Friday, December 31, 2004

tsunami aceh

yang terkoyak di ujung barat
rata dengan tanah
larut dalam gelombang
tsunami datang dan mereka hilang

airmata...
airmata...
airmata...

kenapa harus mereka...?

Wednesday, December 08, 2004

Itulah Saya, Inilah Saya

kelabunya langit, musim hujan, musim rontok, daun-daun
kuningkecoklatan, bertebaran, dalam batin yang miskin,
melarat informasi asli, sialnya jadi anggauta
masyarakat bodoh indonesia. itulah saya.

terpaku pada ajaran lama, yang bicara atas nama moral
dan senioritas. sedangkan kebudayaan malu, lupa
disajikan dalam acara makan-makan setelah seminar
"mengentaskan kemiskinan".

kemelaratan secara struktual, kebodohan secara
instingtif, adalah model yang sedang digemari, rindu
pada rayuan gombal jaman tipsani. inilah saya.

kelabunya langit jakarta disebabkan asap kendaraan dan
memorimu dibawa debu, terbang melayang, pergi merantau
bersama angin musim dingin.

maka terbakarlah semangatnya!
semua cerita tentang penipuan
sang penipu berkedok halal
diracik dalam teori "riwayatnya sama"
maka nyanyilah kita bersama-sama

bengawan soloooo...
riwayatmu kiniii...

nilai-nilai kejujuran di test!
kemampuan intelektual di cek!

cek en ricek
cekcoklah!
konflik?

sebagai penganut ilmu sebab-akibat
berfikir kritis & bergaya ironis
adalah syarat untuk menganalisa!

oya?!

demi janggutnya castro!
demikianlah kesaksian sejarah
kasus marsinah tak pernah terjawap
dimana wiji thukul?
tak pernah terjawap

bisu, swara sorak-sorai orang yang menang
masuk dalam mimpi negeri yang cerai-berai
menguasai ilusimu, ilusi yang paling botai

tayangan berita di tv diatur redaktur ngawur
semua bisa diatur jék!
korupsi sudah jadi budaya yang menggiurkan
semua bisa ngiler berliter-liter
korupsi dibikin halal oleh kerakusan pribadi

dimana hatinuranimu?
di dalam dompet kulit buaya?
atau kesadaran itu hanya perlu ingatan
yang menjawap satu demi satu pertanyaan

kelabunya langit, musim hujan, puisi sunyi sendiri.
pertanyaan yang tak bisa dijawap, "kenapa dibakar?".

HL
Amsterdam, 23/10/2004

Tuesday, November 16, 2004

awan, langit, ke mana bulan?

kusapu lantai dengan kaki
kresik, kresik, kresik...
ada beling di sudut kamar
kuinjak agar kakiku berdarah
masikah engkau gemar melukai diri dengan kebodohan?

kutatap langit dengan mata terpejam
ada awan, juga burung-burung terbang
bulan belum datang
sebab malam enggan menjelang
mungkin karena matahari tak ingin pulang
aku masih terpejam
silau...

Saturday, November 13, 2004

kelelahan itu

kelelahan itu bersemayam di jantungku
jauh tidur di antara semak-semak
barangkali aku bodoh, mungkin juga sinting atau gila
siapa yang tak lelah terjerumus dalam ketiadaan?

hidup
seperti apa aku tak pernah tahu arahnya
kemudiku patah, membuatku terpelanting dalam fana
aku ingin berhenti...
sejenak mungkin
mungkin juga seterusnya...
entah mana yang lebih baik...

Thursday, October 28, 2004

Suatu Malam di Kota Apel

"Hiburan Mas?"
"Hiburan?"
"Iya, hiburan. Bagus-bagus Mas. Kalau cuma pijat, lima puluh ribu. Kalau yang pake plus plus, tambah dua ratus ribulah. Mau Mas?"

Aku tersenyum mendengar kata-kata itu meluncur dari bibir seorang lelaki tua di depanku. Lelaki tua itu berprofesi sebagai tukang becak, yang mangkal di depan hotel tempatku menginap malam ini. Kebetulan, aku memang sedang mendapat tugas ke luar kota dari kantor. Dan baru saja aku keluar kamar untuk sekadar jalan-jalan melihat situasi tempatku dinas, lelaki tua itu menyapa.

"Cantik-cantik Pak?"
"Oh ya jelas! Ada yang masih kuliah, ada juga yang ibu rumah tangga. Tinggal pilih. Ada yang namanya Lulu. Umurnya 25 tahun. Cantik Mas. Pijetannya sip!"

Aku lagi-lagi tersenyum mendengar omongan Pak Tua ini. Kusapu tubuhnya dengan tatap mata yang penuh rasa ingin tahu. Pak Tua ini bertubuh kurus. Itu terlihat jelas dari pipinya yang peyot dan tangannya yang ringkih. Di balik balutan jaket penuh tambalan, Pak Tua ini terlihat tak seperti lelaki renta yang mesti berjalan dengan tongkat.

"Saya Pak Gundul."
"Rakit." kubalas sodoran tangannya. Terasa jemarinya cukup keras. Mungkin karena sering memegang bagian belakang bangku becaknya.
"Piye Mas? Mau? Kalau mau, nanti saya panggilkan anaknya."

Sesungguhnya aku tak tahu harus menjawab apa ketika Pak Gundul bertanya begitu. Sejujurnya pula aku lebih tertarik pada pekerjaan Pak Gundul sebagai tukang becak, tetapi memiliki sampingan sebagai makelar wanita-wanita panggilan. Begitu sulitnya mencari uang sehingga orang tua ini mengais rezeki dengan cara yang benar-benar di luar dugaanku.

"Nanti saya pikirkan dulu ya Pak! Sekarang saya mau cari makan dulu. Bapak bisa antar ke tempat makan yang enak di sini?"
"Oh, bisa, bisa! Mari"

Di atas becaknya, aku terus mendengar ocehan Pak Gundul tentang wanita-wanita yang kerap diperantarainya.

Wednesday, October 20, 2004

Jangan Salahkan Jendela

Dari balik kamarnya, mata bocah itu tak pernah bisa pindah dari kerjapan lampu-lampu di luar jendela. Selalu begitu setiap ia menjelang tidur. Dia senang ada terang di kejauhan, tak seperti di kamarnya yang temaram.

Wednesday, October 13, 2004

Lebaran

Kolong jalan layang, pada suatu siang yang terik. Sekat-sekat triplek bekas pakai, tersusun alakadarnya membentuk puluhan kamar hunian. Petak-petak bilik itu berjajar seperti deretan gerbong kereta tua. Seperti layaknya perumahan, di antara sekat-sekat kamar itu tercipta lorong-lorong sempit untuk jalan. Hawa yang pengap tak membuat penghuninya berpikir untuk hengkang. Bunyi gludug gludug jalan layang saat terlindas ban mobil, tak membuat mereka kebisingan. Iramanya yang rutin membuat mereka terbiasa. Inilah sisi buram kota yang gemerlap, yang terkucil di antara gemuruh riuh peduduknya.

Seperti sebuah kampung, kolong jalan layang itu pun memiliki nama. Kampung Kolong orang-orang menyebutnya. Peghuninya berasal dari desa dan nasib yang sama. Sama-sama datang dari desa kecil di ujung Jawa, sama-sama bermodal nekat untuk hidup di kota yang liar macam Jakarta.

Dan seperti warga negara yang lain, mereka yang sudah di atas 17 tahun juga memiliki kartu tanda penduduk resmi. Ada cap kelurahan dan tangan Pak Lurah, meski secara administratif, Kampung Kolong tak tercatat di dinas tata kota. Tapi tak susah, kok, membuat KTP. Yang penting ada duit, sehari juga jadi.

Penghuni Kampung Kolong rata-rata bekerja sebagai pemulung. Lihatlah di tiap muka bilik mereka. Kardus-kardus bertumpuk rapi, siap dijual pada agen yang mereka tak tahu untuk apa. Beberapa ganco dan ransel dari kulit bambu, wadah yang biasa mereka pakai untuk mencari kardus, berjajar di dekat tiang penyagga jalan.

Warga Kampung Kolong belakangan ini sedang risau. Kardus-kardus, entah kenapa, sudah mulai sulit dicari. Mereka benar-benar pusing. Kepusingan ini kian menjadi-jadi, ketika mereka tersadar bahwa besok sudah malam takbiran dan lusa lebaran. Semua bermimpi bisa berlebaran di kampung. Lantaran pendapatan seret, angan-angan itu terpaksa dibuang jauh-jauh. Jangankan untuk mudik, untuk membeli baju lebaran pun tak ada. Malah, sekadar membeli kulit daun ketupat pun benar-benar nihil. Dan salah seorang yang pusing itu bernama Parmin. Usianya kira-kira 55. Istrinya bernama Ijah. Dua anaknya kembar bernama Rois dan Rauf.

