Wednesday, February 28, 2007

guntur yang saya kenal

kabar itu terdengar seperti guntur di siang bolong. mengagetkan. kameraman pendiam itu tenggelam ketika meliput bangkai kapal levina yang terbakar, bersama kameranya yang tak ingin dilepas--justru diselempangkan seperti gitar. mochammad guntur syaifullah, biasa disapa mas guntur oleh rekan yang lebih muda. perawakannya kurus dengan kulit gelap. saya tak pernah bisa lupa setiap berpapasan, senyumnya selalu mengembang. senyum tulus. tak sedikit pun terlihat basa-basi, padahal ia jauh lebih tua--biasanya, senior di kantor malas menyapa lebih dulu pada yang junior, atau kalau pun senyum, kental kesan minta dihormatinya. mas guntur tidak. mas guntur senyum ya senyum saja. ia memang orang baik.

dulu, sewaktu masih di buser, saya sempat lama dipasangkan dengannya. dia disiplin. datang tak pernah lewat dari batas yang sudah dijadwalkan. sering saya yang tidak enak karena kerap terlambat. tapi mas guntur tidak marah, ia hanya senyum. "santai aja kalo sama gue mah..." sebuah kalimat yang menunjukkan ia tak mau ribet-ribet. tenang saja. kalimat yang justru malah membuat saya tak enak menyikapinya, karena membuat saya rikuh.

meski cukup berumur--usianya saat itu 43 tahun--mas guntur rajin saat pengambilan gambar. bergerak sendiri tanpa komando reporter. inisiatifnya tidak asal-asalan, karena terbukti visual yang didapat layak tayang.

liputan malam, siang, pagi, begadang di blok-m, menyantap gultik, bercanda sekedarnya, tidur di mobil bersama, ingatan itu berkejapan saat ini seperti film hitam putih usang.

di pemakaman tadi, saya tak kuasa menatap anak pertamanya yang ingin bercita-cita menjadi wartawan juga--mas guntur lebih berharap ia menjadi pegawai negeri, cita-cita yang sederhana. istrinya, ibunya, sanak keluarga besarnya, makin menguatkan ingatan saya pada sosoknya yang apa adanya. sosok bersahaja yang kematiannya persis seperti bagian namanya, guntur. benar-benar takdir yang mengejutkan.

selamat jalan mas, semoga kau syahid. dan keluarga intimu tabah menjalani kehidupan tanpa sosok ayah dan suami... amin...

Friday, February 23, 2007

Mengatasi Defisit Kebajikan

''Ihsan itu adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia pasti melihatmu.'' (HR Muslim)

Demikianlah salah satu petikan dialog Rasul SAW dengan Malaikat Jibril. Imam Yahya bin Syarafuddin an-Nawawi ketika membahas hadis ini menjelaskan orang yang melakukan ihsan itu setara dengan para shiddiqin, yaitu orang-orang senantiasa menghendaki ridha Allah. Kedudukan para shiddiqin ini lebih tinggi dari orang-orang yang ikhlas (mukhlishin).

Ihsan ternyata tidak sekadar berarti berbuat baik. Ihsan sesungguhnya lebih tepat diartikan berbuat yang terbaik. Inilah yang tergambar dari pesan Rasul dalam hadis di atas. Bila kita berbuat sesuatu sambil tetap merasakan bahwa Allah selalu melihat dan memperhatikan kita, apalagi yang mungkin diperbuat kecuali melakukan yang terbaik.

Dan, untuk mereka yang berbuat yang terbaik inilah, paling tidak 38 kali dalam Alquran, Allah mengulang penyebutan muhsin (orang yang berbuat ihsan) sembari menegaskan kecintaan-Nya kepada mereka dan ganjaran serta pahala untuk mereka.

Demikianlah Islam memotivasi umatnya untuk selalu menghasilkan prestasi kebaikan. Allah juga memerintahkan orang-orang beriman untuk menghindarkan diri dari pekerjaan yang sia-sia. (QS Al-Mukminun [23]: 3). Rasulullah dengan berbagai cara juga mendorong kaum Muslimin menjadi manusia yang selalu menebar kebaikan dan manfaat.

Lihatlah sabda beliau, ''Manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.'' Dalam kesempatan lain beliau juga menegaskan agar kita tidak menjadi beban bagi siapa pun.

Cukuplah sudah Islam mengajarkan prinsip-prinsip kebaikan. Kemalasan, kebodohan, dan hawa nafsu kitalah yang sering membuat kita mengabaikan ajaran-ajaran mulia itu. Itulah yang menyebabkan umat ini belum kunjung bisa membuktikan diri sebagai khaira ummah (umat terbaik).

