Sunday, December 24, 2006

sore di tugu yogya

di stasiun itu kau melambai
meninggalkan senja secepatnya
senyum panjang yang getir
seperti basah hujan sejauh jalan
ketika aku dan kau berpisah

aku tak pernah bisa
melangkah sejak saat itu
hanya bisa menyapu lorong
tempat orang-orang bergeming
dengan wajah getir membisu
meringkuk memeluk dingin
di kursi tua atau lantai kotor
larut sendiri-sendiri
menyudutkanku
memaksaku ingin mengejar keretamu
memelukmu sepanjang musim
sepanjang detikku

dan tak akan kulepas
tak kubiarkan
kau melambai sekali lagi...

diam begitu saja

kita pernah tak percaya akan sampai
di titik ini
batas ketika semua yang kosong terisi
kita tak akan pernah mengira
bisa melepas
jejak-jejak lama yang mustahil pudar

orang-orang mungkin bingung
kenapa kita begini dan tidak begitu
lalu kau menjawab
cinta ini milik kita
berhenti karena mereka
sama artinya membiarkan langit runtuh

lalu kutanya
tidakkah kau ingin
sedikit pun
membiarkan aku terbang
jauh melupakan apa saja yang kita lakukan
tidak jawabmu
karena kau tak akan pernah bisa bernapas
tanpa cintaku
meski kau tahu aku ada yang memiliki

aku terdiam
kau terdiam
pagi melindap
dingin
udara sunyi
gerimis

kita saling memandang
tak berkata apa-apa
diam begitu saja
seperti sepasang camar
yang berteduh di beranda itu

Thursday, December 21, 2006

pucuk kilimanjaro

tidakkah kau lihat pucuk kilimanjaro itu perempuanku? salju abadi yang menyelimutinya mencair disapu gelombang panas bumi yang renta. salju yang tak pernah lelah kita kagumi, karena kita ingin cinta ini seperti itu. tapi tidakkah kau lihat? atau sedikit pun cemas? aku masih ingat ketika di senja itu, kau melukis wajah anak kita yang belum muncul ke dunia. di teras belakang rumah mungil kita, kau tersenyum sembari menggambar bola mata. matamu berkaca, seperti meyakinkan bahwa kita adalah takdir yang tak terpisahkan.

aku masih ingat sekecil apa pun tentangmu perempuanku. renyah tawa juga air mata yang pernah kau teteskan di pundakku masih basah. sebegitu jauh kita melangkah, tak pernah kupercaya kita kini saling memunggungi di ranjang. aku tak bisa menahan apa pun, tak lagi ingin berharap apa pun... aku cuma ingin memberitahu padamu. tidakkah kau lihat pucuk kilimanjaro itu? salju abadinya mencair... perih sekali dada ini perempuanku... perih sekali...

Tuesday, December 19, 2006

tak akan pernah siap

sesungguhnya kita akan pergi
jauh sekali
meninggalkan semua ini
tiada pernah kembali

kita akan rebah di tanah
menjadi humus setelah belatung menguyah
tiada kita bisa
tak akan pernah mampu meronta
protes menjadi sia-sia

mulut kita terkunci
tangan kita lumpuh
mata kita buta
semua bicara tanpa dusta

kita pergi
akan pergi kawan
dan kita sesungguhnya
tak akan pernah siap
sedikit pun tak siap
karena kita
terlalu memuja dunia...

ilir-ilir

lir ilir
lir ilir
tandure wong sumilir
tak ijo royo royo
tak sengguh penganten anyar
tak sengguh penganten anyar

bocah angon bocah angon
penekno blimbing kuwi
lunyu lunyu penek no
kanggo mbasuh dodo dira
kanggo mbasuh dodo dira

dodo dira
dodo dira
kumitir bedah ing pinggir
dondomana jrumatono
kanggo sebo mengko sore

mumpung padang rembulane
mumpung jembar kalangane
sun surak-o surak iyo...

sunan giri, kemudian diaransmen kyai kanjeng pimpinan emha ainun nadjib dengan sangat njawani. dahsyat.

Saturday, December 09, 2006

aku pamit

tak kulihat sedikit pun
kau berniat
menikmati selain yang satu itu
sebatas itukah
hatimu menghargai
cinta dan sayang
yang kau ucapkan
di setiap pengujung malam

tidak tahukah engkau?
semula
aku kerap dihantui mimpi
kita bisa menjadi satu
rebah bersama pada ruang dan waktu
tempat kita bisa memungut daun-daun
menapaki jalan basah di hujan januari nanti

tidak sedikit pun kulihat itu ada
lalu salahkah
bila aku
memintamu berhenti
dan menurunkan aku
di sudut jalan ini
jalan tempat kita dulu pernah tergelak
jalan tempat kita pernah melukis janji
pada senja hari
ketika gerimis baru saja berhenti