menjadi bulir
merepih harap
tapi
hujan semalam
menyisakan getir
yang sama
seperti kemarin
sebelum kau hadir
setiap hari menepi

Tuesday, January 10, 2006

senja di pucuk bukit

Apa yang Anda lakukan jika dokter telah memvonis Anda akan meninggal dunia sebulan lagi? Boleh jadi Anda akan menangis, mengurung diri tanpa gairah. Menahan rasa takut akan datangnya kematian. Mencoba melawan takdir dan berontak, memaki hidup yang tak adil. Mungkin juga Anda akan membenci Tuhan selama-lamanya. Anda putus asa dan begitu menyesal lahir ke dunia...

Bisa jadi pula Anda akan berterima kasih. Berterima kasih karena mengetahui bahwa ajal akan datang menghampiri. Kenapa harus berterima kasih? Sederhana saja, karena dengan demikian kita bisa habis-habisan berbuat baik, seperti yang sedang saya coba lakukan saat ini, sebagai bekal di akhirat kelak. Bukan begitu?

Semestinya memang begitu. Semestinya... karena ternyata berbuat baik itu tak semudah yang saya bayangkan.

"Hallo, di mana?"
"Masih di rumah. Jadi?"
"Jadi dong. Jam berapa?"
"Sekarang deh."
"Ok."

Klik. Telepon ditutup. Kezia, teman dulu di kampus, sahabat yang selalu ada di saat saya tak membutuhkannya dan selalu tidak ada di saat saya butuh. Sahabat menyebalkan, memang. Tapi saya tak bisa membiarkan dia keluar dari lingkaran hidup saya. Bagaimana pun, dialah orang di luar keluarga yang tahu bahwa sebulan lagi saya akan meninggal dunia. Rencananya, hari ini, dia akan mengajak saya pergi ke suatu tempat yang tak pernah saya datangi. Saya tak tahu ke mana, tapi sepertinya menarik. Entah kenapa saya bisa menduga menarik. Mungkin karena Kezia selalu memunculkan hal yang memang tak pernah diduga. Mungkin ada baiknya sekarang saya mandi, agar ketika Kezia datang, saya sudah siap.

"Kita ke mana sih?" Kata saya, saat Kezia tiba.
"Udah tenang aja."
"Kok bawa-bawa pacul segala?" Mata saya memicing, melihat perlengkapan aneh di tangan Kezia. "Lo jangan gila deh."
"Ini nggak gila. Udah deh jangan brisik, nggak usah kayak nenek-nenek. Buruan, nanti keburu sore."

Saya tak bisa mendesak. Saya cuma bisa ikuti langkah Kezia ke mobil. Setelah menaruh pacul ke dan sejumlah alat yang biasa dipakai pekerja bangunan ke bagasi, kami pergi ke arah selatan kota. Sepertinya, kalau tidak salah, ini perjalanan menuju bukit.

"Kita ke bukit?"
"Yup."
"Ngapain di sana?"
"Lihat saja nanti."
"Apa menariknya bukit? Bukannya kita sudah sering ke sana?"
"Ada hal yang harus lo ketahui."
"Apa itu?"
"Lihat aja nanti."

***ngantuk...

Friday, January 06, 2006

di bawah rindang akasia

sekian lama sudah
kita mencoba merengkuh
pada pagi
sore
juga malam
bersama bintang yang bergerak
melingkari waktu
sambil membayangkan
jalan ini
selamanya di bawah rindang akasia

tapi kita memang tak pernah
sedikit pun
menghargai
bahwa bulan
juga bisa menangis
hati juga punya dosa
dan cinta bisa memudar

sekian lama
ternyata kita memang
tak pernah senapas
kita berbeda
dan tetap memaksa
melangkah di bawah akasia
yang kini tinggal rangka...

Thursday, January 05, 2006

kenapa harus ada?

aku sering bermimpi
menjadi kupu-kupu
terbang ke sana kemari
menghirup sari bunga
menari bahagia
begitu selalu
setiap pagi atau senja

tapi
sialnya
aku hanyalah jiwa
dengan sebilah hati
yang setiap malam
kerap bertanya
kenapa hidup
perlu ada rasa tak bahagia?

pernahkah kau kesunyian?
aku tengah merasakannya
betapa habis sudah
air mata
tapi selalu aku tak bisa
memahami...
atau mengerti...
kenapa hidup
perlu ada rasa tak bahagia...

Wednesday, January 04, 2006

suatu hari di jalur gaza

suatu hari di jalur gaza, ayah dan anak lelakinya jongkok meringis, menahan takut. tangan si ayah mencoba mengacung, memohon tak ditembak. sesekali ia memeluk si anak agar merapat. tak ada yang bisa diperbuat anak itu selain menjerit. keduanya mencoba menghindari gempuran peluru tajam dai moncong senapan serdadu israel di kejauhan.

satu dua peluru melubangi tembok yang mereka sandarkan. tapi siapa yang sanggup dihujani pelor tanpa bisa bergerak ke mana-mana? entah pada peluru ke berapa, akhirnya, ayah dan anak itu menemui ajal. tak jelas siapa lebih dulu, napas mereka terhenti. sang ayah meringkuk dengan kepala terkulai. si anak tergolek di paha ayahnya sambil menutup muka.

