Friday, June 06, 2003

Surat kepada Angin

Surat ini saya tujukan kepada angin. Sebab saya tak tahu kepada siapa kegelisahan ini harus disampaikan. Kepada angin, saya bisa berharap, resah yang hinggap akan terbang jauh ke mana-mana: merayap di punggung-punggung gunung, menukik di jurang, merambat di atas alur sungai, bisa pula menari-nari di dekat awan menyentuh gemintang dan bulan. Kepada angin, saya yakin surat ini akan akan sampai.

Angin...
Saya sampaikan kerisauan ini sendirian. Berteman senja yang sunyi, dengan mataharinya yang mulai lelap. Sebetulnya, sudah sejak lama saya merasakan kegundahan ini. Tapi, saya selalu mencoba bertahan pada akal sehat. Dan andai saat ini saya tak lagi kuat menopangnya, bukan berarti akal sehat saya telah mati. Mungkin dia lelah, dan karena itu dia memerlukanmu, angin...

Angin...
Bagaimana kabarmu? Tahukah kamu di sini saya seperti sedang hinggap di dahan yang rengat dan bila dibiarkan saya akan jatuh menumbuk tanah. Masih bagus kalau tanah, bagaimana jika bebatuan tajam yang seketika membuat kepala saya pecah berantakan? Semoga saja, bilapun saya terjatuh, saya tak terbanting pada alas yang keras. Mudah-mudahan ada semacam matras, yang lembut, yang tak merusak kepala dan hati saya.

Angin...
Saya tak pernah bisa menjawab kenapa dalam melangkah seperti selalu tersengat deduri. Yang berceceran seperti hamburan beras ditebar, tajam-tajam, membuat tapak kaki saya dileleri darah dan hati saya berurai airmata. Tak adakah penunjuk arah yang mampu mengantar saya pada lajur yang mulus? Saya tunggu jawabmu angin, sebab saya harus terus berjalan, tak lagi bisa menunggu.

Angin...
Pergilah ke langit dan sampaikan kepada Tuhan bahwa saya sedang merindukan telaga di gersangnya ruhaniah. Saya akan membasuh muka, berkumur, sekadar menahan dahaga yang singgah. Lalu bergerak lagi ke depan, memburu damai yang terindukan, mengejar cinta yang terimpikan, dan pulang mengusung bulan di pangkuan dengan bintang-bintang mengitari di lingkaran....

Angin...
Sekian surat saya. Saya tunggu balasanmu, di sini, pada senja yang melelahkan, yang sepi tanpa pelangi, yang muram karena matahari sebentar lagi pergi...

Salam manis...
Saya

0 comments: