mata bocah itu basah
sesaat setelah gerimis
kota gelisah
dedaunan menangis
tapi kita lebih sering melenguh
setiap kali lewat
air mata tinggal air mata
masih kuingat serumu
"bersatulah wahai engkau yang dimiskinkan"
dan tetap saja
mata bocah itu basah
dan kita lebih sering melenguh
setiap kali lewat
kota menjadi batu
Thursday, December 29, 2005
Tuesday, December 27, 2005
elang
di senja ini
semestinya
aku adalah seekor elang
menukik riang
mengepak sayap menelan langit
di sela pucuk pinus dan bukit
disapu angin
sendirian
karena engkau tak lagi bersayap
waktu, memang
mengabadikan perubahan
kota ini dulu senggang
dan malam selalu dingin
gemebyar itu telah membawamu
jauh menyelami dasar lautan
menjadi sulit terlihat
kian sukar kukenali
dan dengarlah derit trem
menggilas rel bisu
ada saatnya kita berhenti
mengunci diri
meski semestinya
di senja ini aku adalah seekor elang
yang mencoba terbang
sendiri saja
karena engkau tak lagi bersayap
seperti menaburkan enggan
tak terjawab
entah sampai kapan...
masih kuingat
kemarin kita tergelak
memunguti hari
bercengkrama tentang bunga dan hujan
seperti ingin
tak ada hari esok
berharap waktu berhenti
memaku kita
pada bahagia
tapi kini kau tak lagi bersayap
dan aku kesunyian...
semestinya
aku adalah seekor elang
menukik riang
mengepak sayap menelan langit
di sela pucuk pinus dan bukit
disapu angin
sendirian
karena engkau tak lagi bersayap
waktu, memang
mengabadikan perubahan
kota ini dulu senggang
dan malam selalu dingin
gemebyar itu telah membawamu
jauh menyelami dasar lautan
menjadi sulit terlihat
kian sukar kukenali
dan dengarlah derit trem
menggilas rel bisu
ada saatnya kita berhenti
mengunci diri
meski semestinya
di senja ini aku adalah seekor elang
yang mencoba terbang
sendiri saja
karena engkau tak lagi bersayap
seperti menaburkan enggan
tak terjawab
entah sampai kapan...
masih kuingat
kemarin kita tergelak
memunguti hari
bercengkrama tentang bunga dan hujan
seperti ingin
tak ada hari esok
berharap waktu berhenti
memaku kita
pada bahagia
tapi kini kau tak lagi bersayap
dan aku kesunyian...
Friday, December 23, 2005
yang tergerus gelombang
aku adalah sebongkah batu
menetas melahirkan seribu kerikil
pecah menghampar
di jalan yang mungkin kau lalui
seperti karang
yang mengerang
di tengah ombak garang
dengarlah angin meradang
menolak menjadi pecundang
tidakkah kau resah?
sedang tapakmu tak berterompah
amat mungkin kau berdarah
menginjak anak bundaku yang marah
menetas melahirkan seribu kerikil
pecah menghampar
di jalan yang mungkin kau lalui
seperti karang
yang mengerang
di tengah ombak garang
dengarlah angin meradang
menolak menjadi pecundang
tidakkah kau resah?
sedang tapakmu tak berterompah
amat mungkin kau berdarah
menginjak anak bundaku yang marah
Tuhan, kenapa?
waktu menyiksaku tanpa jeda
malam menguliti membunuhku
menggiring pada gelap
menyudutkan pada pengap
Tuhan, kenapa aku?
yang harus menerima
yang mesti merasa
yang patut mencoba
getir di lidah
perih bersemu bahagia
tertawa berair mata
ketika
semua baru saja terasa indah
salahkah bila aku membenci-Mu?
malam menguliti membunuhku
menggiring pada gelap
menyudutkan pada pengap
Tuhan, kenapa aku?
yang harus menerima
yang mesti merasa
yang patut mencoba
getir di lidah
perih bersemu bahagia
tertawa berair mata
ketika
semua baru saja terasa indah
salahkah bila aku membenci-Mu?
