Monday, January 30, 2006

menjadi kecil

tapi burung-burung tak pernah bisa berenang dan saya yang tak bersayap sering kali bermimpi ingin terbang. kepada siapa sesungguhnya matahari diciptakan, bila malam terus saja menelan bulan dan melupakan jingga senja di kejauhan?

di sini, sesungguhnya saya hanyalah selimut yang koyak di tempat tidur, jarum jam yang melekat di dinding kusam yang kesunyian, mungkin sambil sesekali menelan tanda tanya...

setiap hari. tanpa henti...

menjadi kecil

lalu saya menjadi sentimental dan larut meratap, sedang detak detik tak pernah bisa berputar arah. waktu tak pernah memintamu hadir, meski kau telah terlahir. saya menahan napas. tak bisakah sejatinya hidup hanya ada bahagia dan membiarkan airmata mengalir karena lelah tertawa?

setiap hari. tanpa henti...

Friday, January 27, 2006

betul-betul menyiksa

tak bisakah
kau biarkan
sejenak diriku
sendirian
tanpa perlu
kau bayang-bayangi
kepalaku
dengan garis senyummu
terus menerus
membuatku
terus menerus
mengingatmu?


tak bisakah
kau biarkan
sejenak hatiku
menghindari
tanpa perlu
kau hantui
degup jantungku
berharap kau membenciku?
sehingga aku
terbebas dari
sosokmu
terus menerus

betul-betul menyiksa
betul-betul menyiksa...

Wednesday, January 25, 2006

karena-Nya

dan kita
yang masih dibiarkan-Nya hidup
jarang sekali menepi
sejenak mengunci diri
merenung
betapa berharganya
udara yang masuk ke paru

kita tak pernah
bersyukur sedikit pun
tak pernah
berterima kasih secuil pun
kita bisa tertawa
bisa menangis
bertepuk tangan
atau berlari

kita larut dalam keluh
merendahkan diri
berpikir aneh-aneh
menyiksa diri tak perlu

sedang kita
sejatinya hanyalah bidak catur
yang bisa berbahagia
karena-Nya

sekali lagi
karena-Nya...

i love sctv!

hore gajian!
i love sctv!

*setiap gajian tiba, kenapa gue selalu merasa lebih cakep ya? hm... potong rambut ah. biar jelek.

Tuesday, January 24, 2006

membayangkan playboy

pagi baru saja berangkat
mereda hujan
menyisakan hening
menelan muram
yang sekarat

lihatlah kawan
pohon-pohon terjungkal
air sebatas lutut mengalir
di jalur bebas hambatan
rumah-rumah hanyut bersama bukit
bayi-bayi mulas
meringis menenggak kuman

pagi baru saja berangkat
dan kita
tetap merasa sehat
pura-pura tak buta tak tuli
mengulur tangan
mengharap pujian

padahal sesungguhnya
tak pernah kita
benar-benar
meletakkan hati
di dada mereka
yang menjadi korban

tak percaya?
lihatlah malam nanti
kita masih bisa terlelap
mungkin sembari onani
atau masturbasi
membayangkan playboy hadir di sini

Monday, January 23, 2006

aku mencintai dia?

aku mencintai dia?
iya
apakah ia mencintai aku?
mungkin iya
mungkin tidak
tapi sepertinya iya, deh
lalu?

begini
kalau kau sibuk
memikirkan
segala macam balasan
cinta yang kau tumpahkan
sesungguhnya
kau sedang berdagang
tak benar-benar mencintainya
lalu?

cintai saja
tak perlu berisik
tak perlu meminta balas...
apalagi sampai menangis
i love u, beb!

kum! selamat jalan oom!

pesan singkat di ponsel pagi itu, 14 januari 2006, seketika membuat saya terhenyak. tiba-tiba ingatan saya tertarik ke belakang. pastinya kurang jelas, tapi kalau tak salah ingat, peristiwa itu terjadi di akhir 1996. saat itu saya belum lama menjadi wartawan, sedang semangat-semangatnya belajar menjadi wartawan yang baik dan benar.

