Tuesday, December 25, 2007

ze

cinta adalah jembatan untuk tidak peduli pada apa dan siapa pun, termasuk pada yang Kuasa.

setiap desember jatuh pada tanggal 25, saya tak pernah teringat siapa pun. saya tidak peduli. tapi natal kali ini, saya teringat pada sosok ze. perempuan yang belum lama saya kenal. ia seorang dokter. bekerja di sebuah lembaga internasional bergengsi. kedua bola matanya yang kecil mengingatkan saya pada zhang ziyi saat bermain di geisha karya rob marshall. perempuan lembut yang lebih memilih diam ketimbang mengumbar amarah kala sedang jengkel.

dalam tugasnya, ze lebih sering bepergian menyambangi daerah-daerah pelosok tanah air. meninggalkan dua anaknya di rumah yang diasuh sang nenek.

ze seorang kristiani yang taat. ada rosario yang tak pernah lepas tergantung di lehernya yang jenjang. rajin ke gereja dan senang sekali mengutip ayat dari alkitab dalam blog pribadinya. ibunya seorang muslim. begitu juga ayahnya.

ze menyenangkan. ia mudah tergelak. pintar dan santun. dan pada natal, saya yang biasanya tidak pernah ingat apa pun dan siapa pun, tiba-tiba terkenang pada sosok ze. teringat kisahnya yang perih.

ia bercerai dari suaminya, kekasih pertamanya sejak zaman sekolah tingkat atas. kegilaan suaminya yang, menurut pengakuan ze, bermain gila di rumahnya dengan perempuan lain, memukul keras batinnya. ia memutuskan untuk berpisah. yang lebih gila lagi, ternyata suaminya menikah diam-diam sebelum ze memergoki sedang berasyik masyuk di kamar tidur, yang biasa ia tempati bersama sang suami.

dan ze akhirnya hidup dengan kedua anaknya. yang pertama lelaki, usia tujuh tahun. anak kedua saya lupa, tapi perempuan. manja. terakhir saya bertanya tentang kabar si manja ini, panasnya tinggi. demam. ada yang tidak beres di perutnya, kata ze.

dan di natal ini, saya teringat ze. ingat kisahnya yang membuat saya terdiam cukup lama tanpa fokus melihat apa pun.

saya teringat masa lalu ze yang dulu muslimah taat. menutup aurat. rajin shalat lima waktu. kealimannya tidak jarang membuat sejumlah lelaki muslim lain terpikat. tapi ze tidak tergoda. ia lebih memilih lelaki yang kemudian menjadi suaminya. suami yang pada akhirnya membuatnya kehabisan air mata. air mata perceraian. tragedi terburuk yang yang tidak lama setelah itu, saya tidak tahu persisnya, membuat ze beralih keyakinan dari seorang muslim menjadi nasrani. ze tidak peduli ayah dan ibunya kecewa. ze tidak peduli Tuhan yang diyakininya selama ini juga kecewa.

saya menghargai dan menghormati keputusan ze, meski kehabisan kata-kata membayangkannya di natal ini. saya sungguh-sungguh gelisah mengingatnya....

Sunday, December 23, 2007

sekian kalinya

untuk kesekian kalinya
ia menoleh
untuk kesekian kalinya pula
ia berpaling
menarik waktu bahagia
sewaktu ia tidak sendiri

gemuruhnya gemuruh rindu
yang tidak mampu
ia terbangkan
pada waktu
yang tidak bisa
ia kuasai

ketika itu
bulan masih juli
gerimis belum membuih
jarak bersamanya hanya seinci
tapi tidak kini
tiada lagi biru di langit
setiap kali ia menengadah
memanjat mimpi
cuma pekat
lebur bersama
harap yang lenyap

Thursday, December 20, 2007

pergilah yang jauh...

tapi dia tidak lagi melihat bayangnya di simpang, persis di bawah tiang temaram merkuri itu. matanya cuma menangkap lorong panjang yang sepi dan seekor kucing liar mengejar tikus yang setengah mati mencoba sembunyi.

dulu. kemarin dulu ia ingat sekali. setiap hari ia dan dirinya tergelak menyusuri jalan itu. kadang sambil setengah berlari menghindari gerimis yang turun saat senja menepi. ia juga masih ingat, ketika itu ia begitu yakin bahwa dirinya adalah persinggahan terakhir.

tapi buku itu tak pernah selesai dibaca. yang tersisa kini hanyalah waktu yang membeku. kota sunyi tanpa gelaknya. yang tersisa hanya ruang yang memaksa mereka mencari jalan sendiri-sendiri. tak ada lagi matanya yang membuat ia tidak pernah merasa terbunuh sepi...

ia memaksa diri untuk terus berdusta. mencoba percaya rasa sakit itu hanyalah sebuah kiasan hidup. mencoba percaya perihnya selama ini sama sekali bukanlah kenyataan. ia tidak tahu sampai kapan. mungkin ia tak akan pernah selesai memahami. selalu begitu.

hahahaha....

hahaha.... nggak bisa tidur malah keingetan waktu chat sama bule. hahaha...

bule: account facebook lu apaan?
gue : apaan tuh?
bule: itu loh, social networking site, ntar bisa add friends dll.
gue : oh, kayak friendster gitu yah?
bule: apaan tuh?

hahahahaha.... aduh sakit perut.

Monday, December 17, 2007

rindu saja cukup

kukirim rindu ini dari jauh
padamu yang lupa
kita pernah bersama mencuri malam
luruh berdua menjelang pagi tiba

telah kusingkirkan waktu
membiarkanmu berlalu
menganggap tak ada
gelak tawa dan tangismu dulu

rindu saja cukup
meski kau tak pernah tahu...

Friday, December 14, 2007

rindu sekali

sebetulnya saya masih marah padanya. teramat marah malah. tapi rupanya, setiap kali saya merasa jengkel, seketika pula saya merasa amarah itu tidak ada artinya dengan rasa sayang padanya. saya sungguh bisa menepikan amarah itu, dan membiarkan semuanya hilang begitu saja. maka yang tersisa, hanya kenangan-kenangan manis. tak sedikit pun kejengkelan yang membekas lalu berubah menjadi dendam, misalnya.

seperti malam ini, begitu bangun dari tidur pukul sepuluh tadi, saya langsung teringat dia. lama sekali sampai-sampai saya cuma bisa diam. ada keinginan kuat untuk bertemu. ada keinginan kuat untuk melihat senyumnya. sebentar saja tidak apa-apa. saya merindukannya. dan saya tidak tahu sampai kapan saya bisa bertahan menelan potongan-potongan kenangan bersamanya.

kadang-kadang saya berpikir, apakah dia juga merasakan hal serupa? atau cuma saya yang tak kunjung bisa menganggap semuanya sudah selesai? rindukah dia dengan saya? ingin rasanya saya bertanya, tapi saya tidak ingin mengganggu. saya takut dia marah lagi. saya takut justru kehadiran saya kembali malah membuat semuanya menjadi serba sulit. dan saya tidak lagi bisa menyimpan ini semua sebagai kenangan indah...

semoga saja dia baik-baik. tidak sakit. dan bahagia menjalani hari-hari nanti, tanpa saya di sisinya tentu...

Sunday, December 09, 2007

takut

setiap pulang ke rumah, kebiasaan saya adalah berlama-lama di kamar. membaca apa saja sampai ngantuk datang. atau kalau bosan membaca, saya hanya tidur-tiduran. melamun. atau diam begitu saja. tidak ada perasaan gelisah sama sekali. saya tenang, meski sedang sendirian.

tapi sekarang saya takut. sendirian membuat saya sedih. sendirian membuat saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. dipaksa membaca buku apa pun, saya tak akan fokus. saya masih sakit. sakit sekali. saya tidak bisa melupakan peristiwa di pagi itu, meski saya sudah memaafkan. saya cuma tidak pernah menyangka. hati yang baik itu bisa begitu. hati yang baik itu bisa melukai. sebegitu sadiskah saya sehingga harus diperlakukan begini? saya melihat itu bukan dia, karena dia tidak begitu. saya kenal betul hatinya. saya paham betul makna tangisannya selama ini.

untung saya punya teman yang hidup 24 jam di kantor. mereka tidak tahu luka saya, tapi berada di antara mereka membuat saya bisa melupakan sakit itu. saya bermain ps bola, meski tidak konsentrasi dan lebih banyak kalah. saya mencoba tertawa meski rasanya aneh. dan bila satu per satu teman saya pulang, atau tidur, saya benar-benar takut. saya takut ditinggal. saya tidak ingin angan ini hanyut dan peristiwa pagi itu lagi yang datang.

Tuhan, apa dosa saya sehingga Kau hukum sebegini rupa? Sedemikian jahatkah saya? Kenapa ia yang sangat saya cinta bisa begitu tega? Salah saya apa Tuhan? Ini bukan perkara saya tidak lagi bisa menyayangi, atau memiliki seseorang yang bisa berbagi setiap hari, setiap jam, setiap detiknya. tapi ini soal kehilangan. saya kehilangan harapan. saya kehilangan sebuah kepercayaan. saya kehilangan sebuah janji. saya kehilangan senyum yang selama ini saya pikir tulus... saya benar-benar terkurung takut, meski tidak sendiri sekalipun...

