Saturday, September 18, 2004

aRgh!

LELAKI itu pulang membawa hati yang tersayat. Enam bulan lamanya dia dikurung di ruang yang pengap. Tanpa matahari dan bulan, juga awan dan biru langit. Tak ada pula kicau burung atau gemerisik dedaunan. Ruangan gelap penuh nyamuk, yang lantainya selalu basah kencing tikus. Kala hujan datang, dari ruang itu dia cuma bisa mendengar gemuruh petir. Sulit baginya memastikan datangnya pagi atau malam. Ruang yang meringkihkan tubuhnya seperti gagang sapu lantai. Masih terlihat jelas jempol kakinya rusak karena ditindih kaki kursi yang diduduki.

Seminggu lalu keajabain itu datang. Dia bebas. Kini, di muka rumah yang pintunya bertuliskan teroris, lelaki itu bersujud mencium tanah. Dia tahu, tulisan arang sisa kayu yang dibakar itu ditujukan untuk dirinya. Akan tetapi dia tak marah. Sudah kebal dia dicap sebagai teroris--kata yang sebetulnya sama sekali tak dia mengerti. Lagi pula, dengan alasan yang juga membingungkan, sejak dia diculik sejumlah lelaki bertopeng pada suatu pagi buta, predikat itu sudah cukup lekat di jidatnya. Label yang merobek kebebasannya sebagai manusia selama enam bulan terakhir, yang membuat nalarnya tak sampai memahami di titik mana sesungguhnya kebenaran berdiri.

Dalam sujud, lirih terdengar dia sesegukan. Awalnya memang terdengar lemah, lama-kelamaan suaranya meraung. Dia berteriak sejadi-jadinya sambil mencakar tanah dengan kuku jemari, menyisakan guratan amarah yang kacau. Tetes air mata di pipinya, menyisakan bercak rindu yang begitu lama terpendam. Dia ingin bertemu ibunya, tetapi rumah itu sudah kosong. Rongga jendelanya berhias sarang laba-laba. Temboknya penuh coretan kata-kata kasar. Kaca-kacanya pecah. Rumah itu lebih mirip sarang setan ketimbang hunian manusia.

Mungkin ibu pergi karena tak tahan menanggung malu dan cibiran tetangga. Mungkin juga ibu diusir. Lelaki itu membatin. Dadanya nyeri. Sejak dia diculik, warga sekitar memang melabrak tempat tinggalnya. Tak sampai dibakar, memang. Mereka hanya mencoreti dinding, memukul kaca jendela dengan benda apa pun yang keras. Setelah itu ibunya menghilang entah ke mana. Tak jelas betul diusir atau pergi sendiri.

Sesungguhnya, saat menuju pulang, dia yakin ibunya tak ada. Toh, dia hanya ingin mencoba, sekadar meyakinkan diri bahwa ibunya memang benar-benar tak lagi menempati rumah yang menjadi tempat masa kecilnya tumbuh.

Lelaki itu masih bersimpuh. Dia tak lagi menjerit. Di kejauhan, tepian langit dironai jingga yang memanjang. Senja perlahan menipis, bersamaan gerombolan kelelawar yang pulang. Azan maghrib di surau dekat simpang jalan, seolah mengantar hari ini ke gerbang malam.

Lelaki itu bangkit dari sujud. Bayangan ibunya muncul di depan mata. Tersenyum mengusap-usap kepalanya sambil memeluk. Setelah menghela napas panjang, dia berdiri. Pergi meninggalkan rumahnya yang porak-poranda.

Sendiri lelaki itu menyusuri jalan. Setiap kali melewati rumah tetangga, selalu dia dikejutkan bantingan daun jendela atau pintu. Begitu pula saat berpapasan dengan warga, sudut matanya kerap menangkap orang-orang memalingkan wajah sambil menutup hidung. Bahkan ada juga yang meludah. Lelaki itu tak geram atau sedih. Predikatnya sebagai teroris membuatnya mahfum orang-orang bersikap demikian.

Lelaki itu terus melangkah. Belok ke kiri, kanan, kiri lagi, lurus, kanan lagi, tanpa henti. Melewati lorong demi lorong jalan, melintasi sungai yang penuh jamban di tepi kota, melewati gedung demi gedung pencakar langit yang sombong.

Berjam-jam lelaki itu berjalan, hingga tiba di jalan raya yang gaduh, yang penuh dengan orang-orang tak sabar. Di trotoar dekat jembatan penyeberangan, lelaki itu berhenti. Dia berdiri tegak menghadap gedung tinggi yang pernah hancur terkena ledakan bom. Ledakan yang membuat hidupnya bak mimpi buruk. Ledakan yang memisahkan dia dengan ibunya. Ledakan yang membuatnya begitu hina.

