Tuesday, September 27, 2005

batu dan bocah

bocah-bocah itu memainkan batu-batu koral
mendorong-dorongnya
membayangkan sebagai tamiya
di lorong jalan layang
ketika kota ini begitu garang memanggang

brum, brum, brum...
batu-batu tak mengeluarkan asap
seperti mobil-mobil mewah yang pongah
tak seperti metromini yang ringkih tertatih

Sunday, September 25, 2005

tahukah engkau...

ada yang kugenggam ketika malam jatuh
saat sunyi merayap
dan bulan muram di pangkuan langit

tahukah engkau tentang kesenyapan?
sewaktu hari begitu memenatkan?

semua pudar dengan sendirinya
saat kuterpejam dan membayangkan matamu...

rinai gerimis jatuh memeluk pagi
aroma tanah kering yang lembab
meruapkan kerinduan yang tak putus
aku menantimu
seperti pagi merindukan mentari
laksana malam merindukan bintang-bintang

angin, selimuti lelapku dengan memimpikannya...

sampai kapan?

lalu pagi datang dan matahari menjemput kita yang kelelahan
semalaman kita menanti hujan
dan sepercik pun kota ini tak kunjung basah
hanya embun di dedaunan
seperti biasa
menetes tak henti
seperti luka kita yang tak pernah kering

dan semuanya kian menjadi hambar
waktu yang kita jalani adalah sebuah keterpaksaan
kita tersenyum dalam perih
tergelak dalam sakit
menangis dalam tawa
sampai kapan kita bersandiwara?
sedang hati ini sudah ingin sekali berhenti

Saturday, September 24, 2005

Gagu di Kampung Kolong

Kolong jalan tol layang, suatu pagi yang basah. Sekat-sekat triplek berjajar membentuk hunian. Pengap membungkus hampir seratus keluarga yang tumpat-pedat menempati ratusan bilik seukuran separuh lapangan bulu tangkis. Nyaris di setiap ruang kosong terlihat kardus dan plastik bertumpuk. Ganco dan ransel bambu juga bertebaran di tepi comberan besar yang airnya cokelat kehitaman. Aroma yang meruap begitu khas. Barangkali bau limbah, mungkin juga semerbak tahi dan air kencing warga perumahan di kejauhan. Tapi apa penting memikirkan bau di kota yang gara-gara sejengkal tanahnya orang bisa begitu mudah mencabut parang?

Orang-orang menyebut kawasan itu Kampung Kolong, karena hunian di rongga jalur layang bebas hambatan itu memang sebuah pemukiman. Ada pengurus rukun tetangga dan warga, juga pos kamling. Bagi penghuninya, bunyi gluduk hentakan roda mobil di aspal yang menjadi atap, ibarat degup jantung yang cemas karena sewaktu-waktu rumah mereka amat mungkin diterjang buldoser pemerintah kota. Saban hari, selalu ada lagu dangdut dari transistor rongsokan, merayap masuk ke ruang tamu yang sekaligus menjadi kamar tidur. Tak boleh ada tangisan di sini. Semua harus senang meski kardus dan plastik belakangan susah dicari.

Gang atau lorong tikus yang menghubungkan antarpenghuni tercipta sendiri, mengikuti bentuk kamar triplek yang tambal sulam berjajar sembarang. Suasananya remang, karena sinar matahari cuma sampai sisi jalan. Cahaya hanya tembus samar dari celah puluhan baju, celana, dan kain basah yang tergantung pada bentangan tali rapia di bilah bambu. Dari jalan raya pengendara mobil bisa melihat pakaian-pakaian itu melambai seperti bendera berbagai negara yang tengah berkonferensi.

Lalat yang terbang bergerombol ke sana kemari menjadi hiasan sehari-hari. Ada yang hijau, kecil dan besar, melahirkan dengung yang akrab. Sesekali nemplok di tumpukan pisang dan tahu goreng di kedai milik perempuan renta yang tak pernah berhenti menyirih. Sekumpulan bocah tanpa sandal, sebagian bertelanjang dada, yang tergelak berlarian di gang selebar rentangan tangan orang dewasa adalah hiburan rutin melawan sumpek. Begitu juga dengan kartu-kartu domino di meja bekas peti buah, yang di kelilingi remaja tanggung sambil menenggak topi miring hasil saweran.

“Gembel! Mana uang kembaliannya?” Seorang perempuan tua memekik sambil mencoba menarik kaus anaknya yang berlari cuek ke penjaja gulali. “Gembel! Kemari kau! Ah, bapak dan anak sama saja kelakuannya! Awas kalau kau kembali nanti.”

“Kenapa kau bawa-bawa aku perempuan comel? Apa salahku?” Parmin, lelaki berusia sekitar enam puluhan, suami perempuan itu, bangun dari kursi reot. Derit khas rotan usang terdengar bikin ngilu telinga.

“Anakmu si Gembel sama saja modelnya dengan kau lelaki bandot. Persis! Tidak boleh melihat duit lebih, selalu saja disikatnya,” Minah, perempuan tua itu, menyerocos sambil membanting tumpukan pakaian kotor ke ember.

“Alah, sudah biar saja. Uang segitu saja kok dipermasalahkan. Sekali-kali anak diberi senang apa salahnya, sih?” Parmin berkacak pinggang sambil menarik sarungnya yang melorot. Tanpa baju, tubuhnya terlihat seperti sebilah papan.

“Heh? Hampir setiap hari anak itu mencuri kembalian belanjaan warung. Mau jadi apa kalau besar nanti? Mau jadi maling kayak bapaknya dulu?”

“Setan kau! Aku sudah bukan maling lagi sekarang.”

“Tapi dulu kau memang maling kan?”

“Hei Minah! Kalau dulu aku bukan maling. Aku tak akan bisa mencuri dirimu dari si Roib tengik.”

“Harusnya aku bisa hidup lebih baik kalau menikah dengan Roib. Sekarang dia jadi bos, punya tiga bajaj.”

“Brengsek! Kalau kau tidak diam pelacur tua, kurobek mulutmu!” Parmin meludah, menatap istrinya sambil menyentil tahi kuping sebesar biji jagung, yang baru dikoreknya dengan kelingking. Ludahnya jatuh di atas tumpukan sandal japit yang saling-silang.

Pagi di Kampung Kolong adalah jam rawan pertengkaran keluarga. Rutinitas yang datang setiap hari: sekitar pukul enam pagi, bersamaan ketika matahari datang menyapa dan wajah-wajah kusut penghuninya berebut ke kamar mandi umum.

Untuk sesaat Parmin dan istrinya terdiam. Seorang bocah yang jongkok tak jauh dari mereka, tampak asyik mencari cacing di tanah lembab dekat pintu. Cacing-cacing itu untuk santapan ikan peliharaanya.

“Bu, bagi aku dua ribu,” Seperti tak terjadi apa-apa, Parmin merajuk pada istrinya yang sibuk bercermin memerhatikan alis. Istri Parmin pura-pura tak mendengar. Duit yang diambil anaknya tadi, sebetulnya akan dia belikan pensil HB. Minah memang biasa menghitamkan alisnya yang botak dengan pensil tulis.

“Bu, mimpiku bagus semalam. Aku menggendong bayi gemuk. Kata primbon, bayi adalah simbol rejeki. Kalau bukan delapan enam, mungkin enam sembilan. Pasti kena. Yakin aku Bu. Bagi aku dua ribu. Punya kan?” Parmin mendesak, tapi Minah bergeming cemberut, persis tempelan kertas kusut yang dijadikan pelapis dinding triplek kamar.

“Bu, bagi aku dua ribu. Punya kan? Ayolah!” Parmin tak menyerah.

“Tua bangka sableng! Otakmu nomor buntut saja isinya!”

“Aduh… jangan marah-marah terus. Nanti urat lehermu putus. Kalau tembus nanti, akan kubelikan kau gelang untuk pergi kondangan. Ayo. Sekarang sudah Selasa. Ini hari terakhir. Besok sudah tidak bisa lagi dipasang. Sia-sia saja aku mimpi menggendong bayi kan?”

“Tidak ada uang! Sudah diminta Bahri buat beli Super.”

Bahri anak mereka yang nomor tiga. Abang si bocah yang sedang mencari cacing. Meski usianya baru sembilan tahun, Bahri sudah pandai merokok.

“Monyet! Kemana anak itu sekarang?”

Minah tak menyahut. Mengangkat ember, lalu pergi ke tempat mandi umum diikuti Neneng, putri pertamanya yang memang selalu membantu membilas pakaian. Tinggallah Parmin uring-uringan sambil membanting pantatnya yang tepos ke sofa koyak hasil mulung.

Mata Parmin menatap dingin si bungsu yang masih larut mencari cacing. Dilihatnya bocah itu menjatuhkan cacing satu per satu ke kaleng. Sesekali ekor matanya mengarah ke lima perempuan berdaster, yang duduk bertingkat membentuk anak tangga di kejauhan, mencari kutu. Paling depan seorang perempuan gendut, kakak si Jupri, teman mengojek payung anaknya saat datang hujan. Perempuan gendut itu duduk mengangkang. Celana dalamnya ke mana-mana. Ah, kenapa harus yang gendut yang di depan? Parmin melengos malas.