Thursday, December 06, 2007

mabuk saya

saya tak pernah menyukai bir. tanpa alkhohol sekalipun. jangankan meminumnya, mencium aromanya saja pasti saya sudah mual. begitu pun minuman beralkohol lain, yang nama-namanya asing di telinga, seperti smirnoff, jeam bim, atau masih banyak lagi yang saya tidak tahu bagaimana rasanya.

maka setiap kali teman-teman yang gemar meracik minuman mengajak, selalu saya tampik. saya lebih senang meminum teh botol. (wih, kalau tidak salah, sudah tiga bulan terakhir ini saya tak meminum air putih. gawat juga).

tapi malam ini saya gagal. ajakan itu tak bisa saya tepis. bergelas-gelas, saya tenggak. saya mabuk habis-habisan. tertawa tanpa sadar. mengoceh tanpa tahu apa yang saya bicarakan. tidak fokus. rasanya ganjil. ada perasaan yang belum pernah saya selami. seperti mengambang. kepala pening bukan main. muntah tak tertahankan. dan saya dibopong karena tak sanggup berjalan.

tapi kenapa sedih dan sakit itu tidak hilang? awal-awal memang begitu kata seorang teman. mungkin saya akan mencoba lagi nanti. dan kami sudah sepakat untuk menjadi lebih gila daripada malam ini. hati kecil saya tidak suka, tapi saya tidak tahu harus bebruat apa. sungguh, betapa memualkan alkohol-alkohol itu.

tapi saya cuma ingin mengusir sedih dan sakit.

ambivalent passive kah saya?
conforming yang pencemas?
compulsive yang tersesatkah saya?

adakah kalian yang bisa mencerabut luka yang tengah saya renangi?

Wednesday, December 05, 2007

hujan kata

engkau adalah rumah
ruang meletakkan lelah
setiap hari
di mana aku berlindung
dari deras hujan kata

jangan pernah
sekejap pun
pergi menjauh
menyisakan peluh
di mana aku
tak bisa bersembunyi
dari deras hujan kata

Monday, December 03, 2007

rindu hujan

hujan begini
di mana engkau
tak ada kabar
menyisakan gelisah
pada dingin yang panjang

di mana engkau, cinta
sedang di luar
sepi merayap
menyisakan resah
pada rindu yang tak lekang

Monday, November 26, 2007

Mata yang Mengganggu

Tuhan tak mengabulkan dosa saya lagi. Pagi ini, ketika membuka mata, saya masih bisa melihat langit-langit kamar. Dua lubang di tengah karena gigitan tikus, sebuah paku yang tak tembus karena pemaluannya tak keras. Dan ketika saya menoleh ke kanan dan ke kiri, mata saya juga mampu menangkap apa pun yang ada di ruangan. Lemari pakaian yang pintunya tak bisa rapat, kaos dan celana jins tergantung di sudut, koran dan majalah berserakan di lantai. Saya lelah bisa melihat. Saya ingin buta. Buta sebuta-butanya.

Sudah dua pekan saya berdoa menjelang tidur, berharap saat pagi tiba, saya tak lagi bisa melihat apa pun. Hanya gelap. Tak ada apa pun yang tampak. Bukan bermaksud tak menysukuri nikmat Tuhan bila saya ingin menjadi buta. Terlebih lagi cukup manusia yang suratan takdirnya telanjur tak bisa melihat. Tapi bagi saya, sudah cukup bagi selama 30 tahun melihat apa pun yang saya mau.

Sekarang saya merasa tersiksa memiliki mata ini. Saya tidak tahan, sebab setiap kali saya melewati tangga penyebrangan jalan di depan kantor, selalu saja bocah itu yang terlihat. Duduk dengan sapu lidi sambil terus menyapu tak peduli panas atau hujan. Saya tak pernah bisa kuat untuk menatap tatapan mata bocah itu. Mata yang seperti tahan pada apa pun. Mata yang tak lelah pada apa pun. Sungguh mata yang mengganggu.

Tidak cuma di jembatan penyeberangan saya menemui mata-mata yang mengganggu. Saban pagi menjelang pukul tujuh sampai sepuluh, atau pukul setengah lima sampai tujuh malam, saya juga kerap tersiksa. Three in one di jalur Sudirman, menyisakan begitu banyak penderitaan buat saya. Orang-orang, dari yang kanak sampai ibu yang menggendong bayi, mengacung kan jari telunjuk dengan tatapan penuh harap. Mata-mata mereka sama buat saya. Mata yang seperti tahan pada apa pun. Mata yang tak lelah pada apa pun. Mata yang kerap mengganggu tiap kali saya teringat.

"Tolong dok, berapa pun akan saya bayar asal dokter bisa membuat mata saya tidak bisa melihat," kepada seorang dokter mata terkenal, saya mengajukan permintaan.

"Ada-ada saja permintaan Anda. Saya tidak bisa memenuhi. Profesi saya dokter, menyembuhkan yang sakit, bukan justru membuat menjadi sakit." Dokter itu setengah tersenyum. Mungkin ia mengira saya bercanda.

"Ini serius dok. Saya lelah melihat apa pun. Berapa pun dokter minta, saya akan senang hati membayar."

"Maaf, saya tidak bisa."

Percuma memaksa dokter. Dan saya pun pamit. Meninggalkan dokter yang tak hentinya tersenyum tidak percaya.

Saturday, November 24, 2007

dalam dingin kutak menemukanmu sampai kapan pun

senja itu selepas hujan di lorong becek deretan gubuk pedagang beratap rumbia di sisi pencakar langit engkau bersijingkat meremas hatiku di mana jejakku sejak kemarin dulu sebelum kau jumpaku aku mengangkat telapak tangan kananku di dahi menengadah menatap jendela ketiga tingkat ke duabelas gedung di belakang patung buruk itu lalu bingung menumpang lift lalu menduga barangkali sebentar lagi engkau sampai menemuiku lalu mengerti siapa aku padahal aku belum pernah mendengar namamu dan engkau tak pernah menyimpan kartu namaku selain puisi itu

di sisa hujan aku melihat bayangmu melintas ketika kumasih terpaku pada apa yang terjadi apakah ini semua ilusi dan tak semestinya kumasuk ke dalam celah yang tak pernah kuduga akan berakhir pilu begini sedangkan kau tak juga bisa kutepikan agar diam di sana selamanya tanpa pernah menggangguku lagi meski kutahu ketika lalu lintas macet karena begitu sembarangannya sepeda motor berseliweran kau tetap saja bergeming berharap kisah ini tak akan pernah melukai hati yang tak pernah selesai untuk menangis dan memberi

kau tahu siapa aku meski aku tak sejauh itu sebab kuingin kau tetap tersenyum meski tak seorang pun paham bahwa segalanya ini adalah soal rindu dan cinta yang mungkin tak pernah kita rasakan sebelumnya tak sedikit pun tak setipis pun...

Saturday, November 17, 2007

aku sudah lelah dan lampu kota tak juga kunjung padam

jumpa lagi kita
dalam kata-kata yang tiada seorang pun paham
kubersandar pada sejuta gelisah yang tak jua bisa meruapkan isi hati yang tak pernah selesai bertanya
ada kalanya aku ingin berhenti
tapi selalu saja pada saat bersamaan terdorong untuk melangkah lagi
terjebak
terperangkap
pada malam yang lebih pekat
dan siang yang lebih terik
aku terengah-engah
dan kau tak juga bisa kugenggam...

ke puncak mana harus kukejar jejakmu
agar bisa kutelusuri, duhai hati yang tak pernah mampu kusudahi?
kadang aku ingin marah dengan-Mu Tuhan
kenapa Kau ciptakan situasi yang membuat semuanya menjadi begitu sunyi
air mata
tak bisa lagi bisa mengartikan apa pun...
sakit
riang
dan apa pun sama saja sekarang...

tak bisakah aku diam untuk selamanya mematung dan menganggapmu tak pernah singgah, duhai hati yang tak pernah mampu kusudahi?
sekejap saja biarkan aku sendiri...

Thursday, November 15, 2007

sore gerimis dan di simpang itu kau mencoba memetik bintang

apa kabar kau yang tak hentinya menghantui mimpi?
masih berdetakkah gelisah itu
senyampang rindu yang melayang tak kunjung terbang
mestinya kau lupakan saja saat di sudut jalan itu kurengkuh jemarimu
menuntun agar kauberlari cepat mengindari senja yang basah rintik gerimis

bilah-bilah cinta yang tercacah tak semestinya kau punguti karena kuyakin kau tak akan pernah kuat menggenggamnya
dan kini mungkin kau lelah
sendiri memupuk waktu yang tak ada habisnya menggiringmu mencari-cari cinta yang kau damba

tidurlah lelap
pagi masih jauh
masih ada purnama yang selalu indah bersama malam yang mungkin saja begitu sunyi
buatmu
begitu panjang buatmu...

Friday, October 05, 2007

aku

aku adalah hujan
pada siang yang lantak
deras turun dari langit rindu
menjemputmu
yang kering lunglai kelelahan

aku adalah hitam
pada putih yang koyak
liat meracau tentang warna
merengkuhmu
yang bimbang pada cinta yang abstrak

Monday, September 24, 2007

selalu begitu

sebetulnya tanpa kau minta aku sudah ingin berhenti
membiarkanmu senyap bersama waktu
seperti desing angin yang ringkih menyapu malamku

tapi cinta memang begitu, mungkin
tak bisa pudar
selalu saja bersemayam meski
berkali-kali kita mencoba sembunyi

lalu kau bertanya
sampai kapan?
kubalik bertanya
kau ingin bertahan sampai kapan?

dan kita terdiam
tak bisa hilang
tak bisa juga pergi
selalu begitu

Tuesday, September 04, 2007

begitulah aku ada

aku dilahirkan untuk mencintainya
menemaninya melangkah
mengiringinya berlari
ke mana pun ia mengayunkan kaki

aku dilahirkan untuk menyayanginya
memeluknya saat ia menangis
tergelak saat ia tertawa
macam mana pun tingkahnya

aku dilahirkan untuk tersenyum
sebab mecintai dan menyayanginya
seperti memandang laut lepas
laksana menatap langit tepi malam
sebuah keindahan tanpa batas...

Monday, August 27, 2007

Lembah Lantana

Barisan pokok jati, gelepar angin dini hari,
tanah mengurai cahaya, lenguh lembu betina
Lidah fajar menjilam pelupukmu terpejam,
ekor mimpi tersangkut di rumbing rambut

Dedahan mendedah kelambu kabut,
dalam igau namaku kausebut

Kuhasratkan arus deras dalam tubuhmu yang cadas
demi kularung mimpi-mimpi boyak serupa perahu masa kanak

Bila musim merentang lengan dan langit terpana parasmu yang sentosa,
pinggangmu penuh bunga, burung-burung akan kembali,
bebatang ranggas menolak mati

Di lekuk liku lukamu, di mana dendam terbenam,
keteduhan membalur bilur waktu biru lebam,
sepasang cuping hidung saling singgung

Bagai rerajut rumput dan lumut, hidup dan maut bersipagut,
gairah mendesing dari reruntuk puing, ingatan lekang
bersalin kelopak-kelopak jingga bemerkahan

Ketika kelam kelaminmu menghisap gempita gempa
ke rahim sunyi dini hari, kudengar angin menggelepar di pepokok jati

Lalu lenguhmu
selembut lembu

Tanah kuyup,
cahaya redup

*sitok srengenge
2006

Saturday, August 11, 2007

habis sudah

dan tak ada kau di sini
lagu lama yang ingin lagi kulantunkan
bersama gemerisik daun kering
yang terpijak ketika kita melewati jalan itu

aku masih ingat
aromamu yang melekat setelah kau lepaskan peluk itu
tapi aku tak pernah sampai
jalan itu begitu jauh dan kau pun tak lagi tampak

hanya bunyi gerimis
di akhir januari yang masih membekas
tak kau sisakan senyum itu
tak peduli kuperih
tak peduli kumerintih...

Wednesday, August 01, 2007

tapi bukan aku

untuk perempuanku yang tiada pernah hilang...

jangan lagi kau sesali keputusanku
ku tak ingin kau semakin kan terluka
tak ingin ku paksakan cinta ini
meski tiada sanggup untuk kau terima

aku memang manusia paling berdosa
khianati rasa demi keinginan semu
lebih baik jangan mencintai aku dan semua hatiku
karena takkan pernah kau temui cinta sejati....

***
berakhirlah sudah semua kisah ini
dan jangan kau tangisi lagi
sekalipun aku takkan pernah mencoba kembali padamu
sejuta kata maaf terasa kan percuma
sebab rasa ku tlah mati untuk menyadarinya....

tapi bukan aku

semoga saja kan kau dapati
hati yang tulus mencintaimu
tapi bukan aku

*kerispatih

Wednesday, July 25, 2007

tak akan

tak ada yang aku tinggalkan dalam diam
selain senyummu
warna jingga di ufuk senja
yang menipis ditelan malam yang lelah

ini cerita tentang gelisah
biru laut yang koyak panas telaga
ombak yang bisu tanpa buih
rindu yang tertelan waktu sendiri

tak akan pernah kembali
tak akan pernah terulang lagi

Thursday, July 19, 2007

amarah

aku ingin tidur panjang
limbung bersama waktu yang lengang
lelap pada nada yang bimbang
mengambang, meradang, melayang
membiarkan segala mimpi terbang

satu waktu aku tak percaya
satu waktu aku menjadi percaya
tidak ada satu pun yang bisa
tidak ada satu pun yang bisa...

aku ingin tidur panjang
sekadar memastikan jalan ini tak berlubang...

Memegang Janji Hiu

Rupert Murdoch membeli kantor berita Dow Jones. Independensi Dow Jones dan Wall Street Journal bakal terancam.

TIDAK kurang dari 175 wartawan The Wall Street Journal beberapa waktu lalu mogok kerja. Mereka memprotes rencana Rupert Murdoch, 76 tahun, membeli mayoritas saham Dow Jones, pemilik koran besar itu. ”Kalau jadi, sudah pasti koran ini tak lagi independen,” kata E.S. Browning, pemimpin aksi tersebut.

Browning adalah reporter senior yang telah bekerja selama 28 tahun di koran itu. Dengan pengalamannya, dia paham betul masuknya orang tua kaya-raya itu berarti sebuah bencana. Mereka berharap Dow Jones mencari calon pembeli lain. Tapi, waktu bergerak cepat. Apa mau dikata, satu-satunya penawar yang masih tinggal hanya News Corporation, perusahaan Murdoch. Calon investor lain, seperti General Electric yang memiliki jaringan berita bisnis CNBC dan Washington Post, sudah kandas di tengah jalan.

Dua pekan silam, Murdoch dan keluarga Bancroft, yang menguasai mayoritas saham perusahaan, bertemu di New York, Amerika. Bancroft setuju melego Dow Jones seharga US$ 5 miliar atau Rp 45 triliun. Keduanya juga sepakat membuat perjanjian untuk menjaga independensi dan integritas Wall Street Journal. Dua hal tersebut yang paling dipegang teguh harian yang para wartawannya berkali-kali merebut Pulitzer, penghargaan untuk karya jurnalistik terbaik di Amerika, itu.

Sayangnya, dalam soal itu nama Murdoch sudah telanjur cemar. Banyak yang ragu ia bakal memegang janji. Buktinya banyak. Saat membeli The London Times, 25 tahun silam, Murdoch juga berjanji akan tetap menghormati redaksi. Kenyataannya? Harry Evans, editor koran itu, langsung dipecat tak lama setelah si juragan masuk kantor. Pemicunya pemuatan komik yang sangat memihak satu kelompok. Nasib serupa menimpa Fred Emery, redaktur juga. ”Aku bisa memerintah editor di seluruh dunia, kenapa di London tidak?” kata Emery menirukan Murdoch ketika itu.

Taipan media asal Negeri Kanguru ini memang dikenal dengan reputasinya yang hobi mencampuradukkan kepentingan bisnis dan politik dengan media yang dikendalikannya. Dia bisa dengan mudah berpindah-pindah haluan mengikuti kepentingannya. Tahun lalu, misalnya, Murdoch mendukung kampanye pemilihan senat untuk Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Padahal, sebelumnya dia salah satu pendukung kuat Bush dan Partai Republik.

Murdoch juga dikenal sebagai pendukung Bush dalam kampanye perang Irak, terutama melalui stasiun TV yang dimilikinya, Fox News Channel. Kebijakan itu diabadikan dalam film dokumenter berjudul Outfoxed: Rupert Murdoch’s War on Journalism. Dalam film itu, orang-orang yang pernah bekerja di Fox menceritakan bagaimana mereka dipaksa untuk mendukung pandangan sayap kanan Murdoch.

Di Inggris, pada 1997, Murdoch mendukung kampanye Tony Blair. Padahal, sebelumnya dia menyokong Partai Konservatif. Setelah Blair menjadi perdana menteri, dia menjadi tamu resmi Downing Street Nomor 10. ”Layaknya anggota kabinet saja,” kata Lance Price, yang menjadi juru bicara Blair dari 1998 hingga 2001. Sebaliknya di Cina, media milik Murdoch memilih untuk tidak menyerang kediktatoran di sana.

Gelagat Dow Jones bakal menyerah kepada Murdoch sudah dibaca Lawrence Haverty, salah seorang investornya. Kepada Bloomberg News, ia mengatakan penawaran tersebut akan membuat perusahaan berusia 125 tahun itu harus bekerja ekstrakeras. ”Dow Jones seperti Nemo yang dikelilingi ikan-ikan hiu,” katanya.

Dengan memiliki Dow Jones, rencana Murdoch memperkuat jajaran bisnis berita kabelnya akan tercapai. Fox Business Channel kepunyaannya akan mendapatkan pasokan berita mutakhir secara rutin dari para wartawan di jaringan perusahaan barunya itu. Pengambilalihan Dow Jones, tak pelak lagi, akan mengukuhkan posisinya di singgasana maharaja media.