Bola matanya tak berkedip menatap gedung itu. Disapunya jendela demi jendela dengan air muka yang datar. Dari lantai dasar hingga puncak. Dari sisi kiri sampai kanan gedung. Di tiap ruangan yang lampunya masih menyala, diamatinya orang-orang tengah sibuk bekerja. Sesekali matanya juga terpaku menatap beberapa personel keamanan memeriksa setiap kendaraan yang masuk areal gedung.

Setahun silam, gedung ini babak belur dihantam bom mobil. Daya ledaknya dahsyat. Lebih dari seratus orang tewas seketika. Mereka yang terluka jumlahnya lebih banyak. Maklumlah, kawasan ini memang pusat perkantoran kota. Radius ledakan yang mencapai lima ratus meter, merontokkan kaca-kaca sejumlah bangunan pencakar langit di sekitarnya. Warga kota marah. Negeri ini menangis. Negara tetangga prihatin dan dunia mengutuk kekejian sebuah aksi yang disebut terorisme. Berhari-hari, kepala-kepala berita surat kabar, juga televisi dan radio, menyiarkan tragedi biadab ini.

Aparat keamanan pun segera sibuk mencari pelaku. Ratusan personel terlatih disebar ke berbagai pelosok. Beragam analisa berloncatan di berbagai forum dan seminar--program yang menjadi tradisi lembaga swadaya masyarakat setiap muncul kasus besar. Ada yang menuding peledakan ini dilakukan kaum ekstrem kanan yang benci kebijakan negara Barat. Ada pula yang mengatakan pengeboman ini buah tangan agen-agen asing demi mendapatkan keabsahan perang melawan teroris global.

Ah, lelaki itu tak pernah bisa mengerti berbagai spekulasi yang bermunculan. Jangankan paham, mengerti bahasa orang-orang itu pun dia tak sanggup. Dia merasa terlalu bodoh untuk memahami omongan orang-orang pandai yang dilihatnya di televisi atau koran. Pekerjaannya hanya membantu ibunya berjualan sayur mayur di pasar.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, perburuan pelaku peledakan tak kunjung membuahkan hasil. Undang-undang yang secara khusus menangani kasus peledakan, seperti pisau yang tak pernah diasah, tumpul. Sayembara penangkapan sang teroris berhadiah ratusan juta juga ibarat meja judi yang tak diminati. Pelaku peledakan seperti ditelan bumi. Raib. Orang-orang pun mulai putus asa. Semangat mereka untuk peduli pada kasus ini meruap. Tak ada lagi air mata. Orang-orang mulai lupa dan kembali larut dengan masalah sendiri-sendiri.

Di tengah kendurnya upaya perburuan pelaku pengeboman itulah, pada suatu pagi buta, sejumlah orang bertopeng menggedor rumah lelaki itu. Saat itu dia tengah tertidur setelah seharian menemani ibunya di pasar. Para lelaki bertopeng itu masuk ke rumahnya sambil menghardik. Gerakan mereka cukup terlatih. Tanpa kesulitan berarti, lelaki itu langsung dimasukkan ke mobil dengan mata terikat kain hitam. Ibunya tak kuasa melawan dan hanya bisa menjerit-jerit. Apalah daya seorang perempuan renta di hadapan lelaki-lelaki tegap yang kasar? Di luar, orang-orang takut keluar dan cuma berani mengintip dari balik gorden.

Peristiwa ini seketika membuat hidup lelaki itu berubah. Dari rumahnya, dia dijebloskan di ruang sempit yang kental aroma pesing. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali celana dalam. Selama tiga hari dia diacuhkan dengan mata yang tetap terikat kain hitam. Dia tak diberi makan dan hanya diizinkan minum tiga gelas air mentah. Lelaki itu cuma bisa teriak-teriak. Tak ada reaksi, selain gelak tawa orang-orang bertopeng yang asyik bermain gaple.

Lelaki itu baru dikeluarkan dari kamar maut ketika suatu hari, seorang pria separuh baya datang. Pria ini juga bertopeng. Sepertinya dia pimpinan orang-orang bertopeng itu, karena disapa dengan sebutan bos. Sempat merasa lega, karena keluar dari kamar yang mengerikan, lelaki itu justru malah memasuki tahapan awal penderitaan. Seharian tanpa jeda, setelah dikeluarkan dari kamar, si bos menjejali pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tak dimengerti.

“He setan, di mana kamu rakit bom itu?!”

“Siapa yang menyuruhmu meledakkan?

“Target teror ini siapa sebetulnya? Jawab anjing!”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang sering ditujukan kepadanya. Andai dia diam atau menjawab tak tahu, selalu tamparan, tendangan atau ludahan yang diterima. Berhari-hari, berminggu-minggu, siksaan demi siksaan datang. Si bos tak pernah jenuh menyodorkan pertanyaan yang sama. Sundutan rokok, makian dan sodetan belati, juga kerap dirasakannya.