"Bangun! Bandot pemalas! Kalau selalu kesiangan mana bisa bawa duit yang banyak?!" Midah, perempuan muda yang menjadi istri Parmin menggebuk suaminya yang lelap dengan sapu lidi.
"Arghhh... jam berapa sekarang Midah?!"
"Jam 12 malam! Mana aku tahu?! Memangnya kita punya jam?!"

Saturday, September 18, 2004

aRgh!

LELAKI itu pulang membawa hati yang tersayat. Enam bulan lamanya dia dikurung di ruang yang pengap. Tanpa matahari dan bulan, juga awan dan biru langit. Tak ada pula kicau burung atau gemerisik dedaunan. Ruangan gelap penuh nyamuk, yang lantainya selalu basah kencing tikus. Kala hujan datang, dari ruang itu dia cuma bisa mendengar gemuruh petir. Sulit baginya memastikan datangnya pagi atau malam. Ruang yang meringkihkan tubuhnya seperti gagang sapu lantai. Masih terlihat jelas jempol kakinya rusak karena ditindih kaki kursi yang diduduki.

Seminggu lalu keajabain itu datang. Dia bebas. Kini, di muka rumah yang pintunya bertuliskan teroris, lelaki itu bersujud mencium tanah. Dia tahu, tulisan arang sisa kayu yang dibakar itu ditujukan untuk dirinya. Akan tetapi dia tak marah. Sudah kebal dia dicap sebagai teroris--kata yang sebetulnya sama sekali tak dia mengerti. Lagi pula, dengan alasan yang juga membingungkan, sejak dia diculik sejumlah lelaki bertopeng pada suatu pagi buta, predikat itu sudah cukup lekat di jidatnya. Label yang merobek kebebasannya sebagai manusia selama enam bulan terakhir, yang membuat nalarnya tak sampai memahami di titik mana sesungguhnya kebenaran berdiri.

Dalam sujud, lirih terdengar dia sesegukan. Awalnya memang terdengar lemah, lama-kelamaan suaranya meraung. Dia berteriak sejadi-jadinya sambil mencakar tanah dengan kuku jemari, menyisakan guratan amarah yang kacau. Tetes air mata di pipinya, menyisakan bercak rindu yang begitu lama terpendam. Dia ingin bertemu ibunya, tetapi rumah itu sudah kosong. Rongga jendelanya berhias sarang laba-laba. Temboknya penuh coretan kata-kata kasar. Kaca-kacanya pecah. Rumah itu lebih mirip sarang setan ketimbang hunian manusia.

Mungkin ibu pergi karena tak tahan menanggung malu dan cibiran tetangga. Mungkin juga ibu diusir. Lelaki itu membatin. Dadanya nyeri. Sejak dia diculik, warga sekitar memang melabrak tempat tinggalnya. Tak sampai dibakar, memang. Mereka hanya mencoreti dinding, memukul kaca jendela dengan benda apa pun yang keras. Setelah itu ibunya menghilang entah ke mana. Tak jelas betul diusir atau pergi sendiri.

Sesungguhnya, saat menuju pulang, dia yakin ibunya tak ada. Toh, dia hanya ingin mencoba, sekadar meyakinkan diri bahwa ibunya memang benar-benar tak lagi menempati rumah yang menjadi tempat masa kecilnya tumbuh.

Lelaki itu masih bersimpuh. Dia tak lagi menjerit. Di kejauhan, tepian langit dironai jingga yang memanjang. Senja perlahan menipis, bersamaan gerombolan kelelawar yang pulang. Azan maghrib di surau dekat simpang jalan, seolah mengantar hari ini ke gerbang malam.

Lelaki itu bangkit dari sujud. Bayangan ibunya muncul di depan mata. Tersenyum mengusap-usap kepalanya sambil memeluk. Setelah menghela napas panjang, dia berdiri. Pergi meninggalkan rumahnya yang porak-poranda.

Sendiri lelaki itu menyusuri jalan. Setiap kali melewati rumah tetangga, selalu dia dikejutkan bantingan daun jendela atau pintu. Begitu pula saat berpapasan dengan warga, sudut matanya kerap menangkap orang-orang memalingkan wajah sambil menutup hidung. Bahkan ada juga yang meludah. Lelaki itu tak geram atau sedih. Predikatnya sebagai teroris membuatnya mahfum orang-orang bersikap demikian.

Lelaki itu terus melangkah. Belok ke kiri, kanan, kiri lagi, lurus, kanan lagi, tanpa henti. Melewati lorong demi lorong jalan, melintasi sungai yang penuh jamban di tepi kota, melewati gedung demi gedung pencakar langit yang sombong.

Berjam-jam lelaki itu berjalan, hingga tiba di jalan raya yang gaduh, yang penuh dengan orang-orang tak sabar. Di trotoar dekat jembatan penyeberangan, lelaki itu berhenti. Dia berdiri tegak menghadap gedung tinggi yang pernah hancur terkena ledakan bom. Ledakan yang membuat hidupnya bak mimpi buruk. Ledakan yang memisahkan dia dengan ibunya. Ledakan yang membuatnya begitu hina.

Bola matanya tak berkedip menatap gedung itu. Disapunya jendela demi jendela dengan air muka yang datar. Dari lantai dasar hingga puncak. Dari sisi kiri sampai kanan gedung. Di tiap ruangan yang lampunya masih menyala, diamatinya orang-orang tengah sibuk bekerja. Sesekali matanya juga terpaku menatap beberapa personel keamanan memeriksa setiap kendaraan yang masuk areal gedung.

Setahun silam, gedung ini babak belur dihantam bom mobil. Daya ledaknya dahsyat. Lebih dari seratus orang tewas seketika. Mereka yang terluka jumlahnya lebih banyak. Maklumlah, kawasan ini memang pusat perkantoran kota. Radius ledakan yang mencapai lima ratus meter, merontokkan kaca-kaca sejumlah bangunan pencakar langit di sekitarnya. Warga kota marah. Negeri ini menangis. Negara tetangga prihatin dan dunia mengutuk kekejian sebuah aksi yang disebut terorisme. Berhari-hari, kepala-kepala berita surat kabar, juga televisi dan radio, menyiarkan tragedi biadab ini.

Aparat keamanan pun segera sibuk mencari pelaku. Ratusan personel terlatih disebar ke berbagai pelosok. Beragam analisa berloncatan di berbagai forum dan seminar--program yang menjadi tradisi lembaga swadaya masyarakat setiap muncul kasus besar. Ada yang menuding peledakan ini dilakukan kaum ekstrem kanan yang benci kebijakan negara Barat. Ada pula yang mengatakan pengeboman ini buah tangan agen-agen asing demi mendapatkan keabsahan perang melawan teroris global.

Ah, lelaki itu tak pernah bisa mengerti berbagai spekulasi yang bermunculan. Jangankan paham, mengerti bahasa orang-orang itu pun dia tak sanggup. Dia merasa terlalu bodoh untuk memahami omongan orang-orang pandai yang dilihatnya di televisi atau koran. Pekerjaannya hanya membantu ibunya berjualan sayur mayur di pasar.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, perburuan pelaku peledakan tak kunjung membuahkan hasil. Undang-undang yang secara khusus menangani kasus peledakan, seperti pisau yang tak pernah diasah, tumpul. Sayembara penangkapan sang teroris berhadiah ratusan juta juga ibarat meja judi yang tak diminati. Pelaku peledakan seperti ditelan bumi. Raib. Orang-orang pun mulai putus asa. Semangat mereka untuk peduli pada kasus ini meruap. Tak ada lagi air mata. Orang-orang mulai lupa dan kembali larut dengan masalah sendiri-sendiri.

Di tengah kendurnya upaya perburuan pelaku pengeboman itulah, pada suatu pagi buta, sejumlah orang bertopeng menggedor rumah lelaki itu. Saat itu dia tengah tertidur setelah seharian menemani ibunya di pasar. Para lelaki bertopeng itu masuk ke rumahnya sambil menghardik. Gerakan mereka cukup terlatih. Tanpa kesulitan berarti, lelaki itu langsung dimasukkan ke mobil dengan mata terikat kain hitam. Ibunya tak kuasa melawan dan hanya bisa menjerit-jerit. Apalah daya seorang perempuan renta di hadapan lelaki-lelaki tegap yang kasar? Di luar, orang-orang takut keluar dan cuma berani mengintip dari balik gorden.

