Wednesday, April 20, 2005

Gagu di Kampung Kolong

Kolong jalan tol layang, suatu pagi yang basah. Sekat-sekat triplek berjajar membentuk hunian. Pengap membungkus hampir seratus keluarga yang tumpat-pedat menempati ratusan bilik seukuran separuh lapangan bulu tangkis. Nyaris di setiap ruang kosong terlihat kardus dan plastik bertumpuk. Ganco dan ransel kulit bambu juga bertebaran di tepi comberan besar yang airnya cokelat kehitaman. Aroma yang meruap begitu khas. Barangkali bau limbah, mungkin juga semerbak tahi dan air kencing warga perumahan di kejauhan. Tapi apa penting memikirkan bau di kota yang gara-gara sejengkal tanahnya orang bisa begitu mudah mencabut parang?

Orang-orang menyebut Kampung Kolong, karena memang hunian di rongga jalur layang bebas hambatan itu mirip sebuah kampung. Ada pengurus rukun tetangga dan warga, juga pos kamling. Bagi penghuninya, bunyi gluduk hentakan roda mobil di aspal yang menjadi atap, ibarat degup jantung yang cemas karena sewaktu-waktu rumah mereka amat mungkin diterjang buldoser pemerintah kota. Saban hari, selalu ada lagu dangdut dari transistor rongsokan, merayap masuk ke ruang tamu yang sekaligus menjadi kamar tidur. Tak boleh ada tangisan di sini. Semua harus senang meski kardus dan plastik belakangan susah dicari.

Gang atau lorong tikus yang menghubungkan antarpenghuni tercipta sendiri, mengikuti bentuk kamar triplek yang tambal sulam berjajar sembarang. Suasananya remang, karena sinar matahari cuma sampai di sisi jalan. Cahaya hanya tembus samar dari celah puluhan baju, celana, dan kain basah yang digantung pada seutas rapia di bilah bambu. Dari jalan raya pengendara mobil bisa melihat pakaian-pakaian itu melambai seperti bendera berbagai negara yang tengah berkonferensi.

Lalat yang terbang bergerombol ke sana kemari menjadi hiasan sehari-hari. Ada yang hijau, kecil dan besar, melahirkan dengung yang akrab. Sesekali nemplok di tumpukan pisang dan tahu goreng di kedai milik perempuan renta yang tak pernah berhenti menyirih. Sekumpulan bocah tanpa sandal, sebagian bertelanjang dada, yang tergelak berlarian di gang selebar rentangan tangan orang dewasa adalah hiburan rutin melawan sumpek. Begitu juga dengan kartu-kartu domino di meja bekas peti buah, yang di kelilingi remaja tanggung sambil menenggak topi miring hasil saweran.

“Gembel! Mana uang kembaliannya?” Seorang perempuan tua memekik sambil mencoba menarik kaus anaknya yang berlari cuek ke penjaja gulali. “Gembel! Kemari kau! Ah, bapak dan anak sama saja kelakuannya! Awas kalau kau kembali nanti.”

“Kenapa kau bawa-bawa aku perempuan comel? Apa salahku?” Parmin, lelaki berusia sekitar enam puluhan, suami perempuan itu, bangun dari kursi reot. Derit khas rotan usang terdengar bikin ngilu telinga.

“Anakmu si Gembel sama saja modelnya dengan kau lelaki bandot. Persis! Tidak boleh melihat duit lebih, selalu saja disikatnya,” Minah, perempuan tua itu, menyerocos sambil membanting tumpukan pakaian kotor ke ember.
“Alah, sudah biar saja. Uang segitu saja kok dipermasalahkan. Sekali-kali anak diberi senang apa salahnya, sih?” Parmin berkacak pinggang sambil menarik sarungnya yang melorot. Tanpa baju, tubuhnya terlihat seperti sebilah papan.

“Heh? Hampir setiap hari anak itu mencuri kembalian belanjaan warung. Mau jadi apa kalau besar nanti? Mau jadi maling kayak bapaknya dulu?”

“Setan kau! Aku sudah bukan maling lagi sekarang.”

“Tapi dulu kau memang maling kan?”

“Hei Minah! Kalau dulu aku bukan maling. Aku tak akan bisa mencuri dirimu dari si Roib tengik.”

“Harusnya aku bisa hidup lebih baik kalau menikah dengan Roib. Sekarang dia jadi bos, punya tiga bajaj.”

“Brengsek! Kalau kau tidak diam pelacur tua, kurobek mulutmu!” Parmin meludah, menatap istrinya sambil menyentil tahi kuping sebesar biji jagung, yang baru dikoreknya dengan kelingking. Ludahnya jatuh di atas tumpukan sandal japit yang saling-silang.

