Friday, May 30, 2003

jangan biarkan cinta mati

kuinginkan cinta
dari waktu
yang tak mengenal dusta,
kecuali warna putih

aromamu menyentuh
pada setiap ruang
yang kusinggahi
begitu menyengat

daffodils merekah
di musim semi
yang melahirkan rindu
berkepanjangan

akan kupasrahkan tubuhku
melayang bersama angin
menjauh memburu dirimu
jangan biarkan cinta mati

Monday, May 26, 2003

Prosesi Cinta Putih

"Pelacur!"

Dia memekik dan hati saya tercekik. Dia seperti kerasukan setan. Napasnya terengah-engah. Mukanya tegang. Kala marah, saya tahu pasti emosinya kerap di luar batas. Tapi malam ini saya beruntung. Saya tak menyaksikan, barangkali belum, dia merusak apa pun yang ada di dekatnya. Taplak masih tertindih vas bunga, gelas masih di atas meja kecil, dan dinding tak kena tinju.

"Masih bagus kamu saya bilang pelacur. Itu tandanya masih manusia. Coba kalau saya bilang sundal bolong, yang jelas-jelas setan perempuan haus seks. Tempatmu cuma ada di neraka jahanam, bersama lelaki sialan yang terus menerus memperbudak kamu sebagai pemuas berahi!" Dia meledak-ledak. Saya terkesiap, karena memang sulit sekali mengelak dari rasa salah. Bagaimana tidak? Kemarin, dia memergoki saya dan Jimmy saling memagut di ranjang, di kamar kos yang lupa saya kunci. Seperti didorong ke jurang rasanya.

"Maafkan saya Ray..." Suara saya tipis terdengar, menatapnya, berharap dia mendingin.

"Seenaknya kamu minta maaf! Apa kamu pikir saya lelaki bego yang bisa berulang kali memaklumi setiap kesalahan? Apa kamu pikir saya tolol? Bodoh? Goblok?!"

Saya mengunci lidah. Duduk menunduk dengan helaan napas tak keruan. Lelaki mana yang tak beringas kekasihnya tertangkap basah tidur bersama lelaki lain? Tapi, jujur saja, hati kecil saya menolak dipersalahkan. Sebab, saya tak tidur bersama lelaki sembarang, melainkan dengan Jimmy, lelaki yang selalu saya anggap kekasih, meski dia telah beristri.

Saya dan Jimmy menjalin asmara selama lima tahun. Kami putus setelah dia menikahi wanita pilihan ibunya yang sangat ningrat. Awalnya saya menganggap Jimmy pengecut. Seenaknya dia mengakhiri cinta yang sudah sampai rahim. Jika Jimmy benar-benar serius, kenapa tak nekat menikahi saya? Kawin lari kek, apa kek?

Sebulan, dua bulan, enam bulan, melupakan Jimmy adalah penyiksaan batin. Saya tetap tak mampu menghapus raut wajahnya. Juga pada aroma tubuhnya yang selalu membuat saya lelap merindu. Jimmy benar-benar mengganggu akal sehat. Sejak sekali dua, dengan rutinnya dia menelpon atau datang ke kos, saya pun terlena pada hubungan yang tak semestinya. Dalam kedekatan seperti ini, ajaib, saya tak bisa marah. Saya larut pada cinta yang saya yakini masih ada. Kadang, saya tak peduli Jimmy muncul membawa cinta atau sekadar nafsu. Saya menikmati saja, meski sekali lagi, dia sudah beristri.

Sebelum saya dan Jimmy berpisah, sebenarnya ada Ray yang selalu mencoba mendekati saya. Tapi saat itu tak ada yang bisa membuat saya dan Jimmy lepas. Begitu tahu bahwa saya tak lagi bersama Jimmy, Ray pun masuk, sebab hati kecilnya pasti menunggu-nunggu momen ini. Perlahan Ray membersihkan tepian hati saya yang bertaburan pasir luka. Dia memahami, dan mampu meluluhkan hati saya yang tak ingin berpaling ke lelaki selain Jimmy, menghentikan ketidakrasionalan saya yang berangan-angan menjadi lesbian. Saya menerima Jimmy kembali tanpa pernah berpikir ini sekadar pelarian atau bukan. Saya menjalani saja, sampai pada akhirnya terjadi peristiwa kemarin, saat saya dan Jimmy larut dalam nostalgia sinting dan tertangkap basah Ray, lelaki yang kini di depan saya dengan muka memerah menahan bara kesal.