di palestina, hanya bocah beruntung yang bisa bermimpi mengibarkan bendera. sejengkal tanah yang semestinya bisa mereka pakai untuk bermain bola, sejatinya adalah lahan kuburan. para syuhada lahir dan kemudian mati. lahir dan kemudian mati lagi. intifada belum selesai, senyampang israel masih menggelar operasi langit biru, seperti ketika pekan silam mereka menggempur kawasan utara dan timur gaza.

leach walesa, pemenang hadiah nobel unuk perdamaian dan pemimpin gerakan solidaritas di polandia pernah berkata:

"aku telah membaca bill of rights seratus kali dan dan barangkali seratus kali lagi sebelum aku mati. saya sangsi apakah rakyat amerika serikat pernah menyadari, betapa diberkahinya mereka dengan [undang-undang dasar tentang hak asasi warga negara] itu. lagi pula, siapa memerlukan sebuah dokumen untuk menjamin hak-hak yang mereka telah sadari bahwa mereka mempunyainya? tanyakanlah orang-orang yang mendobrak pagar dan melompati dinding-dinding. tanyakanlah mereka yang dipisahkan oleh keluarga dan ditendang dari pekerjaannya. tanyakanlah pada rekan-rekanku sesama pekerja di galangan kapal gdansk."

"kemerdekaan," walesa melanjutkan, "barangkali memang roh dari kemanusiaan, tapi kau seringkali harus bergulat untuk membuktikannya."

suatu hari di jalur gaza. seorang ayah dan anaknya sudah membuktikan. dan mereka gagal...

Tuesday, January 03, 2006

air mata ibu

air mata selalu punya cerita sendiri. seperti juga tawa, ia memiliki alasan. di negeri ini, hidup adalah tekanan, juga desakan. bagi mereka yang tak beruntung, harapan memberat setiap detik.

sejak terjun di dunia jurnalistik, kalau tak salah, sepuluh tahun silam, saya cukup sering melihat orang menangis. dan hari ini, untuk kesekian kalinya saya melihat itu: seorang ibu separuh baya, mungkin sekitar 45 tahunan. ia ditangkap polisi selepas makan siang, karena menjadi bandar judi toto gelap. jangan bayangkan ia seorang bandar besar yang rumahnya bak istana. ibu ini, yuni namanya, bukan kelas kakap. keadaan memaksanya menjual kupon togel. suaminya tak bekerja, mungkin--saya lupa bertanya karena tak kuat--korban pemecatan atau bisa juga sudah tua dan sakit-sakitan. ada lima anak mereka yang harus diberi makan setiap hari.

negarakah yang bertanggung jawab? apa pedulinya negara ini pada orang miskin, selain menjadi komoditas saat kampanye! ok, kan ada uang 300 ribu pengganti uang bahan bakar minyak yang naik? hah! uang sebesar itu, kalaupun keluarga ini dapat (karena bisa saja tak tercatat lantaran pak lurah terlalu banyak pesanan dari mereka yang sebetulnya mampu tapi mengaku miskin), paling banter habis tak lebih dalam waktu sepekan. anehnya, di plaza senayan, seorang remaja yang gayanya mirip richie rich, bersama kawan-kawannya yang berambut mohawk, bisa menghabisan uang dalam satu jam sebesar 500 ribu rupiah.

hidup memang batu karang. keras dan menyakitkan.

saya tak pernah tahu hati kecil ibu itu, kenapa ia menangis. barangkali ia tak tahan membayangkan kelima anaknya makan apa jika dirinya ditahan. mungkin juga ia tak sanggup membayangkan suaminya yang sebentar batuk dan kelaparan.

"dulu saya dagang nasi uduk, tapi karena digrebek tramtib, saya nggak dagang lagi, saya terpaksa jualan ini (togel) untuk biaya makan sekeluarga," ibu itu dengan susah payah bicara. matanya basah. pipinya juga.

dan semua berakhir ketika polisi menggiringnya kembali masuk ke balik jeruji, sambil pura-pura tak tahu ada bandar judi besar yang layak tangkap, yang dibiarkan tetap hidup (mungkin karena ruang kapolsek atau kapolres direnovasi atas biaya mereka).

oya, pernahkah, katakanlah Anda sekali waktu baca di koran atau melihat di televisi hal seperti ini, lalu membayangkan ibu itu adalah ibu Anda sendiri? pernahkah?!

saya kehabisan kata-kata. lalu saya melangkah keluar, setengah menunduk, menghampiri mobil liputan, sambil menendang asal-asalan gelas plastik kosong, yang sebentar kemudian diambil pemulung.

di langit matahari terasa teduh. mungkin sebentar lagi jatuh gerimis...

Sunday, January 01, 2006

2006

apa
yang bisa diharapkan
dari sebuah perjalanan?
tidak ada
waktu tak pernah memberi apa-apa

lalu apa
yang bisa ditemui
pada sebuah perjalanan?
tidak ada
hari tak juga memberi apa-apa

tapi kita masih milik-Nya
dan gema azan
masih terngiang
di kelahiran kita

ada saatnya kita bahagia
ada kalanya berduka
semoga kita
bukan mereka
yang kerap lupa pada doa
untuk sekadar
bersyukur
bahwa kita masih ada...

selamat datang tahun bola!