Tuesday, December 23, 2003

apapun nama operasinya, pada intinya ini sebuah razia terhadap istilah preman. lebih tepatnya razia pada mereka yang tak memiliki identitas. polisi lebih senang mengecapnya dengan sebutan preman. begitu seenaknya. begitu sewenang-wenangnya.

dan saya terhenyak, ketika sejumlah pengamen terjaring. juga "pak ogah". mereka dicap sebagai perusuh di tengah masyarakat. karena itulah mereka mesti digelandang ke kantor polisi.

dan lelaki berambut gondrong itu mengingatkan saya pada masa silam, ketika saya masih menjalani profesi sebagai pengamen. dia menenteng gitar bolong. wajahnya bersih. dan saya tak kuat memandangnya ketika seorang polisi muda dengan tengil membentaknya. saya memalingkan muka. tak kuat melihat pengamen yang dicap seenaknya sebagai preman, biang kerok, atau pembawa keresahan di masyarakat diperlakukan tanpa nilai tata krama.

mudah saja pertanyaannya: siapa yang biang kerok, polisi yang kerap memeras pelanggar lalu lintas atau pengamen yang dengan suara pas-pasannya mencari rezeki?

terus terang saya marah... mungkin juga sedih

Thursday, December 11, 2003

aku merindukan dia
yang menuturkan segalanya dengan cinta
tanpa dada yang terengah
tak pula dengan lengking suara

aku merindukan dia dari masa silam yang usai
di manakah dia kini?
adakah kelak bersanding sembari menghias bunga-bunga di pekarangan?
menanam benih menanti hujan datang dan basah bersama...

Sunday, December 07, 2003

LELAKI itu berdiri cuma dengan jarak selangkah dari bibir atap gedung berlantai dua puluh. Tapi dia seperti ragu untuk melompat. Padahal semua sudah disiapkan sangat rapi. Tali karmantel yang biasa dia pakai untuk mendaki tebing, terbebat kuat dari leher ke sepotong baja yang tertanam di lantai. Dipandanginya mobil-mobil yang berseliweran di bawah sana. Dari ketinggian yang penuh angin, sebetulnya dia ingin menutup riwayat hidup. Sudah sejak sebulan silam dia merencanakan bunuh diri. Sebab baginya, cepat atau lambat dia akan mati. Tentu tak salah mati sekarang dengan cara gantung diri dari gedung bertingkat.

Lelaki itu berkeringat. Sepuluh jemari kakinya tertekuk dan sedikit demi sedikit bergerak maju. Sambil menghela napas sesaat, sekali lagi dia pandangi jalan raya di bawah, menatap dingin orang-orang dan mobil yang terlihat seperti semut berseliweran. Hap! Lelaki itu melompat. Bukan ke depan lalu melayang membelah udara pagi. Dia melompat ke belakang dengan napas terengah. Keringatnya kian menjadi-jadi. Dia mendadak takut. Siapa yang tak gentar dengan kematian, meski itu direncanakan?

Wednesday, December 03, 2003

padamu bintang

aku temukan kerlip bintang
pendarnya indah begitu menyenangkan
seperti senja yang berhias pelangi

ingin kuterbang memetiknya
kubawa pulang dan selalu kugenggam
agar sunyi tiada lagi mengisi

tahukah engkau dalam kesendirian selalu hadir kegalauan?
barangkali hidup memang tak pernah lurus
dia bergelombang dan kadang kita terjungkal di atas kerakal

aku temukan kerlip bintang
cahayanya indah menyejukkan
seperti pagi yang basah oleh rinai hujan

Friday, November 28, 2003

adakalanya kita lupa bahwa kita lahir dari rahim ibu. tak jarang pula kita melupakan keberadaanya. kita sombong di hadapan atau di belakangnya. berkata kasar seolah-olah kita lupa bahwa kita adalah anak yang dilahirkannya. sampai batas manakah kita terlalu angkuh untuk menghormati keberaradaan ibu? sesuatu yang kecil untuk saat ini, yang semuanya terkait dengan ibu, pasti akan sangat terasa andai sosok ibu sudah tak ada di samping kita. maka berbaik-baiklah dengan dia yang susah payah mengeluarkan kita dari rahimnya...

Tuesday, November 25, 2003

barangkali kita kerap lupa bahwa hari yang fitri sering kita abaikan. lalu kita berleha-leha pada dosa dan kematian. bisa jadi pula kita lama terbenam pada sikap mengentengkan hukuman Tuhan. sebab sesungguhnya hari akhir adalah sebuah keniscayaan, dan pasti akan tiba saatnya. lantas kenapa kita tetap terlena pada rutinitas yang membuat kita sia-sia dalam hidup kelak?

kita punya akal sehat dan pengetahuan... tak lelahkah larut dalam kubangan kelam? izinkan saya berhenti Tuhan.... maaf lahir batin...

Monday, November 17, 2003

yang terkurung pada liang hitam...
berkepanjangan entah sampai batas mana
aku terkapar pada ketakberdayaan
ketaksanggupanku melahirkan penyesalan...
angkat bebanku wahai Kuasa....

Monday, October 27, 2003

pada ruang

pada ruang kota dan setiap ruas jalan
dan keindahan pernah bersemayam
tak ada yang perlu disesalkan
kutarik anak panah
menusuk perih kenangan
bayang-bayang mati terkapar

pada setiap tubir senja dan matahari sunyi
dan senyummu yang sesekali singgah
tak pula ada yang perlu ditangisi
kuempaskan semua tanda tanya
melayang-layang rindu terhantam

juga ketika malam perlahan menjemput pagi
dan masih saja engkau mematri hati
tak semestinya menari-nari amarah
kukubur mimpi ke tanah
kuinjak keras-keras

aku tak ingin terbelah
pada segala yang akan datang
kuucapkan selamat tinggal kebekuan
lorong hampa masa silam
sendirian
tak ada yang perlu disesalkan...
selamat datang ya Ramadan.... setiap bulan puasa tiba, gue selalu menangis atau sedih. tapi, kenapa ada saja hari yang saya nggak puasa? Duh...

Saturday, October 11, 2003

Setelah lama menunggu, dan sempat ditolak beberapa kali, akhirnya cerpen Namaku Khianat dimuat juga... Ada rasa senang yang sulit dilukiskan... Maklumlah, ini cerpen pertama yang dimuat. Hehehe... Alhamdulillah...
Istilah Fotografi

EV:
Singkatan dari exposure value, yaitu nilai pencahayaan yang merupakan angka yang memiliki suatu kombinasi pencahayaan. Nilai EV tidak terikat pada kepekaan film. EV juga berarti kekuatan cahaya, misalnya EV 0 = kekuatan cahaya pada diafragma f/1.0 kecepatan 1 detik.

EVALUATIVE MATRIX:
Pengukuran pencahayaan berdasarkan segmen-segmen dan persentase tertentu.

EXPIRED:
Kaluwarsa, berarti sudah "mati" dan tidak berfungsi (dengan benar) karena terlalu lama disimpan.

EXPOSURE COMPENSATION:
Membuat alternatif pencahayaan dengan cara melebihkan atau mengurangi pencahayaan dari pencahayaan yang terukur (normal) pada kamera untuk mendapatkan pencahayaan yang tepat pada foto.

EXPOSURE:
Rentang waktu yang dibutuhkan oleh sebuah film untuk dikenai cahaya sampai terbentuknya sebuah atau banyak gambar yang dapat dibuat pada segulungan film. Atau, pencahayaan dalam fotografi konvensional, pencahayaan berhubungan dengan bukaan diafragma (aperture) dan kecepatan rana (shutter speed). Kedua sarana inilah yang menentukan baik atau buruknya suatu pemotretan.

EXPOSURE COMPENSATION RING:
Gelang kompensasi pencahayaan. Yaitu gelang untuk mengatur jumlah pencahayaan yang lebih banyak atau sedikit dari jumlah yang ditunjukkan oleh gelang kecepatan.

EXPOSURE METER SWITCH:
Pengatur cara kerja, alat yang memungkinkan kita untuk memilih cara kerja kamera yang kita kehendaki.

EXPOSURE MODE:
Modus pencahayaan. Pada umumnya ada 4 (empat) macam (tipe): manual, aperture priority, shutter priority dan program (auto).

EXPRESSION:
Ekspresi, mimik. Suatu cara yang dilakukan untuk membuat kesan tertentu (mengenai wajah) dengan otot waja. Sering orang menyebut sebagai ekspresi wajah.

EXTENSION TUBE:
Tabung penyambung (kosong). Penyambung pada lensa ini digunakan untuk memotret dari jarak dekat, lebih dekat dari kemampuan lensa yang sesungguhnya. Dengan penyambung seperti ini, seseorang menjadi lebih mudah bila ingin melakukan pemotretan benda yang kecil dari jarak yang amat dekat. Sekarang cara ini jarang digunakan karena diangap tidak praktis.

Thursday, October 09, 2003

bertahan hidup
harus bisa bersikap lembut...
walau hati panas... bahkan terbakar sekalipun

keluh kesah ini
mungkin berguna...
jadi teman sejati... di medan juang....

badai datang...
tak bosan-bosan...

Sunday, September 28, 2003

Andai "Rakyat Merdeka" Terbit di Dili atau Manila

*Atmakusumah

SEANDAINYA harian Rakyat Merdeka diterbitkan di Dili, ibu kota Timor Lorosae, atau di Manila, ibu kota Filipina, agaknya gugatan seorang ketua parlemen atas foto karikatural yang dimuatnya sebagai sindiran atau parodi tidak menjadi perkara pidana, tetapi perdata. Kalaupun dituntut berdasarkan hukum pidana, agaknya harian itu hanya akan dikenai denda (jika tidak dibebaskan), bukan hukuman badan. Bahkan, amat mungkin pemuatan karikatur itu sama sekali tidak akan menjadi kasus hukum yang harus diperkarakan di pengadilan seperti dialami Rakyat Merdeka di Jakarta.

Tetapi, di Jakarta, mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Mereka, Karim Paputungan, dijatuhi hukuman penjara lima bulan dalam masa percobaan sepuluh bulan karena dinyatakan melanggar Pasal 310, Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ini gara-gara surat kabarnya memuat foto parodi yang dianggap "menyerang kehormatan atau nama baik" Akbar Tandjung, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan Ketua Umum Partai Golkar. Vonis itu dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 9 September lalu, untuk pemuatan foto kolase edisi 8 Januari 2002.

Timor Lorosae atau Timor Leste hingga kini menggunakan peraturan perundang-undangan Indonesia (bila masih berlaku di wilayah itu sampai 25 Oktober 1999), termasuk KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda sejak seabad silam. Tetapi, ada Perintah Eksekutif No 2000/2 tentang Pencabutan Status Pidana Tindak Pencemaran Nama Baik (Executive Order on the Decriminalization of Defamation). Perintah itu dikeluarkan 7 September 2000 oleh pemimpin Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur (UNTAET), Sergio Vieira de Mello, tokoh PBB yang tewas karena serangan bom bunuh diri di Baghdad 19 Agustus lalu.

Perintah Eksekutif UNTAET itu menyatakan, "Sejak dikeluarkannya perintah ini, perbuatan yang didefinisikan dalam Bab XVI (Penghinaan) KUHP Indonesia, yang terdiri atas Pasal 310 sampai 321, bersifat bukan-tindak-pidana di Timor Timur. Dalam keadaan apa pun pasal-pasal itu tidak dapat digunakan Jaksa Penuntut Umum sebagai landasan bagi tuntutan pidana. Orang yang merasa nama baiknya dicemarkan hanya dapat mengajukan gugatan perdata dan hanya sejauh tuntutan ganti rugi atau perbaikan-perbaikan lain yang kelak ditentukan dalam Peraturan UNTAET." (Pasal 310 KUHP digunakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka).

Presiden Timor Lorosae, Kay Rala Xanana Gusmao, bahkan menegaskan, "Bila kita masih menggunakan KUHP Indonesia, kita harus sama sekali menyingkirkan sifat, substansi yang mencerminkan rezim represif. Tetapi jika pengadilan kita masih terus menggunakan undang-undang dengan cara seperti yang dulu dilakukan Indonesia (di Timor Timur), Konstitusi kita tidak lagi akan menjadi pelindung bagi kebebasan-kebebasan dan hak-hak kita."

Ia juga mengatakan, "Kita semua berharap, Pasal 134 (penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden) dan Pasal 154 (menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di muka umum terhadap Pemerintah Indonesia), dalam KUHP Indonesia, hendaknya tidak digunakan di Timor Leste." Pendirian yang maju dan berani itu disampaikan dalam Konferensi Hukum Media yang dihadiri peserta dan pembicara dari beberapa negara, termasuk Indonesia, dan diadakan di Dili, 26 Agustus lalu.

Adapun Konstitusi Republik Demokrasi Timor Timur menyatakan pada Pasal 41 tentang Kebebasan Pers dan Media Massa bahwa "Kebebasan pers dan media massa yang lain dijamin" dan "Negara akan menjamin kebebasan serta independensi media massa publik dari kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi."

DI berbagai negara demokrasi tidak ada sanksi pidana penjara atau hukuman badan bagi pembuat karya jurnalistik dan pekerjaan wartawan. Perlakuan yang sama juga diberikan kepada warga yang menggunakan haknya untuk berekspresi dan menyatakan pendapat secara damai atau tanpa menggunakan kekerasan.

Bila terjadi pelanggaran hukum, sanksi lazimnya ialah membayar denda. Filosofi di balik tradisi ini ialah orang tidak mudah takut untuk berekspresi atau mengemukakan pendiriannya karena ekspresi dan pendapat sering bermanfaat bagi kemajuan manusia.

Ketua Mahkamah Agung Filipina, Hilario G Davide Jr, sepakat dengan pendapat, karya jurnalistik atau pekerjaan kewartawanan hendaknya tidak mengakibatkan sanksi pidana penjara. Kecuali, katanya, dalam kasus seorang wartawan menerima suap saat menjalankan pekerjaan kewartawanannya. Hanya dalam kasus seperti itu ia masih menyetujui hukuman badan bagi wartawan karena sogok-menyogok adalah kriminalitas atau kejahatan. Kami berbicara tentang hal ini saat makan malam di Siem Reap, Kamboja, di sela-sela suatu konferensi yang kami hadiri pada Oktober 2002.