“Eh, tuyul! Dari tadi kuperhatikan cacing saja yang kau urus. Punya uang kau?”

Bocah yang dipanggil tuyul itu terkejut mendengar suara Parmin. Dia cuma menggeleng menjawab pertanyaan Parmin sambil terus mengorek tanah. Kalau tidak hujan, dia tidak punya uang. Tidak ada orang yang menyewa payung saat hari terik begini.

“Gagu sialan!” Parmin bangun, lalu pergi setelah menendang kaleng ikan milik si bocah, yang kontan panik dan segera memunguti ikan-ikannya yang gelagapan. Bayangan Parmin hilang di kelokan. Terdengar kelontang kaleng membentur dinding di tikungan. Parmin kembali menendang sesuatu.

Parmin memang kerap memanggil bocah itu dengan sebutan Gagu. Bukan tanpa alasan. Sejak dua tahun silam, bocah itu tak pernah mengeluarkan suara. Nama aslinya Kurnia, tapi karena bisu, Parmin kerap menyapa Gagu. Kurnia tak sekolah, meski usianya pantas duduk di kelas dua sekolah dasar. Kurnia selalu menjadi saksi keributan antara Parmin dan Minah. Dia hapal betul, saat sedang marah ibu kerap memanggil bapak maling. Begitu sebaliknya, bapak selalu menyebut ibu pelacur tua.

Sebetulnya Kurnia tidaklah bisu. Dia hanya malas berbicara, sebagai wujud kesalnya pada keluarga yang sudah miskin, tapi selalu ribut terus menerus. Kurnia menyaksikan bapak ibunya saling memaki setiap hari, begitu juga dengan abang-abangnya. Dia tak bisa berbuat apa-apa, meski hati kecilnya berontak melihat itu semua. Maka diamlah yang dia lakukan sejak dua tahun lalu. Dalam diam Kurnia merasa damai, walau harus rela disapa Gagu. Orang tuanya sudah membawa Kurnia berobat kemana pun, tapi percuma, karena Kurnia memang tidak sakit. Dia hanya protes entah sampai kapan.

***

“Aku yakin malam ini tidak akan terjadi apa-apa.”

“Jangan terlalu yakin, kita harus tetap waspada. Mereka bisa datang setiap saat, malah di saat kita sedang tidur.”

Malam rembang dan angin terasa dingin sisa hujan sore. Lampu teplok dan listrik berpijar menciptakan bayangan sejumlah orang yang berkumpul di kedai Mpok Sumirat. Kurnia baru pulang mengojek payung, ketika menyaksikan orang-orang itu berbincang. Kepalanya masih pusing dan perutnya lapar. Tadi Jupri memaksanya ngelem. Sialan juga si Jupri. Karena lapar, Kurnia mendekati membeli pisang goreng, berdiri di pojokan dan menyomot dua pisang goreng sambil menunggu Mpok Sumirat membikin tes manis.

“Lalu apa yang harus kita lakukan kalau mereka masuk malam ini?” Pemuda berkain sarung bertanya ke sebelahnya yang sedang menyeruput kopi.

“Ya lawan! Kok Bingung?”

“Betul, kita harus melawan! Cuma itu cara kita untuk bertahan.”

Satu per satu orang-orang di warung Mpok Sumirat berteriak sambil mengumpat. Ada yang menggebrak meja. Ada juga yang bangun dari duduk lalu berdiri sambil berkacak pinggang. Tiga pisang goreng habis sudah dilahap Kurnia, tapi dia belum juga paham topik yang diperbincangkan warga.

“Yang aku takutkan, kampung kita dibakar. Kalau itu sampai terjadi, kita semua bisa hangus!”

“Kalau sampai membakar aku rasa tidak mungkin. Mereka kan manusia juga. Apa iya mereka tega mengusir kita dengan cara seperti itu?”

“Kenapa tidak? Sudah bertahun-tahun kita di sini, dan sudah berkali-kali dibuldoser. Tapi kita tidak pernah kapok. Balik lagi ke sini, karena kita betah. Bagaimana dong? Kita kan juga tidak gratis tinggal di sini. Kita selalu bayar uang sewa ke orang kelurahan.”

Kurnia tercekat mendengar kata hangus. Dia buka telinganya lebar-lebar, agar tak terlewat setiap kata yang warga lontarkan. Kini dia mulai paham. Kampung tempat tinggalnya sedang terancam penggusuran, sesuatu yang belakangan juga dibahas kawan sebayanya. Tapi kenapa malam ini sepertinya orang-orang begitu cemas? Kurnia tiba-tiba saja teringat rumah. Terbayang tempat tinggalnya dilalap api. Terbayang pula wajah bapak, ibu, dan abang-abangnya terpanggang. Setelah membayar empat pisang dan minuman, Kurnia bergegas pulang. Lari secepat kilat.

Sesampainya di muka rumah. Dilihat ibunya tengah merapikan tumpukan pakaian, dibantu bapaknya yang sibuk mengikat sejumlah kardus seperti orang hendak pindahan. Tak seperti diduga sebelumnya, kali ini Kurnia tak melihat orang tuanya bertengkar. Parmin memang memutuskan untuk meninggalkan Kampung Kolong. Dia sulit menjamin keluarganya tetap bertahan. Dia tak ingin penggusuran menelan keluarganya tercinta, meski tak tahu akan dibawa pindah ke mana mereka.

“Bapak, Ibu! Aku tidak mau kita semua hangus terbakar,” Kurnia terbata menyapa keduanya. Parmin dan Minah menoleh bersamaan. Mereka terpana menyaksikan anak bungsu tercintanya berbicara.

Wednesday, September 21, 2005

kita

pada mulanya adalah kata
sejumput harap yang meruap
dari dada yang selalu bertanya
adakah kita menjadi kita yang sesungguhnya?

lalu pagi datang meninggalkan malam
dalam larut kita menangis
ada jejak yang terlewat dalam kelam
sesungguhnya kita tak pernah menjadi apa pun...

menanti bulan

tolong kauh buka jendela itu
sedikit saja
dan biarkan angin menyapu batinku
siapa tahu aku bisa tersenyum

di sudut malam ini
aku termangu menanti bulan
langit gelap tak memberi cahaya
ke mana bintang
sedangkan aku begitu kesunyian...

tak sedikit pun

barangkali kita hanyalah sekumpulan riak
yang tercacah di sesak hari
terjepit di antara riuh
teraniaya waktu yang tak pernah memberi jeda

kita tertatih pada jalan berkerakal
sesekali berhenti mencabut kerikil di telapak
mungkin sebentar menangis kehausan
tapi kita mesti terus berjalan

dunia, katamu sobat, tak pernah membiarkan kita menyerah
menjadi anak alam
lahir di ujung malam
bumi bunda bapak angkasa

sejenak pun
sekejap pun
tak sedikit pun
kita tak boleh berhenti

Sunday, September 18, 2005

air mata

pada mulanya adalah luka
menjelma menjadi air mata
jatuh menetes
karena kita tak lagi percaya
pada apa pun
pada siapa pun

lalu kita menjadi buta
larut dalam tanda tanya
yang tak pernah terjawab
kenapa kita bisa bersedih?
sedangkan apa pun
siapa pun
tak pernah mencoba sedikit pun memahami

dan kita terpaku
terkurung
sampai air mata kering dengan sendirinya
betapa perihnya tak mengerti
betapa sunyinya...

Friday, September 16, 2005

Gelap Kan Sirna

Satu masa
Lewat berganti
Diputar detik
Detak ku berhenti
Tiba tuk menyepi
Sendiri ku bermimpi

Luka hati
Bagai ada duri
Beragam coba
Ingin kututupi
Mataku mengabut
Teteskan kerinduan

Kasih, bayangan sedih perlahan pupus jua
Badai gelap, kini sinarkan cahaya
Sayup sepi percikan rasa damai
Pintu hati kini kubuka tuk jelang esok

Pijar api barakan dendamku
Getaran cinta, padamkan kembali
Namamu menyusup
Bisikan lirikku, menggapaimu

Thursday, September 15, 2005

Sepasang Mata Manik Ayu

Perempuan itu meletakkan gelas di atas meja kecil di sudut kamar. Teh manis panas yang direguk sedikit, sejenak mampu melumatkan penat yang mengendap. Setelah menyalakan lampu meja rias, bercermin sambil melepas kuncir yang membelit rambut lurusnya sepundak, mulailah ia membuka helai demi helai pakaian. Badannya terasa lengket, mungkin mandi akan membuat segar. Seharian ini dia larut syuting program menyambut bulan suci Ramadan untuk stasiun televisi tempatnya bekerja. Sebagai koordinator tim kreatif, dia harus menyelesaikan paket jauh hari sebelum bulan puasa datang. Sudah menjadi rutinitasnya terlibat sampai selesai sebuah proyek. Dan itu benar-benar melelahkan. Maka satu-satunya yang membuat lega adalah ketika sampai di rumah. Kini saatnya memanjakan tubuh, berendam sambil membaca asterix diselingi alunan pelan instrumen klasik.