"Wanita binal!" Tangan Ray melayang telak ke pipi kiri saya. Kencang juga.

"Saya minta maaf Ray. Ampuni saya. Saya khilaf." Saya menubruk kakinya.

"Minta ampun?" Suara Ray memanjang serak. Saya masih memeluk kakinya. "Saya bukan Tuhan. Lagi pula, khilaf kok berulang-ulang. Bodoh sekali. Itu sengaja tolol! Tak usahlah kamu berdalih khilaf atau segala macam tetek bengek untuk menutupi kekonyolan kamu mempermainkan saya. Mungkin, selama ini saya memang benar-benar seperti kerbau dicucuk hidungnya. Saya tetap menjadi belatung yang terus-menerus melumat sampah. Betapa dungunya saya berharap pada sundal belangsak!" Ray bergerak, tangan saya terlepas. Dia memukul dinding. Secepat kilat tangan kanannya merampas gelas di meja dan melemparnya ke lemari kaca. Gerompyangannya berbarengan dengan suara tangisan saya yang mengeras. Ekor mata saya melihat dia melangkah, membuka pintu dan membantingnya hingga bergetar kusen jendela.

Saya sesegukan. Kalut. Pusing. Bingung. Hancur. Pasrah. Tak tahulah. Mumet banget.

Saya selalu gagal membunuh peristiwa suram setahun silam itu. Ada saja kalanya saya teringat dan bermunculanlah adegan demi adegan seperti film hitam putih yang bergerak bekerjap-kerjap, bergantian, seperti barusan. Padahal, saya sudah menjauh, karena kebetulan sekali, permohonan beasiswa pascasarjana saya diterima. Kini saya menetap di Keele, kota kecil di kawasan West Midland, berjarak sekitar tiga jam dengan kereta dari London, kira-kira satu jam dari Manchester. Bagi saya, selain menambah ilmu ke jenjang lebih tinggi, di tempat yang jauh dari Jakarta saya berharap bisa melupakan pelbagai kenangan manis dan pahit bersama Jimmy dan Ray.

Pada Mei ini sebetulnya Keele tengah dilanda musim semi. Anehnya, curah hujan juga tinggi, sehingga dalam dua pekan terakhir, hari selalu menjadi basah. Dari kamar di sisi jendela, saya membuang pandangan ke taman kecil di seberang jalan. Tampak pinus dengan dedaunan hijau kekuning-kuningan. Butiran es yang turun bersama hujan, yang bagaikan serpihan kristal tumpah dari langit, cuma sesaat membuat hati saya riang. Ini memang indah, karena di Bandung, kota kelahiran saya, tak ada butiran es menari-nari di sela ritmik hujan.

Saya menarik napas, lalu bersedekap menahan angin dingin di tengah suhu sekitar sepuluh derajad Celsius. Bola mata saya berpindah-pindah. Sebentar menyapu taman yang dihiasi mekar kuning daffodils, yang di pinggirnya tampak orang-orang setengah berlari dengan payung warna-warni atau jas hujan. Sekejap kemudian terpaku menatap langit tanpa awan. Saya menarik sudut mata melirik jam dinding. Jarum pendek menapak di angka delapan. Satu jam lagi hari akan gelap, seperti menjelang Maghrib di Jakarta. Senja beringsut dan malam akan datang. Saya bisa memastikan, bersamaan dengan langit yang tak lagi terang, hati saya pun bertambah sunyi. Saya tutup jendela. Menarik gorden. Tidur. Berharap bayangan itu hilang.

===

Pagi tiba. Saya mengikat tali sepatu, bersiap untuk olah raga keliling taman. Saya sempatkan ke tempat kotak surat untuk mengecek paket rokok dari Bandung. Siapa tahu sudah datang. Jimmy? Alis saya naik membaca pengirim surat yang baru saya ambil. Buru-buru saya menyobek sisi amplop, mengeluarkan berlembar-lembar isinya, kemudian membaca tak sabar. Saya benar-benar tak menyangka. Dalam suratnya, Jimmy bercerita bahwa dia dan istrinya bercerai. Istrinya galak, itu membuatnya seperti tak dihargai sebagai lelaki. Dia juga bertanya kenapa email-email yang dia kirim ke saya tak kunjung dibalas. Dia memang tak saya beritahu bahwa saya tak lagi memakai email lama, yang dia buatkan saat kami masih bersama.

Saya bergegas kembali ke kamar, membatalkan lari pagi. Saya nyalakan laptop, membuka email dari Jimmy. Pasti ada banyak email yang dia kirimkan. Sebab, dia bilang, sejak sebulan saya berangkat tanpa sepengetahuannya, Jimmy mengirim email setiap pekan. Saya sudah setahun di sini. Artinya, ada sekitar 48 email yang sudah Jimmy kirim. Gilanya, tak satu pun saya baca dan balas.

===

JAKARTA masih seperti dua tahun silam. Panas, udaranya kering. Di koridor Bandara Soekarno Hatta, saya duduk gelisah. Mustinya saya tak perlu menunggu, sebab dalam obrolan di internet, Jimmy berjanji datang tepat waktu untuk menjemput kepulangan saya dari Keele. Tapi mana? Sudah setengah jam, Jimmy belum juga terlihat. Saya kontak telepon genggamnya tak terjawab. Saya tak berani menelpon ke rumah dia. Sosok ibunya masih menakutkan, meski Jimmy meyakinkan bahwa ibunya tak lagi seperti dulu. Tapi saya belum siap.

"Berkacalah Kiara. Anak saya tak pantas menikah dengan wanita seperti kamu. Tahu diri sajalah. Putuskan Jimmy dan pergilah mencari lelaki lain. Jangan membuang-buang waktu anak saya. Dia sudah kami jodohkan dengan anak bangsawan dari Aceh. Sampai kapan pun, saya tak pernah rela sebagai ibunya, Jimmy menikah dengan kamu! Camkan itu!"

Suara ibunya Jimmy datang memalu gendang telinga. Saya melenguh, melirik jam tangan. Sudah jam sebelas. Saya berdiri, lalu duduk, berdiri lagi, menengok kanan-kiri. Majalah saya tutup. Seperti intel, saya menatap sekeliling dengan jeli. Toh, Jimmy masih belum terlihat. Saya mulai tersaput kesal. Setengah jam berlalu, satu jam, dan sekarang satu jam setengah. Keterlaluan! Saya bangkit dari duduk dan bergegas menyetop taksi. Lebih baik saya pulang sendiri daripada menunggu lelaki karet brengsek itu!

Setelah melewati jalan tol Pluit, mulai kumatlah Jakarta. Taksi yang saya tumpangi merayap. Lama. Benar-benar membosankan. Untuk membunuh sebal, saya menghibur diri berbincang-bincang dengan sopir. Kata sopir yang berpeci miring itu, macet ini sudah terjadi sejak satu jam lalu. Ada kecelakaan, kata dia. Musibah memang mudah terjadi di kota yang malas disiplin. Saya membatin. Diam, gondok, sampai akhirnya saya pasrah dan menikmati taksi berjalan seperti siput bunting.

Suara klakson truk gandeng di belakang benar-benar mengejutkan. Saya terbangun dari tidur. Di depan tampak kerumunan. Tampaknya benar ada kecelakaan. Saya menoleh keluar, terlihat dua mobil sedan terbalik, dan empat orang tergeletak ditutupi koran. Saya gerakan mata, sebuah mobil jeep hitam nyusruk di parit. He, saya seperti tahu jeep itu. Saya membuang mata ke depan. Tapi, secepat kilat saya menoleh lagi ke tempat jeep itu terjungkal.

"Pak, Pak, stop, Pak!" Sopir itu kaget. "Tolong berhenti dulu! Saya mau turun. Ini uangnya!" Pintu mobil saya buka. Turun membelah kerumunan. Entah dari mana datangnya, dada saya terasa tak enak. Mata saya terbelalak. Lelaki yang tergeletak dengan berlumuran darah itu bukan wajah yang asing. Saya maju dan memeluk lelaki yang tak lain adalah Jimmy. "Tidakkk..." Orang-orang bergeming heran. Saya melihat Jimmy terengah-engah. "Ya, Tuhan, selamatkan dia."

"He, kenapa kalian cuma menonton? Orang ini sekarat! Dia butuh pertolongan cepat!" Orang-orang itu saling menoleh. Tapi tak satu pun bergerak. Sialan. Saya senewen. "Tolong bantu saya angkat orang ini! Dia belum mati! Dia calon suami saya! Kami akan menikah bulan depan!" Histeria saya menarik tiga orang untuk grasa-grusu mengangkat tubuh Jimmy. Saya mencoba menghentikan mobil yang melintas pelan, mencari pertolongan supaya Jimmy bisa ke rumah sakit. Dia harus hidup, karena dia masih bernapas.

Empat kendaraan menolak membantu, sampai akhirnya sebuah mobil bak terbuka pengangkut buah yang sudah kosong, berhenti. Bersama orang-orang yang belakangan sibuk mengangkat Jimmy, saya naik. Kepala Jimmy saya pangku di paha. Mukanya memar, darah terus menetes, tangannya lemas. Patahkah? Saya tak bisa memastikan. Saya cuma bisa berdoa dia tetap hidup. "Jimmy, bertahanlah. Ini aku, Kiara..." Saya berbisik pelan. Mudah-mudahan dia dengar.

Sang sopir ngebut. Saya senang, sekaligus takut. Lebih cepat sampai rumah sakit memang lebih baik. Tapi laju mobil ini mengerikan. Di atas jalan layang Tomang, mobil kian kencang. Rumah sakit sebentar lagi sampai. Saya harap-harap cemas. Saya terus menahan kepala Jimmy agar tak terguncang. Saya mendekapnya sambil terus membisiki kekuatan. "Kita akan menikah Jimmy, bertahanlah. Kamu harus hidup sayang. Saya pulang untuk kamu. Saya siap menikah dengan kamu. Seperti janji kita dulu."

Bersamaan saya mengatup bibir, sekonyong-konyong tubuh saya terdorong ke depan. Jimmy terlepas. Dia terpental, berbarengan mobil menghajar besi pembatas jalan tol. Sang sopir yang panik, membanting ke kanan. Bukannya menguntungkan, malah membuat truk ini terbalik. Berputar-putar, menghantam sedan yang mengerem mendadak, lalu diam dengan roda di atas.

Tubuh saya berdesir mendadak dingin, dingin yang belum pernah saya rasakan. Saya melihat ke bawah. Aneh, kaki saya tak menyentuh tanah. Saya mendadak bisa terbang. Saya terpaku pada kerumunan. Menatap pick up yang saya tumpangi terguling. Terlihat juga sopir tergencet di depan kemudi, mengerang bersama kernetnya yang menahan sakit. Saya celingak-celinguk mencari Jimmy. Kemana dia? Saya tak melihatnya. Dia tadi lepas dari pelukan. Saya berlari ke depan, ke samping, ke kolong jembatan layang. Dia tak ada. Aduh, ke mana kamu Jim?

Berkeliling saya mencari Jimmy. Mata saya tertumbuk pada raga Jimmy yang tergeletak parah. Wajahnya remuk. Darah mengalir dari kepalanya. Saya menjerit. Tapi orang-orang itu tak ada yang mendengar. Mereka malah menutup Jimmy dengan koran. Buka koran itu, saya berteriak. Tapi mereka seperti tuli. Tak ada satu pun yang peduli pada saya. Saya histeris, mendedah kerumunan lalu mencoba memeluk Jimmy. Tapi mendadak tangan saya ada yang menarik.

"Kiara..."

Saya menoleh. Terkejut, dan langsung menubruk sosok yang menggaet tangan saya tadi.

"Kamu ke mana Jim?"

"Saya tadi mencari-cari kamu."