Peristiwa ini seketika membuat hidup lelaki itu berubah. Dari rumahnya, dia dijebloskan di ruang sempit yang kental aroma pesing. Seluruh pakaiannya dilepas, kecuali celana dalam. Selama tiga hari dia diacuhkan dengan mata yang tetap terikat kain hitam. Dia tak diberi makan dan hanya diizinkan minum tiga gelas air mentah. Lelaki itu cuma bisa teriak-teriak. Tak ada reaksi, selain gelak tawa orang-orang bertopeng yang asyik bermain gaple.

Lelaki itu baru dikeluarkan dari kamar maut ketika suatu hari, seorang pria separuh baya datang. Pria ini juga bertopeng. Sepertinya dia pimpinan orang-orang bertopeng itu, karena disapa dengan sebutan bos. Sempat merasa lega, karena keluar dari kamar yang mengerikan, lelaki itu justru malah memasuki tahapan awal penderitaan. Seharian tanpa jeda, setelah dikeluarkan dari kamar, si bos menjejali pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tak dimengerti.

“He setan, di mana kamu rakit bom itu?!”

“Siapa yang menyuruhmu meledakkan?

“Target teror ini siapa sebetulnya? Jawab anjing!”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang sering ditujukan kepadanya. Andai dia diam atau menjawab tak tahu, selalu tamparan, tendangan atau ludahan yang diterima. Berhari-hari, berminggu-minggu, siksaan demi siksaan datang. Si bos tak pernah jenuh menyodorkan pertanyaan yang sama. Sundutan rokok, makian dan sodetan belati, juga kerap dirasakannya.

Sampai pada akhirnya, lelaki itu tak lagi menerima tinju atau tendangan. Dia tak sanggup untuk terus menjawab tidak tahu atau diam. Dia tak mau mati disiksa. Dia masih ingin melihat ibunya suatu saat kelak.

Dia pun terpaksa mengaku sebagai orang yang meledakkan gedung itu. Dia juga mengiyakan ketika disodorkan pertanyaan apakah dirinya menjadi salah satu anggota kelompok yang diduga sebagai gang teroris. Pengakuan ini rupanya cukup ampuh. Siksaan hilang dan lelaki itu malah diperlakukan bak raja. Makanan dan minuman lezat hampir tiap hari diberikan. Keistimewaan ini membuat dia kian bersemangat berceloteh. Orang-orang bertopeng senang bukan kepalang, terutama si bos. Mereka puas merasa berhasil membongkar kasus besar.

Akan tetapi, lelaki itu tak selamanya sanggup membual. Ujung-ujungnya, ceritanya kian aneh-aneh dan tak bisa dimengerti. Orang-orang bertopeng mulai heran dan menganggap dia gila. Apalagi, sejumlah ledakan masih saja terjadi di luar sana. Orang-orang bertopeng marah. Lelaki itu dipukuli beramai-ramai. Beruntung si bos mencegah, hingga dia tak sampai tewas. Setelah merasa yakin bahwa si lelaki ini bukanlah orang yang diburu, si bos memerintahkan agar melepasnya. Lelaki itu dibuang di tengah jalan yang sepi pada malam hari.

“Samin?”

Lelaki itu tersentak dan menoleh ke arah datangnya suara. Di depan gedung yang dulu pernah diledakkan, mata lelaki itu menatap tajam ke sosok pria separuh baya yang berdiri tegak di sampingnya. Lelaki yang disapa Samin itu tak mengenali, tetapi suara si pemanggil seperti pernah dia dengar.

“Kamu Samin kan?”

Pria asing itu menyodorkan tangan. Samin ragu, tetapi akhirnya dia gapai juga tangan itu.

“Bapak siapa ya?”

Pria yang disapa bapak itu tersenyum.

“Kamu memang tak mengenal saya Samin, tetapi saya mengenal betul dirimu. Dari tadi saya melihat kamu mengamati gedung ini. Saya juga. Sudah seminggu terakhir saya sempatkan mampir ke sini. Cuma ini yang bisa saya lakukan untuk tak dibenci Tuhan.. Saya memandangi gedung ini sekadar mengingat-ingat sekaligus menyesali bahwa saya pernah punya dosa besar. Kadang sampai larut malam saya baru pulang, setelah puas memandangi gedung ini. Saya terkejut melihat kamu di sini, tetapi saya senang, karena berarti saya tak perlu repot-repot mencari kamu untuk meminta maaf.”

“Maksud Bapak?”

Samin mengernyitkan dahi. Dia menghindar dan mencoba menjauh, tetapi pria itu malah menggenggam lengannya.

"Saya tak kenal Bapak.” Samin meronta. Pria asing itu malah tersenyum sambil terus mencengkeram.

“Samin, saya hanya ingin meminta maaf.”

Samin bergeming. Matanya menyapu pria itu dari bawah hingga kepala. Cuping hidungnya mencium aroma parfum yang begitu akrab.

“Maukah kamu memaafkan saya Samin?”

"Maaf apa? Saya tak mengerti. Saya tak kenal Bapak. Saya benar-benar tak mengerti apa maksud omongan Bapak. Maaf untuk apa?”

Samin terus mencoba mengingat-ingat sosok asing di depannya. Keras dia berpikir, tetap saja dia tak merasa mengenali, kecuali suara dan bau parfumnya yang begitu akrab.

“Maafkan saya Samin. Saya hanya menjalankan perintah.”

“Duh, Pak. Maaf apa?”

"Saya menyesal pernah memperlakukan kamu seperti binatang. Saya menyesal.”

Samin melenguh. Belum sempat dia mengerti, pria asing itu menukas.

“Kalau kamu lupa, mari saya ingatkan. Barangkali kamu bisa mengenali saya dengan cara ini. Apa kamu ingat kata-kata ini. He Setan! Siapa yang menyuruhmu meledakkan gedung ini?!”

Samin terkesiap. Kalimat itu seperti hujan peluru yang menusuk-nusuk gendang telinganya. Samin mencoba menarik tangannya yang masih dicengkeram keras, tetapi tenaga pria asing itu begitu kuat. Samin panik.

“Tenang Samin. Saya tak bermaksud jahat. Saya hanya ingin meminta maaf.”

Samin tak menyerah. Dia terus meronta.

Di atas trotoar kedua orang itu saling beradu pandang, meronta, dan mencengkeram. Arus lalu lintas kian ramai dan menciptakan macet yang panjang. Orang-orang lalu lalang tak hirau. Pedagang asongan memukul-mukul botol minuman dingin, memancing pembeli yang kehausan.

“Tatap mata saya Samin. Saya tak bermaksud jahat. Saya hanya ingin meminta maaf. Nama Saya Gafar. Sayalah yang membuat kamu dulu amat sengsara dan membuat jempol kakimu rusak, membuat tubuhmu kurus kering, membuat badanmu memar dan pipimu codet kena pisau lipat. Saya dulu hanya menjalankan tugas. Percayalah, sesungguhnya saya tak pernah mengerti yang dimaksudkan dengan teroris itu. Sesungguhya pula saya yakin bahwa kamu memang benar-benar tak bersalah sejak saya melihat pertama kali kamu dijebloskan di kamar itu. Kamu orang baik Samin. Tak mungkin kamu sejahat orang yang pernah meledakkan gedung ini dulu. Maafkan saya, karena telah memerintahkan untuk menculik lalu menyiksamu. Kamu cuma korban salah tangkap, karena wajahmu mirip orang yang diduga sebagai pelaku peledakan itu.”

Cengkeraman tangan lelaki itu semakin keras. Samin terus melawan. Badannya yang ceking, membuatnya sulit untuk lepas.

“Samin, saya benar-benar menyesal telah bersikap seperti iblis kepadamu. Mengertilah bahwa saya hanya bawahan yang tak mungkin menolak sistem komando di tempat saya bekerja. Saya hanya menjalankan perintah. Maafkan saya Samin!”

Samin bergeming. Lidahnya kelu. Dia hanya ingin melepaskan cengkeraman Gafar.

“Tolong maafkan saya Samin! Ampuni saya. Saya tak ingin mendapat balasan di neraka. Saya amat menyesal. Andai saja dulu saya bisa menolak tugas untuk menangkapmu. Tolong jawab Samin, atau setidaknya anggukkan saja kepala agar saya yakin bahwa kamu memaafkan saya.”

Samin terus meronta sekuat tenaga. Gaffar kian beringas. Samin tak patah arang. Dia tarik tangannya keras-keras, tetapi Gafar memang cukup kuat. Kesal diperlakukan seperti itu, Samin pun nekat menendang bagian tengah di antara paha Gafar. Kontan cengkeraman tangan Gafar lepas. Kesempatan ini dipakai Samin untuk kabur. Berlari dia sekencang-kencangnya di tengah hilir mudik orang-orang. Menghilang di sela-sela padatnya lalu lintas kota yang semrawut.

