Sunday, September 28, 2003

Andai "Rakyat Merdeka" Terbit di Dili atau Manila

*Atmakusumah

SEANDAINYA harian Rakyat Merdeka diterbitkan di Dili, ibu kota Timor Lorosae, atau di Manila, ibu kota Filipina, agaknya gugatan seorang ketua parlemen atas foto karikatural yang dimuatnya sebagai sindiran atau parodi tidak menjadi perkara pidana, tetapi perdata. Kalaupun dituntut berdasarkan hukum pidana, agaknya harian itu hanya akan dikenai denda (jika tidak dibebaskan), bukan hukuman badan. Bahkan, amat mungkin pemuatan karikatur itu sama sekali tidak akan menjadi kasus hukum yang harus diperkarakan di pengadilan seperti dialami Rakyat Merdeka di Jakarta.

Tetapi, di Jakarta, mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Mereka, Karim Paputungan, dijatuhi hukuman penjara lima bulan dalam masa percobaan sepuluh bulan karena dinyatakan melanggar Pasal 310, Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ini gara-gara surat kabarnya memuat foto parodi yang dianggap "menyerang kehormatan atau nama baik" Akbar Tandjung, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan Ketua Umum Partai Golkar. Vonis itu dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 9 September lalu, untuk pemuatan foto kolase edisi 8 Januari 2002.

Timor Lorosae atau Timor Leste hingga kini menggunakan peraturan perundang-undangan Indonesia (bila masih berlaku di wilayah itu sampai 25 Oktober 1999), termasuk KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda sejak seabad silam. Tetapi, ada Perintah Eksekutif No 2000/2 tentang Pencabutan Status Pidana Tindak Pencemaran Nama Baik (Executive Order on the Decriminalization of Defamation). Perintah itu dikeluarkan 7 September 2000 oleh pemimpin Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur (UNTAET), Sergio Vieira de Mello, tokoh PBB yang tewas karena serangan bom bunuh diri di Baghdad 19 Agustus lalu.

Perintah Eksekutif UNTAET itu menyatakan, "Sejak dikeluarkannya perintah ini, perbuatan yang didefinisikan dalam Bab XVI (Penghinaan) KUHP Indonesia, yang terdiri atas Pasal 310 sampai 321, bersifat bukan-tindak-pidana di Timor Timur. Dalam keadaan apa pun pasal-pasal itu tidak dapat digunakan Jaksa Penuntut Umum sebagai landasan bagi tuntutan pidana. Orang yang merasa nama baiknya dicemarkan hanya dapat mengajukan gugatan perdata dan hanya sejauh tuntutan ganti rugi atau perbaikan-perbaikan lain yang kelak ditentukan dalam Peraturan UNTAET." (Pasal 310 KUHP digunakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka).

Presiden Timor Lorosae, Kay Rala Xanana Gusmao, bahkan menegaskan, "Bila kita masih menggunakan KUHP Indonesia, kita harus sama sekali menyingkirkan sifat, substansi yang mencerminkan rezim represif. Tetapi jika pengadilan kita masih terus menggunakan undang-undang dengan cara seperti yang dulu dilakukan Indonesia (di Timor Timur), Konstitusi kita tidak lagi akan menjadi pelindung bagi kebebasan-kebebasan dan hak-hak kita."

Ia juga mengatakan, "Kita semua berharap, Pasal 134 (penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden) dan Pasal 154 (menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di muka umum terhadap Pemerintah Indonesia), dalam KUHP Indonesia, hendaknya tidak digunakan di Timor Leste." Pendirian yang maju dan berani itu disampaikan dalam Konferensi Hukum Media yang dihadiri peserta dan pembicara dari beberapa negara, termasuk Indonesia, dan diadakan di Dili, 26 Agustus lalu.

Adapun Konstitusi Republik Demokrasi Timor Timur menyatakan pada Pasal 41 tentang Kebebasan Pers dan Media Massa bahwa "Kebebasan pers dan media massa yang lain dijamin" dan "Negara akan menjamin kebebasan serta independensi media massa publik dari kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi."

DI berbagai negara demokrasi tidak ada sanksi pidana penjara atau hukuman badan bagi pembuat karya jurnalistik dan pekerjaan wartawan. Perlakuan yang sama juga diberikan kepada warga yang menggunakan haknya untuk berekspresi dan menyatakan pendapat secara damai atau tanpa menggunakan kekerasan.

Bila terjadi pelanggaran hukum, sanksi lazimnya ialah membayar denda. Filosofi di balik tradisi ini ialah orang tidak mudah takut untuk berekspresi atau mengemukakan pendiriannya karena ekspresi dan pendapat sering bermanfaat bagi kemajuan manusia.

Ketua Mahkamah Agung Filipina, Hilario G Davide Jr, sepakat dengan pendapat, karya jurnalistik atau pekerjaan kewartawanan hendaknya tidak mengakibatkan sanksi pidana penjara. Kecuali, katanya, dalam kasus seorang wartawan menerima suap saat menjalankan pekerjaan kewartawanannya. Hanya dalam kasus seperti itu ia masih menyetujui hukuman badan bagi wartawan karena sogok-menyogok adalah kriminalitas atau kejahatan. Kami berbicara tentang hal ini saat makan malam di Siem Reap, Kamboja, di sela-sela suatu konferensi yang kami hadiri pada Oktober 2002.