Wednesday, December 21, 2005
seperti ketika, sewaktu ketika
dan biarkan saja
pudar semua
aku tak butuh apa
kecuali air mata
dan sisa gerimis pada senja
maka biarkan saja
hilang segala
aku tak ingin apa
kecuali air mata
dan angin pagi pada beranda
punggung bukit sunyi
tepi laut sepi
pucuk pinus dan ombak lirih bernyanyi
sedikit pun
aku tak menghendaki
wajahmu menari
seperti ketika
sewaktu ketika...
pudar semua
aku tak butuh apa
kecuali air mata
dan sisa gerimis pada senja
maka biarkan saja
hilang segala
aku tak ingin apa
kecuali air mata
dan angin pagi pada beranda
punggung bukit sunyi
tepi laut sepi
pucuk pinus dan ombak lirih bernyanyi
sedikit pun
aku tak menghendaki
wajahmu menari
seperti ketika
sewaktu ketika...
Tuesday, December 20, 2005
mungkin
mungkin
kita hanya sedang merangkai mimpi
melukis pagi
menggambar hujan dan matahari
gemerisik ranting
di sela kicau sepasang merpati
mungkin
kita hanya sedang merajut temali
tanpa pernah hendak meniti
mengusung angan sembari berlari
kita membiarkannya mati
tanpa pernah kembali
tiada pernah menikmati
mungkin
kita hanya sedang mencoba
meraba dan menerka
mencicipi hidup alakadarnya
lupa bahwa sebetulnya
kita tak seharusnya saling meluka
menorehkan belati baja
sambil tertawa
mungkin
kita diam-diam memang tak ingin
sedikit pun melukis angin
menari di malam dingin
merenda bahagia
melupakan janji-janji kita
yang meruap menghampa
mungkin
kita memang tak sadar saling menjauh
membiarkan jarak itu tumbuh
perlahan kita runtuh
luruh bersama dada bergemuruh...
kita hanya sedang merangkai mimpi
melukis pagi
menggambar hujan dan matahari
gemerisik ranting
di sela kicau sepasang merpati
mungkin
kita hanya sedang merajut temali
tanpa pernah hendak meniti
mengusung angan sembari berlari
kita membiarkannya mati
tanpa pernah kembali
tiada pernah menikmati
mungkin
kita hanya sedang mencoba
meraba dan menerka
mencicipi hidup alakadarnya
lupa bahwa sebetulnya
kita tak seharusnya saling meluka
menorehkan belati baja
sambil tertawa
mungkin
kita diam-diam memang tak ingin
sedikit pun melukis angin
menari di malam dingin
merenda bahagia
melupakan janji-janji kita
yang meruap menghampa
mungkin
kita memang tak sadar saling menjauh
membiarkan jarak itu tumbuh
perlahan kita runtuh
luruh bersama dada bergemuruh...
Sunday, December 18, 2005
aku tak berani lagi
dan aku
telah terkhianati
pada waktu
yang tersia-siakan
pada hati
yang tak bisa dipercaya
dan ternyata aku
hanya melangkah di tempat
lalu aku menjadi tak percaya
pada apa pun
pada siapa pun
untuk sekedar menarik senyum
aku tak berani lagi...
telah terkhianati
pada waktu
yang tersia-siakan
pada hati
yang tak bisa dipercaya
dan ternyata aku
hanya melangkah di tempat
lalu aku menjadi tak percaya
pada apa pun
pada siapa pun
untuk sekedar menarik senyum
aku tak berani lagi...
Wednesday, December 14, 2005
aku kehilangan
aku kehilangan kata-kata
pada gulita
ketika semestinya
aku bisa berbahagia
di pucuk menara
langit terhalang pucat warna
malam tak lagi biasa
bukan lantaran bulan tiada
atau bintang yang enggan merona
haruskah di tengah sunyi tertawa?