*Gatsu, September 2004

Saturday, September 04, 2004

bapakku macan, ibuku kalelawar

bapakku kabur dan ibu menangis di kamar. aku baru saja menyaksikan remote televisi dan asbak terbang. baru saja pula aku merenggangkan kedua telapak tangan dari wajah. sempat aku melihat bapak menunjuk-nunjuk wajah ibu dan dibalas ibu dengan tatapan mata yang nyaris keluar. aku baru saja berdiri setelah berjongkok di sudut ruang, dekat kulkas yang baru saja terkena gelas yang dilempar bapak. aku baru saja mencoba melepas rasa takut melihat adegan yang tak pernah kubayangkan. aku baru saja menggigit bibir karena tak kuasa melerai keributan bapak dan ibu. aku seperti kambing dungu dengan nyali ciut dan hati yang tak pernah bisa memahami: untuk apa orang tua bertengkar dan saling memaki kala usia mereka kian senja?

sambil memunguti serpihan gelas dan barang-barang yang berantakan, kudengar rintihan suara ibu di kamar. tak begitu keras, mungkin karena wajahnya ditutupi bantal. aku tahu ibu pasti menangis. selalu begitu setiap habis bertengkar dengan ayah. ibu baru bisa diam setelah lelah dan akhirnya tertidur.

aku membuka pintu yang baru saja dibanting bapak. kutatap keluar jauh memandang. cuma gelap di depan sana. kulirik jam, jarum pendeknya menyentuh angka duabelas. kucoba pertajam pandangan, mencoba mencari bayangan bapak yang entah sudah sampai mana dia berjalan. kepalaku seperti hendak pecah. bapakku sudah tua, kemana dia pergi? kenapa ibu tega mengusirnya, hanya karena mempertentangkan aku yang tak lahir dari rahimnya? kututup pintu dengan lenguhan napas yang tersendat. aku tak pernah mengira bahwa ternyata aku hanyalah seorang anak yang pernah ditemukan di kolong jalan layang, di dalam kardus bekas mie instan dua puluh delapan tahun silam.

Tuesday, August 24, 2004

nilam

namanya nilam. sejak kecil dia hidup dikelilingi hutan dan truk-truk pengangkut kayu yang melintas di muka rumahnya. ibunya seorang pencari getah damar di hutan. ayahnya pencari kura-kura di rawa. dua puluh tahun silam, ayahnya ditemukan tewas di pinggir hutan karena diterkam harimau. nilam saat itu masih berusia lima tahun. dia hanya bisa mengisap ibu jari sambil menatap jenazah ayahnya yang koyak. disaksikan pula ibunya yang histeris. nilam ingat betul, saat orang-orang kampung menguburkan jenazah ayahnya, seekor harimau melintas di kejauhan, di balik ranting dan dahan kering yang dibakar. saat itu nilam menjerit, tetapi orang-prang tak ada yang peduli. tak seorang pun merasa gentar dengan sang harimau. dia tak tahu apakah orang-orang melihat harimau itu atau tidak. sampai kini, ketika tragedi itu sudah lama berlalu, bayangan harimau itu masih lekat terbayang di alam pikirannya.

laju truk-truk pengangkut kayu itu menyisakan debu yang beterbangan. senja sebentar lagi turun. hari ini tak terlalu ramai truk melintas. padahal biasanya, bisa lebih dari dua puluh sehari. yang tadi melintas adalah truk sewaan milik orang kampung, bukan milik perusahaan kayu. tak melintasnya truk-truk perusahaan kayu ini adalah buntut perseteruan antara warga kampung dan karyawan perusahaan kayu tersebut. sudah sepekan terakhir perusahaan itu menghentikan aktivitas mengangkut kayu.

nilam paham, warga marah karena perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan itu dianggap pelit, melarang warga menebang kayu-kayu di arealnya. warga yang berang, membakar lahan dan sebuah truk milik perusahaan tersebut. upaya damai buntu, karena amarah warga sudah susah padam. semua ini membuat nilam tak bisa berjumpa dengan nizar, seorang pegawai bagian umum perusahaan kayu itu, yang kerap bersantap siang di kedainya. mungkin nizar takut dengan orang kampung, karena dia dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab di lapangan. mungkin juga nizar mati, dikeroyok pemuda kampung yang kesal dan brutal. begitu nilam berpikir.

"sedang apa kau, nilam? sepertinya sedang melamun?" seorang wanita renta muncul di beranda. di tangan kanannya terjepit bakul yang berisi tumpukan pakaian. perempuan ini ibu kandung nilam. dia baru saja dari sungai, mencuci pakaian.

"aku memikirkan bang nizar. sudah empat hari dia tak datang. selama itu pula truk-truk perusahaan tak lewat." nilam menatap kosong ke arah bukit, seperti menanti sesuatu muncul. hatinya gelisah, seperti gagak lapar yang beterbangan di pucuk ranting di atap rumahnya.

Wednesday, August 04, 2004

dan

dan dia tercenung di ruang hampa
asap kretek menyentuh langit-langit
riang yang hilang
rindu yag berkepanjangan
meruap setiap malam
dan dia tersiksa dalam penantian...

Thursday, July 29, 2004

kita

kita pernah tidur di atas awan, lalu melayang di antara rinai hujan. sebentar kita terjatuh di liang, berderak melangkah untuk kemudian kita tersangkut-sangkut lagi rompal kerakal. air mata kita barangkali air mata keabadian, yang tak kering meski panas menyiram. kita berlari melawan arus lautan, di antara sunyi batu karang dan elang yang pulang... kita percaya, matahari belum lelap dan bulan juga tak tertidur sepanjang malam... ada yang kita jelang, sampai perjalanan ini lelah dalam kesunyiannya... dan pada detik yang tak lelahnya berputar, engkau tetaplah bintang pada pekat hati yang terdalam... tak seorang pun kuasa menggantikan. tak seorang pun. tak seorang pun....

Wednesday, July 28, 2004

aku

aku sering merindukan pagi, pada setiap malam yang selalu terasa pekat. bersandar pada dinding kamar yang sunyi, tiada yang lebih indah selain bermimpi. barangkali benar kata orang-orang bijak, hidup tak cuma hitam dan putih, karena ada abu-abu juga di sana. dan aku tak ingin lagi banyak bermimpi...

aku juga sering merindukan bulan, pada setiap sinar matahari yang terik. berlari pada tanah basah yang luas, tiada yang lebih menakjubkan selain diterpa angin. mungkin betul kata orang-orang pintar, menjalani keseharian tak perlu banyak mengeluh, karena masa depan tak membutuhkan rengekan. dan aku tak ingin lagi banyak menarik napas untuk berkeluh kesah...

saban pagi, angin selalu dingin. aku sering bermimpi ada di puncak bukit sambil berlari-lari kecil mengejar kupu-kupu. ditemani layang-layang dedaunan yang beterbangan, aku ingin menangkap burung-burung yang riang membuatku iri. dan biarkan aku yang terbang kini...

dan pada malam yang sunyi, bertafakur aku sendirian, mencoba menaruh setiap asa yang terpendam. hari esok adalah sebuah harapan yang harus kugenggam, karena aku tak mau umurku teraut waktu dengan sia-sia. pada aquarius yang memayungi, pada januari 1975 yang membungkus, izinkan aku terbang memetik gemintang di cakrawala...

Saturday, July 24, 2004

dia

dia datang dari ruang yang tak berpintu...
mengetuk hati, lalu bersemayam
siapa sangka ini sebuah anugerah?
tak kan kukunci cintamu
mari berdansa dan telanjang tanpa waktu mengurung...

Friday, July 23, 2004

cikandung

rembang malam baru saja berlalu
udara basah yang menusuk tulang
mata air yang dingin
lelaki itu tenggelam di tengah sunyi cikandung

alunan kecapi
kecipak ikan yang lari menghindari kail pemancing
dan bulan yang sembunyi di balik dedahan
lelaki itu menanti hidupnya tak lagi sepi

pada siapa
tak tahu
mungkin lalai dia
hingga bisa begitu jauh...

sampai penat tak lagi terasa

dia terlelap ketika jangkrik berderik...
krik, krik, krik...
malam ini seperti kemarin
angin dingin, mungkin karena sisa hujan petang tadi
tapi di mana bintang-bintang?
krik, krik, krik...
o, bintang sembunyi di balik pekat awan
barangkali karena tak ingin menganggu dia yang lelah...
sebab esok adalah tanda tanya
krik, krik, krik...
dan lusa lagi-lagi pertanyaan yang diberi tanda-tanda...
dan dia selalu bertanya-tanya...
sepanjang hari, sampai penat tak lagi terasa...
krik, krik, krik...

Wednesday, July 21, 2004

bulan dan bintang

lelaki itu pulang membawa bintang
sendirian di antara remang bulan yang muram
bertanya pada malam
menjawab angin dengan diam

lelaki itu datang membawa bulan
sendirian di antara kerlip bintang yang pendar
berlari pada siang
menjawab debu dengan geram

lelaki itu tak mengerti
sudahkah engkau tidur hari ini?
sekadar memahami apa yang selama ini tak pasti...
lelaki itu diam di sudut ruang
sunyi
dia melenguh senyap... hampa sekali...

Thursday, July 15, 2004

air mata

air mataku air mata yang tak akan dimengerti...
maka biarlah aku menangis
sendiri di senja sunyi
di atas tanah yang penuh duri dan segala macam dusta...
biarlah, biarlah...

Thursday, May 06, 2004

durah

Namanya Durah. Tubuhnya gempal seperti batang pohon palem. Tingginya tak lebih dari leher orang dewasa pada umumnya. Berambut ikal, berhidung bak jambu air, Durah adalah potongan lelaki yang senang senyum. Akan tetapi bukan lantaran itu orang-orang di desanya menganggap dia tak normal. Tingkah lakunya yang monotonlah yang membuat warga desa menganggap Durah sinting. Betapa tidak, kerja Durah cuma menggiring dua ekor kerbaunya kesana kemari saat siang dan meniup seruling bambu ketika malam datang. Selalu begitu setiap hari.

Padahal, Durah sama sekali tidak gila. Dia cuma sekadar menyayangi kerbau pemberian kakeknya. Dia hanya tak ingin kerbaunya mati karena kebanyakan melamun. Entah ide dari mana, agar kerbau itu tetap ceria, setiap hari Durah membawanya keliling kampung. Asal tahu saja, kerbau-kerbau itu dia beri nama Durah pula. Dia tak tahu harus memberi nama apa. Agar mudah diingat, maka Durah pulalah dia namakan. Soal memainkan seruling setiap malam, itu semata-mata karena Durah memang tak tahu lagi cara harus mengusir sepi. Toh, di mata orang-orang, tetap saja ada yang tak beres pada diri Durah. Durah sadar orang-orang menganggap otaknya miring, tetapi dia tak peduli. Baginya, yang penting dia senang bersama kerbau dan serulingnya.

Sehari-hari Durah tinggal bersama kakeknya, seorang dukun sakti yang amat disegani. Ayah ibunya tewas terkubur reruntuhan longsor. Bertahun-tahun dia menjadi cucu kesayangan sang kakek. Karena sosok kakeknyalah, orang-orang kerap sungkan memandang Durah. Padahal, tingkah Durah benar-benar menyebalkan. Durah sering tanpa rasa bersalah menggiring kerbaunya ke tengah perkumpulan orang-orang yang sedang berjudi. Di situ kerbaunya dibiarkan membuang kotoran, lalu mengacak-acak duit di atas meja judi. Para penjudi cuma bisa terbengong-bengong melihat itu semua. Andai mengamuk dan menghajar Durah beramai-ramai, bisa-bisa kakeknya yang turun tangan dan semua disihir jadi kodok.

Pada lain kesempatan, tak jarang pula Durah membawa kerbaunya ke sebuah kedai tempat beberapa berandal sedang menenggak kopyekan. Ini minumkan khas masyarakat kaki Rinjani, yang kalau diminum berlebihan, bisa memabukkan. Nama kopyekan berasal dari wadahnya yang berupa botol plastik yang kalau dipencet-pencet akan terdengar bunyi “pyek pyek pyek”. Sama pada saat di arena judi, dengan santainya pula, Durah membiarkan kerbaunya membuang kotoran di kedai sambil mengacak botol-botol kopyekan. Tak seorang pun bisa melawan Durah. Semua hanya pasrah tanpa gerutuan. Dan Durah cuma senyam-senyum dengan air muka yang amat datar.

Kedongkolan orang-orang tak pernah meruap menjadi amarah. Warga desa yang nyaris semuanya punya hobi berjudi dan menenggak kopyekan hanya bisa menggerutu di belakang. Pemangku adat yang juga penggemar judi dan kopyekan pun hanya bisa diam. Bukan apa-apa, marah terhadap Durah sama saja mencari perkara dengan kakeknya. Itulah sebabnya warga desa cuma bisa menggerundel. Mereka hanya membicarakan ulah Durah sembunyi-sembunyi.

Lama tertekan dengan kelakuan Durah, warga desa sepakat mencari cara agar Durah tak lagi mengganggu kesenangan mereka, berjudi dan menenggak kopyekan. Dan momen yang ditunggu-tunggu itu pun dating. Sesakti-saktinya sang kakek, dia tak sanggup melawan panggilan Tuhan. Kakek Durah meninggal dan warga desa gembira bukan kepalang. Usai prosesi pemakanan yang diikuti sedikit orang, warga desa langsung mengusir Durah. Mereka benar-benar gerah.

Saat diusir, Durah hanya bengong sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Apa salah saya? Kenapa saya disuruh pergi dari kampong ini?” Durah bertanya kepada orang-orang yang mengerumuni sambil menepuk-nepuk badan kerbaunya.

"Salahmu segunung Rah! Sudah tak usah banyak cingcong. Pergilah dari sini dan tinggal saja di gunung. Kami sudah benar-benar muak dengan ketololanmu!” sahut seorang warga yang dikenal sebagai penjudi ulung.

“Di gunung? Lalu rumah kakek saya bagaimana?”

"Rumah kakekmu akan kami bakar. Sudah lama kami menunggu kesempatan ini datang.

Ulahmu benar-benar merusak kesenangan kami. Kami betul-betul marah Durah!”

Durah mengernyitkan dahi. “Tapi apa salah saya?

“Heh, dasar idiot! Kamu pikir, saat menggiring kerbau untuk mengacak-acak meja judi kami, kedai kopyekan kami, itu bukan gangguan? Kalau kamu melihat kami tidak marah saat itu, itu karena kakekmu.”

Durah tak pernah menyangka ulahnya menggiring kerbau selama ini membuat warga geram. Sesungguhnya dia tak benar-benar ingin menggangu kesenangan warga. Soalnya. kerbaunya sendiri yang bergerak merusak arena judi dan tempat ngopyek. Dia hanya mengikuti langkah kaki kerbaunya ke mana pergi.

“Kalau rumah kakek saya dibakar, rumah kakek saya bisa hangus. Kasihan kakek saya.” Mata Durah memandang dingin ke orang-orang yang mengelilingi.

Orang-orang merasa lelah bicara dengan Durah. Pemangku adat yang semestinya menjadi pengayom, malah berteriak bakar bakar.

Komando itu memancing reaksi spontan warga. Satu per satu mereka bergerak, menyalakan api, menyiram bensin. Ada yang melempar obor ke dalam rumah, melempar ke atap, mengguyur dinding-dindingnya dengan minyak tanah.

Durah tak bisa apa-apa. Perlahan-lahan dia mundur menjauh. Dalam kebingunan itulah, bersama dua kerbau kesayangannya, Durah pergi dari desa tempatnya tumbuh. Berjam-jam Durah berjalan, hingga akhirnya dia terdampar di punggung Gunung Rinjani. Di sana dia membuat sebuah berugak atau gubuk saung yang beratap rumput kering. Kala panas atau hujan, cahaya matahari tembus dan air hujan menetes. Tak ada tetangga, hanya pohon kruing dan burung-burung yang tampak.

Kini, setahun sudah Durah jauh dari hiruk-pikuk desa. Dia sakit hati rumah kakeknya dibakar. Dia marah diusir dari desa kelahirannya. Kenapa orang-orang itu malah marah karena kesenagannya berjudi dan mabuk-mabukan dirusak kerbaunya? Kenapa mereka tak berterima kasih karena justru dengan demikian hidup mereka jauh dari hobi yang sia-sia. Durah menghela napas. Tak sampai nalarnya memikirkan itu semua.

Warga desa bukan tak tahu tempat tinggal Durah. Semua tahu, karena setiap kali ingin berdoa ke puncak Rinjani, warga desa selalu melewati berugak Durah. Meski kesal, setiap warga desa melintas, Durah selalu menyapa sambil melambaikan tangan, tetapi setiap kali itu pula warga desa bergeming. Tak dipedulikan, bahkan dianggap tak ada, tak sedikit pun membuat Durah kapok. Tetap saja dia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar setiap warga desa lewat.

***
Dua bulan terakhir ini, warga desa sedang heran. Durah tak pernah lagi tampak di berugaknya. Tak ada lagi lambaian dan senyum Durah. Kerbau-kerbaunya juga tak kelihatan. Semula Durah dikira sembunyi. Toh, sehari, seminggu, tiga minggu, dan setelah sebulan lebih Durah tak tampak batang hidungnya, keheranan warga desa memuncak menjadi penasaran. Mereka mengecek di berugaknya, Durah tak ada. Dia benar-benar lenyap.

Seperti penyakit menular yang ganas, kabar Durah lenyap menyebar cepat ke penjuru desa. Tua muda, lelaki perempuan, bahkan sampai para bocah, memperbincangkan tentang lenyapnya Durah.

Dalam kebingungan ini, pemangku adat mengatur strategi. Dia memimpin rapat besar yang dihadiri seluruh warga desa. Semua prihatin dengan keberadaan Durah yang menghilang seperti terbang ke langit.

“Kita harus mencari Durah sampai ketemu! Kita masuk ke hutan, naik ke gunung, ke tengah laut, ke mana saja, kalau perlu ke kutub! Durah harus kita temukan!” Pemangku adat memekik disambut teriakan orang-orang yang bertepuk tangan.

Dan kentongan, penerang dari batang jor-joran, juga bekal untuk pencarian Durah disiapkan. Orang-orang bertekad mencari Durah tercinta. Eit, tercinta? Aha, di balik kesebalan tingkah laku Durah yang dianggap nyleneh, rupanya warga desa menyayangi Durah. Mungkin benar kata orang-orang bijak, rasa sayang kerap muncul ketika orang yang dicintai tak ada.

Satu per satu orang-orang berpencar. Ke arah utara, dua puluh orang. Ke selatan empat puluh orang. Ke barat tujuh puluh. dan ke timur lebih banyak lagi. Desa itu mendadak seperti desa mati.

Satu hari berlalu, dua hari, sepekan, hingga berbulan-bulan desa seperti tak berpenghuni, Durah tak kunjung ditemukan. Orang-orang sudah lelah, tetapi Durah mesti ketemu.

“Durahhh...!” teriak warga di sebelah utara.

“Di mana kamu Durah! Pulanglah!” begitu pula yang di selatan. Warga yang di barat dan di timur pun sama saja. Semua sibuk dan tak pernah lelah mencari Durah.

****

Pagi merayap menyapu punggung gunung Rinjani. Matahari yang tidur, kini perlahan menghangatkan desa. Jingga emasnya melipir tipis di antara nyiur yang melambai di bibir ladang. dari balik bukit, di alur anak sungai yang jernih, seorang lelaki gempal berjalan sambil cekikikan. di pundaknya ada gembolan dan seruling.

“Orang-orang tolol!" lelaki yang tak lain Durah itu menggaruk kepala. "Mereka tolol semua karena lebih sibuk mengurus aku ketimbang warga yang kerap berjudi dan mabuk-mabukkan. Tak bolehkah orang menggembala kerbau seiap hari? Tak bolehkah orang meniup seruling setiap malam? sinting! mereka sinting! Hahaha.” Durah tergelak sampai punggungnya terlonjak-lonjak.

“Sekarang aku mau ke desa. Aku mau bertanya pada pemangku adat, sebetulnya apa salahku yang sebenarnya hingga rumah kakek dibakar dan aku tak boleh lagi tinggal di sana? Pemangku tolol! Bisanya cuma main judi dan mabuk,”
Durah terus berjalan bersama kerbaunya. Terdengar siulnya riang. Kontras dengan pagi ini yang hangat.

“Sebagai Durah, aku harus bisa meyakinkan orang-orang goblok itu bahwa aku tidak gila dan bukan pengacau!”

Dua jam berlalu, dari atas bukit Durah sudah bisa melihat desanya. Dia tersenyum. Dia yakin warga desa akan kaget melihat dirinya datang. Durah sama sekali tak tahu bahwa desanya saat ini kosong karena semua orang bergerak mencarinya.

“Kok sepi?” Durah celingak-celinguk. “Kemana orang-orang ini? Hoiii!”

Tak ada jawaban, hanya gema suara Durah yang terdengar. Durah mengira, warag desa takut terhadap dirinya dan sengaja menghindar. Sekali lagi Durah berteriak, memanggil-manggil nama-nama yang dikenalnya agar keluar rumah. lagi-lagi tak ada seorang pun yang menyahut.

"Anjing kurap! keluar kalian semua! Aku bukan orang gila! Kalianlah yang sakit jiwa! Keluar orang-orang sinting!”

Sama saja, hanya hening yang terdengar. Daun-daun kering jatuh tertiup angin. Gemerisik ranting terdengar begitu jelas, bersamaan kicau burung kepodang, dan teriakan ngik ngik monyet hutan. Durah mulai curiga. tanah lapang yang biasanya ramai, tak ada orang. Di berugak Agung juga sepi. Durah memutar badannya seperti gangsing dan tak ada sepotong tubuh manusia pun terlihat.

“Bangsat! Hanya karena aku setiap hari menggiring kerbau, mereka pindah semua! Seperti apa otak orang-orang itu?" Durah meradang. Dia berlari menuju rumah Mantiri teman kecilnya. Tanpa pikir panjang dia tendang pintunya. Brak! Kosong. Sarang laba-laba meliar di sudut-sudut ruang. Dahi Durah berkerut, lalu dia berlari ke rumah pemangku adat di sebrangnya.

“Pemangku! Pemangku!" Tak ada jawaban. Durah membuka pintu yang tak terkunci. Masuklah dia ke dalam. Tak ada seorang pun. Durah benar-benar tak habis pikir desanya bisa kosong seperti ini. Jangankan manusia, anjing yang biasanya berkeliaran seperti ayam pun tak ada.

Di ruang dapur, Durah mencari-cari sesuatu. Diambilnya sebatang korek dan dinyalakannya cepat-cepat. Dia cari ilalang dan digulung-gulungkannya agar mudah terbakar. Setelah itu, dia melempar ke atap rumah pemangku. Seketika rumah itu menyala.

Tak cukup sampai di sini, Durah pindah ke rumah di sebelahnya, melempar ilalang atau kayu yang sudah dibakarnya. Begitu seterusnya sampai setiap rumah di kampung itu habis dilalap jago merah. “Mampus kalian semua!” Durah bergumam duduk di atas kerbaunya. Senja memerah di langit. Perlahan Durah menjauh, pergi entah ke mana.

*Gatsu, oktober 2004

Thursday, April 29, 2004

jarum jam di ujung jalan

wanita tua itu tak henti-hentinya berbicara. tak sedikit pula tersirat kelelahan di wajahnya. padahal sudah lima jam lebih dia melakukan itu. dari satu dua, lama-kelamaan orang yang memperhatikan semakin banyak. semua melihat dengan tatapan takjub, seolah enggan mengedipkan kelopak mata. begitu larut mereka mendengarkan tiap kata yang keluar dari mulut wanita itu. tentu saja reaksi kerumunan di depannya membuat dia kian bergairah. intonasi suaranya melantang. keras terbawa angin menyusuri lorong-lorong jalan, singgah di pintu-pintu rumah, masuk lewat jendela atau lubang angin. orang-orang yang tengah bersantai di kamar tidur, yang baru saja selesai makan, yang baru saja terlelap, bergerak perlahan. mereka keluar rumah dan berduyun-duyun menuju tugu di pusat kota, tempat wanita tua itu berdiri dengan gagahnya.

lima tahun sebelumnya, wanita tua ini amat dibenci. setiap dia lewat, orang-orang selalu menutup hidung, menahan aroma busuk yang meruap dari tubuhnya. tak pernah jelas alasan orang-orang begitu anti terhadap wanita itu. sampai-sampai ada yang pernah mencoba membakarnya agar tak perlu lagi dia hidup. upaya itu gagal karena dianggap tak beradab. maka jalan keluar adalah pengucilan. dan dipasunglah wanita itu di dalam kerangkeng yang terbuat dari bambu kuning. dengan kaki terikat, wanita itu tiap malam merintih, menangis, dan menjerit. tak ada yang peduli, sebab warga setempat menganggap itulah hukuman untuk penghianat yang telah mencoreng nama baik kampung. wanita ini dianggap telah berkhianat karena telah mencederai hati penduduk kota dengan bercerita pada dunia bahwa kota ini penuh dengan orang-orang yang berhati busuk. kurang ajar betul, begitu dulu orang-orang berpikir.

awal-awal wanita tua itu dipasung, tak seorang warga pun yang bisa tidur nyenyak. bukan apa-apa. jeritan wanita itu, juga tangisan dan ocehannya yang dianggap tak keruan, benar-benar membuat rasa kantuk hilang. jelas ini amat menyusahkan. dari hari ke hari, sikap ganjil wanita itu di dalam kerangkeng tak pernah jelas. sampai pada suatu ketika, warga tak lagi mendengar sedikit pun wanita itu berceloteh. semula warga mengira wanita itu mati kelaparan atau sakit diserang nyamuk-nyamuk hutan yang ganas. akan tetapi, bukan itu yang terjadi. wanita itu tetap tenang dengan kaki yang masih terkunci lingkaran besi. duduk berselonjor dengan kedua tangan yang tak pernah pindah dari paha.

rasah heran yang muncul memancing rasa penasaran warga. satu per satu orang berkumpul, memperbincangkan wanita aneh itu di kedai-kedai makanan, atau di sudut-sudut jalan kala meronda. kesunyian yang datang karena lenyapnya suara brisik wanita tua itu memaksa warga untuk bertanya. pak lebai yang diutus warga pun mendekat ke kerangkeng.