saya ditugaskan meliput tentang proses masuk sekolah negeri yang ketika itu, diselimuti sejumlah kasus suap. sekolah negeri adalah impian dan banyak orang tua menggampangkan cara agar anaknya bisa tembus, meski sebetulnya ia tak lulus tes.

banyak sekolah yang diduga diam-diam menjalani praktek seperti itu. tentu tak resmi, karena yang terlibat suap menyuap hanyalah segelintir. bisa guru, bisa juga pegawai tata usaha. untuk mencari fakta itu, lalu saya masuk ke sebuah sekolah negeri di bilangan bulungan jakarta selatan. cara yang saya pakai tentu dengan menyamar, tak mengungkapkan identitas sebagai wartawan. saya berpura-pura sebagai kakak seorang adik yang gagal masuk sekolah negeri dan ingin supaya ia bisa duduk di bangku sekolah yang terbilang favorit itu.

lama kasak-kusuk di dalam, di tengah suasana pendaftaran siswa baru yang riuh, akhirnya saya menemukan seseorang yang bisa mengupayakan agar adik saya bisa masuk sekolah itu. tentu dengan bayaran sejumlah uang, karena adik saya memang sama sekali gagal dapat negeri. setelah deal harga, yang jumlahnya lumayan untuk membeli kerupuk satu lapangan sepak bola, saya pamit dan berjanji akan kembali esok hari membawa uang. rekaman di tape kecil di balik jaket pun saya matikan.

sudah pasti saya tak akan kembali, karena tujuan saya hanya mencari bahan untuk tulisan tentang suap menyuap masuk sekolah negeri. saya kembali ke kantor dengan perasaan riang. saya membayangkan atasan yang menugaskan saya bakal senang, karena saya mendapat bahan yang cukup, boleh dibilang bukti kecil-kecilan sebagai indikasi telah terjadi suap menyuap di sekolah itu.

setiba di kantor, saya dengan antusias bercerita ke bos. saya katakan, saya dapat bahan bagus dan bukti telah terjadi suap di sekolah itu. tapi reaksi atasan saya dingin saja. tak antusias, benar-benar datar. wajahnya seperti dinding tanpa cat. saya heran, sudah pasti. yang membuat saya lebih heran, karena si bos menyuruh saya untuk menelepon orang dalam itu dan menjelaskan bahwa diri saya adalah wartawan. "biar kita lebih fair," katanya.

sinting dalam hati saya. menelepon orang yang sudah saya jebak? saya berharap sang bos bercanda, tapi ternyata tidak. ia sungguh-sungguh memerintahkan itu.

saya tak langsung menelepon. butuh tiga jam berpikir dengan hampir setengah bungkus rokok untuk memunculkan keberanian saya menelepon. menjelang malam, akhirnya, dengan perasaan cemas, saya menelepon orang itu.

"hallo pak, ini saya yang tadi siang mau mendaftarkan adik."
"oh iya iya. gimana?"
"hm, a g gi gini pak. duh, bapak jangan kaget ya."
"kaget kenapa?"

terus terang saya benar-benar takut. saya cemas orang itu punya penyakit jantung dan membayangkan ia roboh mendadak begitu tahu saya adalah wartawan.

"begini pak. sebetulnya saya nggak sedang mendaftarkan adik ke sekolah itu. saya ini wartawan, yang menyamar untuk mengumpulkan bahan dugaan suap di sekolah."
"ha?! waduh! waduh! kok begini sih? saya bagaimana ini?! jangan begitu dong dik!"

setelah yakin bahwa orang di seberang telepon tak roboh karena jantungan, saya jadi memiliki keberanian untuk menjelaskan pelan-pelan. dan akhirnya ia mengerti, setelah saya jamin identitasnya tak terungkap. masih dengan perasaan tak percaya, akhirnya dia bercerita modus suap dan segala tetek bengeknya. saya nyaris tak percaya saat itu, karena hal yang saya takuti ternyata malah membuat saya bisa memperoleh bahan yang lebih baik.

saya tak pernah bisa melupakan peristiwa itu. dan bila tiba-tiba di pagi itu saya teringat kembali, tentu karena saya teringat sosok atasan saya yang menugaskan liputan itu. ia orang yang santai, jahil, berjiwa muda, dan kadang-kadang suka sok galak. lebih dari enam tahun saya bekerja bersama dengannya. tentu bukan waktu yang sebentar.

ada banyak kenangan hilang timbul, berkejapan seperti film lama yang diputar cepat. itu terjadi setelah saya membaca pesan singkat yang membuat saya terhenyak. isinya, achijar abbas ibrahim meninggal dunia karena serangan jantung pagi tadi. bos saya, yang biasa disapa oom abbas itu, pergi selama-lamanya... menyisakan getir pada pagi basah...

selamat jalan oom, semoga Tuhan bisa bijak melihat sisi baikmu...

Saturday, January 21, 2006

i love u!

hai, apa kabar?
selamat ulang tahun diriku...
i love u!

Friday, January 20, 2006

layang-layang

di senja ini
aku adalah layang-layang putus
terbang tanpa arah
singgah di pucuk cemara
lalu terempas di tanah
bersama bayang gelap
yang tak juga sirna...

Wednesday, January 18, 2006

sebelum kau hadir

pukul delapan pagi
kota terang tanah
hujan semalam
menyisakan lembab
pada batang cemara
dan
masih ada takut
setiap hari menepi
seperti kemarin
sebelum kau hadir

lalu waktu
terasah sendiri
menjadi bulir
merepih harap
tapi
hujan semalam
menyisakan getir
yang sama
seperti kemarin
sebelum kau hadir
setiap hari menepi

Tuesday, January 10, 2006

senja di pucuk bukit

Apa yang Anda lakukan jika dokter telah memvonis Anda akan meninggal dunia sebulan lagi? Boleh jadi Anda akan menangis, mengurung diri tanpa gairah. Menahan rasa takut akan datangnya kematian. Mencoba melawan takdir dan berontak, memaki hidup yang tak adil. Mungkin juga Anda akan membenci Tuhan selama-lamanya. Anda putus asa dan begitu menyesal lahir ke dunia...

Bisa jadi pula Anda akan berterima kasih. Berterima kasih karena mengetahui bahwa ajal akan datang menghampiri. Kenapa harus berterima kasih? Sederhana saja, karena dengan demikian kita bisa habis-habisan berbuat baik, seperti yang sedang saya coba lakukan saat ini, sebagai bekal di akhirat kelak. Bukan begitu?

Semestinya memang begitu. Semestinya... karena ternyata berbuat baik itu tak semudah yang saya bayangkan.

"Hallo, di mana?"
"Masih di rumah. Jadi?"
"Jadi dong. Jam berapa?"
"Sekarang deh."
"Ok."

Klik. Telepon ditutup. Kezia, teman dulu di kampus, sahabat yang selalu ada di saat saya tak membutuhkannya dan selalu tidak ada di saat saya butuh. Sahabat menyebalkan, memang. Tapi saya tak bisa membiarkan dia keluar dari lingkaran hidup saya. Bagaimana pun, dialah orang di luar keluarga yang tahu bahwa sebulan lagi saya akan meninggal dunia. Rencananya, hari ini, dia akan mengajak saya pergi ke suatu tempat yang tak pernah saya datangi. Saya tak tahu ke mana, tapi sepertinya menarik. Entah kenapa saya bisa menduga menarik. Mungkin karena Kezia selalu memunculkan hal yang memang tak pernah diduga. Mungkin ada baiknya sekarang saya mandi, agar ketika Kezia datang, saya sudah siap.

"Kita ke mana sih?" Kata saya, saat Kezia tiba.
"Udah tenang aja."
"Kok bawa-bawa pacul segala?" Mata saya memicing, melihat perlengkapan aneh di tangan Kezia. "Lo jangan gila deh."
"Ini nggak gila. Udah deh jangan brisik, nggak usah kayak nenek-nenek. Buruan, nanti keburu sore."

Saya tak bisa mendesak. Saya cuma bisa ikuti langkah Kezia ke mobil. Setelah menaruh pacul ke dan sejumlah alat yang biasa dipakai pekerja bangunan ke bagasi, kami pergi ke arah selatan kota. Sepertinya, kalau tidak salah, ini perjalanan menuju bukit.

"Kita ke bukit?"
"Yup."
"Ngapain di sana?"
"Lihat saja nanti."
"Apa menariknya bukit? Bukannya kita sudah sering ke sana?"
"Ada hal yang harus lo ketahui."
"Apa itu?"
"Lihat aja nanti."

***ngantuk...

Friday, January 06, 2006

di bawah rindang akasia

sekian lama sudah
kita mencoba merengkuh
pada pagi
sore
juga malam
bersama bintang yang bergerak
melingkari waktu
sambil membayangkan
jalan ini
selamanya di bawah rindang akasia

tapi kita memang tak pernah
sedikit pun
menghargai
bahwa bulan
juga bisa menangis
hati juga punya dosa
dan cinta bisa memudar

sekian lama
ternyata kita memang
tak pernah senapas
kita berbeda
dan tetap memaksa
melangkah di bawah akasia
yang kini tinggal rangka...

Thursday, January 05, 2006

kenapa harus ada?

aku sering bermimpi
menjadi kupu-kupu
terbang ke sana kemari
menghirup sari bunga
menari bahagia
begitu selalu
setiap pagi atau senja

tapi
sialnya
aku hanyalah jiwa
dengan sebilah hati
yang setiap malam
kerap bertanya
kenapa hidup
perlu ada rasa tak bahagia?

pernahkah kau kesunyian?
aku tengah merasakannya
betapa habis sudah
air mata
tapi selalu aku tak bisa
memahami...
atau mengerti...
kenapa hidup
perlu ada rasa tak bahagia...

Wednesday, January 04, 2006

suatu hari di jalur gaza

suatu hari di jalur gaza, ayah dan anak lelakinya jongkok meringis, menahan takut. tangan si ayah mencoba mengacung, memohon tak ditembak. sesekali ia memeluk si anak agar merapat. tak ada yang bisa diperbuat anak itu selain menjerit. keduanya mencoba menghindari gempuran peluru tajam dai moncong senapan serdadu israel di kejauhan.

satu dua peluru melubangi tembok yang mereka sandarkan. tapi siapa yang sanggup dihujani pelor tanpa bisa bergerak ke mana-mana? entah pada peluru ke berapa, akhirnya, ayah dan anak itu menemui ajal. tak jelas siapa lebih dulu, napas mereka terhenti. sang ayah meringkuk dengan kepala terkulai. si anak tergolek di paha ayahnya sambil menutup muka.

di palestina, hanya bocah beruntung yang bisa bermimpi mengibarkan bendera. sejengkal tanah yang semestinya bisa mereka pakai untuk bermain bola, sejatinya adalah lahan kuburan. para syuhada lahir dan kemudian mati. lahir dan kemudian mati lagi. intifada belum selesai, senyampang israel masih menggelar operasi langit biru, seperti ketika pekan silam mereka menggempur kawasan utara dan timur gaza.

leach walesa, pemenang hadiah nobel unuk perdamaian dan pemimpin gerakan solidaritas di polandia pernah berkata:

"aku telah membaca bill of rights seratus kali dan dan barangkali seratus kali lagi sebelum aku mati. saya sangsi apakah rakyat amerika serikat pernah menyadari, betapa diberkahinya mereka dengan [undang-undang dasar tentang hak asasi warga negara] itu. lagi pula, siapa memerlukan sebuah dokumen untuk menjamin hak-hak yang mereka telah sadari bahwa mereka mempunyainya? tanyakanlah orang-orang yang mendobrak pagar dan melompati dinding-dinding. tanyakanlah mereka yang dipisahkan oleh keluarga dan ditendang dari pekerjaannya. tanyakanlah pada rekan-rekanku sesama pekerja di galangan kapal gdansk."

"kemerdekaan," walesa melanjutkan, "barangkali memang roh dari kemanusiaan, tapi kau seringkali harus bergulat untuk membuktikannya."

suatu hari di jalur gaza. seorang ayah dan anaknya sudah membuktikan. dan mereka gagal...

Tuesday, January 03, 2006

air mata ibu

air mata selalu punya cerita sendiri. seperti juga tawa, ia memiliki alasan. di negeri ini, hidup adalah tekanan, juga desakan. bagi mereka yang tak beruntung, harapan memberat setiap detik.

sejak terjun di dunia jurnalistik, kalau tak salah, sepuluh tahun silam, saya cukup sering melihat orang menangis. dan hari ini, untuk kesekian kalinya saya melihat itu: seorang ibu separuh baya, mungkin sekitar 45 tahunan. ia ditangkap polisi selepas makan siang, karena menjadi bandar judi toto gelap. jangan bayangkan ia seorang bandar besar yang rumahnya bak istana. ibu ini, yuni namanya, bukan kelas kakap. keadaan memaksanya menjual kupon togel. suaminya tak bekerja, mungkin--saya lupa bertanya karena tak kuat--korban pemecatan atau bisa juga sudah tua dan sakit-sakitan. ada lima anak mereka yang harus diberi makan setiap hari.

negarakah yang bertanggung jawab? apa pedulinya negara ini pada orang miskin, selain menjadi komoditas saat kampanye! ok, kan ada uang 300 ribu pengganti uang bahan bakar minyak yang naik? hah! uang sebesar itu, kalaupun keluarga ini dapat (karena bisa saja tak tercatat lantaran pak lurah terlalu banyak pesanan dari mereka yang sebetulnya mampu tapi mengaku miskin), paling banter habis tak lebih dalam waktu sepekan. anehnya, di plaza senayan, seorang remaja yang gayanya mirip richie rich, bersama kawan-kawannya yang berambut mohawk, bisa menghabisan uang dalam satu jam sebesar 500 ribu rupiah.

hidup memang batu karang. keras dan menyakitkan.

saya tak pernah tahu hati kecil ibu itu, kenapa ia menangis. barangkali ia tak tahan membayangkan kelima anaknya makan apa jika dirinya ditahan. mungkin juga ia tak sanggup membayangkan suaminya yang sebentar batuk dan kelaparan.

"dulu saya dagang nasi uduk, tapi karena digrebek tramtib, saya nggak dagang lagi, saya terpaksa jualan ini (togel) untuk biaya makan sekeluarga," ibu itu dengan susah payah bicara. matanya basah. pipinya juga.

dan semua berakhir ketika polisi menggiringnya kembali masuk ke balik jeruji, sambil pura-pura tak tahu ada bandar judi besar yang layak tangkap, yang dibiarkan tetap hidup (mungkin karena ruang kapolsek atau kapolres direnovasi atas biaya mereka).

oya, pernahkah, katakanlah Anda sekali waktu baca di koran atau melihat di televisi hal seperti ini, lalu membayangkan ibu itu adalah ibu Anda sendiri? pernahkah?!

saya kehabisan kata-kata. lalu saya melangkah keluar, setengah menunduk, menghampiri mobil liputan, sambil menendang asal-asalan gelas plastik kosong, yang sebentar kemudian diambil pemulung.

di langit matahari terasa teduh. mungkin sebentar lagi jatuh gerimis...

Sunday, January 01, 2006

2006

apa
yang bisa diharapkan
dari sebuah perjalanan?
tidak ada
waktu tak pernah memberi apa-apa

lalu apa
yang bisa ditemui
pada sebuah perjalanan?
tidak ada
hari tak juga memberi apa-apa

tapi kita masih milik-Nya
dan gema azan
masih terngiang
di kelahiran kita

ada saatnya kita bahagia
ada kalanya berduka
semoga kita
bukan mereka
yang kerap lupa pada doa
untuk sekadar
bersyukur
bahwa kita masih ada...

selamat datang tahun bola!