Perkembangan lebih maju daripada di Indonesia dalam perlakuan hukum dan penegak hukum terhadap pers dan pekerjaan kewartawanan telah dicapai di sedikitnya dua negara Amerika Latin, yaitu di Kosta Rika dan El Salvador. Dalam serangkaian pertemuan di kedua negeri itu, para hakim dan wartawan sepakat mendekriminalisasi kasus pencemaran nama baik (libel offenses) yang dilakukan pers. Dengan demikian, kasus pencemaran nama baik oleh pers di Kosta Rika dan El Salvador tidak lagi diperlakukan sebagai perkara pidana, tetapi sebagai perkara perdata.

Pertemuan itu diadakan pada 11-12 November 2002 atas prakarsa The Inter-American Press Association (IAPA). Pertemuan seperti ini, dengan harapan dapat menghasilkan kesepakatan yang sama, selanjutnya juga diselenggarakan oleh IAPA di Cile dan Brasil tahun ini.

LALU, apa yang kira-kira terjadi di negara-negara yang sepenuhnya mendukung dan menjamin kebebasan berekspresi, kebebasan menyatakan pendapat, dan kebebasan pers-atau yang sudah lama memiliki tradisi kebebasan demikian-saat timbul konflik seperti antara Akbar Tandjung dan Rakyat Merdeka?

Yang lebih lazim terjadi dalam konflik seperti ini-antara narasumber atau subyek berita dan media pers-ialah bahwa ketua parlemen itu atau para pendukungnya, mengirim surat kepada redaksi atau melontarkan komentar lisan yang mengkritik karikatur itu. Kemudian media pers yang bersangkutan dengan senang hati memublikasikan surat atau komentar lisan itu secara mencolok. Ekspresi kritis ini mungkin perlu dilontarkan karena setiap redaksi media pers tidak pernah mengharapkan pendapatnya dapat selalu diterima semua pihak, termasuk narasumber dan subyek berita.

Boleh jadi, sang ketua parlemen membiarkan pemuatan karikatur itu bagaikan angin lalu yang tidak perlu dirisaukan. Malahan, mungkin ia bergurau kepada sekretarisnya agar membingkai karikatur itu dan memasangnya bersama sederetan karikatur yang lain sebagai hiasan dinding di ruangan kantornya di gedung parlemen. Itulah, umpamanya, yang biasa dilakukan para pemimpin pemerintahan di Amerika Serikat-termasuk para gubernur di negara-negara bagian. Seperti foto-foto, karikatur juga merupakan cermin yang menarik-dan boleh jadi lebih jujur-dalam perjalanan bersejarah dari kehidupan sang pemimpin.

Adapun yang dilakukan ketua parlemen itu-mengecam karikatur itu atau sekadar tersenyum dan meliriknya bagaikan angin lalu atau membingkai dan memakunya sebagai hiasan dinding-ia merasa bahwa itulah konsekuensi "getir" sebagai seorang pemimpin. Lebih-lebih sebagai pemimpin pemerintahan yang mendapat gaji dari pajak rakyat, yang sejak awal karier politiknya sudah harus siap untuk menghadapi kritik pedas atau olok-olok sekalipun dalam media pers atau dari para demonstran.

Ini adalah bagian dari dinamika kontrol masyarakat terhadap para pemimpin dan pejabat negara, dan terhadap tokoh-tokoh penting lainnya termasuk dari kalangan swasta, yang tindakan-tindakannya sedikit banyak mempengaruhi kehidupan rakyat.

Namun, mengapa kritik pedas atau sindiran di Indonesia masih menyebabkan banyak pemimpin kita mudah tersinggung?

Mochtar Lubis-wartawan, budayawan, dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya yang dibredel Orde Lama tahun 1958 dan Orde Baru tahun 1974-mengatakan dalam sebuah tulisannya, "Banyak orang Indonesia kurang berkembang rasa humornya. Terlalu banyak di antara kita terlalu panjang jari-jari kakinya. Mudah sekali merasa tersinggung dan terhina. Lalu marah meluap-luap. Tak tahan kritik, apalagi bila sudah jadi pembesar yang berkuasa. Bangsa yang tak punya humor, yang tak pandai menertawakan diri sendiri, sukar dapat maju, karena dia merasa dirinya saja yang paling benar dan paling jago."

Di tengah kepungan kemajuan jaminan perlindungan hukum bagi kebebasan berekspresi, kebebasan menyatakan pendapat, dan kebebasan pers, yang bahkan kian menjalar di negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin, Indonesia masih kelihatan ketinggalan zaman dalam penghargaannya terhadap kebebasan manusia.

*AtMakusumah Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS); Mantan Ketua Dewan Pers (2000-2003)

Saturday, September 13, 2003

Istilah Fotografi

DECISIVE MOMENT:
Puncak kejadian. Yaitu saat-saat yang menentukan keberhasilan sebuah foto, di mana terjadi puncak gerakan atau aksi dari subjek pemotretan. Bila pemotret mampu memanfaatkan saat seperti ini pada setiap peristiwa, maka boleh jadi akan menghasilkan foto yang baik.


DENSITOMETER:
Alat untuk mengukur density yang sangat penting keberadaannya saat mencetak foto berwarna.


DENSITY:
Densiti. Kepekatan dalam fotografi. Istilah ini untuk menyatakan tebal tipisnya lapisan perak yang melekat pada film. Semakin pekat suatu warna, berarti semakin gelap, semakin berat warnanya.


DEPTH:
Kedalaman. Adalah efek dimensional yang timbul karena adanya perbedaan ketajaman.


DEPTH OF FIELD PREVIEW LEVER:
Tuas pengontrol ruang tajam, untuk mengetahui ruang tajam yang direkam oleh kamera.


DEPTH OF FIELD:
Adalah bagian yang tampak tajam (tidak buram) dan jelas, yang berada dalam jangkauan tertentu, biasa juga disebut sebagai ruang tajam. Sebuah ruang di depan kamera di mana jarak yang terdekat tertentu dengan yang terjauh yang tampak tajam atau fokus dalam gambar. Sangat bergantung pada pemakaian diafragma, panjang lensa dan jarak objek.


DEVELOPING DRUM:
Tabung pengembang (cuci) film. Adalah suatu tabung yang kedap cahaya, yang digunakan untuk mengembangkan (mencuci) film.


DEVELOPING TANK:
Tangki atau tabung yang digunakan untuk memeroses film negatif. Film yang berada di dalamnya tidak akan terkena sinar meski lubang di atas tabung seperti tidak tertutup, karena sistem kedap cahaya yang diciptakan.


DEVELOPING TRAY:
Baki pengembang. Adalah tempat yang digunakan untuk proses pengembangan foto. Dalam proses cuci-cetak hitam-putih manual, yang menggunakan enlarjer (pembesar), biasanya dibutuhkan empat buah baki seperti ini. Terdapat berbagai ukuran baki, sesuai besarnya kertas cetak foto.


DIAPHRAGM:
Diafragma. Adalah lubang di dalam lensa kamera tempat masuknya cahaya saat melakukan pemotretan. Pada lensa, lubang ini dibentuk oleh kepingan-kepingan logam tipis yang berada di dalam atau di belakang lensa yang membentuk lubang yang dapat diciutkan atau dilebarkan.

Thursday, September 11, 2003

Wartawan Kok Dikenai Hukuman Pidana*

TENTUNYA ada yang segera bertanya, memangnya wartawan tidak boleh dihukum? Tentu saja boleh. Kalau seorang wartawan melakukan tindakan kriminal, tentunya ia pantas dikenai hukuman pidana. Wartawan bukanlah orang yang kebal hukum, tidak bisa tersentuh hukum.

Hanya saja kita menilai berlebihan kalau sampai wartawan dikenai hukuman pidana karena melaksanakan tugas jurnalistiknya. Nyaris tidak ada negara di dunia yang menerapkan sanksi pidana kepada seorang wartawan ketika ia sedang menjalankan profesinya.

Bahwa wartawan bisa membuat kekeliruan ketika menjalankan tugas jurnalistik, itu bisa saja terjadi, bahkan sering terjadi. Sebab, wartawan bukanlah superman ataupun malaikat. Wartawan adalah manusia biasa yang setiap kali bisa berbuat kesalahan.

Kesalahan yang dilakukan seorang wartawan bisa saja sangat fatal dan merugikan nama baik seseorang. Namun, hukuman terhadap kesalahan itu bukanlah memasukkannya ke dalam bui. Jika kesalahan itu melanggar etika profesi dan tidak bisa dimaafkan, kalau perlu wartawan yang bersangkutan dipecat dari profesinya.

DENGAN ilustrasi seperti itulah kita menerima dengan penuh keprihatinan hukuman yang dijatuhkan kepada mantan Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka, Karim Paputungan. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Karim hari Selasa (9/9) dijatuhi hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan karena dianggap bersalah memuat karikatur Ketua DPR Akbar Tandjung bertelanjang dada pada terbitan tanggal 8 Januari 2003.

Karim bukanlah orang pertama yang menerima hukuman pidana seperti itu. Sebelumnya, nasib yang sama dialami Pemimpin Redaksi Matra Nano Riantiarno. Tokoh teater Indonesia itu dijatuhi hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan karena dianggap bersalah menyebarluaskan gambar yang menyinggung kesusilaan pada sampul majalah Matra.

Beberapa wartawan lain kini sedang menghadapi ancaman hukuman dalam kasus lainnya. Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Supratman sedang diadili di PN Jakarta Selatan karena dinilai menyerang kehormatan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sementara itu, Pemimpin Redaksi dan wartawan Tempo Bambang Harymurti, Ahmad Taufik, dan Iskandar Ali diadili di PN Jakarta Pusat karena dinilai menyebarkan berita bohong yang bisa menyebabkan keonaran dan melakukan penghinaan serta pencemaran nama baik seseorang.

KALAU kalangan wartawan berteriak keras terhadap putusan hakim dan ancaman hukum yang harus dihadapi, jangan diartikan wartawan mau menang sendiri dan tidak mau dipersalahkan. Wartawan harus sportif dan mengakui kesalahan apabila ada kesalahan yang ia lakukan.

Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia di antaranya ditetapkan bahwa wartawan harus segera memperbaiki kesalahan yang ia perbuat. Perbaikan itu bisa dilakukan dengan cara memberi hak jawab, melakukan koreksi, atau bahkan mencabut berita yang dianggap keliru.

Pekerjaan wartawan di mana pun bukanlah pekerjaan biasa. Selain dituntut memiliki keterampilan dan pengetahuan, sebagai sebuah profesi, pekerjaan wartawan itu dibatasi oleh kode etik yang bersifat mengikat.

Kode etik wartawan itu mengikat ke luar dan juga ke dalam. Keluar berkaitan dengan institusi tempat bekerja, organisasi tempat ia bergabung, dan juga masyarakat pembaca yang setiap hari menilai karya sang wartawan. Ke dalam berkaitan dengan kebanggaan dirinya, kehormatan dirinya sebagai insan yang wajib memberikan informasi yang benar, akurat, dan dapat dipercaya.

PENGALAMAN selama ini menunjukkan bahwa menjadi wartawan itu tidak bisa sekali jadi. Dibutuhkan sebuah proses yang panjang di mana pendidikan, pemberian keterampilan, dan pendampingan merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk melahirkan wartawan andal.

Oleh karena itulah tidak semua orang yang bergabung dengan institusi pers segera disebut wartawan. Setidaknya, dalam lima tahun pertama, mereka disebut sebagai cub reporters, wartawan anak macan.

Dengan berjalannya waktu dan semakin adanya pematangan serta penguasaan emosi, barulah ia kemudian bisa disebut sebagai wartawan. Wartawan yang baik harus bisa menangkap persoalan yang menjadi pembicaraan masyarakat untuk ditempatkan dalam frame dan dalam konteks agar kemudian masyarakat bisa mengerti duduk perkara dari sebuah persoalan.

Berita yang dibaca oleh pembaca setiap hari bukanlah sekadar kumpulan dari peristiwa-peristiwa. Tetapi, peristiwa yang mempunyai makna sehingga setiap orang yang membacanya bukan hanya semakin kaya pengetahuannya, tetapi sekaligus tercerdaskan dan tercerahkan.

DI samping terus mengingatkan berbagai kalangan bahwa penjatuhan hukuman pidana kepada wartawan akan mencederai pembangunan demokrasi, tentunya ada baiknya nasib buruk yang harus dialami mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka dijadikan kesempatan oleh kalangan pers untuk berefleksi diri.

Dalam perkembangannya, pers Indonesia tidak bisa lagi berprinsip publish and be damned, publikasi saja selanjutnya masa bodoh. Sebab tidak semua peristiwa itu adalah berita. Bahkan, sekarang ini pers tidak cukup lagi menjalankan prinsip cover both sides, meliput dua pihak, tetapi cover all sides, meliput semua pihak.

Jurnalisme verifikasi merupakan tuntutan tugas bagi wartawan di mana pun berada. Wartawan sejauh mungkin harus bisa mendapatkan kebenaran dari sebuah fakta. Meski segera ditambahkan, kebenaran dalam jurnalisme tidak harus merupakan kebenaran materiil, tetapi cukup kebenaran formal.

SEMUA pihak rasanya perlu belajar lagi mengenai prinsip dan pilar demokrasi. Kita pun ingin mengingatkan lagi ucapan Thomas Jefferson bahwa apabila ia harus memilih antara pemerintahan tanpa pers dan pers tanpa pemerintah, ia tanpa ragu akan memilih yang kedua.

*Kompas 110903

Sunday, September 07, 2003

Istilah Fotografi

CORRECT EXPOSURE:
Pencahayaan normal atau tepat. Suatu istilah yang sering digunakan saat melihat suatu film atau cetakan foto yang tidak kekurangan atau kelebihan pencahayaan.