Sampai pada akhirnya, lelaki itu tak lagi menerima tinju atau tendangan. Dia tak sanggup untuk terus menjawab tidak tahu atau diam. Dia tak mau mati disiksa. Dia masih ingin melihat ibunya suatu saat kelak.

Dia pun terpaksa mengaku sebagai orang yang meledakkan gedung itu. Dia juga mengiyakan ketika disodorkan pertanyaan apakah dirinya menjadi salah satu anggota kelompok yang diduga sebagai gang teroris. Pengakuan ini rupanya cukup ampuh. Siksaan hilang dan lelaki itu malah diperlakukan bak raja. Makanan dan minuman lezat hampir tiap hari diberikan. Keistimewaan ini membuat dia kian bersemangat berceloteh. Orang-orang bertopeng senang bukan kepalang, terutama si bos. Mereka puas merasa berhasil membongkar kasus besar.

Akan tetapi, lelaki itu tak selamanya sanggup membual. Ujung-ujungnya, ceritanya kian aneh-aneh dan tak bisa dimengerti. Orang-orang bertopeng mulai heran dan menganggap dia gila. Apalagi, sejumlah ledakan masih saja terjadi di luar sana. Orang-orang bertopeng marah. Lelaki itu dipukuli beramai-ramai. Beruntung si bos mencegah, hingga dia tak sampai tewas. Setelah merasa yakin bahwa si lelaki ini bukanlah orang yang diburu, si bos memerintahkan agar melepasnya. Lelaki itu dibuang di tengah jalan yang sepi pada malam hari.

“Samin?”

Lelaki itu tersentak dan menoleh ke arah datangnya suara. Di depan gedung yang dulu pernah diledakkan, mata lelaki itu menatap tajam ke sosok pria separuh baya yang berdiri tegak di sampingnya. Lelaki yang disapa Samin itu tak mengenali, tetapi suara si pemanggil seperti pernah dia dengar.

“Kamu Samin kan?”

Pria asing itu menyodorkan tangan. Samin ragu, tetapi akhirnya dia gapai juga tangan itu.

“Bapak siapa ya?”

Pria yang disapa bapak itu tersenyum.

“Kamu memang tak mengenal saya Samin, tetapi saya mengenal betul dirimu. Dari tadi saya melihat kamu mengamati gedung ini. Saya juga. Sudah seminggu terakhir saya sempatkan mampir ke sini. Cuma ini yang bisa saya lakukan untuk tak dibenci Tuhan.. Saya memandangi gedung ini sekadar mengingat-ingat sekaligus menyesali bahwa saya pernah punya dosa besar. Kadang sampai larut malam saya baru pulang, setelah puas memandangi gedung ini. Saya terkejut melihat kamu di sini, tetapi saya senang, karena berarti saya tak perlu repot-repot mencari kamu untuk meminta maaf.”

“Maksud Bapak?”

Samin mengernyitkan dahi. Dia menghindar dan mencoba menjauh, tetapi pria itu malah menggenggam lengannya.

"Saya tak kenal Bapak.” Samin meronta. Pria asing itu malah tersenyum sambil terus mencengkeram.

“Samin, saya hanya ingin meminta maaf.”

Samin bergeming. Matanya menyapu pria itu dari bawah hingga kepala. Cuping hidungnya mencium aroma parfum yang begitu akrab.

“Maukah kamu memaafkan saya Samin?”

"Maaf apa? Saya tak mengerti. Saya tak kenal Bapak. Saya benar-benar tak mengerti apa maksud omongan Bapak. Maaf untuk apa?”

Samin terus mencoba mengingat-ingat sosok asing di depannya. Keras dia berpikir, tetap saja dia tak merasa mengenali, kecuali suara dan bau parfumnya yang begitu akrab.

“Maafkan saya Samin. Saya hanya menjalankan perintah.”

“Duh, Pak. Maaf apa?”

"Saya menyesal pernah memperlakukan kamu seperti binatang. Saya menyesal.”

Samin melenguh. Belum sempat dia mengerti, pria asing itu menukas.

“Kalau kamu lupa, mari saya ingatkan. Barangkali kamu bisa mengenali saya dengan cara ini. Apa kamu ingat kata-kata ini. He Setan! Siapa yang menyuruhmu meledakkan gedung ini?!”

Samin terkesiap. Kalimat itu seperti hujan peluru yang menusuk-nusuk gendang telinganya. Samin mencoba menarik tangannya yang masih dicengkeram keras, tetapi tenaga pria asing itu begitu kuat. Samin panik.

“Tenang Samin. Saya tak bermaksud jahat. Saya hanya ingin meminta maaf.”