sedang perih tertekan luka
pada jentera
ketika seharusnya
aku bisa bergembira
aku kehilangan kata-kata
tanpa pernah bisa mengeja
huruf demi huruf alfabeta
yang mereka sebut sebagai cinta
aku hanya mampu meraba
cinta mungkin sebuah hampa
tanpa sedikit suara
tanpa seuntai pun nada
mungkin juga tiada sinarnya
tapi dengarlah
paulo coelho berkata;
"cinta adalah perangkap
ketika ia muncul
kita hanya melihat cahayanya
bukan sisi gelapnya"
pada gulita
ketika semestinya
aku bisa berbahagia
di pucuk menara
langit terhalang pucat warna
malam tak lagi biasa
bukan lantaran bulan tiada
atau bintang yang enggan merona
haruskah di tengah sunyi tertawa?
sedang perih tertekan luka
pada jentera
ketika seharusnya
aku bisa bergembira
aku kehilangan kata-kata
tanpa pernah bisa mengeja
huruf demi huruf alfabeta
yang mereka sebut sebagai cinta
aku hanya mampu meraba
cinta mungkin sebuah hampa
tanpa sedikit suara
tanpa seuntai pun nada
mungkin juga tiada sinarnya
tapi dengarlah
paulo coelho berkata;
"cinta adalah perangkap
ketika ia muncul
kita hanya melihat cahayanya
bukan sisi gelapnya"
Sunday, December 11, 2005
bambu rakit
aku adalah bambu rakit
pada alur sungai
di tepi bukit
berpayung matahari terbit
menahan sakit
ketika hari memaksaku bangkit
masih kuingat
bunyi ranting
aroma hutan bakau
yang kering
wajahmu mengiring
tersenyum tersungging
ketika waktu memaksaku bergeming
lalu
bagaimana bisa aku
menepikan
sedang detikku
waktuku
mulai
terganggu ronamu
ketika pagi
memaksaku untuk tak memintamu
pada alur sungai
di tepi bukit
berpayung matahari terbit
menahan sakit
ketika hari memaksaku bangkit
masih kuingat
bunyi ranting
aroma hutan bakau
yang kering
wajahmu mengiring
tersenyum tersungging
ketika waktu memaksaku bergeming
lalu
bagaimana bisa aku
menepikan
sedang detikku
waktuku
mulai
terganggu ronamu
ketika pagi
memaksaku untuk tak memintamu
Friday, December 09, 2005
cuma bunyi gerimis
pada senja aku pernah bertanya
Tuhan, kenapa hidup perlu air mata?
tapi
hanya hening
cuma bunyi gerimis
helai demi helai
ketika senja
di mana aku
semestinya tak harus menangis
Tuhan, kenapa hidup perlu air mata?
tapi
hanya hening
cuma bunyi gerimis
helai demi helai
ketika senja
di mana aku
semestinya tak harus menangis
Tuesday, December 06, 2005
suara anak
dan kami kehilangan bunyi
kota terlalu rakus menelan sunyi
tak seperti dongeng pagi
tentang kecipak patin di jernih sungai
juga kicau murai rimba di ranting jati
lalu kami kehilangan tempat berteduh
panas melepuh
kulit memedih
kaca-kaca meninggi saling tindih
lalu lintas memadat
amarah menjerat
lihatlah
three in one bohong besar!
pelukan ozon tinggal janji
maka kami pasrah
pada debu hitam mewabah
pada gatal air hujan
pada apa pun...
ibu, kenapa tak kau bilang kami menelan kuman?
kami harus selalu terpejam
barangkali
agar sejenak
mimpi menyelam
mencium terumbu dan tenggiri
atau terbang
menemani layang dan elang
menunggangi pelepah pisang
seperti koboi texas yang enggan pulang
atau menari di hamparan savana
merayapi bukit tak bernama
berkejaran menjemput senja
yang kerap basah di tepi januari
*untuk anambo tono yang gelisah
kota terlalu rakus menelan sunyi
tak seperti dongeng pagi
tentang kecipak patin di jernih sungai
juga kicau murai rimba di ranting jati
lalu kami kehilangan tempat berteduh
panas melepuh
kulit memedih
kaca-kaca meninggi saling tindih
lalu lintas memadat
amarah menjerat
lihatlah
three in one bohong besar!
pelukan ozon tinggal janji
maka kami pasrah
pada debu hitam mewabah
pada gatal air hujan
pada apa pun...
ibu, kenapa tak kau bilang kami menelan kuman?
kami harus selalu terpejam
barangkali
agar sejenak
mimpi menyelam
mencium terumbu dan tenggiri
atau terbang
menemani layang dan elang
menunggangi pelepah pisang
seperti koboi texas yang enggan pulang
atau menari di hamparan savana
merayapi bukit tak bernama
berkejaran menjemput senja
yang kerap basah di tepi januari
*untuk anambo tono yang gelisah
Monday, December 05, 2005
perlukah...
lewat tengah malam
kau pernah berharap
pada butir gerimis
Tuhan, izinkan aku bahagia
sebentar saja
karena pada pagi
aku tak ingin menangis
tapi seketika
bulan memucat
langit gelisah
angin lemas
lalu asamu timpas
perlukah bahagia bercampur derita diberi nama?
dan kau
mungkin sempat
memaki-Nya
lupa sesungguhnya Tuhan
bukan terlalu lelap
doamu lenyap
ada hal-hal
yang kita tak sampai
bahagia
juga derita
mungkin
memang tak akan pernah selesai
meminta
menyiksa
perlukah derita bercampur bahagia diberi nama?
*untuk sahabat, pino bahari
kau pernah berharap
pada butir gerimis
Tuhan, izinkan aku bahagia
sebentar saja
karena pada pagi
aku tak ingin menangis
tapi seketika
bulan memucat
langit gelisah
angin lemas
lalu asamu timpas
perlukah bahagia bercampur derita diberi nama?
dan kau
mungkin sempat
memaki-Nya
lupa sesungguhnya Tuhan
bukan terlalu lelap
doamu lenyap
ada hal-hal
yang kita tak sampai
bahagia
juga derita
mungkin
memang tak akan pernah selesai
meminta
menyiksa
perlukah derita bercampur bahagia diberi nama?
*untuk sahabat, pino bahari
tapi Tuhan...
"tapi Tuhan tak ada di meja makan," katamu
Ia mungkin sedang sembunyi
barangkali selalu
hanya nasi keras
garam
irisan kacang panjang
maka perut kami kenyang
lalu aku melenguh
detik melambat
hari terkunci
menyudutkan
"sejahat itukah Dia?" aku bertanya
kau cuma menoleh
tak henti mengunyah
bersama istri
juga tiga anak
yang terpencar
di lantai tanah
yang selalu basah
setiap hujan gelisah
benarkah Tuhan tak ada di sini?
Ia mungkin sedang sembunyi
barangkali selalu
hanya nasi keras
garam
irisan kacang panjang
maka perut kami kenyang
lalu aku melenguh
detik melambat
hari terkunci
menyudutkan
"sejahat itukah Dia?" aku bertanya
kau cuma menoleh
tak henti mengunyah
bersama istri
juga tiga anak
yang terpencar
di lantai tanah
yang selalu basah
setiap hujan gelisah
benarkah Tuhan tak ada di sini?
Saturday, December 03, 2005
ayah
dulu
aku tak pernah tahu
batu-batu karang
ternyata lunak
selembut kertas tissu
yang kau seka
ketika pipimu basah
aku masih ingat
sepeda motor tua
disirami hujan
pada rembang senja
deras tak menakutkan
sewaktu
wajahmu belum melisut
adakah
yang lebih indah, ayah?
selain potret-potret lama
yang membisu
dengan senyum kekal
saat kau memapahku lekat
sebelum helaan napasmu
memberat
pada setiap pagi
yang beku
seperti akhir-akhir ini
aku tak pernah tahu
batu-batu karang
ternyata lunak
selembut kertas tissu
yang kau seka
ketika pipimu basah
aku masih ingat
sepeda motor tua
disirami hujan
pada rembang senja
deras tak menakutkan
sewaktu
wajahmu belum melisut
adakah
yang lebih indah, ayah?