Perkembangan lebih maju daripada di Indonesia dalam perlakuan hukum dan penegak hukum terhadap pers dan pekerjaan kewartawanan telah dicapai di sedikitnya dua negara Amerika Latin, yaitu di Kosta Rika dan El Salvador. Dalam serangkaian pertemuan di kedua negeri itu, para hakim dan wartawan sepakat mendekriminalisasi kasus pencemaran nama baik (libel offenses) yang dilakukan pers. Dengan demikian, kasus pencemaran nama baik oleh pers di Kosta Rika dan El Salvador tidak lagi diperlakukan sebagai perkara pidana, tetapi sebagai perkara perdata.

Pertemuan itu diadakan pada 11-12 November 2002 atas prakarsa The Inter-American Press Association (IAPA). Pertemuan seperti ini, dengan harapan dapat menghasilkan kesepakatan yang sama, selanjutnya juga diselenggarakan oleh IAPA di Cile dan Brasil tahun ini.

LALU, apa yang kira-kira terjadi di negara-negara yang sepenuhnya mendukung dan menjamin kebebasan berekspresi, kebebasan menyatakan pendapat, dan kebebasan pers-atau yang sudah lama memiliki tradisi kebebasan demikian-saat timbul konflik seperti antara Akbar Tandjung dan Rakyat Merdeka?

Yang lebih lazim terjadi dalam konflik seperti ini-antara narasumber atau subyek berita dan media pers-ialah bahwa ketua parlemen itu atau para pendukungnya, mengirim surat kepada redaksi atau melontarkan komentar lisan yang mengkritik karikatur itu. Kemudian media pers yang bersangkutan dengan senang hati memublikasikan surat atau komentar lisan itu secara mencolok. Ekspresi kritis ini mungkin perlu dilontarkan karena setiap redaksi media pers tidak pernah mengharapkan pendapatnya dapat selalu diterima semua pihak, termasuk narasumber dan subyek berita.

Boleh jadi, sang ketua parlemen membiarkan pemuatan karikatur itu bagaikan angin lalu yang tidak perlu dirisaukan. Malahan, mungkin ia bergurau kepada sekretarisnya agar membingkai karikatur itu dan memasangnya bersama sederetan karikatur yang lain sebagai hiasan dinding di ruangan kantornya di gedung parlemen. Itulah, umpamanya, yang biasa dilakukan para pemimpin pemerintahan di Amerika Serikat-termasuk para gubernur di negara-negara bagian. Seperti foto-foto, karikatur juga merupakan cermin yang menarik-dan boleh jadi lebih jujur-dalam perjalanan bersejarah dari kehidupan sang pemimpin.

Adapun yang dilakukan ketua parlemen itu-mengecam karikatur itu atau sekadar tersenyum dan meliriknya bagaikan angin lalu atau membingkai dan memakunya sebagai hiasan dinding-ia merasa bahwa itulah konsekuensi "getir" sebagai seorang pemimpin. Lebih-lebih sebagai pemimpin pemerintahan yang mendapat gaji dari pajak rakyat, yang sejak awal karier politiknya sudah harus siap untuk menghadapi kritik pedas atau olok-olok sekalipun dalam media pers atau dari para demonstran.

Ini adalah bagian dari dinamika kontrol masyarakat terhadap para pemimpin dan pejabat negara, dan terhadap tokoh-tokoh penting lainnya termasuk dari kalangan swasta, yang tindakan-tindakannya sedikit banyak mempengaruhi kehidupan rakyat.

Namun, mengapa kritik pedas atau sindiran di Indonesia masih menyebabkan banyak pemimpin kita mudah tersinggung?

Mochtar Lubis-wartawan, budayawan, dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya yang dibredel Orde Lama tahun 1958 dan Orde Baru tahun 1974-mengatakan dalam sebuah tulisannya, "Banyak orang Indonesia kurang berkembang rasa humornya. Terlalu banyak di antara kita terlalu panjang jari-jari kakinya. Mudah sekali merasa tersinggung dan terhina. Lalu marah meluap-luap. Tak tahan kritik, apalagi bila sudah jadi pembesar yang berkuasa. Bangsa yang tak punya humor, yang tak pandai menertawakan diri sendiri, sukar dapat maju, karena dia merasa dirinya saja yang paling benar dan paling jago."

Di tengah kepungan kemajuan jaminan perlindungan hukum bagi kebebasan berekspresi, kebebasan menyatakan pendapat, dan kebebasan pers, yang bahkan kian menjalar di negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin, Indonesia masih kelihatan ketinggalan zaman dalam penghargaannya terhadap kebebasan manusia.

*AtMakusumah Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS); Mantan Ketua Dewan Pers (2000-2003)

0 comments: