Sunday, August 17, 2003

Televisi dan Hiperpolitik

*Garin Nugroho dan Yasraf Amir Piliang

PERKEMBANGAN sosial-politik di dalam masyarakat-bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari bagaimana semuanya direpresentasikan di dalam berbagai media komunikasi, khususnya televisi. Dunia sosial-politik dan dunia televisi adalah dua dunia yang saling berhubungan di dalam masyarakat informasi dewasa ini meskipun ada relasi yang problematis di antara keduanya.

Televisi bukanlah sebuah ruang kosong yang hampa makna, tetapi merupakan sederet penanda (signifiers) yang membawa bersamanya sederet penanda atau makna (signifieds), menyangkut gaya hidup, karakter manusia, nilai kepemimpinan, hingga wajah realitas sosial-politik masyarakat-bangsa ini. Ada makna politik di dunia realitas, tetapi ada ’makna’ politik di dunia televisi, yang keduanya saling berkaitan.

Televisi adalah lukisan politik Indonesia di ruang keluarga sehingga makna keindonesiaan itu sendiri bisa dibaca secara lengkap (meskipun ironis) di dalam program-program televisi. Televisi dapat dilukiskan sebagai sebuah pemadatan atau ’peledakan ke arah dalam’ realitas keindonesiaan secara keseluruhan sehingga menonton televisi berarti menonton totalitas lukisan wajah Indonesia itu sendiri-the implosion of meaning.

Televisi merupakan sebuah ruang elektronik (electronic space) yang di dalamnya berlangsung berbagai bentuk eksperimen politik pada tataran citraan dan semiotik, yang menciptakan semacam politik citraan (politics of images) dan semiotika politik (political semiotics), yang digerakkan oleh apa yang disebut teknologi-politik pencitraan-politics of imagology.

Akan tetapi, politik yang hidup di dalam ruang televisi tidak dengan sendirinya melukiskan ’realitas politik’, dalam pengertian politik nyata (real politics). Politik informasi dan pencitraan politik-dalam bentuknya sekarang-justru telah menggiring politik pada wujud hiper-realitasnya, yaitu wujud simulasinya dalam media, yang berbeda bahkan dapat terputus sama sekali dari realitas politik di ruang nyata-the hyper-reality of politics.

Jean Baudrillard, di dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983), mengemukakan bahwa media (seperti televisi) memproduksi semacam ’realitas kedua’ (second reality), yang mempunyai logikanya sendiri, yang pada titik tertentu dapat menetralisir bahkan ’membunuh’ realitas sosial-politik di dunia nyata, yang menggiring pada ’kematian sosial’ dan politik (the death of the social). Yang ada hanya simulasi sosial dan politik.

Dalam politik, yang kemudian terbentuk adalah semacam ’hiperpolitik’ (hyperpolitics), yaitu politik yang hidup dalam wujud simulasinya di dalam ruang-ruang citraan (khususnya televisi), yang tidak lagi merepresentasikan politik yang sesungguhnya di dunia nyata. Artinya, ada keterputusan antara ’realitas’ politik di dalam media, realitas politik di dunia nyata dan realitas masyarakat sendiri-politics of discontinuity.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan krisis yang tanpa sense of crisis. Inilah wajah santai, penuh senyum, dan tanpa dosa para penyelenggara negara dan politikus di dalam acara berita televisi. Mereka adalah penanda murni (pure signifier), yaitu penanda yang hidup di dunia sendiri yang terputus dari masyarakat (signified). DPR adalah penanda murni yang terputus dari masyarakat yang direpresentasikannya. Bahkan, demonstrasi tertentu adalah juga penanda murni, yang tidak lagi menandai aspirasi, hasrat, dan ideal-ideal masyarakatnya.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan transisi tanpa panduan kepemimpinan. Televisi menjadi semacam ’ruang tunggu’ untuk para pemimpin pada periode waktu tertentu atau untuk berbagai peristiwa penting tertentu, yang ditunggu keluarga-keluarga Indonesia di depan layar. Akan tetapi, ironisnya, keluarga-keluarga itu tak pernah menunggu pidato para pemimpin di televisi. Tampil atau tidaknya mereka di tengah berbagai masalah penting, seperti kenaikan harga gula, tak penting bagi masyarakat. Mereka lebih tertarik menunggu ’panduan’ lain, seperti Inul.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan berbaurnya kekerasan dan eforia demokrasi, disebabkan politik yang tanpa keterampilan politik. Begitu banyak acara talkshow tentang demokratisasi di televisi; ironisnya, di tempat lain, ruang-ruang berita justru dipadati oleh berbagai bentuk kekerasan di berbagai ruang publik: di jalan, DPR, sekolah, dan lain-lain. Eforia demokrasi yang tidak disertai mutu, kualitas, dan keterampilan politik telah menggiring pada situasi kebuntuan, yang melahirkan berbagai bentuk kekerasan.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan masyarakat konsumtif tanpa etika. Contohnya adalah program sepak bola. Bila Eropa mampu menghasilkan dunia sepak bola yang produktif dan berkualitas, organisasi sepak bola yang berwibawa, serta dunia sport entertainment yang menarik; di Indonesia semuanya tidak muncul. Yang ingar-bingar cuma kuisnya, dengan hadiah besar untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu. Inilah analogi ’ruang (sepak bola) politik’ kita (political space), yang penuh ingar-bingar citra, kampanye, talkshow dan perang simbolik, tetapi tidak pernah menghasilkan dunia politik yang cerdas, kreatif, produktif, berkualitas, beretika, dan beradab.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan tentang hancurnya penegakan hukum, yang diambil alih oleh simulakrum hukum (simulacrum of law). Iring-iringan kasus hukum tak pernah melahirkan ’pahlawan’, disebabkan tak ada pemecahan masalah hukum dan penemuan yang bersalah secara meyakinkan. Ruang-ruang hukum dipadati oleh penampilan pengadilan pura-pura, kesaksian semu, dan keadilan palsu (pseudo justice)