"He, Wanita Sinting! Kenapa mulutmu tidak lagi bersuara? Kamu sudah bisu?" Pak Lebai bertanya di kelilingi warga yang ingin tahu. Akan tetapi wanita itu bergeming. Sorot matanya tak menunjukkan dia ingin menjawab pertanyaan tersebut. Dia hanya menunduk. Orang-orang yang berkerumun hanya bisa melihat rambut wanita itu yang tergerai tak beraturan menutupi bagian wajah.

"He, Sinting! Kamu dengar kata-kataku tidak?" Pak Lebai gusar.

Wanita itu tetap bergeming. Dia bukan tak mendengar. Meski matanya terpejam, dia amat tahu ada kerumunan orang banyak mengelilinginya. Meski pula telinganya kotor tanah, sangat jelas pula dia menyimak pertanyaan Pak Lebai. Tak ada pentingnya menjawab rasa heran warga yang telah membuat pergelangan kakinya mengecil. Tak ada urusan pula menjawab rasa penasaran orang-orang kenapa dirinya tak lagi menjerit atau berteriak-teriak. Bagi wanita tua ini, bersikap diam adalah jangan terbaik.

Setiap hari, orang-orang terus bertanya. Tak lagi Pak Lebai yang kelelahan karena sudah berhari-hari mencoba mengorek keterangan si wanita itu.

Saturday, April 24, 2004

PKS, Slogan Bersih, dan Amplop Wartawan

kesibukan membuat saya agak lama tak membuka milis menarik ini. dan setelah satu per satu membaca pesan lama, ada postingan yang membuat saya terusik, dari tim sukses pks, berjudul "sekedar tips dari kawan lama". pada butir pertama tulisan loyalis pks ini, ada kalimat begini: "Pilih partai yang paling sedikit ngeluarin duit (modal yang dikeluarin sedikit akan mengurangi peluang buat korupsi uang rakyat saat partai ini dipercaya memimpin)."

saya bekerja di salah satu televisi swasta sebagai reporter. tulisan itu seketika mengingatkan saya pada liputan tentang kecurangan perhitungan suara yang dialami pks. kebetulan saya sendiri yang jalan dalam liputan itu, setelah kader pks menelepon redaksi dan memberitahukan akan ada jumpa pers. dan mulailah liputan itu, bersama sejumlah wartawan lain. di depan sorot lampu kamera dan moncong mike, kader pks menjabarkan kecurangan yang mereka alami. satu jam lewat, jumpa pers pun beres. rupanya kecemasan saya terbukti. partai yang menyebar spanduk di jembatan penyebrangan atau simpang jalan atau batang pohon (saya tak tahu itu berizin atau tidak), dengan slogan antikorup dan bertekad menciptakan pemerintahan bersih, ternyata menebar benih amplop berisi sejumlah uang. jelas, ini bukan uang untuk bocah pengamen di kolong fly over pancoran, atau buat gelandangan yang lelap di halte atau sudut jalan jakarta, tapi diberikan untuk para wartawan yang meliput itu, termasuk untuk saya dan juru kamera pula tentunya.

saya gamang menerima duit yang kalau tak salah hitung, jumlahnya lumayan untuk membeli satu slop rokok marlboro ditambah sekitar enam bungkus lagi itu. ada kekecewaan yang mendadak muncul di benak: partai yang berniat bersih ternyata tak beda jauh dengan partai lain, menyuap wartawan agar berita dimuat atau ditayangkan. mungkin saya orang yang beruntung. juru kamera saya tak melihat adegan ketika saya menerima uang, sehingga dengan mudah saya mengembalikan uang itu ke kader pks. saya tak tahu apakah kameramen saya terbiasa atau tidak dengan amplop. tapi, sejujurnya, tanpa bermaksud menjelek-jelekkan kantor sendiri, di tempat saya bekerja tak semua wartawannya bersih, meski kebijakan ideal yang digembar-gemborkan amplop diharamkan. saya cuma khawatir andai saat itu juru kamera melihat, dan ternyata dia tak bermasalah dengan amplop, saya akan bertengkar (kerja tim di televisi memang merepotkan, karena harus pintar-pintar bernegosiasi agar tak bertengkar gara-gara yang satu menolak dan yang lainnya ingin menerima amplop). saya bersyukur, meski sering kehabisan uang di tengah bulan, saya tak tertarik menerima uang hasil liputan sejak bekerja di MIM dulu. bukan sekadar diletikkan mimpi pers yang independen, tapi karena memang hati kecil saya tak bisa menerima uang semacam itu.

lewat tulisan ini saya cuma ingin mengatakan kepada pks, yang ingin negeri ini bersih. tak perlulah memberi amplop kepada wartawan yang anda undang, karena itu sama artinya membudayakan wabah suap yang sudah akut. akan ada kejomplangan antara itikad baik dan tindakan yang partai anda lakukan. saya tak mencoblos saat pemilu legislatif, tapi saya sedih andai pks--yang ingin mengurangi peluang buat korupsi uang rakyat saat partai ini dipercaya memimpin, seperti bunyi butir pertama slogan manis itu--ternyata tak konsisten....

wassalam,
satriana budi

Sunday, April 04, 2004

lelaki dan hujan

LELAKI itu pulang ketika hujan baru saja datang. Hujan yang rinai, yang rintiknya berkejapan terkena lampu kendaraan dan merkuri. Tak jauh dari kedai penjual rokok ketengan, di sela orang-orang yang berjeringkat menghindari genangan, lelaki itu menghentikan langkah. Berteduh dia pada bentangan seng yang siang harinya menjadi atap tukang sol sepatu. Rumahnya sudah dekat, jaraknya sama dengan menghisap sebatang rokok putih. Bisa saja dia menerabas hujan. Tapi persimpangan ini seperti memanggil untuk sejenak berhenti.

Mendongkak seraya membetulkan topi, mata lelaki itu membentur layang-layang yang tersangkut di tiang listrik. Terbayanglah masa kecil, ketika dia berlarian membawa bilah bambu yang disambung rapia, beradu lari cepat agar layangan yang putus tak disambar teman. Di sudut jalan yang dindingnya rompal penuh coretan inilah, lelaki itu tumbuh. Orang-orang menjuluki kawasan ini Kampung Comberan, karena got di tepian meruapkan aroma yang menyakitkan hidung. Mungkin gara-gara limbah pabrik di hulu sungai. Ah, lelaki itu tak mau ambil pusing, justru sesungguhnya dia amat berterima kasih, sebab dari kampung ini dia merasa tak perlu mencari jawab kenapa hidup kerap penuh dengan kejutan-kejutan yang menyesakkan.

Lalu membayang wanita renta yang selalu menjadi temannya berbicang sepanjang hidup. Wanita yang pernah menyimpan dirinya di dalam rahim, yang kepergiannya membuat dirinya merasa amat sendirian. Cukup lama dia pulih, bangun dari rasa perih. Lima belas tahun sudah sang ibu tak menemaninya, sejak usianya baru saja menapak angka tigabelas. Lelaki itu melenguh. Kedua tangannya masuk ke saku jaket. Wajahnya dipalingkan agar tak melihat sudut jalan tempat dulu ibunya berjualan nasi uduk saban pagi. Ibuku yang baik, sedang apa kau di dalam tanah sana saat hujan begini?

"Payung, om!" Campring suara bocah gundul membuyarkan lamunan. Hujan menderas. Dari mulut-mulut gang, bocah-bocah ingusan muncul satu per satu, berkeliaran membawa payung besar.

"Payung, om!" Si bocah tak menyerah. Mata lelaki itu datar menatap, yang malah membuatnya seolah ditarik jauh, sewaktu dia merasakan menjadi pengojek payung, seperti bocah gundul yang kini menarik-narik bajunya agar mau menyewa payung.