Samin tak menyerah. Dia terus meronta.

Di atas trotoar kedua orang itu saling beradu pandang, meronta, dan mencengkeram. Arus lalu lintas kian ramai dan menciptakan macet yang panjang. Orang-orang lalu lalang tak hirau. Pedagang asongan memukul-mukul botol minuman dingin, memancing pembeli yang kehausan.

“Tatap mata saya Samin. Saya tak bermaksud jahat. Saya hanya ingin meminta maaf. Nama Saya Gafar. Sayalah yang membuat kamu dulu amat sengsara dan membuat jempol kakimu rusak, membuat tubuhmu kurus kering, membuat badanmu memar dan pipimu codet kena pisau lipat. Saya dulu hanya menjalankan tugas. Percayalah, sesungguhnya saya tak pernah mengerti yang dimaksudkan dengan teroris itu. Sesungguhya pula saya yakin bahwa kamu memang benar-benar tak bersalah sejak saya melihat pertama kali kamu dijebloskan di kamar itu. Kamu orang baik Samin. Tak mungkin kamu sejahat orang yang pernah meledakkan gedung ini dulu. Maafkan saya, karena telah memerintahkan untuk menculik lalu menyiksamu. Kamu cuma korban salah tangkap, karena wajahmu mirip orang yang diduga sebagai pelaku peledakan itu.”

Cengkeraman tangan lelaki itu semakin keras. Samin terus melawan. Badannya yang ceking, membuatnya sulit untuk lepas.

“Samin, saya benar-benar menyesal telah bersikap seperti iblis kepadamu. Mengertilah bahwa saya hanya bawahan yang tak mungkin menolak sistem komando di tempat saya bekerja. Saya hanya menjalankan perintah. Maafkan saya Samin!”

Samin bergeming. Lidahnya kelu. Dia hanya ingin melepaskan cengkeraman Gafar.

“Tolong maafkan saya Samin! Ampuni saya. Saya tak ingin mendapat balasan di neraka. Saya amat menyesal. Andai saja dulu saya bisa menolak tugas untuk menangkapmu. Tolong jawab Samin, atau setidaknya anggukkan saja kepala agar saya yakin bahwa kamu memaafkan saya.”

Samin terus meronta sekuat tenaga. Gaffar kian beringas. Samin tak patah arang. Dia tarik tangannya keras-keras, tetapi Gafar memang cukup kuat. Kesal diperlakukan seperti itu, Samin pun nekat menendang bagian tengah di antara paha Gafar. Kontan cengkeraman tangan Gafar lepas. Kesempatan ini dipakai Samin untuk kabur. Berlari dia sekencang-kencangnya di tengah hilir mudik orang-orang. Menghilang di sela-sela padatnya lalu lintas kota yang semrawut.

*Gatsu, September 2004

Saturday, September 04, 2004

bapakku macan, ibuku kalelawar

bapakku kabur dan ibu menangis di kamar. aku baru saja menyaksikan remote televisi dan asbak terbang. baru saja pula aku merenggangkan kedua telapak tangan dari wajah. sempat aku melihat bapak menunjuk-nunjuk wajah ibu dan dibalas ibu dengan tatapan mata yang nyaris keluar. aku baru saja berdiri setelah berjongkok di sudut ruang, dekat kulkas yang baru saja terkena gelas yang dilempar bapak. aku baru saja mencoba melepas rasa takut melihat adegan yang tak pernah kubayangkan. aku baru saja menggigit bibir karena tak kuasa melerai keributan bapak dan ibu. aku seperti kambing dungu dengan nyali ciut dan hati yang tak pernah bisa memahami: untuk apa orang tua bertengkar dan saling memaki kala usia mereka kian senja?

sambil memunguti serpihan gelas dan barang-barang yang berantakan, kudengar rintihan suara ibu di kamar. tak begitu keras, mungkin karena wajahnya ditutupi bantal. aku tahu ibu pasti menangis. selalu begitu setiap habis bertengkar dengan ayah. ibu baru bisa diam setelah lelah dan akhirnya tertidur.

aku membuka pintu yang baru saja dibanting bapak. kutatap keluar jauh memandang. cuma gelap di depan sana. kulirik jam, jarum pendeknya menyentuh angka duabelas. kucoba pertajam pandangan, mencoba mencari bayangan bapak yang entah sudah sampai mana dia berjalan. kepalaku seperti hendak pecah. bapakku sudah tua, kemana dia pergi? kenapa ibu tega mengusirnya, hanya karena mempertentangkan aku yang tak lahir dari rahimnya? kututup pintu dengan lenguhan napas yang tersendat. aku tak pernah mengira bahwa ternyata aku hanyalah seorang anak yang pernah ditemukan di kolong jalan layang, di dalam kardus bekas mie instan dua puluh delapan tahun silam.