Masih begitu banyak di antara kita yang lebih suka menanti kebaikan ketimbang menghasilkannya. Padahal, bila semakin banyak orang yang menanti kebaikan, yang terjadi adalah defisit kebajikan. Bila jumlah orang yang membutuhkan kebaikan lebih banyak daripada orang yang berbuat kebajikan, yang terjadi adalah kekurangan cadangan kebaikan. Karena itu, mari berlomba-lomba berbuat baik. Wallahu a'lam....

Oleh : Salman MA

-)Thx republika

tentang seorang gadis... (3)

aku sheefa, katamu. tapi kemudian kamu meralatnya. namaku gadis kanityara, katamu lagi. nama yang menarik. mungkin kamu juga cantik. awalnya aku berpikir begitu. ternyata benar. kau memang cantik dan tidak terlihat mungil seperti gambaranmu. tapi picture is picture katamu. segala sesuatunya pasti akan terlihat lebih tinggi. apalagi ada gabby yang hispanic. ya ya ya... apapunlah itu, mungil atau tidak, kau tetaplah gadis cantik, yang mengganggu.

tiga hari terakhir, aku betul-betul terganggu. pada semua hal tentangmu. georgia. angka-angka. seattle. angka-angka. misionaris gereja. kebosanan. barang belanjaan. Tuhan. pengabdian dalam pernikahan. entah apalagi. dan pasti banyak lagi, karena aku pasti akan terus terganggu. entah sampai kapan, tapi kupastikan lama. aku masih ingat kata-katamu, meski tak secara langsung kau mengatakannya: waktu yang lama akan membuatmu yakin bahwa ada sesuatu di balik ini semua... semoga saja, meski aku sejujurnya tak berharap banyak...

siapalah aku gadis... hanya lelaki pemimpi yang menanti hujan di siang terik...

selamat masak. kapan-kapan boleh juga mencicipi asparagusmu... mudah-mudahan lidahku bisa menerima, karena aku terbiasa dengan tahu isi dan bakwan dan cabainya...

Thursday, February 22, 2007

tentang seorang gadis... (2)

ini kamis yang melelahkan, seperti kamis-kamis sebelumnya. besok tayang dan paket belum selesai. kemungkinan besar akan begadang. larut di depan monitor, mengetik narasi, memilih gambar, sambil menahan kantuk. tapi aku senang hari ini. karena ada kamu. aku tidak menyangka kamu akan memuncul dan kita kembali larut pada nuansa yang masih aneh. dari kejauhan, kau tetaplah seorang gadis yang menarik... cerdas, cantik, seksi, dan sayang orang tua. kombinasi yang langka, meski pasti ada juga entah di mana. tapi aku ketemunya kamu, gadis. mengalir begitu saja. tiba-tiba. tanpa skenario, tanpa desain yang merumitkan...

ini kamis yang melelahkan dan menjadi tak biasa... karena ada kehangatan yang baru saja hinggap... tentang sebuah harap... tentang sebuah mimpi... (kau bilang suka mimpi...), tentang sebuah ketidaktahuan akan hari nanti... dan kamis ini tiba-tiba menjadi begitu menyenangkan... meski besok tayang dan pekerjaan belum sepenuhnya selesai... kamu tahu karena apa gadis? karena kau telah mengirimkan seuatu yang menyenangkan... sesuatu yang mengubah hari berat menjadi ringan... meski saja ini semua masih terasa aneh...

selamat tidur, semoga ujian angka-angkanya sukses... awas, jangan benci-benci dengan paul... biasanya, benci berlebihan akan melahirkan dampak sebaliknya... kalau itu terjadi, aku akan sangat kehilangan... :)

*oya, aku suka sekali kalimat di blogmu ini, bukan karena kata beraninya, tapi kalimat setelah itu... buat laki-laki pemberaniku yang aneh. begitu mimpiku. aku ingin seperti ombak laut, riaknya tak pernah berakhir...

tentang seorang gadis...

ini malam yang aneh... malam ketika begitu mudahnya kesepakatan diwujudkan. dia baik, juga menarik... ada sesuatu yang membuat aku mendadak tertarik... dia seorang gadis... gadis yang baik... gadis yang ingin berbakti pada orang tua... begitu saja kesan yang muncul... dia jauh. jauh sekali... apa makna ini... aku tidak tahu... yang aku tahu, dia baik dan ini malam yang aneh... malam ketika begitu mudahnya kesekapatan dijalankan...