Tapi baru dua langkah menuju kamar mandi, perempuan itu berhenti. Bunyi telepon genggamnya memaksa dia membalik badan ke meja rias, tempat teleponnya diletakkan.

"Manik Ayu?"

"Iya, siapa ini?"

"Hm, akhirnya. Kamu nggak kenal saya, tapi saya betul-betul senang bisa mendengar suaramu."

Perempuan yang memang bernama Manik Ayu itu terdiam. Dia berpikir, lelaki di seberang sana pasti orang iseng dan karena itu mematikan telepon mungkin tak ada salahnya. Tapi, seolah tahu apa yang dipikirkan Manik Ayu, lelaki itu menukas cepat.

"Jangan tutup teleponnya. Saya cuma ingin kenal."

"Ini siapa sih?"

"Gilank Balindra."

"Apa Balindra?"

"Gilank."

"Gila?"

"Gilank!"

"Oh, saya nggak kenal."

Klik. Telepon Mati. Manik Ayu bergegas ke kamar mandi. Tapi teleponnya bunyi lagi. Manik Ayu melihat sebentar. Nomor yang tadi menelponnya. Dia pun mengangkat tanpa bersuara.

"Kok dimatiin sih?"

Klik. Lagi-lagi telepon dimatikan Manik Ayu. dan dia kembali menuju kamar mandi. Tapi teleponnya bunyi lagi. Hm, bimbang sebentar, Manik mengangkat lagi. Masih nomor yang sama.

"Tolong jangan ditutup lagi. Kamu memang nggak kenal saya, tapi saya ingin sekali kenal kamu. Boleh kan?"

"Kamu siapa sih?"

"Sudahlah, nama saya tidak penting. Yang penting, boleh nggak saya kenal kamu?"

"Nggak."

Klik. Kali ini Manik Ayu tak cuma mematikan tombol jawab, tapi juga mematikan powernya. Kini dia bisa ke kamar mandi dengan tenang.


Setelah hampir tiga puluh menit mandi, telepon genggamnya pun kembali dinyalakan. Seketika sejumlah pesan singkat masuk. Dari nomor yang tadi menelepon. Isinya singkat. jangan sok kecakepan deh. saya cuma mau kenal. izinkan saya ngobrol sebentar.

Sialan. Manik Ayu menahan geram. Dia membalas cepat pesan itu, mengizinkan lelaki itu menelpon. Sambil mengenakan pakaian, Manik Ayu menunggu. Tanpa menanti lama, telepon genggamnya pun berdering.

"Terima kasih. Sekarang langsung saja. Boleh saya menikah dengan kamu?"

Sejujurnya Manik Ayu kaget, tapi dia mencoba tenang. Dia cuma diam.

"Hei, boleh? Jawab dong."

Manik Ayu menarik napas, "kamu tuh tahu nomor saya dari mana sih?"

"Gampang kok. Orang semenarik kamu pasti banyak yang punya nomor teleponnya."

Kembali Manik Ayu melenguh. Dorongan kuat untuk mematikan telepon kalah dengan rasa penasarannya.

"Manik Ayu Sartika Dewi. Namamu bagus sekali ya? Pas sekali dengan wajahmu yang cantik."

"Gombal banget. Kamu siapa sih? Nggak usah aneh-aneh deh." Sejujurnya Manik Ayu terperanjat. Jarang ada orang yang tahu kepanjangan namanya.

"Kan tadi sudah dijawab, saya Gilank Balindra."

"Maksud saya, kamu tuh teman kerja saya atau cuma orang iseng yang lagi nggak ada kerjaan?"

Lelaki di seberang sana tergelak. Tawanya yang renyah terdengar enak di telinga Manik Ayu. Tanpa sadar suara lelaki aneh itu telah membuatnya betah menahan telepon untuk tetap hidup.

"Nggak penting saya ini teman kerja atau bukan. Nggak penting juga saya ini orang iseng atau bukan. Jauh lebih penting adalah bagaimana caranya saya bisa nggak terus menerus terganggu matamu."

"Maksud kamu?"

"Matamu indah sekali Manik Ayu. Saya sebetulnya orang yang nggak pernah percaya jatuh hati saat pandangan pertama, tapi lewat matamu saya harus meralat keyakinan itu. Saya jadi percaya bahwa ternyata pandangan pertama bisa juga membuat hati saya terusik."

