Thursday, November 23, 2006

cahaya bulan

akhirnya
semua akan tiba
pada suatu hari
yang biasa
pada suatu ketika
yang telah lama
kita ketahui

apakah kau
masih selembut dahulu?
memintaku minum susu
dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan
letak leher kemejaku

kabut tipis pun
turun pelan-pelan
di lembah kasih
lembah mandalawangi

kau dan aku
tegak berdiri
melihat hutan-hutan
yang menjadi suram
meresapi belaian hati
yang menjadi dingin

apakah kau
masih membelaiku
semesra dahulu?
ketika kudekap
kau dekaplah lebih dekat
lebih dekat

apa kau
masih akan berkata?
kudengar detak jantungku
kita begitu berbeda
dalam semua
kecuali dalam cinta...

gie
dahsyat puisi ini

Tuesday, November 21, 2006

Republik Copet

Selamat Datang di Negeri Copet. Kalimat itu terbentang di setiap gerbang kedatangan, menyambut mereka yang baru pertama kali menginjakkan kaki di negeri copet. Inilah sebuah negeri yang tak akan ketemu mencarinya di peta. Meski begitu, negeri copet amat terkenal, dengan bendera merah putihnya yang bergambar jari tengah dan telunjuk menggamit dompet.

Satu hal yang membedakan negeri ini dengan ribuan negeri lain di dunia adalah kebiasaan ajaib ratusan juta penduduknya. Tanpa kecuali, dari anak-anak sampai yang tua renta, memikili kepandaian mencopet. Dan jangan heran, mencopet bukan kejahatan di negeri ini. Membolak-balik kitab hukum sampai kiamat pun tak akan ketemu kalimat bahwa mencopet adalah tindak pidana kriminal. Tak ada hukuman penjara buat pencopet, karena memang itulah mata pencarian utama penduduk.

Kalaupun ada yang berstatus pegawai negeri, pengusaha, dokter, wartawan, pemuka agama, pelacur, tukang sapu, pemulung, penyair, guru, arsitek, teknokrat, atau atlet, penyiar, pelawak, artis, itu cuma kerjaan sampingan. Semacam hobi. Mencopetlah kerjaan pokok mereka.

Itulah sebabnya di negeri ini tak ada pengangguran. Semuanya bekerja. Banyak negara yang ingin belajar tentang cara menekan tingginya angka penganggur, tapi selalu gagal. Umumnya, kegagalan itu lantaran rakyat di negeri lain tidak kreatif. Beda dengan penduduk di negeri copet yang selalu bekerja dan berpikir keras untuk menemukan cara atau inovasi-inovasi baru dan jitu mencopet. Di negeri lain, penduduk kerap masuk penjara karena mencopet. Mereka juga punya kelemahan. Aturan dan hukumnya terlalu galak. Mencopet dianggap kejahatan, sehingga banyak orang takut. Di negeri copet tidak. Pekerjaan copet-mencopet amat dimuliakan.

Di negeri copet, setiap orang yang menjadi korban tak boleh marah, apalagi sampai melapor ke pihak berwajib. Percuma. Aparat kepolisian tak akan menggubris. Malah bisa jadi lebih sial, si pelapor yang bakal dijebloskan ke penjara. Lha wong mencopet sudah jadi tradisi. Mau bagaimana lagi?

Di negeri copet orang tak perlu ekstra hati-hati menyimpan uang. Sia-sia saja menyimpan duit, karena mereka memang sudah menyadari bahwa suatu saat uangnya pasti akan raib dicopet. Tapi tidak apa-apa. Orang-orang berpikir, toh, mereka juga bisa mencopet balik kepada siapa pun, termasuk pada keluarga sendiri. Begitu seterusnya seperti lingkaran. Kruwel-kruwel tidak karuan.

Tak ada dompet di negeri copet. Untuk apa menyembunyikan duit di dompet jika bakalan dicopet? Pernah ada orang yang nekat berbisnis jual beli dompet. Tak sampai sepekan gulung tikar. Orang-orang lebih senang dan sering menyimpan uang di saku celana atau ditenteng-tenteng saja di kepalan tangan.

Hidup di tengah masyarakat yang semuanya jago mencopet memang agak repot. Di mana dan serapat apa pun uang disimpan pasti akan lenyap. Duit di balik celana dalam saja bisa raib. Kepandaian copet mencopet penduduk di negeri copet memag tak diragukan. Sudah sejak dulu, sejak ratusan tahun silam begitu. Tak jelas betul ini tertular dari ulah penjajah yang dulu rajin mencopet rempah-rempah atau memang sudah dari sananya demikian.

***

Negeri copet dipimpin kepala kampung, semacam presiden di negeri-negeri demokratis modern. Itulah sebabnya negeri copet kerap pula disebut Republik Copet. Saat ini, kepala kampungnya bernama Cepot. Dia copet karir, yang naik ke puncak kekuasaan setelah bertahun-tahun beroperasi di jalan, pasar, atau terminal. Sejak kecil, bakat mencopetnya memang dahsyat. Ayahnya bekas carik di desa miskin yang sering kebanjiran. Dari ayahnyalah Cepot belajar mencopet yang baik. Mula-mula ia kecil-kecilan mencopet uang milik ayah atau ibunya. Melihat bakat yang ada di diri si anak, orang tua Cepot lalu mengajari cara mencopet yang cepat tanpa jejak. Perlahan, tetangga yang jadi korban, sampai akhirnya ia beroperasi di bus atau kereta.

Untuk mengasah bakatnya yang tak tebendung, Cepot pun merantau ke kota-kota besar. Dari kota di sudut barat, sampai belahan timur sudah ia jelajahi dan ia selalu sukses mencopet di mana pun berada. Tahun berganti, daerah operasi Cepot pindah ke areal yang lebih spesifik dan sulit. Misalnya di kantor-kantor pemerintahan atau bank. Cepot tak akan pernah bisa melupakan aksinya di sejumlah bank. Saat itu ia sukses besar, lolos mencopet tanpa terlacak dengan nilai miliaran rupiah.

Lantaran kepandaian mencopetnya yang nyaris tanpa cacat, Cepot cepat dikenal. Sifatnya yang murah hati amat disenangi. Setiap habis mencopet, meski hasilnya tak banyak, dia tak lupa membagi-bagikan pada siapa pun yang dijumpai, meski bila orang itu lengah, diam-diam ia akan mencopet uang itu kembali.

“Nyopet itu napas saya, Dik. Saya bisa mati kalau sehari saja tidak mencopet,”
begitu kata Cepot suatu ketika, kepada seorang wartawan muda yang tengah menurunkan laporan khusus tentang maestro-maestro copet.

Nasib dan bakat alami yang dimiliki Cepot membuat jalur hidupnya berubah drastis. Dari yang cuma ngetop di tingkat kelurahan, lambat laun pamornya kondang di tingkat kota dan provinsi. Apalagi, ia selalu menciptakan gaya copet yang inovatif, membuat ketenarannya meroket sampai tingkat nasional. Sebagai bentuk penghargaan terhadap kinerja Cepot yang bisa meraup omzet miliaran rupiah, negara pernah memberikan anugerah pada Cepot sebagai copet terbaik dan terpuji tingkat nasional.

Sesungguhnya, Cepot tak pernah menyangka bakal duduk di pucuk kekuasaan. Semuanya terjadi begitu saja, ketika negeri copet menggelar pemilihan kepala kampung secara langsung--sesuatu yang baru karena sebelumnya rakyat selalu memilih tanda gambar partai. Selain sembilan nama politisi kondang, muncul pula Cepot di koran-koran dan televisi, lengkap dengan foto dan deskripsi aktivitas mencopetnya. Di luar dugaan, Cepot terpilih. Dia menang mutlak di setiap kawasan. Semua senang. Rakyat benar-benar puas. Cepot yang dulu kere dan penghasilannya cuma sekitar lima puluh ribu per dua minggu, mendadak kaya raya. Pembantu-pembantu di pemerintahannya memanggil dengan sebutan bos besar, cocok dengan perutnya yang buncit.

Cepot belum lama menduduki kursi kekuasaan. Sekitar dua tahunan kalau tak salah. Cepot tak pernah menyangka, posisinya sebagai kepala negara amat menyenangkan. Cuma ongkang-ongkang kaki di singgasana, diselingi acara memimpin rapat, sesekali jalan-jalan ke mancangera, ujung-ujungnya uang masuk kantong tanpa perlu susah payah mencopet. Ada saja yang memberi hadiah atau upeti. Cepot sampai heran heran. Padahal, dia sama sekali tak ada bakat memimpin. Jangankan memimpin sebuah negeri, jadi ketua kelas pun tak pernah.

***

Hari ini, orang-orang bergeming di depan televisi, di samping radio, menyimak pidato Cepot yang disiarkan langsung dan mendadak dari istana negara.

“Sungguh, sejujurnya saya amat mencintai negeri ini. Negeri inilah yang membuat saya bisa menyadari bahwa hidup sebenarnya adalah kreativitas. Kita tahu, rutinitas yang kita jalani setiap hari, dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, dan sampai tahun berganti, sudah begitu mendarah daging. Di negeri ini kita memang dilahirkan untuk mencopet. Tidak ada negara yang memiliki kelebihan seperti yang kita miliki. Tapi bung, bahagiakah kita sesungguhnya menyandang gelar sebagai negeri copet? Coba kalian rakyatku tercinta tanya dalam hati, tanyakan kenapa? Kutukan atau anugerahkah bakat copet-mencopet yang kita miliki dan tak dipunyai penduduk negeri lain?”

Orang-orang masih menyimak pidato Cepot.. Dari televisi atau radio transistor. Di gedung-gedung perkantoran, di lorong-lorong gang sudut kota, tepian kali, atau di bawah pohon tempat bercukur. Sambil menguyah pisang goreng, menggaruk jidat yang tak gatal, atau menguap. Perasaan mereka sama: kesedihan mendalam akan keputusan Cepot mengundurkan diri sebagai presiden.

“Terus terang saya lelah. Saya merasa gagal. Tapi saya tidak akan menyalahkan pendahulu-pendahulu negeri ini meski merekalah yang membiarkan kita sebagai bangsa bisa begitu gemar mencopet, sampai-sampai negeri kita dijuluki negeri copet. Tidak malukah kalian rakyatku tersayang? Tidakkah kalian bahwa ini sebagai sebuah salah kaprah karena ternyata kita begitu bangga akan predikat negeri copet? Tanyakan kenapa?”

“Saudara-saudaraku terkasih, ini sudah saya pikirkan masak-masak. Saya harus memutuskan agar sebaiknya kita tak terus menerus larut dalam sebuah kebahagiaan semu. Kita harus berubah, Bung! Harus. Saya hanya bisa mengimbau, tidak bisa memaksa, karena meski saya pemimpin negeri ini, perubahan itu tidak bisa saya lakukan sendiri karena semua tergantung kalian semua juga. Terus terang, saya pesimistis. Saya tidak yakin kita bisa mengubah makanan sehari-hari yang kita santap.”

Satu per satu orang yang di depan televisi menyeka pipinya, menangis karena di layar terlihat Cepot berlinang air mata dan mengusap sudut matanya.

“Dengan kesadaran penuh pula…” Cepot terbata, berat mengucapkan lanjutan kalimatnya, “Dengan ini… Sa saya menyatakan… mengundurkan diri sebagai presiden republik copet.”

Orang-orang bangkit dari tempat duduknya. Mereka tak menyangka Cepot melakukan itu.

“Adapun tugas dan hal-hal lain yang berkaitan dengan roda pemerintahan, saya kembalikan kepada rakyat dan orang-orang yang pantas. Silakan kalian memilih, tapi jangan pilih saya lagi. Saya sudah tidak tahan. Saya benar-benar tidak kuat lagi memimpin negeri ini. Saya ingin mati dengan tenang, karena meski hukum kita tak pernah bisa menyentuh aksi copet mencopet yang kita lakukan, ada hukum lain yang tak akan pernah bisa kita hindari. Kalian pasti tahu itu. Terima kasih… Merdeka!”

Setelah mengucapkan kalimat terakhir, Cepot meneguk segelas jus jeruk di sudut mimbar. Tapi tak sampai lima menit ketika berjalan menyalami meneteri-menteri yang selama ini membantunya, Cepot limbung. Ia terjatuh, mulutnya berbusa. Keringat dingin meruap dari pori-porinya. Tiga ajudan yang berdiri di dekatnya segera menolong. Terlambat, Cepot keburu mengembuskan napas terakhir setelah kejang-kejang sebentar. Adegan itu masih disiarkan langsung. Rakyat melihatnya terpana. Ada yang menjerit tidak percaya. Menangis, meraung. Tak seorang pun tahu bahwa sebetulnya ada yang menuangkan arsenik ke gelas Cepot sebelum ia berpidato.

Ke depan, tak terbayang Republik Copet akan seperti apa. Suasana masih penuh duka. Di sudut-sudut jalan, terbentang bendera setengah tiang, merah putih dengan gambar jari tengah dan telunjuk menggamit dompet.

Tebet, November 2006
Cerpen ini akan dimuat di PLAYBOY Indonesia

Friday, November 17, 2006

diagonal

sesungguhnya aku tengah berada di simpang
pada ruang yang tak benderang
karena lampu-lampu dipadamkan
dan matahari tak kunjung datang

aku jadi teringat masa-masa itu
ketika waktu sama sekali tak menentu
hari berganti tetap saja begitu
aku luruh bersama rindu

entah tentang kamu atau siapa
entah tentang itu atau bagaimana
yang aku tahu
kini aku tengah berada di simpang
pada jeda yang semestinya tak membuatku gamang...

Friday, November 10, 2006

orang tua

ibuku ulang tahun dan ayahku terbaring sakit. hari ini, aku tidak tahu, harus bahagia atau menangis. betapa sulit menyatukan keduanya. ketika aku kecil, aku tak pernah berpikir mereka akan menjadi tua, renta dan lemah. jujur, kini aku begitu takut. meski aku sadar umur di tangan Kuasa, masa hidup orang tuaku mungkin tinggal sebentar lagi. kebahagiaan apa yang sudah kuberikan pada mereka? tidak ada.

hari ini aku sesungguhnya tak sanggup... untuk berkata apa-apa... untuk berpikir apa-apa... aku cuma ingin ayahku sembuh dan ibuku bahagia di hari jadinya... selamat ulang tahun ibu, sembuhkan ayahku Tuhan...

anakmu yang tak pernah membahagiakan...

Sunday, November 05, 2006

Janji Manismu

By: Terry

Dunia ini penuh kepalsuan
Mungkinkah tiada keikhlasan
Apakah ini suatu pembalasan
Kusadar kebesaran-Mu, Tuhan

Aku bagai seorang pengembara jalanan
Terombang ambing di lautan gelora
Mencari kebahagiaan
Dahan untuk menopang kasih
Mungkinkah suratan
Hidup kan selalu sendirian

(*) Hati membeku mengingatkan
Kata janji manismu
Ku dilambung angan angan
Belaian kasih sayang suci darimu
Oh kejamnya
Lidah tidak bertulang
Ucapan cinta mengiris kalbu
Ku kan pergi membawa diri
Cinta di hati terkubur lagi
( Cinta di hati terkubur lagi )

Tidak kupahami
Mengapa terjadi
Peristiwa pahit menggores hati
Perjalanan hidup ini
Sudah tertulis
Kutempuhi dengan kesabaran
Kusadar kebesaran-Mu, Tuhan

(*)
Cinta di hati terkubur lagi

asik lagu ini... :)