Tak pelak lagi, orang Australia yang kini menjadi warga negara Amerika itu bakal makin kaya. Kini dia menguasai berbagai jenis media seperti koran (New York Post, Chicago Sun), stasiun TV, saluran televisi kabel, hingga studio film. Di Indonesia ia memiliki sebagian saham ANTV. Tahun silam, dia membeli jaringan MySpace seharga US$ 580 juta atau Rp 5,2 triliun. Total kekayaannya ditaksir mencapai US$ 68 miliar atau Rp 612 triliun.


Irfan Budiman/Tempo 09 - 15 Juli 2007

Saturday, July 14, 2007

zero

untuk ZB.

"lebih baik mati seribu kali dengan gagah daripada hidup menjadi pengecut."

- kho ping ho - (kisah sepasang rajawali, episode 231)

tidak ada apa pun di sana. hanya kekosongan. sunyi yang melindap. kedap yang merapat. hampa yang tak sesak. luas seluas yang engkau bayangkan. waktu tak bertutur apa pun, meski waktu juga tidak lelap. bisu dan tidak siapa pun bisa memaksa untuk bergerak maju atau kembali.

dan saya membayangkan berdiri di tengah titik itu. mendongak berharap ada keajaiban. seakan-akan langit tidak ada. seakan-akan di atas cuma hitam. memanggul kegelisahan sambil merapal doa yang sangsi.

"Tuhan, untuk apa sebetulnya rasa takut Kau ciptakan?"

tak terdengar jawaban apa pun. lapat-lapat pun tidak. daun telinga hanya menangkap sunyi.

Tuhan tidak sembunyi, tentu. tapi Dia juga enggan menjawab. mungkin Dia juga tidak tahu, untuk apa sebetulnya rasa takut dibiarkan. berselang-seling dengan keberanian. seperti hitam putih papan catur.

dan kita berganti-ganti di atasnya. sebentar berani. sebentar takut. dan betapa gundah ini begitu menggelisahkan.

saya pun tak sanggup menahan sebuah tanda tanya. lagi-lagi dengan doa yang sangsi.

"Tuhan, untuk apa sebetulnya rasa takut Kau ciptakan?"

Wednesday, July 04, 2007

Dalam Bayang Polisi dan Dujana

Sabtu, 30 Juni 2007. Tayangan derap hukum sudah dua jam berlalu. Tayang pukul 00.30 WIB. Seperti biasa, telat satu jam dari jadwal yang sudah ditetapkan, yang sudah dipromokan. Dan saya tidak kaget.

Hari itu, jarum jam duduk di angka pukul dua dini hari. Sekitar empat jam lagi matahari terbit. Saya masih di kantor, setelah cukup stres mempersiapkan paket derap hukum. Main games sepak bola di website--tempat nongkrong saya sehari-hari, karena di web nikmat betul merokok tanpa perlu dag-dig-dug dicemberutin Mbak Nunung--hehehe peace mbak...

Dan telepon seluler saya bunyi. Tris Wijayanto, yang gondrong itu, menelepon.

"Halo Pa'e!" sapa saya. Produser Eksekutif Program Khusus itu memang lebih pas disapa Pa'e ketimbang Mas atau Oom.

"Choy, tayangan DH diprotes Densus." Pa'e berujar singkat, dingin. Saya membayangkan wajahnya tidak tersenyum.

Saya diam. Lalu Pa'e pun bercerita bahwa dia baru saja ditelepon Mas Geong. Sekitar lima belas menit, Pa'e ngoceh. Intinya, Mas Geong memberitahu bahwa polisi kecewa dengan tayangan Derap Hukum malam itu. Selesai. Saya pun kembali main games sepak bola. Saya memainkan Tim Inggris. Melawan Brasil.

Cerita Pa'e tentang protes Densus sungguh bikin konsentrasi buyar. Tim Inggris yang saya mainkan kalah berkali-kali: 3-1, 4-0, 2-0, dan terakhir paling parah: 7-0. Tidak pernah saya sebodoh itu main games.

Sebuah berita diprotes, buat saya, bukanlah hal aneh. Tapi kalimat Pa'e, mengutip cerita Mas Geong bahwa lobi dengan Densus jadi rusak gara-gara tayangan itu, sungguh, inilah yang sebetulnya menggangu pikiran saya.

Mungkin banyak orang bertanya atau heran, terutama yang tidak menonton, seperti apa sih paket derap hukum malam itu? Pesan singkat dari Komandan Lapangan Satgas Bom, yang Kombes itu, menyatakan SCTV lebih memihak dan membela satu anak teroris yang tidak luka sedikit pun, ketimbang ratusan anak korban teror yang luka, cacat, mati, ditinggal mati oleh orangtuanya yang menimbulkan luka berkepanjangan seumur hidup.

Memihak. Membela. Begitu menurut Pak Polisi. Pertanyaannya, benarkah Derap Hukum malam itu begitu?

Jawaban saya, tidak juga kok.

Tema paket panjang Derap Hukum malam itu adalah tentang penangkapan Abu Dujana yang disertai penembakan di depan ketiga anaknya yang masih kecil. Angle besarnya: Bagaimanakah seharusnya prosedur polisi untuk menangkap seorang yang diduga berbahaya, agar jangan sampai membuat, khususnya anak-anak (anak siapa pun, terlebih lagi anak yang ditangkap), menjadi trauma?

Zaenal Bhakti--Produser Eksekutif juga--dan Tris Wijayanto, mengusulkan dan meminta saya menggarap ini--untuk memberi warna Derap Hukum agar tak melulu membuat paket tentang pembunuhan yang berceceran begitu banyak di sekitar kita. Dari merekalah ide ini muncul. Khusus menyorot soal penembakan itu saja. Fokus. Tidak lebih, karena memang soal perlindungan hak anak ada undang-undangnya--tema yang sangat pas buat Derap Hukum. Niatnya bahkan mulia: agar langkah polisi untuk menangkap orang yang diduga berbahaya tidak kontraproduktif, karena cara-caranya keliru.

Sepekan sebelum paket itu tayang, tepat ketika dua petinggi Progsus itu meminta membuat paket ini, berita tentang penembakan Abu Dujana di depan anak-anaknya sedang hangat. Media cetak, website, radio atau televisi, termasuk liputan6 ramai-ramai menyorot soal itu. Derap Hukum sebetulnya telat. Sangat telat, karena ketika paket itu tayang, isu ini sudah reda.

Entah kenapa kok baru sekarang polisi keberatan dengan berita itu.

Kembali ke soal memihak dan membela itu. Sekali lagi jawabnya, tidak juga kok.

Paket itu sudah memenuhi kaidah jurnalistik, cover both side atau apalah istilahnya. Penyusunan segmen dan narasi yang saya buat, sebisa mungkin obyektif. Sumber-sumber yang--katakanlah--bertikai dikutip sesuai konteks. Ada sumber dari pihak Abu Dujana, ada juga sumber dari pihak yang dituding, yakni polisi, diwakili Humas Mabes Polri.

Paket ini pun sudah lulus saringan petinggi progsus, Tris dan Zaenal. Pa'e menyaring narasi yang saya buat. Lalu, ditemani gorengan yang sudah dingin di ruang editing, mereka juga menyimak segmen demi segmen dengan hati-hati. Bahkan Zaenal sampai merasa perlu memilihkan statement agar tak terlalu panjang.

Perimbangan sudah dibuat. Hati-hati lho bicara soal perimbangan. Perimbangan sebuah berita, bukanlah dua sumber melawan dua. Atau tiga sumber melawan tiga. Debat soal ini tak pernah habis di dunia jurnalistik. Tapi ingatlah kasus Tempo dengan Tommy Winata. Tempo cukup satu kalimat pendek sebagai wujud perimbangan, yang membantah Tommy ada di "Tenabang". Dan Tempo menang di pengadilan.

Satu hal yang cukup penting saya sampaikan, paket ini juga tidak hanya diprotes polisi, melainkan juga keluarga Abu Dujana. Saya ditelepon, sebut saja namanya Kang Asep. Dia kakak nomor tiga Abu Dujana. Orangnya ramah. Sering senyum dan logat sundanya kental sekali. Dialah yang memberi akses agar Sri Murdiati mau bicara. Sekadar informasi, setelah ribut-ribut soal suaminya ditangkap, setelah upaya ke Komnas Perlindungan Anak dan DPR dilalui, Sri menjadi tertutup.

Ia menolak diwawancarai. Terlebih lagi diambil gambarnya, termasuk wajah anak-anaknya. Padahal, sebelumnya ia begitu mudah disorot dan diwawancarai. Butuh upaya meyakinkan yang mencemaskan agar Sri mau bicara. Dan syukurlah ia mau bicara, setelah saya mencoba mencuri hati keluarganya dengan menumpang salat di musala depan rumahnya--kalau Tuhan mau, pasti saya sudah dikutuk jadi kodok karena jelaslah salat saya tidak ikhlas. Semoga Tuhan mau memaklumi saya.