"Saya tak mengerti." Manik Ayu berbohong. Sesungguhnya dia paham, kata-kata yang keluar dari lelaki itu menunjukkan ketertarikan pada dirinya, sesuatu yang sebetulnya tak mengejutkan. Banyak sudah lelaki terpikat lewat bola matanya yang, kata orang, sungguh indah. Bagi Manik Ayu, matanya biasa-biasa saja. Dia tak merasa matanya menarik, malah dia benci dengan bulatannya yang terlihat besar. Alisnya yang legam halus seperti barisan semut, juga tak sampai dirawatnya secara khusus. Lelaki memang sering tak masuk akal saat menyukai perempuan.

"Gini deh. Singkat saja, saya suka kamu sedetik setelah saya melihat matamu. Seharian tadi saya benar-benar menikmati betul kesibukan kamu syuting. Saya menyukaimu dan tanpa ragu-ragu saya merasa jatuh hati setelah mengamatimu diam-diam,"

Manik Ayu ingin menyelak, tapi akhirnya dia memilih diam. Dia mencoba mengingat-ingat, sosok yang memperhatikan dirinya diam-diam saat syuting siang tadi. Ah, bukan soal mudah, karena cukup banyak kru yang terlibat. Lelaki ini benar-benar mengunci dirinya agar terus memasang telinga mendengar ocehannya. Keinginan kuat untuk menelpon benar-benar tak sanggup dia lakukan. Lelaki di seberang sana tak bisa dipungkiri mampu memancing rasa penasaran.

"Manik Ayu?"

"Ya?"

"Nggak ada salahnya kan saya kenal kamu?"

"A e gi duh, kamu siapa sih?"

"Nanti juga kamu akan tahu sendiri. Sudah dulu ya, nanti akan saya telepon kamu lagi. Terima kasih sudah mau angkat telepon saya. Selamat malam cantik..."

"Hei, tung..."

Terlambat. Lelaki di seberang sana sudah memutus telepon. Dan Manik Ayu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

"Orang gila..." Manik Ayu membalik badan sambil melangkah ke kamar mandi.

***

Hujan malam ini semestinya bisa jadi pengantar Manik Ayu untuk tidur. Udara dingin dan tenang. Tapi meski sudah bersembunyi di balik selimut, mata Manik Ayu tak kunjung terpejam. Dia seperti menunggu sesuatu. Menanti sebuah rutinitas yang selama hampir tiga pekan terakhir berlangsung. Selama itu pula Manik Ayu memang larut dalam sebuah perbincangan dengan lelaki misterius yang kerap menghubunginya tengah malam lewat telepon.

Selama itu pula dia tak pernah merasa terganggu. Padahal, dia sama sekali tak mengenal lelaki itu. Wujudnya seperti apa pun dia tak tahu. Tapi dalam ketidaktahuan itu justru dada Manik Ayu tergetar. Tak pernah seumur hidupnya kenal lelaki sinting yang tiba-tiba saja mengajaknya menikah. Bertemu pun belum. Berbincang empat mata apalagi. Anehnya, kesintingan itu pula yang membuatnya terpenjara pada rasa penasaran. Dan malam ini lelaki itu akan memberinya sebuah puisi dengan judul sepasang mata. Tapi mana?

Jarum jam di dinding menapak di angka satu. Biasanya, telpon genggamnya sudah berbunyi. Berkali-kali Manik Ayu melihat layar telepon genggamnya. Berharap dering yang selalu mengusiknya di ujung malam terdengar. Semenit, lima menit, tigapuluh menit, satu jam, ponselnya tak juga bunyi. Manik Ayu gelisah. Mencoba menelpon, gengsinya masih jauh lebih besar. Dia tak ingin lelaki yang entah dari mana itu tahu bahwa diam-diam dia mulai menyukai.

Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Manik Ayu langsung menyambar dan tanpa melihat lagi nama si penelpon, dia langsung menekan tombol jawab.
"Hei, kok lama sih?"
"Hallo dengan Manik Ayu?"

Manik Ayu tercekat. Suara di seberang sana bukan suara yang telah akrab selama tiga pekan terakhir, tapi suara perempuan. Siapa? Manik Ayu menahan diri untuk tak bersuara.

"Manik Ayu?"

Perempuan di seberang sana menyapa, tapi Manik Ayu bergeming. Tanpa pikir panjang, telepon pun dia matikan. Wajahnya cemberut, tarikan bibirnya menyisakan garis tipis di pipi. Sesungguhnya dia benar-benar kesal. Lelaki yang ditunggu-tunggu tak kunjung menelpon. Sekalinya bunyi, malah orang lain yang menelepon, perempuan pula.

Setengah jam sudah Manik Ayu diam. Matanya tak bisa lepas dari telepon genggamnya yang berkali-kali berdering. Dia tak mengangkat, karena nama yang terbaca bukanlah nama lelaki itu. Manik Ayu tak habis pikir. Malam ini teleponnya berdering sampai lebih dari sebelas kali. Nomornya pun tak dikenal. Sebetulnya bisa saja dia menjawab, tapi itu tak dilakukan. Harapannya cuma satu: telepon genggamnya bunyi dan tertulis nama lelaki itu.

Mungkin karena lelah pula hingga pada akhirnya Manik Ayu lelap dengan sendirinya. Tepi langit perlahan memerah. Pagi datang dan matahari tebrit mencium tanah. Kicau burung terdengar riang bersahutan. Sinar matahari masuk menerobos lewat kaca jendela yang tak sempat ditutup Manik Ayu semalam, menampar wajah perempuan berbulu mata lentik itu hingga membuatnya terbangun. Sebetulnya terlalu cepat dia terbangun, karena semalam dia tidur cukup larut.

Setelah mengucek-ucek mata sebentar, Manik Ayu bangun langsung mengambil telepon genggamnya. Ada 21 kali missed called dari nomor yang sama. Gila. Kantuk Manik Ayu benar-benar hilang. Selain panggilan tak terjawab ada pula sebuah pesan singkat, dari nomor itu. Dengan dingin, Manik Ayu membuka pesan itu. Tapi awal kalimat itu membuatnya hanya bisa diam seribu bahasa.

Innalilahi wainailaihi roji'un... Telah berpulang Gilank Balindra, semalam, karena kecelakaan. Saya temannya, maaf terpaksa lewat sms karena semalam telepon tak dijawab-jawab. Almarhum akan dimakamkan siang ini. Apakah bisa ketemu? Ada puisi tentang sepasang mata yang dititipkan Gilank buat kamu.


Udara kedap seketika. Kicau burung yang tadi terdengar riang seolah pergi entah ke mana. Di luar, mendadak gerimis datang. Rinainya membasahi kaca jendela, menyisakan bintik-bintik, seperti air mata yang jatuh di pipi Manik Ayu.

***
abis ngerjain tabir, buka blog.setan! hahahaha... sekarang giliran sms gue! hahahaha... sarap! makan dulu ah cuy! musti direvisi nih... kurang asik.

kita masih punya doa, katamu

tapi aku bukanlah burung
yang mampu terbang memecah awan berarak
menelan angin dalam dingin hujan
memetik bintang-bintang berpendaran
sekedar memastikan hari ini masih indah

kita masih punya doa, katamu
terbanglah dengan dada tergetar
mungkin sambil menangis
sesekali bersedih tak apa

lalu aku cuma diam
pada apa
pada siapa
aku tak pernah paham sesungguhnya
dari jejak tapak yang tertinggal
keindahan yang kudapat adalah warna hitam
warna hitam yang kuterima adalah kabar duka

tapi kita masih punya doa, katamu

Tuesday, September 13, 2005

di pucuk dedaun teh

di antara pucuk rimbun dedaunan teh
di sela gelombang bukit
aku menghirup udara pagi
dengan hati yang tak menginginkan apa-apa

lihatlah puluhan perempuan-perempuan bercaping itu, sobat
mengular memetik bunga-bunga sambil tersenyum
dan bernyanyi indonesia pusaka
menutup lelah dengan gelak dan tawa

aku terpesona
larut dalam indahnya kesabaran
yang barangkali kerap kita tinggalkan...

Saturday, September 10, 2005

manik ayu

pada matamu aku runtuh
dedaunan luruh
senja hari
dari pucuk-pucuk ranting kering

detik menjadi hening
malam membuatku bergeming
aku tak tahu

tolong ceritakan saja larikmu
sebait saja tak mengapa
wahai mata yang mengganggu...

pada auramu aku tergetar
pasir memudar
pagi hari
dari malam yang menciut

waktu menjadi kedap
matamu datang mengendap
aku tak paham

tolong uraikan saja nadamu
seuntai saja tak mengapa
duhai hati yang mengusik...

padamu manik ayu
aku terhanyut

Thursday, September 08, 2005

dan pada akhirnya

pada akhirnya
aku menyentuh sebuah batas
ketika aku tak lagi punya pilihan
terus melaju atau berhenti
dan tanpa perlu mencari jawabnya
aku tebentur pada limit

laut selalu punya tepi
begitu juga mungkin sebuah kesabaran
aku tak pernah sanggup sebetulnya
tapi sendiri mungkin jalan keluar
biar saja sepi menemani
sunyi mengurung diri

seperti biasa
seperti kita tak pernah saling tersenyum menanti pagi

Wednesday, September 07, 2005

"@#$%^&*#$%"

fiuh...
pagi-pagi udah basah mata hanya karena ngeliat dua cowok tanggung, mungkin baru lulus smu, kebingungan nyari alamat tempat ngelamar kerja... celingak-celingkuk di dalam mikrolet, matanya panik... kemeja hitam putih, sepatu bapak-bapak, duh... "@#$%^&*#$%"

seperti ketika aku...

