Tuesday, December 23, 2003

apapun nama operasinya, pada intinya ini sebuah razia terhadap istilah preman. lebih tepatnya razia pada mereka yang tak memiliki identitas. polisi lebih senang mengecapnya dengan sebutan preman. begitu seenaknya. begitu sewenang-wenangnya.

dan saya terhenyak, ketika sejumlah pengamen terjaring. juga "pak ogah". mereka dicap sebagai perusuh di tengah masyarakat. karena itulah mereka mesti digelandang ke kantor polisi.

dan lelaki berambut gondrong itu mengingatkan saya pada masa silam, ketika saya masih menjalani profesi sebagai pengamen. dia menenteng gitar bolong. wajahnya bersih. dan saya tak kuat memandangnya ketika seorang polisi muda dengan tengil membentaknya. saya memalingkan muka. tak kuat melihat pengamen yang dicap seenaknya sebagai preman, biang kerok, atau pembawa keresahan di masyarakat diperlakukan tanpa nilai tata krama.

mudah saja pertanyaannya: siapa yang biang kerok, polisi yang kerap memeras pelanggar lalu lintas atau pengamen yang dengan suara pas-pasannya mencari rezeki?

terus terang saya marah... mungkin juga sedih

Thursday, December 11, 2003

aku merindukan dia
yang menuturkan segalanya dengan cinta
tanpa dada yang terengah
tak pula dengan lengking suara

aku merindukan dia dari masa silam yang usai
di manakah dia kini?
adakah kelak bersanding sembari menghias bunga-bunga di pekarangan?
menanam benih menanti hujan datang dan basah bersama...

Sunday, December 07, 2003

LELAKI itu berdiri cuma dengan jarak selangkah dari bibir atap gedung berlantai dua puluh. Tapi dia seperti ragu untuk melompat. Padahal semua sudah disiapkan sangat rapi. Tali karmantel yang biasa dia pakai untuk mendaki tebing, terbebat kuat dari leher ke sepotong baja yang tertanam di lantai. Dipandanginya mobil-mobil yang berseliweran di bawah sana. Dari ketinggian yang penuh angin, sebetulnya dia ingin menutup riwayat hidup. Sudah sejak sebulan silam dia merencanakan bunuh diri. Sebab baginya, cepat atau lambat dia akan mati. Tentu tak salah mati sekarang dengan cara gantung diri dari gedung bertingkat.

Lelaki itu berkeringat. Sepuluh jemari kakinya tertekuk dan sedikit demi sedikit bergerak maju. Sambil menghela napas sesaat, sekali lagi dia pandangi jalan raya di bawah, menatap dingin orang-orang dan mobil yang terlihat seperti semut berseliweran. Hap! Lelaki itu melompat. Bukan ke depan lalu melayang membelah udara pagi. Dia melompat ke belakang dengan napas terengah. Keringatnya kian menjadi-jadi. Dia mendadak takut. Siapa yang tak gentar dengan kematian, meski itu direncanakan?

Wednesday, December 03, 2003

padamu bintang

aku temukan kerlip bintang
pendarnya indah begitu menyenangkan
seperti senja yang berhias pelangi

ingin kuterbang memetiknya
kubawa pulang dan selalu kugenggam
agar sunyi tiada lagi mengisi

tahukah engkau dalam kesendirian selalu hadir kegalauan?
barangkali hidup memang tak pernah lurus
dia bergelombang dan kadang kita terjungkal di atas kerakal

aku temukan kerlip bintang
cahayanya indah menyejukkan
seperti pagi yang basah oleh rinai hujan