CROMOFILTER:
Penyaring (filter) sinar yang hanya mengandung warna separuh dari lingkarannya. Digunakan untuk mengoreksi warna dalam suatu pemotretan yang bidang bawah dan bidang atasnya sangat atau kurang kontras. Terdapat banyak pilihan penyaring sejenis ini yang dapat digunakan.

CROPPING:
Adalah pemadatan/pemotongan gambar dengan membuang bagian-bagian tertentu yang kurang dikehendaki berada dalam foto atau sesuatu yang tercetak. Biasanya bertujuan untuk memperbaiki komposisi atau tujuan-tujuan lain untuk menyederhanakan subjek.

CROSS SCREEN FILTER:
Penyaring (filter) yang mengandung goresan-goresan bersilangan, sehingga bila diarahkan pada lampu-lampu, setiap persilangan akan membentuk bintang berekor dari setiap lampu.

CS:
Singkatan dari continuous soft. Yaitu pergerakan motor kamera dengan suara lembut. Pilihan mode ini sering digunakan untuk memotret dalam situasi di mana bunyi-bunyian atau sesuatu yang berbunyi dilarang, seperti dalam pertunjukan panggung atau memotret binatang yang telinganya peka.

D.19:
Adalah jenis larutan pengembang film yang kontrasnya tinggi, yang biasa digunakan untuk mengembangkan film x-ray dan film aerial.

DAILY LIFE - D/DLS:
Adalah salah satu kategori yang dilombakan dalam World Press Photo. Foto-foto (DL) atau sekumpulan foto yang bercerita/portfolio (DLS) menggambarkan kekayaan atau keragaman hidup sehari-hari.

DATA BACK:
Yaitu perekam tanggal atau data lainnya pada kamera modern yang terletak pada punggung kamera.

DATA IMPRINT:
Fasilitas pencetakan data pada film.

DAYLIGHT FILM:
Film untuk digunakan pada cahaya hari (cerah). Film seperti ini khusus diperuntukkan bagi pemotretan di alam terbuka, di bawah cahaya matahari (cahaya alami), tetapi juga dapat dipakai di bawah cahaya buatan yang berwarna putih.

Friday, September 05, 2003

Kembar Program Berita Televisi

BERSAHABAT di lapangan, bersaing dalam menyiarkan berita. Hal seperti ini sudah menjadi kelaziman kerja wartawan. Baik jurnalis media cetak maupun elektronik, kearkaban saaat meliput adalah hal yang tak terhindarkan. Tak jarang, kedekatan itu membuat para wartawan seakan lupa bahwa sebetulnya, mereka berada pada payung berbeda. Saling memberi atau berbagi informasi adalah wujud lain lengketnya hubungan para reporter di lapangan.

Para wartawan yang sehari-hari meliput berita-berita politik, ekonomi, hukum, atau hiburan, umumnya memang kerap bergerombol. Berduyun-duyun ke suatu tempat, lalu pindah lagi ke tempat lain. Begitu melihat sumber berita yang dicari, bersama-sama pula mereka menyorongkan tape recorder atau mike dan handphone. Bergiliran melontarkan pertanyaan, meski banyak pula yang cuma merekam sumber berita berbicara.

Paling banter, satu dua wartawan saja yang bergerak sendiri mencari sumber berita. Biasanya, untuk yang terakhir ini, si wartawan bekerja untuk media berkala mingguan. Bisa majalah, tabloid, atau untuk sebuah program khusus televisi. Ini pun belum tentu kasus yang diliputnya menarik dan cukup ekslusif. Sebab, kerja pers yang memproduksi berita dengan periodesasi terbit mingguan atau bulanan, cenderung sekadar mengkonfirmasi ulang kasus-kasus yang sebelumnya dilansir media harian. Ini membuktikan bahwa investigasi reporting untuk sebagian besar wartawan di Indonesia belumlah membudaya. Satu hal yang amat disayangkan, mengingat betapa banyak--sekadar contoh--kebobrokan di lingkaran birokrasi pemerintahan atau dunia bisnis.

Untuk dunia televisi, boleh jadi, cermin dari senangnya wartawan bergerombol dari suatu tempat ke tempat lain itu adalah lahirnya program-program kembar. Ambil contoh, misalnya, Indosiar dengan Patroli, yang kemudian diekori Buser di SCTV, Sergap di RCTI, TKP di TV7. Ada kesan latah tampaknya yang melatarbelakangi program jenis ini. Memang, mengekor sesuatu yang menarik tak ada salahnya. Sebab, barangkali, bukanlah urusan stasiun televisi untuk memenuhi hak masyarakat menerima informasi yang tak sejenis. Stasiun televisi tahunya, sebuah program yang menarik dan banyak penonton akan laris iklan. Dan iklan adalah nyawa sebuah stasiun partikelir.


***

Wartawan bekerja untuk media harian, besar kemungkinan, dia memiliki kasus menarik yang cukup ekslusif. Wartawan yang terlihat berjarak atau cenderung menyendiri, besar kemungkinan, akan melahirkan ganjelan antara si wartawan tersebut dengan wartawan lainnya. Tentu tak setiap kasus begitu. Namun, seringnya, ya, begitu itu.

Thursday, September 04, 2003

Bola Matahari

kulubangi bola matahari dengan mata terpejam
sesekali kulemparkan bintang agar bulan tak lagi suram
air yang menetes dari dedaunan
jatuh tertelan di rongga kerongkongan
aku terkulai
dalam kepasrahan panjang
dan kudapatkan pagi tak seindah impian

Sunday, August 17, 2003

Televisi dan Hiperpolitik

*Garin Nugroho dan Yasraf Amir Piliang

PERKEMBANGAN sosial-politik di dalam masyarakat-bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari bagaimana semuanya direpresentasikan di dalam berbagai media komunikasi, khususnya televisi. Dunia sosial-politik dan dunia televisi adalah dua dunia yang saling berhubungan di dalam masyarakat informasi dewasa ini meskipun ada relasi yang problematis di antara keduanya.

Televisi bukanlah sebuah ruang kosong yang hampa makna, tetapi merupakan sederet penanda (signifiers) yang membawa bersamanya sederet penanda atau makna (signifieds), menyangkut gaya hidup, karakter manusia, nilai kepemimpinan, hingga wajah realitas sosial-politik masyarakat-bangsa ini. Ada makna politik di dunia realitas, tetapi ada ’makna’ politik di dunia televisi, yang keduanya saling berkaitan.

Televisi adalah lukisan politik Indonesia di ruang keluarga sehingga makna keindonesiaan itu sendiri bisa dibaca secara lengkap (meskipun ironis) di dalam program-program televisi. Televisi dapat dilukiskan sebagai sebuah pemadatan atau ’peledakan ke arah dalam’ realitas keindonesiaan secara keseluruhan sehingga menonton televisi berarti menonton totalitas lukisan wajah Indonesia itu sendiri-the implosion of meaning.

Televisi merupakan sebuah ruang elektronik (electronic space) yang di dalamnya berlangsung berbagai bentuk eksperimen politik pada tataran citraan dan semiotik, yang menciptakan semacam politik citraan (politics of images) dan semiotika politik (political semiotics), yang digerakkan oleh apa yang disebut teknologi-politik pencitraan-politics of imagology.

Akan tetapi, politik yang hidup di dalam ruang televisi tidak dengan sendirinya melukiskan ’realitas politik’, dalam pengertian politik nyata (real politics). Politik informasi dan pencitraan politik-dalam bentuknya sekarang-justru telah menggiring politik pada wujud hiper-realitasnya, yaitu wujud simulasinya dalam media, yang berbeda bahkan dapat terputus sama sekali dari realitas politik di ruang nyata-the hyper-reality of politics.

Jean Baudrillard, di dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1983), mengemukakan bahwa media (seperti televisi) memproduksi semacam ’realitas kedua’ (second reality), yang mempunyai logikanya sendiri, yang pada titik tertentu dapat menetralisir bahkan ’membunuh’ realitas sosial-politik di dunia nyata, yang menggiring pada ’kematian sosial’ dan politik (the death of the social). Yang ada hanya simulasi sosial dan politik.

Dalam politik, yang kemudian terbentuk adalah semacam ’hiperpolitik’ (hyperpolitics), yaitu politik yang hidup dalam wujud simulasinya di dalam ruang-ruang citraan (khususnya televisi), yang tidak lagi merepresentasikan politik yang sesungguhnya di dunia nyata. Artinya, ada keterputusan antara ’realitas’ politik di dalam media, realitas politik di dunia nyata dan realitas masyarakat sendiri-politics of discontinuity.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan krisis yang tanpa sense of crisis. Inilah wajah santai, penuh senyum, dan tanpa dosa para penyelenggara negara dan politikus di dalam acara berita televisi. Mereka adalah penanda murni (pure signifier), yaitu penanda yang hidup di dunia sendiri yang terputus dari masyarakat (signified). DPR adalah penanda murni yang terputus dari masyarakat yang direpresentasikannya. Bahkan, demonstrasi tertentu adalah juga penanda murni, yang tidak lagi menandai aspirasi, hasrat, dan ideal-ideal masyarakatnya.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan transisi tanpa panduan kepemimpinan. Televisi menjadi semacam ’ruang tunggu’ untuk para pemimpin pada periode waktu tertentu atau untuk berbagai peristiwa penting tertentu, yang ditunggu keluarga-keluarga Indonesia di depan layar. Akan tetapi, ironisnya, keluarga-keluarga itu tak pernah menunggu pidato para pemimpin di televisi. Tampil atau tidaknya mereka di tengah berbagai masalah penting, seperti kenaikan harga gula, tak penting bagi masyarakat. Mereka lebih tertarik menunggu ’panduan’ lain, seperti Inul.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan berbaurnya kekerasan dan eforia demokrasi, disebabkan politik yang tanpa keterampilan politik. Begitu banyak acara talkshow tentang demokratisasi di televisi; ironisnya, di tempat lain, ruang-ruang berita justru dipadati oleh berbagai bentuk kekerasan di berbagai ruang publik: di jalan, DPR, sekolah, dan lain-lain. Eforia demokrasi yang tidak disertai mutu, kualitas, dan keterampilan politik telah menggiring pada situasi kebuntuan, yang melahirkan berbagai bentuk kekerasan.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan masyarakat konsumtif tanpa etika. Contohnya adalah program sepak bola. Bila Eropa mampu menghasilkan dunia sepak bola yang produktif dan berkualitas, organisasi sepak bola yang berwibawa, serta dunia sport entertainment yang menarik; di Indonesia semuanya tidak muncul. Yang ingar-bingar cuma kuisnya, dengan hadiah besar untuk pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermutu. Inilah analogi ’ruang (sepak bola) politik’ kita (political space), yang penuh ingar-bingar citra, kampanye, talkshow dan perang simbolik, tetapi tidak pernah menghasilkan dunia politik yang cerdas, kreatif, produktif, berkualitas, beretika, dan beradab.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan tentang hancurnya penegakan hukum, yang diambil alih oleh simulakrum hukum (simulacrum of law). Iring-iringan kasus hukum tak pernah melahirkan ’pahlawan’, disebabkan tak ada pemecahan masalah hukum dan penemuan yang bersalah secara meyakinkan. Ruang-ruang hukum dipadati oleh penampilan pengadilan pura-pura, kesaksian semu, dan keadilan palsu (pseudo justice)

’Hiperpolitik’ adalah lukisan tentang hilangnya ruang civil society, yang dilindas oleh mesin-mesin ekonomi dan kekuasaan yang saling bertempur- tanpa malu-memperebutkan ruang- ruang kekuasaan dan teritorialnya. Program-program televisi lebih dikuasai oleh mesin-mesin ekonomi dan kekuasaan ini, lewat iklan-iklan komersial atau kampanye kekuasaan tanpa interupsi, yang tidak menyisakan lagi ruang untuk publik.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan reformasi yang diasingkan dan politik yang terasing secara semiotik (political alienation). Politik atau reformasi hanya hidup secara semiotik di dalam berita dan talkshow, tetapi tak pernah disambut di dalam iklan dan sinetron. Artinya, politik hanya hidup dalam keangkuhannya di dalam ruang semiotika politik (political semiotic space), tetapi mengalami kematian di dalam ruang- ruang publik lainnya (public semiotic space). Ada iklan kemerdekaan atau hari-hari besar lainnya dengan biaya besar, tetapi tak ada iklan reformasi, kalaupun ada, malu-malu. Reformasi sepertinya masih asing.

’Hiperpolitik’ adalah lukisan sosial-politik yang penuh kekerasan simbolik (symbolic violence). Berita tentang kekerasan dan horor (pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, perang, kanibalisme) hadir seenaknya di layar-layar televisi, tanpa pernah mengingat waktu tayang dan segmentasi psikologis penonton. Kekerasan dan horor itu kini menjadi sebuah komoditas tontonan utama televisi. Televisi lalu terjerat di dalam apa yang disebut Baudrillard di dalam The Ecstasy of Communication (1987) sebagai jaring ’kepuasan puncak komunikasi’, tanpa peduli dengan isi dan efek komunikasi itu sendiri.

Pembiakan budaya layar (screen culture) di dalam masyarakat kita telah menggiring dunia sosial-politik ke arah sebuah orde simulasi realitas. Televisi adalah lukisan dunia realitas sosial-politik kita yang penuh distorsi, yang-menggunakan pemahaman Plato mengenai realitas-ia bukan ’salinan’ (copy) realitas, melainkan simulakrum (simulacrum) realitas, yaitu salinan realitas yang telah didistorsi.

Lukisan realitas yang sarat distorsi tersebut, sebagaimana dikatakan Kevin Robins dalam Into the Image: Culture and Politics in the Field of Vision (1996), pada tingkat ekstrem benar-benar tanggal dari dunia realitas (sosial-politik) itu sendiri. Ia lalu menemukan logikanya sendiri, yaitu logika ’pembiakan citra’ (multiplicity of images), yang di dalamnya produksi citra telah terputus dari realitas sosial-politik itu sendiri.

Keterputusan citra dari realitas politik, politikus dari massanya, wakil rakyat dari rakyatnya, demonstran dari masyarakatnya merupakan salah satu faktor penyebab utama terjadinya berbagai kemacetan total (total breakdown) pada seluruh sistem dan kebuntuan total (total deadlock) segala bentuk perjuangan bagi perubahan, pembaruan, dan reformasi (sosial, ekonomi, politik, hukum, kultural), yang semuanya dapat dilihat pada layar televisi .

Televisi akhirnya menjadi sebuah ’ruang pelarian’ dari berbagai kemacetan dan kebuntuan tersebut. Fenomena Inul adalah puncak simbolik dari kemacetan sistem dan kebuntuan perjuangan tersebut. Tidak mengherankan bila Inul menjelma menjadi sebuah ’magnet raksasa’ dan strange attractor, yang menyedot seluruh perhatian, kesadaran (bahkan ketaksadaran), bahasa, metafora; jargon politik, trik pemasaran, manajemen usaha, strategi media, aktivitas ekonomi; kegiatan LSM, HAM; penelitian, diskusi ilmiah, bahkan perdebatan akademis di atas tubuh bangsa ini, yang telah menggilas habis ruang-ruang real politics.

Program-program konsumtif tentang seks, tubuh, mistik, dan gaya hidup merupakan wujud pelarian lainnya dari kegagalan politik dan parahnya keterampilan politik, yang tidak mampu menghasilkan dunia politik yang produktif, cerdas, dinamis, kreatif dan beradab. Karena tak kuasa merealisasikan dirinya di dalam ruang real politics seperti di atas, dunia politik kita kini justru terserap ke dalam medan magnet politik seks, politik gaya hidup, politik mistik, dan ’politik pantat’ yang menguntungkan tersebut.

*Garin Nugroho Pengamat Film dan Televisi
*Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD Institut Teknologi Bandung

Wednesday, August 06, 2003

Marriott

mereka berpulang pada ketidakterdugaan
ketika sebuah ledakan meluluhlantakkan Marriott
satpam dengan tiga anak kecilnya...
sopir taksi dengan ibunya yang renta...
aku yang terdiam tak berkata-kata...

Wednesday, July 30, 2003

darah yang menetes dari hatinya
meleleh menderas menutup air mata
lubang hitam di kejauhan
kian seperti titik yang tak tersentuh
dia merintih bagai samudra....

Saturday, July 19, 2003

dada yang sesak

dada yang sesak menyimpan kabut
tiada angin menyapu hingga tersaput
rumah terbakar bak neraka
menggumpal murka

berlari di tepian
ke mana-mana sendirian
menyeret tapak yang perih
air mata darah air mata luka
bawa aku keluar untuk selamanya...

Wednesday, July 16, 2003

di tepi bukit

di tepi bukit dia merinih
menatap pagi berkabut
lurus menjauhi perih
tak ada kawan juga tak bersobat

di tepi laut dia berdiri
memandang jauh malam pekat
berusaha menahan beban
sendirian ditemani ombak yang merintih

jalan gelap
luka kering
hidup lelah
berhenti kapan?

Saturday, July 12, 2003

mari duduk

yang menatap lurus pada kegelapan
bersimpuh pada malam seutas harap di dada
lelaki sunyi kenapa menangis?
tak sudikah batinmu mencaritahu gerangan tawa?
mari duduk bersamaku menantang air hujan
agar sejuk mendera rindu

Thursday, July 10, 2003

dan dua

dan hidup tak selamanya indah
dan burung-burung tak selamanya terbang
dan siang kadang begitu menyengat
dan malam adakalanya menggigil
dan pada setiap ruang kesunyian seakan tak berujung
dan sampai kapan....

Tuesday, June 17, 2003

dan

dan pada hidup yang abu-abu
dan aku terkucil di pusaran ketidakpastian
dan adakah jalan keluar?
dan bawa aku jika ada
dan bantu aku, Tuhan...

Friday, June 13, 2003

Lingkar Mencari Bapak

"Kenapa surga cuma ada di telapak kaki Ibu?"
"Karena Ibulah yang melahirkan."
"Artinya, di telapak kaki Bapak tidak ada surga?"
"Pengertiannya tidak begitu..."
"Itu tidak adil. Bapak yang membuat Ibu hamil, kenapa surga cuma ada pada Ibu?"
"Karena ibulah yang melahirkan. Bapak tidak melahirkan. Bapak cuma menamam benih. Menanam benih nikmat, melahirkan sakit."
"Tapi aku tak pernah melihat sosok Bapak sepanjang hidup. Orang-orang bilang, aku lahir tanpa Bapak. Kenapa bisa begitu? Benih dari langitkah aku?"

Sulastri masygul. Dia tatap wajah anak laki satu-satunya itu sambil meremas tangan. Pertanyaan ini tak mudah untuk dijawab. Sebetulnya, bukan baru kali ini dia ditanya demikian. Tapi, cara bertanya anaknya sekarang terlihat lebih serius. Inikah pertanda anaknya sudah semakin dewasa? Ah, anak zaman sekarang terlalu cepat menjadi tua. Umurnya kan baru 17 tahun. Lulus SMU pun belum. Sulastri membatin, juga gelisah.

"Ceritanya panjang, Lingkar..."
"Ceritakan saja, Bu. Aku akan dengarkan. Aku perlu tahu siapa Bapakku. Aku selalu membayangkannya akhir-akhir ini."
"Lingkar, Ibu tak siap. Jangan sekarang. Suatu saat Ibu akan ceritakan semuanya."
"Kapan?"
"Sabar..."
Lingkar melipat bibir. Melenguh sebentar, lalu membalik badan masuk ke kamar. Meninggalkan ibunya di meja makan. "Aku capek disuruh bersabar!"

Brak!

Terdengar bunyi pintu kamar dibanting. Sulastri membisu. Derik jangkrik lapat-lapat membunuh malam. Detak jam di dinding terus berputar, menakutkan Sulastri akan hari esok.

Pada waktu bersamaan, di sebuah rumah mewah, tiga orang tengah membahas sesuatu dengan serius. Dua dari mereka berkepala botak dan bertubuh ceking. Sedangkan seorang lagi jauh lebih tua, gendut, berdasi, wangi, dan rambut tersisir rapi. Dari pakaian dan sikap yang terpancar, terlihat jelas bahwa antara dua orang ceking dan Si Berdasi ada jarak status yang tegas. Si Berdasi mungkin bos dan dua orang ceking itu cuma kacung.

"Sudah ada orangnya?" Si Berdasi berkata sambil menghisap cerutu. Kedua kakinya lurus di atas meja.
"Ada, Bos. Ada tiga orang. Semuanya residivis. Tompel, Murai, dan Jenggo." Satu di antara dua orang ceking itu menjawab. "Seberapa hebat mereka?"
"Pokoknya dahsyat Boss. Tompel adalah napi yang senang sekali merampok ATM. Dia tak segan-segan membunuh saksi. Murai itu pemeras di perusahaan-perusahaan. Dia mendapat obyekan dari pejabat di Pemda. Sedangkan Jenggo, tentara desersi yang jago tembak. Semuanya hebat. Semuanya punya naluri membunuh. Kami jamin."
"Hm... Kalau begitu, kerjakanlah. Jangan mengecewakan saya." Si Berdasi menyeruput kopi di meja.
"Beres, bos!"

Si Berdasi yang dipanggil bos itu adalah pengusaha besar yang culas. Namanya Guntoro. Dia penjahat yang pengusaha atau pengusaha yang penjahat, sama saja. Intinya dia orang beruntung. Sebab, dia masih bisa berbisnis, menghirup udara bebas, meski sudah menggondol duit negara lewat pinjaman bank pemerintah yang kemudian macet. Dia juga pernah curang di lantai bursa, menggandakan laporan keuangan, hingga merugikan pemegang saham kecil. Dia tak segan-segan membunuh lawan bisnis. Semuanya tak terungkap, cuma menjadi desas-desus, karena dia banyak uang. Uang bisa membungkam kebenaran. Apalagi, dia juga dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Lagi, pada waktu bersamaan, di sebuah kamar hotel mewah, lelaki tua sedang tertawa-tawa ditemani dua gadis belia yang lebih cocok menjadi cucunya. Tak jauh beda dengan Guntoro, dia juga seorang pengusaha yang di jidatnya ada label penjahat. Namanya juga label, predikat penjahat itu benar-benar cuma tempelan. Namanya Samdura Prawira. Dulu, dulu sekali, Guntoro dan Samdura adalah teman sekampung di desa. Sama-sama perantau, dan sukses setelah pontang-panting bertahun-tahun di Jakarta.

Baik Guntoro dan Samudra sepakat bahwa dalam berbisnis, yang terpenting bukanlah kejujuran, tapi cara yang tepat untuk meraih keuntungan. Masa bodoh caranya baik atau buruk, terpuji atau laknat, yang penting untung. Peduli setan orang lain buntung. Nah, melihat cara bisnis kedua orang ini, bisa ditebak mereka kerap menghalakan segala cara. Memanfaatkan koneksi di pusat kekuasaan, sih, soal kecil. Bagi mereka, jauh lebih penting adalah mengeluarkan banyak uang menyuap kiri kanan, agar bisnisnya lancar. Jangan heran bahwa keduanya adalah orang tak tersentuh hukum, sebab hukum cuma keras untuk orang-orang berkantong cekak.

"Wah, kalian hebat." Samudra menyeringai senang, memuji dua gadis yang baru saja melayaninya dengan pelayanan habis-habisan.
"Itu belum seberapa, Oom. Kami biasa melakukan seperti tadi. Kalau Oom ketagihan, Oom tinggal kontak kami. Oke Oom?"
"Itu bisa diatur. Ini cek buat kalian." Samudra tersenyum.
Kedua gadis itu terbelalak melihat nominal yang tertulis di cek. Mereka benar-benar tak percaya mendapat bayaran tinggi. Setelah memasukkan cek ke tas, keduanya keluar kamar dengan riang.
"Thank you, Oom!"
Pintu kamar tertutup. Sedetik kemudian, Samudra menelepon seseorang. "Bereskan dua gadis centil itu. Ambil cek dari tasnya."

===

Esok siang, televisi ramai memberitakan penemuan mayat dua gadis tanpa busana di tepi sungai. Lingkar dan ibunya menyaksikan berita itu sekenanya, tak fokus. Maklum, mereka sedang asyik ngobrol. Lagi pula, berita pembunuhan yang disiarkan siang hari oleh televisi sudah menjadi rutinitas. Setiap hari, televisi berlomba-lomba menyiarkan info kriminalitas dengan gayanya yang nyaris seragam: selalu ada polisi bak jagoan sedang membentak-bentak pengedar shabu-shabu atau ganja, meninju, dan memaki perut pencuri ayam, tapi sopan sekali saat menangkap pejabat korup atau pembunuh yang kebetulan anak pejabat.

"Bagaimana rupa Bapakku, Bu?" Lingkar bertanya sambil menyendok nasi dari bakul. Dia baru pulang sekolah. Kelaparan.
Kerongkongan Sulastri tersedak. "Kamu masih penasaran?"
"Saya memang ingin tahu, Bu. Apa saya salah?"
Sulastri menarik napas. "Baiklah.... Bapakmu itu seorang pengusaha. Dia orang besar, orang sukses."
"Di mana dia sekarang? Kenapa Ibu berpisah?"

Sulastri menarik-narik taplak meja yang sebetulnya sudah rapi. Ini pertanyaan sulit. Lidahnya terasa kaku menuturkan masa silam yang perih, karena sejujurnya, dia sama sekali tak pernah menikah, karena sejujurnya pula dia hamil lantaran diperkosa Samudra. Peristiwa kelam itu terjadi 17 tahun silam, saat dirinya bekerja sebagai pembantu di rumah pengusaha besar itu.
"Bapakmu menceraikan Ibu, karena kami sudah tak cocok lagi." Sulastri berbohong.
"Oh... di mana Bapak sekarang? Kenapa kita miskin? Bapak kan pengusaha sukses. Kenapa sebagai orang yang pernah menjadi istri pengusaha sukses Ibu mencari uang dengan mencuci baju orang dan aku mengamen untuk menambah uang jajan? Kenapa rumah kita cuma seluas lapangan bulu tangkis dan ngontrak? Aku ingin mencari Bapak. Aku ingin protes padanya. Aku ingin marah! Kenapa dia membiarkan kita melarat?"

Sulastri tertegun. Bibirnya terkatup. Dengan begitu, dia membiarkan anaknya terus bicara.
"Aku capek, Bu. Kakiku pegal mengamen terus. Aku tak kuat melihat Ibu terus-terusan menjadi buruh cuci. Harus ada yang bertanggung jawab kenapa nasib kita begini buruk. Setahuku, yang bertanggung jawab di rumah adalah seorang Bapak. Tapi mana Bapakku? Aku belum pernah melihatnya sama sekali. Kita membutuhkan pertolongannya. Kita membutuhkan uangnya supaya nasib kita berubah. Apa Ibu mau hidup terus-terusan menderita? Aku tidak mau. Aku capek! Capek!"

Lingkar terengah-engah. Sulastri tetap mengunci mulut.

"Sekarang coba Ibu jelaskan di mana Bapak? Saya mohon, Bu."
Sulastri membetulkan letak duduknya. Sesungguhnya dia benar-benar tak tahu rumah Samudra sekarang. Kalau pun tahu, bagaimana caranya menuntut pada orang yang pernah memperkosanya? Dalam keadaan bimbang seperti itu, yang keluar dari mulut Sulastri hanya kata-kata yang membuat Lingkar kian sebal.
"Ibu tidak tahu, Lingkar. Maafkan Ibu."
"Ah, selalu begitu. Kenapa bisa Ibu tidak tahu? Aneh! Aku harus menunggu sampai umur berapa agar diberitahu keberadaan Bapak? Aku sudah besar Bu. Ceritakan saja!"
"Kalau sudah tahu, apa yang kamu lakukan?"
"Aku akan cari dia dan minta uang yang banyak supaya kita tak sengsara!"