Wawancara itu disepakati dengan tidak memperlihatkan wajah Sri--sesuatu yang disayangkan media televisi, karena selama ini wajah Sri sudah muncul di mana-mana. Tapi dalih Sri, penyembunyian identitas itu pesan suami. Amanat, agar tak mengumbar aurat di media massa. Sialnya, wajah anak-anaknya pun tidak boleh diperlihatkan. Ya sudah. Kita harus menghormati permintaan sumber bukan?

Dan keluarga Abu Dujana kecewa. Di telepon, Kang Asep marah-marah, karena dia berharap, Derap Hukum akan mendukung keluarga Dujana dalam kasus ini. Tidak justru memojokkan. Mereka geram melihat pernyataan Humas Mabes Polri yang mengatakan anak-anak Dujana sengaja dijadikan bemper. Dia juga kecewa dengan grafis pemetaan tentang Jamaah Islamiah yang dibuat SCTV, yang menempatkan Dujana sebagai pemimpin sayap militer organisasi teroris. Pada pembicaraan terakhir dia bilang begini: "Pokoknya saya nggak percaya lagi sama negara ini, termasuk wartawan-wartawannya!" Klik. Telepon ditutup. Saya cuma bisa bengong. Betapa apesnya malam-malam mau tidur dibentak orang. Bayangan Kang Asep yang ramah dan murah senyum hilang sekejap. Orang Sunda rupanya bisa galak juga. Saya pikir, susah lagi pasti ke depannya berhubungan dengan mereka gara-gara ini. Hancur juga nih lobi.

Tentang kebangsaan yang dipertanyakan. Biarlah soal ini saya serahkan pada polisi yang mungkin paling mengerti bagaimana berbangsa dan bernegara. Soal anak-anak korban bom itu, saya yakin, setiap orang akan geram dan marah melihat mereka menjadi korban. Dan saya pun begitu. Humas Mabes Polri sudah menjelaskan soal ini dalam tayangan itu. Kalimatnya persis seperti bunyi sms protes ke SCTV.

Tak mudah membedah soal terorisme di Indonesia. Kompleksitas persoalannya benar-benar njelimet. Berbagai opini berloncatan di mana-mana. Ada yang menuding Amerika Serikat di balik teror. Ada yang bilang latar belakang pengeboman ini ghirah berlebihan dari alumni Afghanistan. Ada yang bilang Indonesia adalah bagian dari grand design operasi intelijen negara maju. Banyaklah. Tapi apakah alumni perang Afghan semuanya teroris? Mujahid Moro dan Mindanao semuanya teroris?

Kita tahu, sebagai jurnalis, skeptis amat diperlukan agar tetap bisa jernih melihat sebuah persoalan. Kita tahu, ada tempatnya untuk memberi label seseorang bersalah sebagai teroris: pengadilan. Tugas polisi cuma menangkap, memeriksa. Mereka dibayar negara untuk itu. Mereka tidak berhak memberi cap, karena asas praduga tak bersalah tak bisa tidak musti dipegang.

Saya jadi ingat, omongan Nono Anwar Makarim yang bilang, seperti disebut Andi Budiman—ini tokoh penting dalam jaringan Topik Minggu Ini. Sayap Militernyalah. Hehehe--yang kemudian dikutip lagi oleh Tris Wijayanto dan Zaenal Bhakti. Kira-kira begini kalimatnya: "Bila sebuah berita diprotes dua sumbernya yang berseteru, artinya berita itu sudah on the right track." Sebuah kutipan yang menarik.

Dari kasus ini, ada pertanyaan yang mengganggu: Apakah kalau kita dekat dengan istana, parpol, tentara, menteri, pelacur, pelawak, polisi, atau siapa pun sumber itu, yang tentu juga punya seni kesulitan tersendiri untuk mengakrabinya, kita tidak boleh mengkritisi? Selalu ada cara buat wartawan untuk membangun hubungan yang sempat merenggang gara-gara sebuah berita. Saya pikir kita sudah cukup dewasa untuk menjadi jurnalis yang mencoba benar, tidak tidur dan lelap di kaki sumber sampai-sampai kita enggan membuka mata dan terbangun...

Saya yakin kasus seperti ini, diprotes sumber atau apalah, akan terulang lagi... Tidak apa-apa. Untuk pembelajaran...

-=Satriana Budi/Choy=-

Yang masih "MIMPI BURUK" gara-gara main games bola sampai kalah 7-0.

*******

Buat Mas Zenal: Saya kok lebih senang jadi pengamen seperti Iwan Fals sebelum tenar ketimbang jualan kacang. Hehehe.

Buat Pa'e: Asyik nih belajar bikin paket yang naratif tanpa membuang data penting sama dia... dan tetap jangan lupa tertawa Pa'e. Hehehe...

Buat Dop: Kalau nggak ada Dop, nggak tau deh tuh dokumen kasus Bom Bali dan Marriot kumpul atau nggak.

Buat Frets: Tanpa gambar ini anak, gak tau deh paket itu jadinya gimana. Gue bilang juga ape Din. Jadi seru kan nih... Hehehe...

Buat Fira: Lo gila ye, orang ikutan wawancara dimarahin... Hehehe...

Buat Cimot: Hidup lo mah mah enak Mot, dari Bali langsung ke Semarang...

Buat kru liputan6: Selamat belajar...

Buat saya sendiri: Jangan lagi shalat nggak ikhlas...

Saturday, June 30, 2007

kenapa jawab tanyaku

tak kudengar lagi suaramu di sini
sisa tawa yang dulu renyah
hanyut terbawa arus sungai
terbang tersapu angin

ini juni yang sunyi
di luar sepi sekali
wajahmu ada di mana-mana
menyelinap mengisi ruang kosongku

tidakkah kau mendengar
aku menjerit
meneriakkan rindu?

tidakah kau melihat
aku lunglai
mencarimu mengusung rindu?

kenapa jawab tanyaku
jawab tanyaku kenapa
kita harus berhenti
sedang kaki ini baru saja melangkah...

Sunday, June 24, 2007

perlukah...

lewat tengah malam
kau pernah berharap
pada butir gerimis
Tuhan, izinkan aku bahagia
sebentar saja
karena pada pagi
aku tak ingin menangis

tapi seketika
bulan memucat
langit gelisah
angin lemas
lalu asamu timpas

perlukah bahagia bercampur derita diberi nama?

dan kau
mungkin sempat
memaki-Nya
lupa sesungguhnya Tuhan
bukan terlalu lelap
doamu lenyap

ada hal-hal
yang kita tak sampai
bahagia
juga derita
mungkin
memang tak akan pernah selesai
meminta
menyiksa

perlukah derita bercampur bahagia diberi nama?

Wednesday, June 20, 2007

kau menghilang

lunglai
seperti dahan kering
yang patah
lalu jatuh terempas angin

dingin
laksana pengujung malam
yang basah
diselingi hujan juni

lalu kau menghilang
lalu kau menghilang
pada siapa aku bersandar
di setiap ingin pulang...

Thursday, June 14, 2007

air mata ini

air mata ini
sungguh
aku tidak tahu maknanya
menetes begitu saja
membasahi dedaun kering
sesaat setelah kau berlalu

ada kekosongan
sunyi melindap
aku mendadak gentar
tak ingin aku kehilangan
meski hanya sebentar

kembali lagi ke sini
karena sungguh
aku tak paham makna
air mata ini
yang menetes begitu saja
membasahi senja selepas kau pulang...

Friday, May 25, 2007

menghapus jejakmu

terus melangkah melupakanmu
lelah hati perhatikan sikapmu
jalan pikiranmu buatku ragu
tak mungkin ini tetap bertahan

perlahan mimpi terasa mengganggu
ku coba untuk terus menjauh
perlahan hati ku terbelenggu
ku coba untuk lanjutkan hidup

engkau bukanlah segalaku
bukan tempat tuk hentikan langkahku
usai sudah semua berlalu
biar hujan menghapus jejakmu

terus melangkah melupakanmu
lelah hati perhatikan sikapmu
jalan pikiranmu buatku ragu
tak mungkin ini tetap bertahan

perlahan mimpi terasa mengganggu
ku coba untuk terus menjauh
perlahan hati ku terbelenggu
ku coba untuk lanjutkan hidup

engkau bukan lah segalaku
bukan tempat tuk hentikan langkahku
usai sudah semua berlalu
biar hujan menghapus jejakmu

lepaskan segalanya 2x

engkau bukan lah segalaku
bukan tempat tuk hentikan langkahku
usai sudah semua berlalu
biar hujan menghapus jejakmu 2x

na... na... na...

*asik nih lagu... khas peterpan: melankolik tapi brits pop, dicampur ramuan rock indie dan disispin latin model santana. simple, mudah dicerna... liriknya juga kuat... asik...

Wednesday, May 16, 2007

begitulah

senja jatuh di kesunyian
langit hitam
gerimis sedari siang
menyisakan sesak rindu yang panjang

termangu aku pada hujan
menatap hari
bimbang sendiri
menunggu pelangi
membawa senyuman

di sini
di ujung sunyi
tak henti aku menanti
cintamu menepi
merenda waktu yang datang sekali
hingga lelah sendiri
dalam bahagia abadi...

Thursday, May 03, 2007

gara-gara salat masuk bui

rochamim dan thoyib, dua lelaki di desa bugul kidul, pasuruan, jawa timur, dituduh sebagai penyebar ajaran sesat. selain kerap melakukan ritual di makam-makam tua, kedua orang ini juga belasan lainnya, menganggap salat itu tidak penting karena tak ada uang atau bayarannya.

warga setempat marah dan meluruk rumah tinggal rochamim, lelaki paruh baya yang dianggap sebagai pemimpin spiritual mereka. memang tidak ada perusakan, tapi amarah warga berbuntut penolakan mereka kembali ke kampung.

kedua orang itu, kini tinggal di kantor polres pasuruan. rochamim berstatus saksi dalam perkara penodaan agama. sedangkan thoyib yang dianggap sebagai pengikut dikenai status sebagai tersangka. polisi berdalih tak menemukan bukti penyebaran ajaran sesat pada diri rochamim. sedangkan pada thoyib polisi mendapatkan bukti bahwa dialah yang pertama kali mengeluarkan pernyataan bahwa salat tidak penting karena tak dibayar, sehingga tak perlu dilakukan.

yang jadi kebingungan saya sekarang adalah, apabila cerita ini diberi judul "gara-gara salat masuk bui", apa salah? terjadi perbedaan pendapat. ada yang beranggapan judul itu terlalu sensitif karena seolah karena berbuat ibadah orang masuk bui. sedangkan saya sendiri berpendapat, persoalannya tidak sesederhana itu. maksud salat di situ tentu tak bermakna sederhana hanya karena urusan salat orang masuk penjara, sebab pasti ada sesuatu di balik salat itu sendiri.

saya teguh memegang pendapat terakhir, karena saya yakin masyarakat tidak bodoh, tidak akan mudah menyimpulkan begitu saja bahwa gara-gara perkara sembahyang orang masuk penjara. tapi yang mempunyai pendapat pertama berkeras, masyarakat kita tak semuanya paham dan bisa menalar jauh. sekolompok masyarakat kita masih banyak yang bodoh, dan sulit menerima hal semacam itu. ah, saya kok tetap tidak percaya. apa iya masyarakat indonesia ini begitu bodoh menelaah kata dan persoalan?

saya pikir, masyarakat kita bukan bodoh, tapi tidak dipercaya untuk menjadi pintar...

saya betul-betul kecewa...

Tuesday, May 01, 2007

@#$@#$%

SCTV GOBLOK!!!

Thursday, April 19, 2007

Kalah

Tuhan tidak ada di website.

BURUH adalah orang kalah dengan garis nasib mustahil menjadi pemenang. Dan pemilik modal adalah raja yang tapak kakinya bekerja lebih cepat ketimbang otak dan nurani, sehingga mampu menendang siapa pun yang dikehendaki tanpa pernah berpikir panjang. Padahal kita tahu, sinergi keduanya adalah uang. Produksi, apa pun jenisnya, adalah tujuan akhir agar perusahaan tetap berdiri dan mereka yang hidup di dalamnya bisa membeli beras.

Tapi tidak ada Tuhan di website.

Maka ketika belasan pekerja kontrak harus menelan kekalahan sebagai orang yang sengaja disingkirkan, kita seperti melihat ini bukan sekadar takdir. Ini lebih menyakitkan dari sebuah garis hidup sebagai pecundang. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang ingin tenggelam dalam kepusingan.

Memikirkan nasib belasan pekerja malang hanyalah membuang-buang waktu. Sebab pemilik modal memang raja yang tak bisa dilawan atau dibantah. "Keluarlah kau buruh, dan keluarlah ia dengan mudah". Sesudahnya, terserah dengan jalan kita masing-masing-- istri yang tengah hamil tua, atau ibu yang masih berharap bantuan uang agar tak susah payah menjual pisang goreng, atau kekasih yang berharap segera dinikahkan, atau masih banyak lagi yang semuanya tak akan pernah menjadi bahan renungan panjang pemilik modal.

Dan memang tidak ada Tuhan di website.

Kita tetap sebagai orang kalah dan tak perlu bermimpi menjadi juara. Kita tak menemukan apa pun di sini selain tenggelam memendam amarah. Kita memang disingkirkan. Dibuang sewenang-wenang dan tak seorang pun tulus menolong. Musibah mungkin jalan lapang ke arah hikmah, tapi salahkah kita bersedih dan kebingungan karena tak menemukan Dia di sini? Nasib mungkin sudah menjadi buruh yang resah.

"Di era kapitalisme liberal, buruh ditindas majikan, tapi di era neoliberalisme, buruh ditindas sesuatu yang anonim, teknologi". kata murid filsuf Jerman Heidegger, Herbert Marcuse.

dan kita tahu, kita dikalahkan teknologi yang tak jelas arah dan konsepnya... yang menyakitkan, kita tak menemukan Tuhan di sini...

Saturday, April 14, 2007

hilang begitu saja

aku menjadi takut
pada waktu
pada detik
yang menggigil
setiap kali
cinta mendekat

aku menjadi enggan
pada air
pada tanah
yang bergetar
setiap saat
cinta melekat

aku menjadi takut
telanjang di ilalang
tanpa hari-harimu
yang hilang begitu saja...

Monday, April 02, 2007

tak ada lagi

kini daun merah tua layu
tak ada lagi lambaian cemara
juga kilapan sirip ikan mas
kunang-kunang meremang
membangunkanku bersamamu

kini merpati jatuh layaknya layang-layang
seperti ilalang tertiup angin
lunglai padaku
redup padaku
sejenak setelah kau tutup pintu itu
menyisakan alur panjang
meninggalkan remah-remah ketakberdayaan

kini segala keindahan bunga
muncul menyelinap lalu memudar
tak ada lagi mekarmu
dan terapunglah segala rinduku
ditelan ombakmu

Wednesday, March 28, 2007

Kisah Kalla dan Heli Bukaka

”Negara bukan toko”
—Jusuf Kalla

KALIMAT ini diucapkan Wakil Presiden dalam sebuah pidato—sebuah permintaan agar Indonesia dikelola lebih teratur, tidak centang-perenang dan tidak ala kadarnya. Ketika itu ia menyindir administrasi keuangan penanggulangan bencana tsunami Aceh yang semrawut.

Kalau saja Kalla konsisten dengan ucapannya itu, mestinya sengkarut yang kemudian jadi omongan ini tak perlu terjadi: ia mendatangkan 12 helikopter bekas dari Jerman melalui sebuah firma dalam kelompok Bukaka—perusahaan miliknya. Ia meminta penghapusan pajak dan bea masuk, ia mengharap pemerintah membeli pesawat-pesawat itu. Mudah ditebak: ada perhitungan untung rugi di sana.

Ia lalu memangkas prosedur dan menerapkan prinsip ”jalan dulu, urusan belakangan”.

Cerita ini berawal pada 2005. Ketika itu sebagian Indonesia baru saja diterjang tsunami dan kebakaran hutan. Kalla yang juga Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas) meminta bekas eksekutifnya di Bukaka mencari helikopter bekas yang murah tapi masih layak pakai. Wakil Presiden mengaku malu karena Indonesia selalu meminjam pesawat dari negara tetangga tiap kali bencana datang.

Kalla berharap, biaya pembelian pesawat ditanggung oleh Bakornas. Tapi Bakornas, ketika itu, bukan lembaga yang punya hak membeli barang. Selain itu, Departemen Keuangan menyatakan tidak memiliki dana untuk 12 heli tersebut. Kalla tak menyerah: heli tetap didatangkan dengan duit pinjaman dari Urban Sky Corporation, sebuah konsorsium di British Virgin Islands.

Belakangan, untuk mengatasi kerugian akibat tak ada kejelasan anggaran, skenario diubah. Pesawat tidak jadi dijual ke Bakornas, melainkan disewakan saja. Dengan harga carter US$ 1.500 per jam, diperkirakan dalam 45 hari terkumpul Rp 22 miliar—pas dengan modal awal yang telah dikeluarkan Bukaka. Adapun 12 pesawat itu tetap menjadi milik perusahaan keluarga Jusuf Kalla.

Tapi, belum lagi 45 hari terlampaui, hujan datang. Kebakaran hutan padam oleh air dari langit. Bakornas tak punya alasan untuk tetap menyewa. Di lain pihak, Bea dan Cukai bergerak: mereka menuntut agar bea masuk Rp 2,1 miliar dan pajak helikopter itu segera dilunasi. Pada November tahun lalu, sejumlah heli dibeslah.

Kalla tak tinggal diam. Ia meminta bantuan Presiden untuk menyelesaikan sengkarut ini. Presiden turun tangan dengan mengeluarkan memo kepada Departemen Keuangan dan Departemen Perhubungan. Intinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar heli itu dibebaskan, namun prosedurnya tetap ”mematuhi aturan yang berlaku”.

Departemen Keuangan, lembaga yang menaungi Bea dan Cukai, patuh. Heli dibebaskan dengan syarat ada jaminan dari perusahaan asuransi bahwa pada saatnya pajak yang tertunggak akan dilunasi. Bukaka menyanggupi. Dipilihlah PT Asuransi Indo Trisaka sebagai penjamin. Persoalan belum selesai karena belakangan diketahui perusahaan asuransi itu bodong alias tak menyediakan duit jaminan. Adalah Alwi Hamu, staf ahli Wakil Presiden, yang berada di belakang perusahaan asuransi itu. Bea Cukai berang: pesawat-pesawat kembali dikandangkan.