Saturday, February 10, 2007

haruskah kuikuti arus sungai itu?

padahal kau hanya memberi senyuman
tapi aku seperti terguyur hujan
hatiku basah
sulit kukeringkan
terbakar
kuragukan bisa padam

setiap hela
adalah jarum beterbangan
menusuk jantung
memenuhi rongga pori
menjadi sesak yang kubiarkan
karena aku cuma ingin tahu
apa sesungguhnya yang kau berikan
hingga sejauh angan melayang
senyummu saja yang membayang

kelakkah
sebentar saja
kau akan menemani
malam-malam menjemukan
di beranda
yang kini laksana
lorong panjang

tolong titipkan jawabmu pada rembulan
haruskah kuikuti arus sungai itu?

tak pernah sampai

ia berhenti
meski tanpa disadari
langkah kakinya masih berlari

entah ke mana
mungkin memunguti dedaunan asa
yang beterbangan
mencoba merangkai
satu per satu
yang jatuh
di tanah merah basah

hujan februari ini
tak membuatnya dingin
kegelisahan membuat ia hangat
menjadi tak sungkan

untuk meneruskan
apa yang ia cari
apa yang ia ingini

meski ia tahu
bunga cinta itu
tak akan pernah dijumpai

cinta
baginya
tetaplah sebuah koma
angan-angan
yang tak akan pernah berhenti...

Monday, February 05, 2007

Persoalan Hidup

Suatu hari, Imam Al Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu ia mengajukan enam pertanyaan. Pertama, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?". Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya.

Imam Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "mati". Sebab kematian adalah janji Allah SWT. "Setiap yang bernyawa (pasti) akan merasakan mati." (QS Ali Imran [3]: 185). Lalu Imam Ghazali meneruskan pertanyaan kedua, "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang diberikan adalah benar.

Tapi yang paling benar adalah "masa lalu". Siapa pun kita, bagaimana pun kita, dan betapa kayanya kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Imam Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga, "Apa yang paling besar di dunia ini?" Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghazali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "nafsu".

Banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya. Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu. Karena itu, kita harus hati-hati dengan hawa nafsu ini, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka. Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?" Di antara muridnya ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban hampir benar, kata Imam Ghazali, tapi yang paling berat adalah "memegang amanah." Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?" Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam Ghazali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan "shalat".

Lalu pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?". Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang...?" Benar kata Imam Ghazali, tetapi yang paling tajam adalah "lidah manusia". Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Sudahkah kita menjadi insan yang selalu ingat akan kematian, senantiasa belajar dari masa lalu, dan tidak memperturutkan nafsu? Sudahkah kita mampu mengemban amanah sekecil apapun, senantiasa menjaga shalat, dan selalu menjaga lisan kita?

*Bahron Anshori

>) thx republika

Ridha

Suatu hari, Ali bin Abi Thalib RA melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya, ''Mengapa engkau tampak bersedih hati?'' Ady menjawab, ''Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran.

'' Ali terdiam haru, kemudian berkata, ''Wahai Ady, barangsiapa ridha terhadap takdir Allah SWT, maka takdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahala-Nya, dan barang siapa tidak ridha terhadap takdir-Nya, maka hal itu pun tetap berlaku atasnya dan terhapus amalnya.'' Ada dua sikap utama bagi seorang hamba ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak dia inginkan -- ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian mutlak yang perlu dilakukan oleh sorang Muslim.

Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian -- sekalipun menyakitkan -- dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima takdir Allah SWT dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab, di dalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (khusnudzan) kepada Sang Khalik.

Orang-orang yang ridha ketika ditimpa musibah, dia akan mencari hikmah yang terkandung di balik ujian tersebut. Ia yakin, Allah SWT telah memilihnya (untuk menerima ujian itu), dan Dia sekali-kali tidak menghendaki keburukan dari ketentuan cobaan bagi makhluk-Nya. Apabila ridha ini sudah mengakar dalam sanubari manusia, maka hilanglah semua rasa sakit yang diakibatkan oleh berbagai musibah yang menimpanya.

Dari Anas bin Malik RA bahwa Nabi SAW bersabda, ''Sesungguhnya apabila Allah SWT mencintai suatu kaum, maka Dia mengujinya. Barangsiapa ridha terhadap ujian-Nya, maka dia memperoleh ridha-Nya dan barangsiapa tidak suka, maka mendapat murka-Nya.'' (HR Tirmidzi). Bagi orang yang ridha, ujian merupakan pembangkit semangat untuk semakin dekat pada Allah, semakin menenggelamkan dirinya dalam bermusyahadah dengan-Nya.

Dalam satu kisah, Abu Darda' pernah melayat pada sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah SWT. Maka Abu Darda' berkata kepada mereka, ''Engkau benar, sesungguhnya Allah SWT apabila memutuskan suatu perkara, maka Dia senang jika takdir-Nya itu diterima dengan rela atau ridha.''

Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah SWT dalam situasi apa pun. Wallahu a'lam bish-shawab.

*M Kamaluddin Al-Maulidy Abdullah

>) thx republika