Sulastri menunduk. Dia betul-betul pusing. "Ibu benar-benar tidak tahu Lingkar. Ibu tidak tahu Bapakmu di mana. Tolong Lingkar, jangan paksa Ibu." Air mata meleleh di pipi Sulastri.
"Huh! Sudahlah! Aku bosan mendengar kalimat itu!" Lingkar bangun. Meninggalkan sepiring nasi yang tinggal setengah, ke kamarnya mengambil gitar. Setelah mengganti baju dan mengenakan topi, Lingkar keluar rumah. Sulastri bergeming. Dia tahu anaknya akan pergi ke terminal, turun naik bis, mengamen. Sulastri cuma bisa menatap punggung anaknya yang setengah berlari keluar pintu.

Pada saat bersamaan, di sebuah rumah mewah, seorang lelaki tua yang selalu berdasi, si Guntoro itu, sedang membentak-bentak dua lelaki ceking berkepala botak. Mukanya merah padam. Dadanya turun naik menahan kesal.

"Tolol kalian berdua! Mana sesumbar kalian? Katanya tiga residivis sialan itu hebat-hebat? Mana, mana?! Monyet semuanya! Sekarang saya tak mau tahu. Habisi Samudra sekarang juga, apa pun caranya! Kalau gagal lagi, nyawa kalian yang akan melayang! Si Bangsat itu harus habis riwayatnya. Bisnisku bisa ambruk hanya karena ulahnya yang selalu main kayu!"
"Iya bos..."
"Jangan cuma iya, iya! Jalan sekarang kunyuk!"

===
Lalu lintas macet total menjelang perempatan lampu merah. Lingkar melompat dari bus. Ia baru saja selesai mengamen. Dia haus. Berjalanlah dia ke halte, membeli minuman dingin. Tanpa sadar, Lingkar tengah diamati dua lelaki ceking berkepala botak yang sudah setengah jam duduk-duduk di halte. Kedua lelaki ini tampak kusut, ada beban berat yang menimbun pundaknya. Seorang di antaranya menegur Lingkar.
"Hei, kamu mau kerjaan? Kalau mau, kami akan membayar kamu sangat besar. Jauh sekali dari hasil kamu ngamen sebulan penuh. Mau?"
"Kerjaan? Apa kerjaannya?"
"Gampang. Cuma menaruh kantong plastik."
"Hah? Pekerjaan apa itu?"

Kedua orang ceking itu tersenyum, satu di antara mereka berkata. "Nanti akan saya jelaskan. Kamu ikut saja dulu."

Lingkar melempar gelas plastik air mineral. Diam-diam dia tertarik juga pada tawaran dua orang yang baru dikenalnya ini. Sama sekali dia tak berpikir bahwa mereka adalah orang yang berencana jahat. Lingkar diajak ke mobil yang diparkir di parkiran gedung bertingkat, kemudian ikut bersama mereka ke sebuah tempat yang tak jelas di mana.

===

Uang lima puluh juta rupiah bukan jumlah sedikit bagi Lingkar. Itulah sebabnya, dia gembira luar biasa. Hanya menaruh kantong plastik di kolong mobil, dia menerima uang berlimpah. "Gila orang itu. Gila!" Lingkar tak habis pikir pada dua orang ceking yang sudah memberinya rezeki itu. "Setiap hari pun kerja begitu, aku mau." Lingkar geleng-geleng kepala sambil melangkah pulang ke rumah. Dia membayangkan, ibunya pasti akan kaget melihat jumlah uang yang dia bawa.

Sesampainya di rumah, Lingkar memanggil-manggil ibunya. Sulastri yang baru saja salat Maghrib, heran menyaksikan anaknya begitu riang. Dia lihat pula Lingkar mengeluarkan bungkusan cokelat besar yang di dalamnya lembaran ratusan ribu bertumpuk-tumpuk.

"Heh, dari mana uang itu, Lingkar? Kamu merampok?" Sulastri kaget bukan kepalang. Bola matanya melotot.
Lingkar terkekeh. "Aku bukan jenis manusia seperti itu, Bu. Miskin-miskin begini, aku tak mau mencuri."
"Lalu dari mana uang sebanyak itu?" Kening Sulastri berkerut. Dia juga takut.
"Kerja."
"Kerja apa?" Sulastri semakin takut.
"Menaruh kantong plastik. Cuma itu kerjaannya. Lalu aku dikasih uang ini. Ibu tahu? Yang memberi aku pekerjaan itu orangnya ceking-ceking. Tapi uangnya banyak. Mereka menyuruhku menaruh bungkusan ke kolong sebuah mobil. Setelah selesai, aku dikasih uang ini. Lihat, Bu. Jumlahnya lima puluh juta! Sekarang kita kaya, Bu! Ini rezeki ajaib!"

Sulastri ngeri mendengar cerita Lingkar. Namun dia tak mengemukakan ketakutannya. Dia usap kepala anaknya. Naluri keibuannya muncul. Tak ingin dia merusak kebahagiaan Lingkar. Mungkin saja anaknya benar, ini rezeki ajaib. Bukankah tak baik menolak rezeki? Tapi kerjaan apa menaruh kantong plastik di kolong mobil?

"Bu, besok uang ini akan aku tabung di bank. Sekarang Ibu ganti daster, kita pergi makan. Kita harus rayakan ini, makan sepuasnya di restoran paling enak." Mata Lingkar berbinar-binar. Sulastri tersenyum, meski hati kecilnya tetap sulit menerima kenyataan uang lima puluh juta bertumpuk di depannya.

===

Lingkar sering berkhayal membawa ibunya menyantap rendang di rumah makan Padang, yang selalu menggodanya saat dia pulang. Sekarang dia mengajak Ibunya ke sana. Mereka berdua duduk di pojok, persis di bawah televisi yang dipasang di sudut atas kanan ruang. Keduanya lahap menyantap rendang, ayam bakar, dan sambal hijau. Minumannya jus alpukat. Wajah mereka disapu senyum, kegembiraan yang tak pernah terukir sebelumnya.

Orang-orang datang silih berganti. Sulastri dan Lingkar terlihat asyik. Tak pakai sendok menyantap makanan. Berkali-kali Lingkar membersihkan jari dengan mulut. Berkali-kali pula Ibunya menyuruh Lingkar minum, karena melihat anaknya terbatuk. Mereka juga sedang berencana membuka usaha agar hidup tak terus-menerus melarat. Uang lima puluh juta harus dimanfaatkan dengan baik.

Sepuluh pelayan sibuk hilir mudik membawa piring bertingkat-tingkat. Si pemilik restoran juga sibuk menghitung uang sambil sesekali menonton televisi, yang sedang menyiarkan siaran langsung peristiwa ledakan dahsyat. Diberitakan, sebuah mobil ringsek dihajar bom rakitan. Di sekitarnya serpihan tubuh lelaki gendut tua berserakan penuh darah. Kepalanya di depan, tangannya di samping, kakinya di belakang. Di sudut kiri atas tampak inzet foto korban dengan nama: Samudra Prawira.

Terdengar suara reporter stasiun televisi melaporkan, yang terdengar samar-samar karena terganggu gelak tawa dan obrolan seisi ruangan.

"Pemirsa, sejauh ini polisi masih melakukan penyelidikan. Namun, besar dugaan, mobil milik pengusaha retail, Samudra Prawira, ini meledak karena bom rakitan yang diletakkan di kolong mobil.... Polisi belum bisa mengidentifikasi pelakunnya..."

Gatsu, 13 Juni 2003

Wednesday, June 11, 2003

Namaku Khianat

KHIANAT namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Hatiku gelap warnanya, karena lebih pekat dari hitam. Aku tak seperti engkau. Tapi, jelek-jelek begini, aku bisa merasuki jiwa kotor yang selalu kau bangga-banggakan. Eh, aku bukan setan, lho. Kebetulan saja rupaku seperti iblis. Aku ingat, dalam buku tebal yang kuintip di rumah seorang pakar bahasa, namaku bermakna perbuatan tak setia; tipu daya, dan bertentangan dengan janji. Membacanya jidatku berkerut, dulu itu.

Dari hari ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan, tahun ke tahun, abad ke abad, kupikir-pikir buku milik ahli bahasa itu benar juga. Hidupku memang penuh siasat untuk menipu, sarat taktik menghasut. Sampai-sampai, muncul anggapan bahwa aku keji, kejam, dan tak berperasaan. Aku pengacau. Biar sajalah. Toh, kenyataannya begitu. Sehari-hari kerjaku memang merayu orang agar tak menghargai kesetiaan, ingkar dari janji sehidup semati. Aku adalah musuh loyalitas. Deduri bagi ketulusan agung.

Perjalanan hidupku yang panjang, membuat kupaham betul jiwa-jiwa yang sudah kusinggahi. Di antara mereka ada yang kaya, tak sedikit pula yang melarat. Ada yang terkenal, termasuk juga dari kalangan biasa. Malah, beberapa di antara mereka kerap muncul di layar televisi, berbicara tentang moral seperti orang suci. Ada juga yang pendiam dan lebih senang sibuk di belakang layar. Tak semuanya berhasil kuseret pada liang mudarat, memang. Tapi, cukup banyak pula yang sukses kuajak menari-nari di kubangan nista.

Setiap kali sukses mengajak orang-orang itu agar melupakan kesetiaan, aku selalu berpesta bersama teman-teman. Kami mabuk-mabukan, berjudi, teriak-teriak, bersenggama sambil tak lupa bertukar pasangan, mengguncingkan tren yang sedang digandrungi selebritas dunia, ngobrol ngalor-ngidul soal bumi yang semerawut--sekadar menunjukkan bahwa kami peduli--lalu tertawa-tawa laksana musuh yang mampu mengalahkan pendekar hebat. Aku menggelar pesta keberhasilan itu di mana saja. Di kamar-kamar mahal apartemen mewah, di basement gedung tua yang kusam, malah bisa juga di lorong-lorong comberan yang jorok. Teman-teman yang selalu menemaniku berpesta adalah Si Dengki yang kucel, Si Iri yang buleng, Si Sirik yang kumal, Si Buruk Sangka yang brengsek banget, dan banyak lagi lainnya, yang sumpah mampus, tak satu pun enak dilihat.

Khianat namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Hatiku gelap warnanya, karena lebih pekat dari hitam. Aku tak seperti engkau. Tapi, jelek-jelek begini, aku bisa merasuki jiwa kotor yang selalu kau bangga-banggakan. Selama hidup aku tak pernah tidur. Moyangku melarang aku mengantuk, apalagi sampai memejamkan mata. Aku harus selalu waspada. Jangan sampai aku lengah mengganggu orang-orang. Aku harus siap siaga dalam tempo 24 jam sehari, mirip slogan iklan televisi tentang suami yang baik. Wilayah kerjaku melintasi batas negara, juga seabrek-abrek. Banyak, deh. Aku meloncat dari tubuh ke tubuh, masuk dan pergi begitu kerjaan selesai.

Sukses-tidaknya pekerjaanku dapat dilihat apakah orang tersebut melepas kesetiaan atau tetap menggenggamnya. Kalau yang kugoda berkeras teguh untuk setia, aku gagal. Andai yang kugoda goyah lalu berpaling dari kesetiaan, aku berhasil. Kan kuberi engkau gambaran sederhana kisah suksesku. Aku menembus berbagai permasalahan, dari urusan cinta, politik, ekonomi, budaya, sampai tetek bengek perang.

Dalam soal cinta, misalnya, aku bisa dengan mudah memberantaki jalinan kasih dua insan yang tengah memadu asmara. Caranya, mengajak seorang di antara pasangan itu untuk nakal dan akhirnya hengkang dari pasangannya. Aku juga sering membuat antarkelompok bertikai, melahirkan perang mulut, cecok, saling tonjok, bahkan mengajak mereka untuk saling membunuh.

Aku merayu siapa pun. Tak pandang bulu. Jika yang kugoda dokter, akan kubuat dia rela ingkar pada sumpah untuk membohongi pasien. Andai yang kurayu politisi, dia kuajak menipu orang banyak dengan janjinya, melompat sana-sini seperti kodok, sehingga tanpa sadar dia sedang melacur. Kalau yang kuganggu seorang polisi, kan kubikin tanpa beban dia menerima recehan saat menilang pelanggar lalu lintas. Bila yang kuganggu adalah presiden, kan kuajak dia melupakan cita-cita menyejahterakan rakyat, cukup keluarga dan kerabatnya saja yang diberi kemakmuran. Singkat kata, kehadiranku membuat kesetiaan menjadi sesuatu yang amat istmewa. Sesuatu yang diidam-idamkan. Aku adalah perusak, dan engkau harus tahu, kini aku merasa lelah karenanya. Maka, di malam ini izinkan aku mengungkapkan penyesalan. Sebab terus-terusan begini aku tak tenang. Aku sungguh tersiksa habis-habisan menyandang nama Khianat.

"Terkutuklah aku..." Kumaki diriku geram.

Dari serangkaian pekerjaan yang sudah kujalani, terbaru adalah tugas di daerah konflik perang saudara. Itu terjadi di sebuah negeri yang sedang tertatih bangkit dari keterpurukan. Di arena bergejolak itu, aku bekerja mati-matian. Tujuannya cuma satu: merangkul orang-orang agar melecehkan kesetiaan, hingga dengan demikian aku puas dan bisa pesta-pesta bersama para teman. Tapi, selama aku menjalani rutinitasku menipu daya, baru kali ini air mataku menetes. Kusaksikan begitu kental duka yang timbul karena pekerjaanku.

Aku teringat ketika seorang pemuda anggota kelompok yang menuntut kemerdekaan tanah kelahirannya, didor jantungnya lantaran kepergok berakrab-akrab dengan pasukan penumpas. Lelaki itu bernama Zulkifli. Dia lahir 23 tahun silam di kawasan yang tak pernah sepi dari darah, air mata, dan letusan senjata. Sepuluh tahun hidup dari hutan ke hutan, bergerilya agar tak terbunuh dalam perang, Zulkifli mati karena aku. Dia diadili dengan cara yang amat primitif: duduk dikelilingi puluhan pemuda dengan AK 47 di tangan, mukanya ditunjuk-tunjuk, diludahi, dimaki-maki, dan pada akhirnya dadanya bolong ditembus dua letusan pelor sang panglima. Zulkifli terkapar. Mayatnya dibiarkan membusuk di tengah hutan, di makan ratusan belatung. Sebelum Zulkifli lumat, aku sempat membaca torehan kata pengkhianat dari darah di jidatnya.

"Mampus kau!" Seorang anggota penuntut kemerdekaan itu menendang kepala Zulkifli. Setelah meludah, dia pergi menyusul teman-temannya ke hutan, bergerilya lagi, entah sampai kapan.

Aku menyaksikan semuanya sambil mencaci-maki diri sendiri. Kubayangkan menjadi jasad Zulkifli, yang harus dibuang atau ditumbuk menjadi serpihan debu karena dianggap mengotori perjuangan. Betapa memilukan, begitu mengerikan. Jahat sekali panglima perang itu, juga si ceking yang mengumpat sambil menendang kepala. Baru kali ini aku merasa kasihan pada korban yang sudah berhasil kurayu. Lama aku terpana. Andai saja aku tak ada, barangkali Zulkifli masih bernyawa. Andai saja aku tak menggodanya, orangtua Zulkifli di kota tentu tak akan menangis buah hatinya menghadap Ilahi dengan cara mengenaskan.

"Terkutuklah aku..." Kumaki diriku geram.

Khianat namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Aku tak seperti engkau. Tapi, aku bisa merasuki ruh kotor di badan yang selalu kau bangga-banggakan. Aku sedang menyesali diri kini. Aku ingin memberontak, tapi terbentur karena garis takdir aku harus menyandang nama Khianat. Monyet! Bangsat! Kenapa orangtuaku bisa-bisanya memberi nama aku demikian?

Dan penyesalanku datang lagi. Ingatanku belum bergeser dari tanah yang sedang diperebutkan itu. Seorang serdadu penumpas sukses kubujuk membelot menjadi pendukung kelompok kemerdekaan. Namanya Badrun. Sejak kecil, cita-citanya ingin bisa terbang malam seperti kalelawar. Tapi nasib menggiringnya menjadi tentara, meski gaji yang dia dapat tak sebanding dengan nyawa yang harus dikorbankan. Hobinya bernyanyi lagu-lagu kebangsaan, yang dia hafal dari buku Lagu Wajib perjuangan saat duduk di sekolah dasar.

Badrun selalu yakin akan menjadi tentara yang baik, yang membuat ayah ibunya bangga, dan bangsa menaruh hormat padanya. Tapi Badrun lupa bahwa dalam hidupnya, seperti juga pada manusia-manusia lain, aku selalu menghantui. Dia pun lengah dan gagal bertahan, lantas menjadi korban godaanku. Di puncak sukses karir militernya, aku berhasil meracuni rohnya untuk membuang kesetiaan pada negara yang dia cintai. Buntutnya fantastis: Badrun menjadi lawan perang pasukan penumpas yang sebelumnya adalah kawan seperjuangan.

Sebetulnya, pasukan penumpas tak terlalu risau dengan pembelotan Badrun. Sebab dia cuma prajurit kecil, kelas teri yang kalau mati masih ada sejuta lagi sekelas dirinya. Pada pertempuran sengit di jantung belantara rimba, Badrun yang diberi kepercayaan sebagai panglima, tak berkutik saat pasukan penumpas menyergap. Sepuluh anak buahnya tewas dalam baku tembak itu. Badrun selamat, meski dia terkepung todongan senapan laras panjang tiga belas serdadu penumpas. Tapi dengan gagah, Badrun tak mengangkat tangan saat diperintahkan menyerah. Dia malah menantang.

"Jangan bertindak bodoh, Drun!" Fikar, kawan sekampung Badrun yang menjadi teman sejalan saat masuk dunia militer, mencoba membujuk sobat kecilnya agar meletakkan senjata. Telunjuknya siap menarik pelatuk, begitu juga dengan dua belas pasukan penumpas lain yang mengelilingi Badrun.

"Kalian yang semestinya tidak bertindak gegabah. Tanah ini memang pantas merdeka. Ini negeri kaya yang dirampas kekayaan buminya oleh orang-orang pintar keblinger dari kota. Apakah kalian tega membunuhi pemuda-pemuda desa yang ingin merasakan tanahnya bebas dari cengkraman edan itu?" Badrun mendengus, matanya melirik satu persatu pasukan penumpas yang dingin.

"Kamu salah Drun. Orang kota tak sejahat itu. Orang kota ingin tanah ini dikelola untuk kemakmuran seluruh negeri, bukan demi segelintir orang, apalagi pejabat. Penduduk di sini pun kebagian. Ada jatahnya. Pejabat negeri baik-baik, kok. Mereka mencintai rakyat, mengabdikan hidupnya demi kesejahteraan rakyat." Fikar tenang tapi siaga penuh.

"Taik! Pejabat negeri baik-baik? Butakah mata kalian? Coba cuci otak kalian yang sudah dicemari panji-panji bela negara itu. Berpikirlah jernih! Apa yang sudah pejabat negeri lakukan pada diri kalian?! Gaji kalian cuma bisa untuk bayar kontrakan, jatah beras kalian banyak belatung dan itu juga disunat, uang kesehatan kalian cuma bisa untuk beli obat masuk angin, nyawa kalian cuma tumbal untuk slogan persatuan dan kesatuan tak jelas. Jangan bego! Dengan turut berjuang di tanah yang ingin merdeka ini, kalian berada di jalur yang benar. Ingat, kalian bukan anjing beludak yang cuma bisa diperintah atas nama negeri sialan!" Badrun meledak. Dan aku bergidik mendengarnya. Aku cemas.

"Badrun! Omonganmu kacau! Tidakkah kamu ingat cita-cita kecilmu yang ingin mengabdi pada negeri? Kenapa kamu sekarang aneh begini? Didoktrin apa kamu oleh para penutut kemerdekaan brengsek itu? Mereka pemberontak! Mereka ingin memisahkan diri dari negera kesatuan! Sesuatu yang sangat kamu tentang, karena kamu cinta pada kekokohan bangsa! Letakkan senjata itu Drun. Kami tak main-main. Sekali kamu mencoba menembak, secepat kilat kami akan lebih cepat mengokang senjata!" Fikar membetulkan posisi berdiri, menatap Badrun yang terengah-engah.

"Tidak. Kalianlah yang seharusnya menyerah! Saya tak mempan oleh gertak sambal kalian! Kalian pikir saya takut? Dengar baik-baik! Saya tak takut mati demi perjuangan yang saya yakini saat ini."

Aku luar biasa tegang menyaksian semuanya. Bergetar jantungku membayangkan yang akan terjadi pada beberapa detik nanti. Ah, ini semua salahku. Andai tak kuracuni Badrun supaya meninggalkan kesetiaannya pada negeri, dia tentu tak akan berhadap-hadapan dengan kawan-kawannya itu. Dia pasti masih setia pada pertiwi. Ah.

"Terkutuklah aku..." Kumaki diriku geram. Kupejamkan mata, risau.

Tar, tar, tar!

Letusan senjata itu mengejutkanku. Aku melongo. Badrun telah menarik picunya. Menembak Fikar yang jaraknya sekitar lima langkah. Fikar roboh, dan dua belas pasukan penumpas lain segera memberondong Badrun habis-habisan. Dadanya kena, bahunya kena, lehernya kena, batok kepalanya kena, matanya kena, kakinya kena. Badrun tumbang bermandi darah.

Fikar mati. Badrun mati. Persahabatan kedua pemuda itu berakhir memilukan. Aku menyaksian semuanya dengan gamang. Dua belas prajurit penumpas bergerak cepat, mencoba menyelamatkan Fikar. Setelah menyadari temannya tewas, mereka membawa Fikar pergi. Badrun ditinggal sendiri. Mungkin dibiarkan membusuk.

"Kenapa Badrun tak kita bawa juga? Dia teman kita." ujar seorang pasukan penumpas kepada temannya yang sedang sibuk mengangkat mayat Fikar.

"Kita tak punya teman pengkhianat. Badrun pengkhianat negeri. Dia pantas mati dan biarkan saja busuk di sini." jawab serdadu penumpas lain. Tentara yang tadi ingin membawa Badrun diam. Posisinya yang memaksa begitu. Dia kalah pangkat.

Saya juga diam. Lidah saya kelu. Hati saya hancur. Aku, yang lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta, menangis. Aku berteriak histeris membuang ingatanku sambil berlari.

"Kan kubunuh Ibuku! Kan kubantai Bapakku!"

Tebet, 11 Juni 2003

Friday, June 06, 2003

Surat kepada Angin

Surat ini saya tujukan kepada angin. Sebab saya tak tahu kepada siapa kegelisahan ini harus disampaikan. Kepada angin, saya bisa berharap, resah yang hinggap akan terbang jauh ke mana-mana: merayap di punggung-punggung gunung, menukik di jurang, merambat di atas alur sungai, bisa pula menari-nari di dekat awan menyentuh gemintang dan bulan. Kepada angin, saya yakin surat ini akan akan sampai.

Angin...
Saya sampaikan kerisauan ini sendirian. Berteman senja yang sunyi, dengan mataharinya yang mulai lelap. Sebetulnya, sudah sejak lama saya merasakan kegundahan ini. Tapi, saya selalu mencoba bertahan pada akal sehat. Dan andai saat ini saya tak lagi kuat menopangnya, bukan berarti akal sehat saya telah mati. Mungkin dia lelah, dan karena itu dia memerlukanmu, angin...

Angin...
Bagaimana kabarmu? Tahukah kamu di sini saya seperti sedang hinggap di dahan yang rengat dan bila dibiarkan saya akan jatuh menumbuk tanah. Masih bagus kalau tanah, bagaimana jika bebatuan tajam yang seketika membuat kepala saya pecah berantakan? Semoga saja, bilapun saya terjatuh, saya tak terbanting pada alas yang keras. Mudah-mudahan ada semacam matras, yang lembut, yang tak merusak kepala dan hati saya.

Angin...
Saya tak pernah bisa menjawab kenapa dalam melangkah seperti selalu tersengat deduri. Yang berceceran seperti hamburan beras ditebar, tajam-tajam, membuat tapak kaki saya dileleri darah dan hati saya berurai airmata. Tak adakah penunjuk arah yang mampu mengantar saya pada lajur yang mulus? Saya tunggu jawabmu angin, sebab saya harus terus berjalan, tak lagi bisa menunggu.

Angin...
Pergilah ke langit dan sampaikan kepada Tuhan bahwa saya sedang merindukan telaga di gersangnya ruhaniah. Saya akan membasuh muka, berkumur, sekadar menahan dahaga yang singgah. Lalu bergerak lagi ke depan, memburu damai yang terindukan, mengejar cinta yang terimpikan, dan pulang mengusung bulan di pangkuan dengan bintang-bintang mengitari di lingkaran....

Angin...
Sekian surat saya. Saya tunggu balasanmu, di sini, pada senja yang melelahkan, yang sepi tanpa pelangi, yang muram karena matahari sebentar lagi pergi...

Salam manis...
Saya

Friday, May 30, 2003

jangan biarkan cinta mati

kuinginkan cinta
dari waktu
yang tak mengenal dusta,
kecuali warna putih

aromamu menyentuh
pada setiap ruang
yang kusinggahi
begitu menyengat

daffodils merekah
di musim semi
yang melahirkan rindu
berkepanjangan

akan kupasrahkan tubuhku
melayang bersama angin
menjauh memburu dirimu
jangan biarkan cinta mati

Monday, May 26, 2003

Prosesi Cinta Putih

"Pelacur!"

Dia memekik dan hati saya tercekik. Dia seperti kerasukan setan. Napasnya terengah-engah. Mukanya tegang. Kala marah, saya tahu pasti emosinya kerap di luar batas. Tapi malam ini saya beruntung. Saya tak menyaksikan, barangkali belum, dia merusak apa pun yang ada di dekatnya. Taplak masih tertindih vas bunga, gelas masih di atas meja kecil, dan dinding tak kena tinju.

"Masih bagus kamu saya bilang pelacur. Itu tandanya masih manusia. Coba kalau saya bilang sundal bolong, yang jelas-jelas setan perempuan haus seks. Tempatmu cuma ada di neraka jahanam, bersama lelaki sialan yang terus menerus memperbudak kamu sebagai pemuas berahi!" Dia meledak-ledak. Saya terkesiap, karena memang sulit sekali mengelak dari rasa salah. Bagaimana tidak? Kemarin, dia memergoki saya dan Jimmy saling memagut di ranjang, di kamar kos yang lupa saya kunci. Seperti didorong ke jurang rasanya.

"Maafkan saya Ray..." Suara saya tipis terdengar, menatapnya, berharap dia mendingin.

"Seenaknya kamu minta maaf! Apa kamu pikir saya lelaki bego yang bisa berulang kali memaklumi setiap kesalahan? Apa kamu pikir saya tolol? Bodoh? Goblok?!"

Saya mengunci lidah. Duduk menunduk dengan helaan napas tak keruan. Lelaki mana yang tak beringas kekasihnya tertangkap basah tidur bersama lelaki lain? Tapi, jujur saja, hati kecil saya menolak dipersalahkan. Sebab, saya tak tidur bersama lelaki sembarang, melainkan dengan Jimmy, lelaki yang selalu saya anggap kekasih, meski dia telah beristri.

Saya dan Jimmy menjalin asmara selama lima tahun. Kami putus setelah dia menikahi wanita pilihan ibunya yang sangat ningrat. Awalnya saya menganggap Jimmy pengecut. Seenaknya dia mengakhiri cinta yang sudah sampai rahim. Jika Jimmy benar-benar serius, kenapa tak nekat menikahi saya? Kawin lari kek, apa kek?

Sebulan, dua bulan, enam bulan, melupakan Jimmy adalah penyiksaan batin. Saya tetap tak mampu menghapus raut wajahnya. Juga pada aroma tubuhnya yang selalu membuat saya lelap merindu. Jimmy benar-benar mengganggu akal sehat. Sejak sekali dua, dengan rutinnya dia menelpon atau datang ke kos, saya pun terlena pada hubungan yang tak semestinya. Dalam kedekatan seperti ini, ajaib, saya tak bisa marah. Saya larut pada cinta yang saya yakini masih ada. Kadang, saya tak peduli Jimmy muncul membawa cinta atau sekadar nafsu. Saya menikmati saja, meski sekali lagi, dia sudah beristri.

Sebelum saya dan Jimmy berpisah, sebenarnya ada Ray yang selalu mencoba mendekati saya. Tapi saat itu tak ada yang bisa membuat saya dan Jimmy lepas. Begitu tahu bahwa saya tak lagi bersama Jimmy, Ray pun masuk, sebab hati kecilnya pasti menunggu-nunggu momen ini. Perlahan Ray membersihkan tepian hati saya yang bertaburan pasir luka. Dia memahami, dan mampu meluluhkan hati saya yang tak ingin berpaling ke lelaki selain Jimmy, menghentikan ketidakrasionalan saya yang berangan-angan menjadi lesbian. Saya menerima Jimmy kembali tanpa pernah berpikir ini sekadar pelarian atau bukan. Saya menjalani saja, sampai pada akhirnya terjadi peristiwa kemarin, saat saya dan Jimmy larut dalam nostalgia sinting dan tertangkap basah Ray, lelaki yang kini di depan saya dengan muka memerah menahan bara kesal.

"Wanita binal!" Tangan Ray melayang telak ke pipi kiri saya. Kencang juga.

"Saya minta maaf Ray. Ampuni saya. Saya khilaf." Saya menubruk kakinya.

"Minta ampun?" Suara Ray memanjang serak. Saya masih memeluk kakinya. "Saya bukan Tuhan. Lagi pula, khilaf kok berulang-ulang. Bodoh sekali. Itu sengaja tolol! Tak usahlah kamu berdalih khilaf atau segala macam tetek bengek untuk menutupi kekonyolan kamu mempermainkan saya. Mungkin, selama ini saya memang benar-benar seperti kerbau dicucuk hidungnya. Saya tetap menjadi belatung yang terus-menerus melumat sampah. Betapa dungunya saya berharap pada sundal belangsak!" Ray bergerak, tangan saya terlepas. Dia memukul dinding. Secepat kilat tangan kanannya merampas gelas di meja dan melemparnya ke lemari kaca. Gerompyangannya berbarengan dengan suara tangisan saya yang mengeras. Ekor mata saya melihat dia melangkah, membuka pintu dan membantingnya hingga bergetar kusen jendela.

Saya sesegukan. Kalut. Pusing. Bingung. Hancur. Pasrah. Tak tahulah. Mumet banget.

Saya selalu gagal membunuh peristiwa suram setahun silam itu. Ada saja kalanya saya teringat dan bermunculanlah adegan demi adegan seperti film hitam putih yang bergerak bekerjap-kerjap, bergantian, seperti barusan. Padahal, saya sudah menjauh, karena kebetulan sekali, permohonan beasiswa pascasarjana saya diterima. Kini saya menetap di Keele, kota kecil di kawasan West Midland, berjarak sekitar tiga jam dengan kereta dari London, kira-kira satu jam dari Manchester. Bagi saya, selain menambah ilmu ke jenjang lebih tinggi, di tempat yang jauh dari Jakarta saya berharap bisa melupakan pelbagai kenangan manis dan pahit bersama Jimmy dan Ray.

Pada Mei ini sebetulnya Keele tengah dilanda musim semi. Anehnya, curah hujan juga tinggi, sehingga dalam dua pekan terakhir, hari selalu menjadi basah. Dari kamar di sisi jendela, saya membuang pandangan ke taman kecil di seberang jalan. Tampak pinus dengan dedaunan hijau kekuning-kuningan. Butiran es yang turun bersama hujan, yang bagaikan serpihan kristal tumpah dari langit, cuma sesaat membuat hati saya riang. Ini memang indah, karena di Bandung, kota kelahiran saya, tak ada butiran es menari-nari di sela ritmik hujan.

Saya menarik napas, lalu bersedekap menahan angin dingin di tengah suhu sekitar sepuluh derajad Celsius. Bola mata saya berpindah-pindah. Sebentar menyapu taman yang dihiasi mekar kuning daffodils, yang di pinggirnya tampak orang-orang setengah berlari dengan payung warna-warni atau jas hujan. Sekejap kemudian terpaku menatap langit tanpa awan. Saya menarik sudut mata melirik jam dinding. Jarum pendek menapak di angka delapan. Satu jam lagi hari akan gelap, seperti menjelang Maghrib di Jakarta. Senja beringsut dan malam akan datang. Saya bisa memastikan, bersamaan dengan langit yang tak lagi terang, hati saya pun bertambah sunyi. Saya tutup jendela. Menarik gorden. Tidur. Berharap bayangan itu hilang.

===

Pagi tiba. Saya mengikat tali sepatu, bersiap untuk olah raga keliling taman. Saya sempatkan ke tempat kotak surat untuk mengecek paket rokok dari Bandung. Siapa tahu sudah datang. Jimmy? Alis saya naik membaca pengirim surat yang baru saya ambil. Buru-buru saya menyobek sisi amplop, mengeluarkan berlembar-lembar isinya, kemudian membaca tak sabar. Saya benar-benar tak menyangka. Dalam suratnya, Jimmy bercerita bahwa dia dan istrinya bercerai. Istrinya galak, itu membuatnya seperti tak dihargai sebagai lelaki. Dia juga bertanya kenapa email-email yang dia kirim ke saya tak kunjung dibalas. Dia memang tak saya beritahu bahwa saya tak lagi memakai email lama, yang dia buatkan saat kami masih bersama.

Saya bergegas kembali ke kamar, membatalkan lari pagi. Saya nyalakan laptop, membuka email dari Jimmy. Pasti ada banyak email yang dia kirimkan. Sebab, dia bilang, sejak sebulan saya berangkat tanpa sepengetahuannya, Jimmy mengirim email setiap pekan. Saya sudah setahun di sini. Artinya, ada sekitar 48 email yang sudah Jimmy kirim. Gilanya, tak satu pun saya baca dan balas.

===

JAKARTA masih seperti dua tahun silam. Panas, udaranya kering. Di koridor Bandara Soekarno Hatta, saya duduk gelisah. Mustinya saya tak perlu menunggu, sebab dalam obrolan di internet, Jimmy berjanji datang tepat waktu untuk menjemput kepulangan saya dari Keele. Tapi mana? Sudah setengah jam, Jimmy belum juga terlihat. Saya kontak telepon genggamnya tak terjawab. Saya tak berani menelpon ke rumah dia. Sosok ibunya masih menakutkan, meski Jimmy meyakinkan bahwa ibunya tak lagi seperti dulu. Tapi saya belum siap.

"Berkacalah Kiara. Anak saya tak pantas menikah dengan wanita seperti kamu. Tahu diri sajalah. Putuskan Jimmy dan pergilah mencari lelaki lain. Jangan membuang-buang waktu anak saya. Dia sudah kami jodohkan dengan anak bangsawan dari Aceh. Sampai kapan pun, saya tak pernah rela sebagai ibunya, Jimmy menikah dengan kamu! Camkan itu!"

Suara ibunya Jimmy datang memalu gendang telinga. Saya melenguh, melirik jam tangan. Sudah jam sebelas. Saya berdiri, lalu duduk, berdiri lagi, menengok kanan-kiri. Majalah saya tutup. Seperti intel, saya menatap sekeliling dengan jeli. Toh, Jimmy masih belum terlihat. Saya mulai tersaput kesal. Setengah jam berlalu, satu jam, dan sekarang satu jam setengah. Keterlaluan! Saya bangkit dari duduk dan bergegas menyetop taksi. Lebih baik saya pulang sendiri daripada menunggu lelaki karet brengsek itu!

Setelah melewati jalan tol Pluit, mulai kumatlah Jakarta. Taksi yang saya tumpangi merayap. Lama. Benar-benar membosankan. Untuk membunuh sebal, saya menghibur diri berbincang-bincang dengan sopir. Kata sopir yang berpeci miring itu, macet ini sudah terjadi sejak satu jam lalu. Ada kecelakaan, kata dia. Musibah memang mudah terjadi di kota yang malas disiplin. Saya membatin. Diam, gondok, sampai akhirnya saya pasrah dan menikmati taksi berjalan seperti siput bunting.

Suara klakson truk gandeng di belakang benar-benar mengejutkan. Saya terbangun dari tidur. Di depan tampak kerumunan. Tampaknya benar ada kecelakaan. Saya menoleh keluar, terlihat dua mobil sedan terbalik, dan empat orang tergeletak ditutupi koran. Saya gerakan mata, sebuah mobil jeep hitam nyusruk di parit. He, saya seperti tahu jeep itu. Saya membuang mata ke depan. Tapi, secepat kilat saya menoleh lagi ke tempat jeep itu terjungkal.

"Pak, Pak, stop, Pak!" Sopir itu kaget. "Tolong berhenti dulu! Saya mau turun. Ini uangnya!" Pintu mobil saya buka. Turun membelah kerumunan. Entah dari mana datangnya, dada saya terasa tak enak. Mata saya terbelalak. Lelaki yang tergeletak dengan berlumuran darah itu bukan wajah yang asing. Saya maju dan memeluk lelaki yang tak lain adalah Jimmy. "Tidakkk..." Orang-orang bergeming heran. Saya melihat Jimmy terengah-engah. "Ya, Tuhan, selamatkan dia."

"He, kenapa kalian cuma menonton? Orang ini sekarat! Dia butuh pertolongan cepat!" Orang-orang itu saling menoleh. Tapi tak satu pun bergerak. Sialan. Saya senewen. "Tolong bantu saya angkat orang ini! Dia belum mati! Dia calon suami saya! Kami akan menikah bulan depan!" Histeria saya menarik tiga orang untuk grasa-grusu mengangkat tubuh Jimmy. Saya mencoba menghentikan mobil yang melintas pelan, mencari pertolongan supaya Jimmy bisa ke rumah sakit. Dia harus hidup, karena dia masih bernapas.

Empat kendaraan menolak membantu, sampai akhirnya sebuah mobil bak terbuka pengangkut buah yang sudah kosong, berhenti. Bersama orang-orang yang belakangan sibuk mengangkat Jimmy, saya naik. Kepala Jimmy saya pangku di paha. Mukanya memar, darah terus menetes, tangannya lemas. Patahkah? Saya tak bisa memastikan. Saya cuma bisa berdoa dia tetap hidup. "Jimmy, bertahanlah. Ini aku, Kiara..." Saya berbisik pelan. Mudah-mudahan dia dengar.

Sang sopir ngebut. Saya senang, sekaligus takut. Lebih cepat sampai rumah sakit memang lebih baik. Tapi laju mobil ini mengerikan. Di atas jalan layang Tomang, mobil kian kencang. Rumah sakit sebentar lagi sampai. Saya harap-harap cemas. Saya terus menahan kepala Jimmy agar tak terguncang. Saya mendekapnya sambil terus membisiki kekuatan. "Kita akan menikah Jimmy, bertahanlah. Kamu harus hidup sayang. Saya pulang untuk kamu. Saya siap menikah dengan kamu. Seperti janji kita dulu."

Bersamaan saya mengatup bibir, sekonyong-konyong tubuh saya terdorong ke depan. Jimmy terlepas. Dia terpental, berbarengan mobil menghajar besi pembatas jalan tol. Sang sopir yang panik, membanting ke kanan. Bukannya menguntungkan, malah membuat truk ini terbalik. Berputar-putar, menghantam sedan yang mengerem mendadak, lalu diam dengan roda di atas.

Tubuh saya berdesir mendadak dingin, dingin yang belum pernah saya rasakan. Saya melihat ke bawah. Aneh, kaki saya tak menyentuh tanah. Saya mendadak bisa terbang. Saya terpaku pada kerumunan. Menatap pick up yang saya tumpangi terguling. Terlihat juga sopir tergencet di depan kemudi, mengerang bersama kernetnya yang menahan sakit. Saya celingak-celinguk mencari Jimmy. Kemana dia? Saya tak melihatnya. Dia tadi lepas dari pelukan. Saya berlari ke depan, ke samping, ke kolong jembatan layang. Dia tak ada. Aduh, ke mana kamu Jim?

Berkeliling saya mencari Jimmy. Mata saya tertumbuk pada raga Jimmy yang tergeletak parah. Wajahnya remuk. Darah mengalir dari kepalanya. Saya menjerit. Tapi orang-orang itu tak ada yang mendengar. Mereka malah menutup Jimmy dengan koran. Buka koran itu, saya berteriak. Tapi mereka seperti tuli. Tak ada satu pun yang peduli pada saya. Saya histeris, mendedah kerumunan lalu mencoba memeluk Jimmy. Tapi mendadak tangan saya ada yang menarik.

"Kiara..."

Saya menoleh. Terkejut, dan langsung menubruk sosok yang menggaet tangan saya tadi.

"Kamu ke mana Jim?"

"Saya tadi mencari-cari kamu."

Saya memperhatikan tubuhnya. Dia juga tak menyentuh tanah. Dia juga bersayap. Dia juga terbang. Ada apa ini? Baru saja bibir saya terbuka untuk bertanya kepada Jimmy, dia langsung menggandeng tangan saya. Diajaknya saya melihat tubuh kami yang tergolek di bahu jalan, dengan koran sebagai penutup. Kami saling menoleh. Tak berbicara apa-apa. Lalu kami membentangkan sayap seperti burung, terbang, menembus lapisan awan, menyentuh bintang, mencium bulan, memunguti butiran-butiran cinta kami yang abadi.***

Tebet, 26 Mei 2003

Sunday, May 25, 2003

DéTIK*

berputar terus berputar
tak berawal tak berakhir
berputar terus berputar
tak berbatas tak bertepi
detik...
detik...

*diambil dari jingle iklan tabloid DéTIK almarhum

Wednesday, May 21, 2003

duh, pusing...

Sunday, May 18, 2003

lelaplah

kembali jenuh mengerudungi
dalam kegamangan, juga keniscayaan melangkah
barangkali harus sejenak duduk dalam jeda
sampai pada akhirnya langit tak kusam
dan bisa melompat tak terjerembab ke kubangan serupa
izinkan saya terlelap
sekejap

Friday, May 16, 2003

Stalingrad

...Aku kehilangan jari kelingking tangan kiriku. Tapi, yang lebih celaka lagi adalah tiga jari tengah tangan kananku juga hilang akibat beku kedinginan. Hanya dengan ibu jari dan kelingkingku, aku bisa memegang cangkir minumku...

...Mereka berjatuhan seperti lalat; tidak ada yang peduli dan tidak ada yang menguburkan mereka. Mereka bergeletakan di mana-mana, buntung tanpa tangan atau kaki dan tanpa mata, dengan perut robek menganga...

...Aku terkejut saat melihat peta. Kami sama sekali sendirian, tanpa bantuan dari luar. Hitler telah meninggalkan kami di ujung tanduk...

...Tidak ada yang bernama kemenangan itu Pak Jenderal. Hanya ada bendera dan orang-orang yang berguguran, dan pada akhirnya tidak akan ada lagi bendera maupun orang-orang. Stalingrad bukanlah suatu keputusan militer, tapi justru suatu judi politik...


BAIT-bait kalimat itu adalah petikan surat-surat terakhir serdadu Nazi Jerman dari Stalingrad (sekarang bernama Volgograd--kota industri yang terletak di tengah sungai Volga), Uni Sovyet, pada sebuah musim dingin di awal 1943. Di tengah samudra salju, mereka terisolasi, tanpa bahan makanan, tanpa bala bantuan. Mereka menunggu saat-saat terakhir: ajal yang menjemput karena ganasnya musim dingin atau sergapan musuh yang mematikan. Para tentara malang itu mengungkapkan perasaannya melalui goresan pena. Surat-surat dan potongan yang terkumpul itu aslinya diterbitkan di Jerman pada 1954 dengan judul Letzte Briefe aus Stalingrad.

Saat itu, pasukan Nazi memang tengah berekspansi besar-besaran ke berbagai negara Eropa, tak terkecuali Uni Soviet. Didukung peralatan militer lengkap serta pesawat-pesawat tempur yang tak pernah lelah menggempur, Nazi relatif mudah merebut berbagai kota dan negara daratan Eropa. Semua? Tidak, rupanya. Karena Stalingrad tak kunjung tumbang.

Stalingrad yang diplesetkan oleh Nikita Kruschev menjadi "Stalin Rad", yang berarti Kota Stalin, adalah pintu gerbang utama menuju Uni Soviet. Itulah sebabnya, Stalingrad harus dipertahankan dengan segala risiko. Seandainya kota ini hancur atau dikuasai Jerman, dalam tempo singkat seluruh wilayah Uni Soviet bakal berada di bawah kaki Jerman. Tak mau itu terjadi, banyak pemuda dari berbagai tempat di Uni Soviet dikirim ke kota ini.

Sejarah mencatat kurang lebih 1.100.000 prajurit Soviet kehilangan nyawa, beberapa ribu di antaranya menjadi korban penembakan polisi keamanan Uni Soviet yang khusus mengawasi dan menembak para prajurit desersi. Banyaknya prajurit Soviet yang melakukan desersi setidaknya membuka mata dan hati Nikita Kruschev bahwa Stalingrad tak hanya cukup dipertahankan dengan peralatan militer seadanya serta mendengungkan semboyan seperti "merdeka atau mati", atau "mari, berkorban untuk ibu pertiwi". Para prajurit itu membutuhkan hal lain untuk menjaga semangat juang mereka.

Pertempuran selama sekitar tiga bulan itu memang benar-benar membuat Jerman kebingungan. Mereka gagal, Stalingrad tak pernah bisa jatuh. Perang kota yang kandas itu memberi pelajaran pada Jerman bahwa kecerobohan dan keyakinan serta kepongahan hanya melahirkan bumerang mematikan. Prajurit Jerman yang larut dalam keputusasaan menemukan kuburannya di Stalingrad...

Perang memang tak pernah mengenal penderitaan. Di mata perang, nyawa yang terbunuh adalah risiko lumrah yang musti ditempuh. Baik sipil maupun militer yang menjadi korban, para jenderal selalu pada keyakinannya bahwa perang adalah perang dan karena itu nyawa yang melayang bukanlah persoalan penting. Saya tak pernah bisa mengerti, dengan dalih perdamaian perang kerap ditempuh. Saya lebih pada keyakinan bahwa mereka yang menghalalkan perang, baik untuk mereka yang menjadi pemberontak maupun yang menumpas pemberontakan, dan menekankan senjata adalah jalan keluar, saya pikir mereka lebih pas ada di lingkaran kejiwaan yang parah. Akal sehat saya tetap menolak penjajahan, tapi agaknya, saya akan tetap menolak perang. Sesuatu yang agaknya sulit, memang. Dunia memang selalu penuh dengan paradoksal dan keganjilan.

Saturday, May 10, 2003

terbang

pada pagi yang jingga
aku bertutur tentang sebuah nama
yang mengoyak segala macam kerisauan
dalam aroma terang tanah
engkau menghadirkan matahari
dengan cinta yang pernah menjadi mimpi

pada senja yang memerah
aku berucap tentang sebuah mutiara
yang terbenam di benak nan sunyi
dalam nuansa bulan sabit
engkau membawa terbang angan
dengan rasa sayang yang pernah tersimpan rapi

dan di sini
seraya menatap masa silam
kuingin memeluk batinmu
bersamamu aku merasa yakin
rumah cinta menjadi lebih kokoh
bersama bintang yang berpendar
kuingin melangkah
memunguti butiran rindu
agar mata ini bisa terbuka di kala pagi
agar hati ini bisa tersenyum di kala senja

Saturday, May 03, 2003

fatamorganta

dahulu saya pernah punya mimpi
melihat bulan di setiap senja
lalu saya mengamati tak berkesip
memeluk erat menahan napas
bulan itu lembut
lihat saja sinarnya
tak pernah terik seperti matahari
dia membuat saya layaknya bermandi embun
pada setiap penat dan sejauh lelah
saya selalu merindukan bulan

sampai detik ini saya terkurung pada dinding tak berpintu
mengurung dan tak membiarkan saya keluar...
membakar hati saya
sesekali saya berharap ada pintu untuk keluar
sekadar melongok dari jendela pun tak apa-apa
kadang saya merasa pasrah pada lampu-lampu dan sinar yang ada
melupakan bulan, membiarkan saya merasa sunyi

tapi saya selalu terus bermimpi
mencium rembulan dan membiarkannya dalam dekapan
mimpi ini benar-benar melelahkan...
dan saya hanya bisa diam
lalu bunga

saya terjatuh di sudut ruang...
pada setiap jeda yang tak pernah mengenal cinta
lalu terbangun
dan saya dapatkan langit tak lagi cerah...
saya rindu pelangi
bukan karena warna-warninya
tapi karena dia bisa membuat saya merasa damai....
kamu pernah merasa sunyi dalam ruang yang begitu riuh?
saya sedang merasakan itu pada setiap jeda yang tak pernah mengenal cinta...
saya ingin berlari ke taman...
lalu memandang bunga-bunga...
saya petik setangkai
warnanya putih... lebih wangi dari melati...
saya sematkan di hati kamu... sambil berbisik...
boleh saya menanam cinta?

Thursday, May 01, 2003

dingin banget di sini... saya gak betah...

Friday, April 25, 2003

layarku layar rindu

mata yang berkaca
melewati jendela
tangisan jangkrik pada malam yang ditebas hujan
mengerang seperti perih yang pernah singgah
begitu dalam

luka yang mengawang
bergelayut pada daun-daun bambu
menghelaku pada genderang rindu
suaramu meredam di dinding-dinding tebing

mungkin bagimu aku hanyalah sebuah sampan
yang terombang-ambing dalam lautan rindu
mencari cintaku sendiri
aku ingin selalu berlayar dan tak ingin menepi
mungkin mampir sesekali melihat daratan sunyi
yang melambaikan tangan menyapa sepi
bermain dan menari dalam mimpi
kelam di bawah bulan yang menyusup di balik mendung kelabu

ketika saat hendak berhenti
atau saat lelah dan ingin berlabuh
dalam penantian
dalam angan-angan
aku menjemput bulan pada sebuah kesunyian

Thursday, April 24, 2003

membunuh jenuh dengan kejenuhan....

Saturday, April 19, 2003

sepertinya saya harus mengambil sebuah keputusan dengan cepat. saya harus berani. saya tak akan mungkin memiliki kesempatan dua kali. saya harus bertindak, saya tak mau larut dalam lingkaran kejenuhan yang seakan-akan tak berujung. saya lelah, saya ingin berkembang. mengepakkan sayap, jauh tinggi melayang. saya ingin seperti elang menembus cahaya matahari dan awan....

Thursday, April 17, 2003

saya sedang gamang malam ini. saya tak tahu sejak kapan perasaan yang membuat segalanya tak enak ini hinggap. mungkin sejak kemarin, mungkin saja baru-baru tadi. saya tak tahu. yang jelas, saya sedang tak keruan, seperti uraian kabel telepon di pinggir jalan yang ditinggal pekerja galian lantaran bayarannya disunat sang mandor.

saya tidak tahu harus berbuat apa. barangkali saya jenuh, karena saya sedang bergerak pada sebuah lingkaran yang tak berpintu. kadang saya memiliki perasaan ingin keluar, melompat seperti anak-anak katak menyeberangi kali kecil. dinding macam apakah ini? rasanya terlalu keras untuk ditembus. haruskah saya menjelma menjadi casper agar bisa melewatinya? ah, saya mengada-ada.

segelas air putih ogah-ogahan saya tenggak. saya paling malas mereguk air tak berwarna. rasanya hambar. barangkali, kali ini saya benar-benar merasa kosong, seperti air putih di gelas putih itu. saya sedang tak merasakan apa pun. dingin sekali. sunyi... saya tidak tahu sampai kapan... yang saya tahu, besok mungkin masih ada matahari dan di sekitar saya orang-orang sibuk. larut pada diri dan kepentingannya masing-masing. kenapa pula saya merasa tersudut? panah saja bulan itu dan katakan pada langit: saya tak pernah takut pada malam dan siang....

Monday, April 14, 2003

dia datang seperti angin sejuk yang secara tiba-tiba menerpa wajah. halus, teduh, mungkin lebih tepatnya membuat nyaman. saya membayangkan dia perempuan yang tenang, dalam situasi sepanas apa pun, karena emosi adalah sebuah kesia-siaan. mungkin saya sedang bermimpi. tapi saya rasa tidak apa-apa, ketimbang saya diam laksana batu karang.

tapi di manakah dia? saya tak pernah jauh berharap dia ada, lalu muncul membawa bulan ke pangkuan. tapi saya sering merindukannya, seperti malam yang merindukan bulan, seperti pagi yang berharap terbit matahari dari timur. sekali waktu, pernah juga saya ingin membunuh kecamuk ini. tapi untuk apa? saya pikir, hidup barangkali memang kumpulan mimpi-mimpi. dan perlahan-lahan saya merajutnya menjadi sebuah cerita nyata.

tapi tetap saja, di mana dia? perempuan itu menari-nari seakan memanggil dan berkata, "saya ada di sini, tunggu saja." saya terkesiap pada angan-angan. saya tertidur lelap pada bayang-bayang. saya tak mampu bergerak, terpasung pada kerinduan keindahan... lebih baik saya diam saja...

Saturday, April 12, 2003

Tuhan... saya lelah....

Friday, April 11, 2003

Lelaki dan Perempuan Cilik Itu

DI senja ini saya tiba-tiba teringat pada seorang lelaki usia 30-an yang menggandeng bocah wanita di siang hari yang membuat kerongkongan begitu kering. Lelaki dan bocah itu berjalan melintas di depan saya. Cukup cepat untuk dikatakan mereka sedang santai. Ada sebuah tape karaoke ditenteng memakai tas kumal hitam. Besarnya setas koper ukuran mini. Tak seperti lelaki setengah baya itu, si bocah rapi dandanannya. Memakai sepatu, jaket jins, dan kepala dikuncir pita merah. Mirip anak-anak kecil di lorong-lorong kota saat Lebaran.

Di sebuah rumah yang kebetulan membuka usaha warung kelontong, mereka berhenti. Alunan lagu keluar dari kotak karaoke. Nadanya khas para penjaja lagu jalanan: dangdut. Sang bocah dengan suaranya yang cukuplah untuk teriak-teriak, bernyanyi lagu yang kerap dinyanyikan Thomas Djorgi. Saya lupa judulnya, tapi sering mendengar.

Matahari di atas kepala masih jauh pindah ke barat. Saya termangu tak sekejap pun berkedip. Saya melihat dengan jelas mata bocah dan lelaki yang menurut dugaan saya, ayahnya itu. Pandangannya tenang. Seolah beban hari itu adalah rutinitas yang memang harus digerus. Panas terik seperti sebuah nikmat yang di tubuh tak akan terasa panas. Dan bayangan saya melompat pada kenyamanan anak-anak kecil lain yang sedang asyik lari-larian di mal, nonton televisi, bermain barby, atau menekan tombol play stasion di ruang keluarga.

Saya tak melihat apakah lelaki dan perempuan cilik itu diberi uang oleh si pemilik warung. Saya tak kuat melihat mereka terus bernyanyi, seraya terus bergandengan tangan. Saya menghindar, menjauh, mencaci maki diri sendiri sambil terus meracau: kenapa Kau perlihatkan hal-hal seperti ini pada saat saya tak ingin peduli pada air mata anak manusia, Tuhan? Barangkali saya memang tak diizinkan berjarak... Saya gagal menjadi seperti mereka...