selain potret-potret lama
yang membisu
dengan senyum kekal
saat kau memapahku lekat
sebelum helaan napasmu
memberat
pada setiap pagi
yang beku
seperti akhir-akhir ini
perempuan itu
perempuan itu
tak meminta lahir
tapi hidup memaksa
memintanya
menjadi pelacur
di atas dipan
yang di tepinya
berbaris kutu busuk
ibumu menunduk
di kamar yang lantainya rompal
berdinding koran-koran bekas
ayahmu
membetulkan jejari sepeda tua
ia menahan
kegetiran
dengus napas ribuan lelaki
"tapi mau bagaimana lagi?" katamu
matamu berkaca-kaca
bibir gemetar
dan di luar
senja mengendap
sunyi
bersama bunyi gerimis
yang lindap
tak meminta lahir
tapi hidup memaksa
memintanya
menjadi pelacur
di atas dipan
yang di tepinya
berbaris kutu busuk
ibumu menunduk
di kamar yang lantainya rompal
berdinding koran-koran bekas
ayahmu
membetulkan jejari sepeda tua
ia menahan
kegetiran
dengus napas ribuan lelaki
"tapi mau bagaimana lagi?" katamu
matamu berkaca-kaca
bibir gemetar
dan di luar
senja mengendap
sunyi
bersama bunyi gerimis
yang lindap
malam memaksaku mencoba
malam memanggilku
mengukir namamu kembali
seperti gema
setengah menekan
seolah-olah
luka itu
seakan-akan
perih itu
tak membuatku gemetar
lupakah engkau?
telah membuatku gentar
sebegitu jauh kita
merintangi tawa
air mata
di atas tanah penuh kerakal
menahan waktu bersama
tanpa jeda
tiada kesah
tapi kenapa?
nalarku tak pernah sanggup
kenapa harus engkau?
yang sesaat menghentikan napas
menangisi malam-malam bahagia
mengusik riang
ketika merenangi hari
sedang telah kuiris separuh hatiku
sepanjang waktumu...
perih itu
juga luka
masih menetes
dari kelopakku...
tak ingatkah kau?
mengukir namamu kembali
seperti gema
setengah menekan
seolah-olah
luka itu
seakan-akan
perih itu
tak membuatku gemetar
lupakah engkau?
telah membuatku gentar
sebegitu jauh kita
merintangi tawa
air mata
di atas tanah penuh kerakal
menahan waktu bersama
tanpa jeda
tiada kesah
tapi kenapa?
nalarku tak pernah sanggup
kenapa harus engkau?
yang sesaat menghentikan napas
menangisi malam-malam bahagia
mengusik riang
ketika merenangi hari
sedang telah kuiris separuh hatiku
sepanjang waktumu...
perih itu
juga luka
masih menetes
dari kelopakku...
tak ingatkah kau?
Friday, December 02, 2005
seperti angin
lalu aku lupa mengunci pintu
dan kau kembali masuk
begitu saja
seperti angin
tanpa ketukan
tanpa sapaan
keluar pun tiada sepatah kata
membuatku takut berdiri di ambang hari
dan kau kembali masuk
begitu saja
seperti angin
tanpa ketukan
tanpa sapaan
keluar pun tiada sepatah kata
membuatku takut berdiri di ambang hari
Thursday, December 01, 2005
hati yang terpanggil
ada rindu yang kita singkirkan hari ini
barangkali karena kita tengah tak ingin
mungkin juga lantaran kita sudah tak ingat
apa sesungguhnya kerinduan
kapan sebetulnya cinta menciptakan
dada yang tergetar
bulir-bulir ingatan
juga keinginan untuk selalu bersama
boleh jadi memang tak perlu dinamakan
tak perlu diistilahkan...
dibiarkan saja
sampai waktu datang
memanggil hati kita
yang tak lagi sanggup sendiri..
barangkali karena kita tengah tak ingin
mungkin juga lantaran kita sudah tak ingat
apa sesungguhnya kerinduan
kapan sebetulnya cinta menciptakan
dada yang tergetar
bulir-bulir ingatan
juga keinginan untuk selalu bersama
boleh jadi memang tak perlu dinamakan
tak perlu diistilahkan...
dibiarkan saja
sampai waktu datang
memanggil hati kita
yang tak lagi sanggup sendiri..