dan pada dedaunan yang gugur ditiup angin, aku hanya terpaku menatap senja. sendiri saja, memeluk dingin yang tak tercatat pada termometer, seperti ketika telingaku tak pernah mendengar suara dan gelak tawamu.

dan di tengah laut, yang kulihat cuma perahu mengecil, ditelan merah matahari yang perlahan tenggelam. kaki langit yang sunyi, seperti dulu ketika hatiku tak terisi suara dan gelak tawamu.

kita barangkali memang tak akan pernah selesai, tapi di senja ini aku sepenuhnya melontar tanya, telah berakhirkah ini saat sedikit pun aku tak lagi kau hiraukan? aku hanya lelaki dengan seribu kedunguan, maka izinkan kulafazkan sejuta maaf untuk batinmu.

burung terbang sunyi sendiri. menelan langit malam yang terkurung hujan. aku tak kuasa menahan basah bola mata. dan kuikhlaskan engkau pergi, kan kukenang engkau lewat senyum lelaki kecilmu yang selalu kugenggam dalam hati.

Tuesday, September 06, 2005

pulang kerja

kucing hutan ibu dan anak berang-berang
tikus salju dan harimau kumbang berwarna cokelat
mereka berkelahi untuk kehidupan
yang aku rasakan adalah keseimbangan

kucing hutan lari karena kalah berkelahi
ibu berang-berang pulang ke rumah
kucing hutang bertemu tikus salju
ibu berang-berang bercanda dengan anak-anaknya

karena lapar kucing hutan menerkam tikus salju
tikus salju malah mendapatkan teman
kucing hutan yang gagal, gagal lagi
tikus salju biasa saja
sudah nasibnya selamat

dari balik bukit di kaki cemara
aku melihat mulut harimau berlumuran darah
kucing hutan yang gagal
ia terkapar
akhirnya mati

sudah takdir harimau mendatangi berang-berang
tetapi berang-berang sudah pulang
sementara tikus salju
entah pergi ke mana
harimau itu kesepian

aku terkesima
aku terkesima
aku terkesima
terkesima

duhai langit
duhai bumi
duhai alam raya
kuserahkan langkahku padamu

duhai ada
duhai tiada
tersimpan
kupercaya

biarkan aku...

anggap saja kita tak pernah saling kenal
menghilanglah
dengan cara menyakitkan sekalipun
tak kan menangis aku
dan bila basah mataku
tak tahu aku maknanya
entahlah kesedihan
ataulah amarah

lalu biar saja semua seperti semula
sebelum dedaunan bermekaran
jauh ketika bunga-bunga rindu masih menguncup
tak kan kecewa aku
tapi bila berdarah hatiku
tak tahu aku artinya
entahlah kegalauan
ataulah kebencian

yang kutahu
kau pergi begitu saja
memunggungi tanpa sepatah kata
menyisakan keterpanaan panjang
setelah segalanya menjelma menjadi mimpi

sampai detik ini
ketika beranda malam memekat
dan lampu kota menemaram
jalan-jalan melengang
aku tak pernah menemukan jawabnya

lihatlah manis
aku tak menangis
aku tak kecewa
mungkin karena
tak lagi bisa aku merasakan apa pun

biarkan aku...

Monday, September 05, 2005

kenapa?

tiba-tiba aku menjadi kayu
yang rapuh dipapak ngengat
di depan buram
pandangku samar
dan aku tak bisa mengurai sedikit pun tentang makna itu

jalan itu tak lagi lengang
ramai mengisi
tapi sunyi tak pernah berubah
selalu begitu setiap kecewa datang
dan aku tak mampu mengupas secuil pun tentang makna itu

berselimut dingin
aku terpana pada jeda
kenapa?
kenapa?
kenapa?
cuma itu yang terucap, ketika senja jatuh menjemput malam...

Sunday, September 04, 2005

mimpi membuatku tak berani

di sudut itu tak ada lagi terang
kering
udara beku dalam hening
meyisakan tanda tanya
dengan lengkung yang besar

di ruang itu tak lagi pantas aku berharap
hambar
relung basah air mata
menorehkan titik
dengan bulatan yang besar

lihatlah malam lebih pekat dari biasanya
tidakkah kau takut?
terus terang aku ngeri

mimpi membuatku tak berani tidur malam ini...