Negara bukan toko, kata Jusuf Kalla. Seandainya ia konsisten dengan ucapannya itu, kisruh ini tak perlu terjadi. Bahwa mengelola negara bukan semata soal bagaimana mencapai tujuan dalam waktu singkat, tapi juga bagaimana prosedur harus diindahkan dan aturan tak dilanggar. Hanya dengan cara inilah Republik terhindar dari penyelewengan, korupsi, atau tindakan yang merugikan orang ramai.

Tapi itulah yang justru tak dilakukan. Dengan alasan terdesak bencana, sejumlah prosedur dilewati. Hal ini bisa dianggap mengabaikan Undang-Undang Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Aturan lain, yaitu Penetapan Presiden Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, juga dianggap sepi. Seharusnya Jusuf Kalla menjelaskan dengan gamblang mengapa ia menunjuk perusahaan miliknya ikut proyek tanpa tender itu.

Entah kenapa Presiden Yudhoyono menyetujui tindakan ini. Memo Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan semestinya tidak perlu dikeluarkan. Memo itu bisa meruntuhkan ”mekanisme kontrol” yang sedang dibangun dua departemen tadi dalam kasus ini.

Usaha menjalin keharmonisan dengan Wakil Presiden bisa dilakukan tanpa ”ongkos” sebesar ini. Memo itu malah bisa ditafsirkan sebagai bentuk perintah Presiden untuk membebaskan helikopter yang belum membayar pajak. Walaupun dalam memo itu Presiden menitipkan satu pasal kepada dua menterinya, agar tetap mengikuti peraturan yang berlaku, sulit bagi aparat di lapangan untuk tidak segera meloloskan heli tersebut.

Negara bukan toko, kata Jusuf Kalla. Kita prihatin, kali ini, justru contoh tidak datang dari atas dalam usaha menjadikan negara bukan sebagai toko.

*) laput tempo terdahsyat sejak sby-jk jadi penguasa... mantap!

Thursday, March 22, 2007

tak pernah mau

ini bukan tentang kau, tapi tentang aku. aku yang yang tak pernah sanggup. aku yang tak pernah bisa. aku yang bernyali ciut. berkali-kali aku mencoba. memapah setiap jengkal yang pernah. memikul setiap beban yang pernah. dan tetap saja tak. ini bukan tentang kau, tapi tentang aku. aku yang tak pernah mau... tak pernah mau...

Monday, March 12, 2007

siapa kamu?

aku tak mengenalimu akhir-akhir ini. aku tidak seperti di sini, meski kau rebah di sisiku. ada yang tak kulihat. ada yang tak kurasakan. entah apa. aku tidak seperti aku. kamu tidak seperti kamu. tahukah kamu? aku rasa tidak. atau tidak mau tahu. aku tidak tahu. atau aku juga tidak mau tahu... aku hanya, tak mengenalimu akhir-akhir ini....

Wednesday, February 28, 2007

guntur yang saya kenal

kabar itu terdengar seperti guntur di siang bolong. mengagetkan. kameraman pendiam itu tenggelam ketika meliput bangkai kapal levina yang terbakar, bersama kameranya yang tak ingin dilepas--justru diselempangkan seperti gitar. mochammad guntur syaifullah, biasa disapa mas guntur oleh rekan yang lebih muda. perawakannya kurus dengan kulit gelap. saya tak pernah bisa lupa setiap berpapasan, senyumnya selalu mengembang. senyum tulus. tak sedikit pun terlihat basa-basi, padahal ia jauh lebih tua--biasanya, senior di kantor malas menyapa lebih dulu pada yang junior, atau kalau pun senyum, kental kesan minta dihormatinya. mas guntur tidak. mas guntur senyum ya senyum saja. ia memang orang baik.

dulu, sewaktu masih di buser, saya sempat lama dipasangkan dengannya. dia disiplin. datang tak pernah lewat dari batas yang sudah dijadwalkan. sering saya yang tidak enak karena kerap terlambat. tapi mas guntur tidak marah, ia hanya senyum. "santai aja kalo sama gue mah..." sebuah kalimat yang menunjukkan ia tak mau ribet-ribet. tenang saja. kalimat yang justru malah membuat saya tak enak menyikapinya, karena membuat saya rikuh.

meski cukup berumur--usianya saat itu 43 tahun--mas guntur rajin saat pengambilan gambar. bergerak sendiri tanpa komando reporter. inisiatifnya tidak asal-asalan, karena terbukti visual yang didapat layak tayang.

liputan malam, siang, pagi, begadang di blok-m, menyantap gultik, bercanda sekedarnya, tidur di mobil bersama, ingatan itu berkejapan saat ini seperti film hitam putih usang.

di pemakaman tadi, saya tak kuasa menatap anak pertamanya yang ingin bercita-cita menjadi wartawan juga--mas guntur lebih berharap ia menjadi pegawai negeri, cita-cita yang sederhana. istrinya, ibunya, sanak keluarga besarnya, makin menguatkan ingatan saya pada sosoknya yang apa adanya. sosok bersahaja yang kematiannya persis seperti bagian namanya, guntur. benar-benar takdir yang mengejutkan.

selamat jalan mas, semoga kau syahid. dan keluarga intimu tabah menjalani kehidupan tanpa sosok ayah dan suami... amin...

Friday, February 23, 2007

Mengatasi Defisit Kebajikan

''Ihsan itu adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia pasti melihatmu.'' (HR Muslim)

Demikianlah salah satu petikan dialog Rasul SAW dengan Malaikat Jibril. Imam Yahya bin Syarafuddin an-Nawawi ketika membahas hadis ini menjelaskan orang yang melakukan ihsan itu setara dengan para shiddiqin, yaitu orang-orang senantiasa menghendaki ridha Allah. Kedudukan para shiddiqin ini lebih tinggi dari orang-orang yang ikhlas (mukhlishin).

Ihsan ternyata tidak sekadar berarti berbuat baik. Ihsan sesungguhnya lebih tepat diartikan berbuat yang terbaik. Inilah yang tergambar dari pesan Rasul dalam hadis di atas. Bila kita berbuat sesuatu sambil tetap merasakan bahwa Allah selalu melihat dan memperhatikan kita, apalagi yang mungkin diperbuat kecuali melakukan yang terbaik.

Dan, untuk mereka yang berbuat yang terbaik inilah, paling tidak 38 kali dalam Alquran, Allah mengulang penyebutan muhsin (orang yang berbuat ihsan) sembari menegaskan kecintaan-Nya kepada mereka dan ganjaran serta pahala untuk mereka.

Demikianlah Islam memotivasi umatnya untuk selalu menghasilkan prestasi kebaikan. Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk menghindarkan diri dari pekerjaan yang sia-sia. (QS Al-Mukminun [23]: 3). Rasulullah dengan berbagai cara juga mendorong kaum Muslimin menjadi manusia yang selalu menebar kebaikan dan manfaat.

Lihatlah sabda beliau, ''Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.'' Dalam kesempatan lain beliau juga menegaskan agar kita tidak menjadi beban bagi siapa pun.

Cukuplah sudah Islam mengajarkan prinsip-prinsip kebaikan. Kemalasan, kebodohan, dan hawa nafsu kitalah yang sering membuat kita mengabaikan ajaran-ajaran mulia itu. Itulah yang menyebabkan umat ini belum kunjung bisa membuktikan diri sebagai khaira ummah (umat terbaik).

Masih begitu banyak di antara kita yang lebih suka menanti kebaikan ketimbang menghasilkannya. Padahal, bila semakin banyak orang yang menanti kebaikan, yang terjadi adalah defisit kebajikan. Bila jumlah orang yang membutuhkan kebaikan lebih banyak daripada orang yang berbuat kebajikan, yang terjadi adalah kekurangan cadangan kebaikan. Karena itu, mari berlomba-lomba berbuat baik. Wallahu a'lam....

Oleh : Salman MA

-)Thx republika

tentang seorang gadis... (3)

aku sheefa, katamu. tapi kemudian kamu meralatnya. namaku gadis kanityara, katamu lagi. nama yang menarik. mungkin kamu juga cantik. awalnya aku berpikir begitu. ternyata benar. kau memang cantik dan tidak terlihat mungil seperti gambaranmu. tapi picture is picture katamu. segala sesuatunya pasti akan terlihat lebih tinggi. apalagi ada gabby yang hispanic. ya ya ya... apapunlah itu, mungil atau tidak, kau tetaplah gadis cantik, yang mengganggu.

tiga hari terakhir, aku betul-betul terganggu. pada semua hal tentangmu. georgia. angka-angka. seattle. angka-angka. misionaris gereja. kebosanan. barang belanjaan. Tuhan. pengabdian dalam pernikahan. entah apalagi. dan pasti banyak lagi, karena aku pasti akan terus terganggu. entah sampai kapan, tapi kupastikan lama. aku masih ingat kata-katamu, meski tak secara langsung kau mengatakannya: waktu yang lama akan membuatmu yakin bahwa ada sesuatu di balik ini semua... semoga saja, meski aku sejujurnya tak berharap banyak...

siapalah aku gadis... hanya lelaki pemimpi yang menanti hujan di siang terik...

selamat masak. kapan-kapan boleh juga mencicipi asparagusmu... mudah-mudahan lidahku bisa menerima, karena aku terbiasa dengan tahu isi dan bakwan dan cabainya...

Thursday, February 22, 2007

tentang seorang gadis... (2)

ini kamis yang melelahkan, seperti kamis-kamis sebelumnya. besok tayang dan paket belum selesai. kemungkinan besar akan begadang. larut di depan monitor, mengetik narasi, memilih gambar, sambil menahan kantuk. tapi aku senang hari ini. karena ada kamu. aku tidak menyangka kamu akan memuncul dan kita kembali larut pada nuansa yang masih aneh. dari kejauhan, kau tetaplah seorang gadis yang menarik... cerdas, cantik, seksi, dan sayang orang tua. kombinasi yang langka, meski pasti ada juga entah di mana. tapi aku ketemunya kamu, gadis. mengalir begitu saja. tiba-tiba. tanpa skenario, tanpa desain yang merumitkan...

ini kamis yang melelahkan dan menjadi tak biasa... karena ada kehangatan yang baru saja hinggap... tentang sebuah harap... tentang sebuah mimpi... (kau bilang suka mimpi...), tentang sebuah ketidaktahuan akan hari nanti... dan kamis ini tiba-tiba menjadi begitu menyenangkan... meski besok tayang dan pekerjaan belum sepenuhnya selesai... kamu tahu karena apa gadis? karena kau telah mengirimkan seuatu yang menyenangkan... sesuatu yang mengubah hari berat menjadi ringan... meski saja ini semua masih terasa aneh...

selamat tidur, semoga ujian angka-angkanya sukses... awas, jangan benci-benci dengan paul... biasanya, benci berlebihan akan melahirkan dampak sebaliknya... kalau itu terjadi, aku akan sangat kehilangan... :)

*oya, aku suka sekali kalimat di blogmu ini, bukan karena kata beraninya, tapi kalimat setelah itu... buat laki-laki pemberaniku yang aneh. begitu mimpiku. aku ingin seperti ombak laut, riaknya tak pernah berakhir...

tentang seorang gadis...

ini malam yang aneh... malam ketika begitu mudahnya kesepakatan diwujudkan. dia baik, juga menarik... ada sesuatu yang membuat aku mendadak tertarik... dia seorang gadis... gadis yang baik... gadis yang ingin berbakti pada orang tua... begitu saja kesan yang muncul... dia jauh. jauh sekali... apa makna ini... aku tidak tahu... yang aku tahu, dia baik dan ini malam yang aneh... malam ketika begitu mudahnya kesekapatan dijalankan...

Saturday, February 10, 2007

haruskah kuikuti arus sungai itu?

padahal kau hanya memberi senyuman
tapi aku seperti terguyur hujan
hatiku basah
sulit kukeringkan
terbakar
kuragukan bisa padam

setiap hela
adalah jarum beterbangan
menusuk jantung
memenuhi rongga pori
menjadi sesak yang kubiarkan
karena aku cuma ingin tahu
apa sesungguhnya yang kau berikan
hingga sejauh angan melayang
senyummu saja yang membayang

kelakkah
sebentar saja
kau akan menemani
malam-malam menjemukan
di beranda
yang kini laksana
lorong panjang

tolong titipkan jawabmu pada rembulan
haruskah kuikuti arus sungai itu?

tak pernah sampai

ia berhenti
meski tanpa disadari
langkah kakinya masih berlari

entah ke mana
mungkin memunguti dedaunan asa
yang beterbangan
mencoba merangkai
satu per satu
yang jatuh
di tanah merah basah

hujan februari ini
tak membuatnya dingin
kegelisahan membuat ia hangat
menjadi tak sungkan

untuk meneruskan
apa yang ia cari
apa yang ia ingini

meski ia tahu
bunga cinta itu
tak akan pernah dijumpai

cinta
baginya
tetaplah sebuah koma
angan-angan
yang tak akan pernah berhenti...

Monday, February 05, 2007

Persoalan Hidup

Suatu hari, Imam Al Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu ia mengajukan enam pertanyaan. Pertama, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya.

Imam Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "mati". Sebab kematian adalah janji Allah SWT. "Setiap yang bernyawa (pasti) akan merasakan mati." (QS Ali Imran [3]: 185). Lalu Imam Ghazali meneruskan pertanyaan kedua, "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah benar.

Tapi yang paling benar adalah "masa lalu". Siapa pun kita, bagaimana pun kita, dan betapa kayanya kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Imam Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga, "Apa yang paling besar di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghazali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu".

Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya. Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu. Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka. Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?" Di antara muridnya ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban hampir benar, kata Imam Ghazali, tapi yang paling berat adalah "memegang amanah." Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?" Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghazali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan "shalat".

Lalu pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?". Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang...?" Benar kata Imam Ghazali, tetapi yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan kematian, senantiasa belajar dari masa lalu, dan tidak memperturutkan nafsu? Sudahkah kita mampu mengemban amanah sekecil apapun, senantiasa menjaga shalat, dan selalu menjaga lisan kita?

*Bahron Anshori

>) thx republika

Ridha

Suatu hari, Ali bin Abi Thalib RA melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya, ''Mengapa engkau tampak bersedih hati?'' Ady menjawab, ''Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran.

'' Ali terdiam haru, kemudian berkata, ''Wahai Ady, barangsiapa ridha terhadap takdir Allah SWT, maka takdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahala-Nya, dan barang siapa tidak ridha terhadap takdir-Nya, maka hal itu pun tetap berlaku atasnya dan terhapus amalnya.'' Ada dua sikap utama bagi seorang hamba ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak dia inginkan -- ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian mutlak yang perlu dilakukan oleh sorang Muslim.

Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian -- sekalipun menyakitkan -- dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima takdir Allah SWT dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab, di dalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (khusnudzan) kepada Sang Khalik.

Orang-orang yang ridha ketika ditimpa musibah, dia akan mencari hikmah yang terkandung di balik ujian tersebut. Ia yakin, Allah SWT telah memilihnya (untuk menerima ujian itu), dan Dia sekali-kali tidak menghendaki keburukan dari ketentuan cobaan bagi makhluk-Nya. Apabila ridha ini sudah mengakar dalam sanubari manusia, maka hilanglah semua rasa sakit yang diakibatkan oleh berbagai musibah yang menimpanya.

Dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi SAW bersabda, ''Sesungguhnya apabila Allah SWT mencintai suatu kaum, maka Dia mengujinya. Barangsiapa ridha terhadap ujian-Nya, maka dia memperoleh ridha-Nya dan barangsiapa tidak suka, maka mendapat murka-Nya.'' (HR Tirmidzi). Bagi orang yang ridha, ujian merupakan pembangkit semangat untuk semakin dekat pada Allah, semakin menenggelamkan dirinya dalam bermusyahadah dengan-Nya.

Dalam satu kisah, Abu Darda' pernah melayat pada sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah SWT. Maka Abu Darda' berkata kepada mereka, ''Engkau benar, sesungguhnya Allah SWT apabila memutuskan suatu perkara, maka Dia senang jika takdir-Nya itu diterima dengan rela atau ridha.''

Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah SWT dalam situasi apa pun. Wallahu a'lam bish-shawab.

*M Kamaluddin Al-Maulidy Abdullah

>) thx republika

Thursday, January 25, 2007

cukup matamu saja

aku tak memintamu bertahan
aku hanya memintamu diam
tanpa bicara tidak apa-apa
sebab matamu
sudah cukup meneduhkan

aku tak ingat lagi
sebab apa aku memujamu
pada siang juga malam
yang kutahu
iring-iringan itu saja yang membayang
sesaat purnama menyapu senja
setelah kutak percaya
bisa jatuh cinta lagi...

aku tak memintamu bertahan
tapi izinkan
cukup matamu saja
yang kusimpan...

Friday, January 05, 2007

haruskah kupergi

sering aku merasa
tak mengerti apa yang ada
melihat dari kegelapan
mencoba mengurai makna

begitu banyak yang terjadi
begitu banyak yang tak kupahami
orang saling membenci
membunuh
dan melukai

perang masih terjadi
bencana bertubi-tubi
kerinduan tercampak
kesepian merajai

aku ingin pergi
meninggalkan ini semua
menemani senja
yang sedang berduka
aku harus pergi
meninggalkan semua ini
menemui kamu
yang mengajak bercinta

air mata nyaris jatuh
di pelataran rumah yang teduh
rakyatmu terkapar
di lemari-lemari berdebu

ada apa gerangan
mengapa mesti tergesa-gesa
tak bisakah tenang
menikmati bulan penuh
dan bintang
lalu mengarungi waktu
dengan lapar
yang menyakitkan
menyikapi semua
dengan kesabaran

*dewa dari leuwinanggung feat indra lesmana