Saya memperhatikan tubuhnya. Dia juga tak menyentuh tanah. Dia juga bersayap. Dia juga terbang. Ada apa ini? Baru saja bibir saya terbuka untuk bertanya kepada Jimmy, dia langsung menggandeng tangan saya. Diajaknya saya melihat tubuh kami yang tergolek di bahu jalan, dengan koran sebagai penutup. Kami saling menoleh. Tak berbicara apa-apa. Lalu kami membentangkan sayap seperti burung, terbang, menembus lapisan awan, menyentuh bintang, mencium bulan, memunguti butiran-butiran cinta kami yang abadi.***

Tebet, 26 Mei 2003

Sunday, May 25, 2003

DéTIK*

berputar terus berputar
tak berawal tak berakhir
berputar terus berputar
tak berbatas tak bertepi
detik...
detik...

*diambil dari jingle iklan tabloid DéTIK almarhum

Wednesday, May 21, 2003

duh, pusing...

Sunday, May 18, 2003

lelaplah

kembali jenuh mengerudungi
dalam kegamangan, juga keniscayaan melangkah
barangkali harus sejenak duduk dalam jeda
sampai pada akhirnya langit tak kusam
dan bisa melompat tak terjerembab ke kubangan serupa
izinkan saya terlelap
sekejap

Friday, May 16, 2003

Stalingrad

...Aku kehilangan jari kelingking tangan kiriku. Tapi, yang lebih celaka lagi adalah tiga jari tengah tangan kananku juga hilang akibat beku kedinginan. Hanya dengan ibu jari dan kelingkingku, aku bisa memegang cangkir minumku...

...Mereka berjatuhan seperti lalat; tidak ada yang peduli dan tidak ada yang menguburkan mereka. Mereka bergeletakan di mana-mana, buntung tanpa tangan atau kaki dan tanpa mata, dengan perut robek menganga...

...Aku terkejut saat melihat peta. Kami sama sekali sendirian, tanpa bantuan dari luar. Hitler telah meninggalkan kami di ujung tanduk...

...Tidak ada yang bernama kemenangan itu Pak Jenderal. Hanya ada bendera dan orang-orang yang berguguran, dan pada akhirnya tidak akan ada lagi bendera maupun orang-orang. Stalingrad bukanlah suatu keputusan militer, tapi justru suatu judi politik...


BAIT-bait kalimat itu adalah petikan surat-surat terakhir serdadu Nazi Jerman dari Stalingrad (sekarang bernama Volgograd--kota industri yang terletak di tengah sungai Volga), Uni Sovyet, pada sebuah musim dingin di awal 1943. Di tengah samudra salju, mereka terisolasi, tanpa bahan makanan, tanpa bala bantuan. Mereka menunggu saat-saat terakhir: ajal yang menjemput karena ganasnya musim dingin atau sergapan musuh yang mematikan. Para tentara malang itu mengungkapkan perasaannya melalui goresan pena. Surat-surat dan potongan yang terkumpul itu aslinya diterbitkan di Jerman pada 1954 dengan judul Letzte Briefe aus Stalingrad.

Saat itu, pasukan Nazi memang tengah berekspansi besar-besaran ke berbagai negara Eropa, tak terkecuali Uni Soviet. Didukung peralatan militer lengkap serta pesawat-pesawat tempur yang tak pernah lelah menggempur, Nazi relatif mudah merebut berbagai kota dan negara daratan Eropa. Semua? Tidak, rupanya. Karena Stalingrad tak kunjung tumbang.

Stalingrad yang diplesetkan oleh Nikita Kruschev menjadi "Stalin Rad", yang berarti Kota Stalin, adalah pintu gerbang utama menuju Uni Soviet. Itulah sebabnya, Stalingrad harus dipertahankan dengan segala risiko. Seandainya kota ini hancur atau dikuasai Jerman, dalam tempo singkat seluruh wilayah Uni Soviet bakal berada di bawah kaki Jerman. Tak mau itu terjadi, banyak pemuda dari berbagai tempat di Uni Soviet dikirim ke kota ini.

Sejarah mencatat kurang lebih 1.100.000 prajurit Soviet kehilangan nyawa, beberapa ribu di antaranya menjadi korban penembakan polisi keamanan Uni Soviet yang khusus mengawasi dan menembak para prajurit desersi. Banyaknya prajurit Soviet yang melakukan desersi setidaknya membuka mata dan hati Nikita Kruschev bahwa Stalingrad tak hanya cukup dipertahankan dengan peralatan militer seadanya serta mendengungkan semboyan seperti "merdeka atau mati", atau "mari, berkorban untuk ibu pertiwi". Para prajurit itu membutuhkan hal lain untuk menjaga semangat juang mereka.