---

Sudah pukul sepuluh malam. Hujan belum reda. Kamar yang sunyi, televisi dengan adegan pantat penyanyi dangdut yang disorong-sorongkan ke pemirsa, kipas angin yang malas berputar, lelaki itu rebah di ranjang. Dia menatap langit-langit dan kerinduan perlahan memeluk. Penat membuat dia tak lagi sanggup berpikir apa-apa. Tanpa sadar matanya terpejam. Dia tak berharap apa pun, tapi Tuhan memberinya mimpi berjumpa ibu dan dua adiknya yang tewas ditabrak kopaja. Dalam mimpi lelaki itu melihat mereka bersayap, memanggil-manggil dari kejauhan. Dia ingin sekali menghampiri, tapi tak sampai-sampai, sampai pada akhirnya dia terbangun karena dering pesan pendek telepon genggamnya menjerit.

Taruna 378. Korban anak usia 10 thn. TKP Jln Bambu, dekat persimpangan. Dino, Koran Pagi.

Pesan pendek itu dibacanya cepat. Sang kawan mengabarinya telah terjadi pembunuhan terhadap bocah berusia sepuluh tahun. Lokasinya tak jauh dengan tempat dia berdiri menunggu hujan reda. Siapa lagi yang kali ini mati? Kelelahan dan rasa malas yang menyergap mendadak hilang. Ini bukan bereta kecil-kecilan, sebab urusan nyawa bukan perkara sepele. Lelaki itu menyambar jaket di atas kursi, mengambil ransel berisi kamera, setelah sebelumnya mencuci muka sekadarnya.

Sesampainya di lokasi kejadian, lelaki itu melihat orang-orang sudah berekurumun. Ada juga Dino kawannya, serta beberapa kawan wartawan lain. Setelah dekat dan menyapa rekan, lelaki itu dingin menyaksikan sesosok mayat bocah tergeletak ditutupi lembaran koran. Lalu dia setengah berjongkok. Dibukanya lembaran yang menutupi wajah korban. Betapa tercekatnya dia, meski sebagai wartawan kriminal, berkali-kali sudah dia melihat korban pemubunuhan. Seketika ingatannya menelusuri dua jam sebelum kejadian, saat dirinya ditawari seorang bocah gundul agar mau menyewa payung. Seketika ingatannya melayang, saat mendengarkan bocah ini bercerita tentang adiknya yang ingin sekali memiliki boneka barbie. Kenapa harus dia yang menjadi korban? Kenapa mesti bocah yang ingin membelikan ibunya ayam kentaki ini yang harus mati mengenaskan? Orang sinting mana yang tega menghabisinya? Lelaki itu menjauh diri dari kerumunan, membatu dekat tempat sampah, menatap kosong ke arah jalan dan mobil polisi yang baru datang.

Tuesday, February 24, 2004

"....."

boleh jadi kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu.
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu,
padahal ia amat buruk bagimu.
Allah telah mengetahui sedangkan
kamu tidak mengetahui.
(Al'Baqarah : 216)

Saturday, February 21, 2004

pilihan

jejak-jejak itu masih tersisa
aspal basah yang digerus roda
luka
juga harapan yang kandas
pada siapakah malam berteman andai bulan tak lagi datang?
rintik
kembang bunga bertebaran di tanah basah
pergi
sebentar kembali
pergi lagi
lupakan saja kita pernah saling merindu

Saturday, February 14, 2004

Akbar Tandjung ANJING!!!!
Megawati ANJING!!!!
Mahkamah Agung ANJING!!!!
SEMUA ANJING!!!!
BANGSAT!!!!
KAMPRET!!!!

Sunday, February 08, 2004

lelaki itu selalu menyapa pagi

lelaki itu melipat sprei kumal yang menjadi alas tidurnya semalam. bibirnya menjepit sebatang rokok sisa yang juga bekas semalam ia hisap. asap menyapu wajahnya yang dingin. itu terlihat jelas karena cahaya matahari pagi masuk lewat celah-celah jendela. sudah saatnya sprei ini dibuang, lelaki itu bergumam, sudah hampir tiga bulan alas kasur tipisnya tak ganti. "kamar sialan!" lelaki itu melempar keras sprei ke sudut ruangan yang besarnya tak lebih luas dari kamar mandi hotel.

tak ada yang menyenangkan di ruangan ini, selain kesunyian panjang yang membungkus. tak ada juga yang lebih menyenangkan selain tibanya pagi dihiasi aroma tanah basah yang meruap. lelaki itu duduk di atas dipan penuh bangsat, yang tiap malam selalu menyeruput darahnya. dia masih merokok, meski bara mendekati pangkal batang keretek. diambilnya garpu di atas meja reot kecil. lalu dia menorehkan garis di tembok. tiga bulan lewat sehari sudah dia meringkuk tanpa alasan yang tak pernah dia mengerti. yang dia tahu, malam itu ketika anak istri lelap di sampingnya, empat pria bertopeng membawanya pergi. sampai sekarang telinganya masih sulit menghilangkan jerit dan tangis Kedasih dan Adinda, istri dan anaknya tercinta, yang memohon-mohon agar dirinya tak diculik.

diculik? baginya itu memang sebuah penculikan. sebab polisi negeri ini tak akan sedemikian seenaknya. tapi siapa yang percaya pada etika penangkangkapan di zaman gendeng begini? lelaki itu lelah menerka-nerka. dia tak peduli lagi pengalaman pahit yang menimpanya sebuah penangkapan atau penculikan. saat ini dia hanya ingin bertemu istri dan anaknya, yang hingga kini tak ia ketahui lagi kabarnya.

Saturday, February 07, 2004

Senja

senja selalu tahu, matahari akan datang lagi esok dan kembali terlelap dalam gelap
tapi senja tak pernah tahu, ada yang kerap merintih dalam sunyi yang selalu pekat
pada diam...
pada kehampaan...
tebar bintang laksana hujan deduri
kelelahan ini ada saatnya untuk sejenak berhenti
semestinya
tapi hidup bukanlah papan catur yang bisa diatur semestinya atau seharusnya
hidup, sekaligus juga mimpi-mimpi... adalah kelelahan panjang yang tak berujung....
dia harus ringan seperti kapas
kuat serupa karang laut lepas....
biarkan aku berjalan menjemput pagi lalu pulang di senja bersama matahari....

Thursday, January 29, 2004

aku lari bagai musang lari dalam bayang-bayang rimba,
gila dengan wanginya sendiri.
malamnya malam pertengahan mei dan anginnya angin selatan.
aku kehilangan jala dan akupun mengelana.
aku mencari apa yang tak bisa kudapat, aku mendapat apa yang tak kucari

dari hatiku keluar dan menari-nari bayangan hasratku sendiri.
bayangan kemilau itu melayang lalu.
kucoba mendekapnya kuat-kuat; ia lucut terlepas
dan membuatku tersesat.
aku mencari apa yang tak bisa kudapat, aku mendapat apa yang tak kucari

(Rabindranath Tagore)

Tuesday, January 06, 2004

inilah negeri copet. tempat para bajingan dan penyair bisa bersenda gurau tanpa beban. tanah kelahiran cepot, mantan raja copet yang bertobat dan kini menjadi seorang raja sungguhan sebuah republik urakan. tapi apa yang bisa diharapkan dari pemimpin mantan pencopet? nihil! maka tak seluruh rakyat pun bekerja sebagai copet. menjadi orang berbudi luhur adalah kebodohan, sebab sang pemimpin bukanlah orang suci. profesi dokter, polisi, guru, wartawan, tentara, arstitek, hanyalah hobi. pekerjaan utama penduduk adalah nyopet.

hidup copet! spanduk itu terpampang jelas di sebuah taman kota yang dulunya amat indah dan bersih. inilah taman tempat mangkal para copet dari berbagai pelosok. orang-orang berkumpul berdiskusi tentang cara mencopet gaya mutakhir. orang-orang di taman ini beraneka ragam. ada yang kucel, rapi, bermata satu, bermobil mewah, dan ada juga yang cuma menarik gerobak. semuanya adalah copet. semuanya tak tahu kebersihan dan seenaknya membuang puntung rokok atau meludah.
Every time I think of you
I get a shot right through into a bolt of blue
It's no problem of mine but it's a problem I find
Living a life that I can't leave behind

There's no sense in telling me
The wisdom of a fool won't set you free
But that's the way that it goes and it's what nobody knows
And every day my confusion grows

***
Every time I see you falling
I get down on my knees and pray
I'm waiting for that final moment
You say the words that I can't say

I feel fine and I feel good
I feel like I never should
Whenever I get this way I just don't know what to say
Why can't we be ourselves like we were yesterday

I'm not sure what this could mean
I don't think you're what you seem
I do admit to myself that if I hurt someone else
Then I'd never see just what we're meant to be