’Hiperpolitik’ adalah lukisan tentang hilangnya ruang civil society, yang dilindas oleh mesin-mesin ekonomi dan kekuasaan yang saling bertempur- tanpa malu-memperebutkan ruang- ruang kekuasaan dan teritorialnya. Program-program televisi lebih dikuasai oleh mesin-mesin ekonomi dan kekuasaan ini, lewat iklan-iklan komersial atau kampanye kekuasaan tanpa interupsi, yang tidak menyisakan lagi ruang untuk publik.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan reformasi yang diasingkan dan politik yang terasing secara semiotik (political alienation). Politik atau reformasi hanya hidup secara semiotik di dalam berita dan talkshow, tetapi tak pernah disambut di dalam iklan dan sinetron. Artinya, politik hanya hidup dalam keangkuhannya di dalam ruang semiotika politik (political semiotic space), tetapi mengalami kematian di dalam ruang- ruang publik lainnya (public semiotic space). Ada iklan kemerdekaan atau hari-hari besar lainnya dengan biaya besar, tetapi tak ada iklan reformasi, kalaupun ada, malu-malu. Reformasi sepertinya masih asing.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan sosial-politik yang penuh kekerasan simbolik (symbolic violence). Berita tentang kekerasan dan horor (pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, perang, kanibalisme) hadir seenaknya di layar-layar televisi, tanpa pernah mengingat waktu tayang dan segmentasi psikologis penonton. Kekerasan dan horor itu kini menjadi sebuah komoditas tontonan utama televisi. Televisi lalu terjerat di dalam apa yang disebut Baudrillard di dalam The Ecstasy of Communication (1987) sebagai jaring ’kepuasan puncak komunikasi’, tanpa peduli dengan isi dan efek komunikasi itu sendiri.

Pembiakan budaya layar (screen culture) di dalam masyarakat kita telah menggiring dunia sosial-politik ke arah sebuah orde simulasi realitas. Televisi adalah lukisan dunia realitas sosial-politik kita yang penuh distorsi, yang-menggunakan pemahaman Plato mengenai realitas-ia bukan ’salinan’ (copy) realitas, melainkan simulakrum (simulacrum) realitas, yaitu salinan realitas yang telah didistorsi.

Lukisan realitas yang sarat distorsi tersebut, sebagaimana dikatakan Kevin Robins dalam Into the Image: Culture and Politics in the Field of Vision (1996), pada tingkat ekstrem benar-benar tanggal dari dunia realitas (sosial-politik) itu sendiri. Ia lalu menemukan logikanya sendiri, yaitu logika ’pembiakan citra’ (multiplicity of images), yang di dalamnya produksi citra telah terputus dari realitas sosial-politik itu sendiri.

Keterputusan citra dari realitas politik, politikus dari massanya, wakil rakyat dari rakyatnya, demonstran dari masyarakatnya merupakan salah satu faktor penyebab utama terjadinya berbagai kemacetan total (total breakdown) pada seluruh sistem dan kebuntuan total (total deadlock) segala bentuk perjuangan bagi perubahan, pembaruan, dan reformasi (sosial, ekonomi, politik, hukum, kultural), yang semuanya dapat dilihat pada layar televisi .

Televisi akhirnya menjadi sebuah ’ruang pelarian’ dari berbagai kemacetan dan kebuntuan tersebut. Fenomena Inul adalah puncak simbolik dari kemacetan sistem dan kebuntuan perjuangan tersebut. Tidak mengherankan bila Inul menjelma menjadi sebuah ’magnet raksasa’ dan strange attractor, yang menyedot seluruh perhatian, kesadaran (bahkan ketaksadaran), bahasa, metafora; jargon politik, trik pemasaran, manajemen usaha, strategi media, aktivitas ekonomi; kegiatan LSM, HAM; penelitian, diskusi ilmiah, bahkan perdebatan akademis di atas tubuh bangsa ini, yang telah menggilas habis ruang-ruang real politics.

Program-program konsumtif tentang seks, tubuh, mistik, dan gaya hidup merupakan wujud pelarian lainnya dari kegagalan politik dan parahnya keterampilan politik, yang tidak mampu menghasilkan dunia politik yang produktif, cerdas, dinamis, kreatif dan beradab. Karena tak kuasa merealisasikan dirinya di dalam ruang real politics seperti di atas, dunia politik kita kini justru terserap ke dalam medan magnet politik seks, politik gaya hidup, politik mistik, dan ’politik pantat’ yang menguntungkan tersebut.

*Garin Nugroho Pengamat Film dan Televisi
*Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD Institut Teknologi Bandung

Wednesday, August 06, 2003

Marriott

mereka berpulang pada ketidakterdugaan
ketika sebuah ledakan meluluhlantakkan Marriott
satpam dengan tiga anak kecilnya...
sopir taksi dengan ibunya yang renta...
aku yang terdiam tak berkata-kata...