Pagi di Kampung Kolong adalah jam rawan pertengkaran keluarga. Rutinitas yang datang pada waktu yang selalu sama setiap hari: sekitar pukul enam pagi, bersamaan ketika matahari datang menyapa dan wajah-wajah kusut penghuninya berebut ke kamar mandi massal.

Untuk sesaat Parmin dan istrinya terdiam. Seorang bocah yang jongkok tak jauh dari mereka, tampak asyik mencari cacing di tanah lembab dekat pintu. Cacing-cacing itu untuk santapan ikan pemberian abangnya. Sudah empat cacing dia dapatkan.

“Bu, bagi aku dua ribu,” Seperti tak terjadi apa-apa, Parmin merajuk pada istrinya yang sibuk bercermin memerhatikan alis. Dia pura-pura tak mendengar. Duit yang diambil anaknya tadi, sebetulnya akan dia belikan pensil HB. Minah memang biasa menghitamkan alisnya yang botak dengan pensil tulis.

“Bu, mimpiku bagus semalam. Aku menggendong bayi gemuk. Kata primbon, bayi adalah simbol rejeki. Kalau bukan delapan enam, mungkin enam sembilan. Pasti kena. Yakin aku Bu. Bagi aku dua ribu. Punya kan?” Parmin mendesak, tapi istrinya bergeming dengam wajah cemberut, persis tempelan kertas kusut yang dijadikan pelapis dinding triplek kamar.

“Bu, bagi aku dua ribu. Punya kan? Ayolah!” Parmin tak menyerah.

“Tua bangka sableng! Otakmu nomor buntut saja isinya!”

“Aduh… jangan marah-marah terus. Nanti urat lehermu putus. Kalau tembus nanti, akan kubelikan kau gelang untuk pergi kondangan. Ayo. Sekarang sudah Selasa. Ini hari terakhir. Besok sudah tidak bisa lagi dipasang. Sia-sia saja aku mimpi menggendong bayi kan?”

“Tidak ada uang! Sudah diminta Bahri buat beli Super.”

Bahri anak mereka yang nomor tiga. Abang si bocah yang sedang mencari cacing. Meski usianya baru sembilan tahun, Bahri sudah pandai merokok.

“Monyet! Kemana anak itu sekarang?”

Minah tak menyahut. Mengangkat ember, lalu pergi ke tempat mandi umum diikuti Neneng, putri pertamanya yang memang selalu membantu Minah membilas pakaian. Tinggallah Parmin uring-uringan sambil membanting pantatnya yang tepos ke sofa koyak hasil mulung.

Bocah itu masih larut mencari cacing. Satu per satu dia menjatuhkan cacing tangkapannya ke kaleng tempat ikan. Sesekali ekor matanya mengarah ke lima perempuan berdaster, yang duduk bertingkat di kejauhan membentuk anak tangga, mencari kutu. Paling depan seorang perempuan gendut, kakaknya Jupri, teman si bocah mengojek payung kalau datang hujan. Perempuan gendut itu duduknya ngangkang. Celana dalamnya ke mana-mana. Ah, kenapa harus yang gendut yang di depan? Bocah itu melengos malas.

“Eh, tuyul! Dari tadi kuperhatikan cacing saja yang kau urus. Punya uang kau?”

Suara Parmin tiba-tiba mengejutkan si bocah.

Menjawab pertanyaan bapaknya, bocah itu cuma menggeleng sambil terus mengorek tanah. Kalau tidak hujan, dia tidak punya uang. Tidak ada orang yang menyewa payung saat hari terik begini.

“Gagu Brengsek!” Parmin bangun, lalu pergi setelah sebelumnya menendang kaleng ikan milik bocah itu, yang kontan panik dan segera memunguti ikan-ikannya yang gelagapan. Bayangan Parmin hilang di kelokan. Terdengar klontang kaleng membentur dinding di tikungan.

Bocah itu memang kerap dipanggil Gagu, karena dua tahun terakhir dia tak pernah mengeluarkan suara. Bocah itu sebetulnya bernama Kurnia, tapi karena bisu, dia disapa Gagu. Tak sekolah, meski usianya pantas untuk duduk dikelas dua sekolah dasar. Kurnia selalu menjadi saksi keributan antara bapak dan ibunya. Dia hapal betul, saat sedang marah ibu kerap memanggil bapak maling. Begitu sebaliknya, bapak selalu menyebut ibu pelacur tua.

Sebelum menikahi Minah, Parmin memang maling. Hampir setiap pekan dia menyelinap ke rumah orang-orang kaya, mencuri televisi dan uang. Sejak tertangkap, kakinya ditembak, dipenjara selama tujuh tahun lebih, Parmin kapok dan tak pernah lagi menjadi maling. Begitu keluar penjara, Parmin bertemu Minah yang bekerja di kompleks pelacuran. Kata orang, dulu Minah primadona hidung belang.