Pertempuran selama sekitar tiga bulan itu memang benar-benar membuat Jerman kebingungan. Mereka gagal, Stalingrad tak pernah bisa jatuh. Perang kota yang kandas itu memberi pelajaran pada Jerman bahwa kecerobohan dan keyakinan serta kepongahan hanya melahirkan bumerang mematikan. Prajurit Jerman yang larut dalam keputusasaan menemukan kuburannya di Stalingrad...

Perang memang tak pernah mengenal penderitaan. Di mata perang, nyawa yang terbunuh adalah risiko lumrah yang musti ditempuh. Baik sipil maupun militer yang menjadi korban, para jenderal selalu pada keyakinannya bahwa perang adalah perang dan karena itu nyawa yang melayang bukanlah persoalan penting. Saya tak pernah bisa mengerti, dengan dalih perdamaian perang kerap ditempuh. Saya lebih pada keyakinan bahwa mereka yang menghalalkan perang, baik untuk mereka yang menjadi pemberontak maupun yang menumpas pemberontakan, dan menekankan senjata adalah jalan keluar, saya pikir mereka lebih pas ada di lingkaran kejiwaan yang parah. Akal sehat saya tetap menolak penjajahan, tapi agaknya, saya akan tetap menolak perang. Sesuatu yang agaknya sulit, memang. Dunia memang selalu penuh dengan paradoksal dan keganjilan.

Saturday, May 10, 2003

terbang

pada pagi yang jingga
aku bertutur tentang sebuah nama
yang mengoyak segala macam kerisauan
dalam aroma terang tanah
engkau menghadirkan matahari
dengan cinta yang pernah menjadi mimpi

pada senja yang memerah
aku berucap tentang sebuah mutiara
yang terbenam di benak nan sunyi
dalam nuansa bulan sabit
engkau membawa terbang angan
dengan rasa sayang yang pernah tersimpan rapi

dan di sini
seraya menatap masa silam
kuingin memeluk batinmu
bersamamu aku merasa yakin
rumah cinta menjadi lebih kokoh
bersama bintang yang berpendar
kuingin melangkah
memunguti butiran rindu
agar mata ini bisa terbuka di kala pagi
agar hati ini bisa tersenyum di kala senja

Saturday, May 03, 2003

fatamorganta

dahulu saya pernah punya mimpi
melihat bulan di setiap senja
lalu saya mengamati tak berkesip
memeluk erat menahan napas
bulan itu lembut
lihat saja sinarnya
tak pernah terik seperti matahari
dia membuat saya layaknya bermandi embun
pada setiap penat dan sejauh lelah
saya selalu merindukan bulan

sampai detik ini saya terkurung pada dinding tak berpintu
mengurung dan tak membiarkan saya keluar...
membakar hati saya
sesekali saya berharap ada pintu untuk keluar
sekadar melongok dari jendela pun tak apa-apa
kadang saya merasa pasrah pada lampu-lampu dan sinar yang ada
melupakan bulan, membiarkan saya merasa sunyi

tapi saya selalu terus bermimpi
mencium rembulan dan membiarkannya dalam dekapan
mimpi ini benar-benar melelahkan...
dan saya hanya bisa diam
lalu bunga

saya terjatuh di sudut ruang...
pada setiap jeda yang tak pernah mengenal cinta
lalu terbangun
dan saya dapatkan langit tak lagi cerah...
saya rindu pelangi
bukan karena warna-warninya
tapi karena dia bisa membuat saya merasa damai....
kamu pernah merasa sunyi dalam ruang yang begitu riuh?
saya sedang merasakan itu pada setiap jeda yang tak pernah mengenal cinta...
saya ingin berlari ke taman...
lalu memandang bunga-bunga...
saya petik setangkai
warnanya putih... lebih wangi dari melati...
saya sematkan di hati kamu... sambil berbisik...
boleh saya menanam cinta?

Thursday, May 01, 2003

dingin banget di sini... saya gak betah...