Sebetulnya Kurnia tak mengidap penyakit apa pun. Dia hanya malas bicara. Wujud kesalnya pada keluarga yang sudah miskin, tapi selalu ribut terus menerus. Kurnia menyaksikan bapak ibunya saling memaki setiap hari, begitu juga dengan abang-abangnya. Kurnia tak bisa berbuat apa-apa, meski hati kecilnya berontak melihat keluarganya yang selalu dikecamuk pertengkaran. Maka diamlah yang dia lakukan sejak dua tahun lalu. Dalam diam Kurnia merasa damai, meski harus rela disapa Gagu. Orang tuanya sudah membawa Kurnia berobat kemana pun, tapi percuma, karena Kurnia tidak sakit. Dia hanya protes entah sampai kapan.

***

“Aku yakin malam ini tidak akan terjadi apa-apa.”

“Jangan terlalu yakin, kita harus tetap waspada. Mereka bisa datang setiap saat, malah saat kita sedang tidur.”

Malam rembang dan angin dingin sisa hujan datang. Gelap menyergap Kampung Kolong. Lampu teplok dan listrik berpijar menciptakan bayangan di tanah sejumlah orang yang berkumpul di kedai Mpok Sumirat. Kurnia baru pulang mengojek paying, ketika menyaksikan orang-orang itu berbincang. Kepalanya masih pusing dan perutnya lapar. Tadi Jupri memaksanya ngelem, meski sudah sekuat tenaga dia menolak. Sialan juga si Jupri. Karena lapar, Kurnia mendekat membeli pisang goreng, berdiri di pojokan dan menyantapnya sambil menunggu Mpok Sumirat membikinkan tes manis hangat.

“Lalu apa yang harus kita lakukan kalau mereka masuk malam ini?” Pemuda berkain sarung bertanya ke sebelahnya yang sedang menyeruput kopi.

“Ya lawan! Kok Bingung?”

“Betul, kita harus melawan! Cuma itu cara kita untuk bertahan.”

Satu per satu orang-orang di warung Mpok Sumirat berteriak sambil mengumpat. Ada yang menggebrak meja. Ada juga yang bangun dari duduk lalu berdiri sambil berkacak pinggang. Dua pisang goreng habis sudah dilahap Kurnia, tapi dia belum juga paham topik yang diperbincangkan warga.

“Yang aku takutkan, kampung kita dibakar. Kalau itu sampai terjadi, kita semua bisa hangus!”

“Kalau sampai membakar aku rasa tidak mungkin. Mereka kan manusia juga. Apa iya mereka tega mengusir kita dengan cara seperti itu?”

“Kenapa tidak? Sudah bertahun-tahun kita di sini, dan sudah berkali-kali kita dibuldoser. Tapi kita tidak pernah kapok. Balik lagi ke sini, karena kita betah. Bagaimana dong? Kita kan juga tidak gratis tinggal di sini. Kita selalu bayar uang sewa ke orang kelurahan.”

Kurnia tercekat mendengar kata hangus. Dia buka telinganya lebar-lebar, agar tak terlewat setiap kata yang warga lontarkan. Kini dia mulai paham. Kampung tempat tinggalnya sedang terancam penggusuran, sesuatu yang juga dibahas kawannya sebaya. Tapi kenapa malam ini sepertinya orang-orang begitu cemas? Kurnia tiba-tiba saja teringat rumah. Terbayang tempat tinggalnya dilalap api. Terbayang pula wajah bapak, ibu, dan abang-abangnya hangus. Setelah membayar empat pisang dan minuman, Kurnia bergegas pulang. Lari secepat kilat.

Sesampainya di muka rumah. Dilihat ibunya tengah merapikan tumpukan pakaian, dibantu bapaknya yang sibuk mengikat sejumlah kardus seperti orang hendak pindahan. Kali ini Kurnia tak melihat orang tuanya bertengkar. Tak seperti yang sudah dia duga sebelumnya. Parmin memang memutuskan untuk meninggalkan Kampung Kolong. Sulit menjamin keluarganya untuk tetap bertahan. Dia tak ingin penggusuran menelan keluarganya tercinta, meski dia tak tahu akan pindah ke mana setelah dari Kampung Kolong.

“Bapak, Ibu! Aku tidak mau kita semua hangus terbakar,” Kurnia terbata menyapa keduanya. Parmin dan Minah menoleh bersamaan. Mereka hanya bisa diam menyaksikan anak bungsu tercintanya mengeluarkan suara.