Perempuan itu meletakkan gelas di atas meja kecil di sudut kamar. Teh manis panas yang direguk sedikit, sejenak mampu melumatkan penat yang mengendap. Setelah menyalakan lampu meja rias, bercermin sambil melepas kuncir yang membelit rambut lurusnya sepundak, mulailah ia membuka helai demi helai pakaian. Badannya terasa lengket, mungkin mandi akan membuat segar. Seharian ini dia larut syuting program menyambut bulan suci Ramadan untuk stasiun televisi tempatnya bekerja. Sebagai koordinator tim kreatif, dia harus menyelesaikan paket jauh hari sebelum bulan puasa datang. Sudah menjadi rutinitasnya terlibat sampai selesai sebuah proyek. Dan itu benar-benar melelahkan. Maka satu-satunya yang membuat lega adalah ketika sampai di rumah. Kini saatnya memanjakan tubuh, berendam sambil membaca asterix diselingi alunan pelan instrumen klasik.
Tapi baru dua langkah menuju kamar mandi, perempuan itu berhenti. Bunyi telepon genggamnya memaksa dia membalik badan ke meja rias, tempat teleponnya diletakkan.
"Manik Ayu?"
"Iya, siapa ini?"
"Hm, akhirnya. Kamu nggak kenal saya, tapi saya betul-betul senang bisa mendengar suaramu."
Perempuan yang memang bernama Manik Ayu itu terdiam. Dia berpikir, lelaki di seberang sana pasti orang iseng dan karena itu mematikan telepon mungkin tak ada salahnya. Tapi, seolah tahu apa yang dipikirkan Manik Ayu, lelaki itu menukas cepat.
"Jangan tutup teleponnya. Saya cuma ingin kenal."
"Ini siapa sih?"
"Gilank Balindra."
"Apa Balindra?"
"Gilank."
"Gila?"
"Gilank!"
"Oh, saya nggak kenal."
Klik. Telepon Mati. Manik Ayu bergegas ke kamar mandi. Tapi teleponnya bunyi lagi. Manik Ayu melihat sebentar. Nomor yang tadi menelponnya. Dia pun mengangkat tanpa bersuara.
"Kok dimatiin sih?"
Klik. Lagi-lagi telepon dimatikan Manik Ayu. dan dia kembali menuju kamar mandi. Tapi teleponnya bunyi lagi. Hm, bimbang sebentar, Manik mengangkat lagi. Masih nomor yang sama.
"Tolong jangan ditutup lagi. Kamu memang nggak kenal saya, tapi saya ingin sekali kenal kamu. Boleh kan?"
"Kamu siapa sih?"
"Sudahlah, nama saya tidak penting. Yang penting, boleh nggak saya kenal kamu?"
"Nggak."
Klik. Kali ini Manik Ayu tak cuma mematikan tombol jawab, tapi juga mematikan powernya. Kini dia bisa ke kamar mandi dengan tenang.
Setelah hampir tiga puluh menit mandi, telepon genggamnya pun kembali dinyalakan. Seketika sejumlah pesan singkat masuk. Dari nomor yang tadi menelepon. Isinya singkat. jangan sok kecakepan deh. saya cuma mau kenal. izinkan saya ngobrol sebentar.
Sialan. Manik Ayu menahan geram. Dia membalas cepat pesan itu, mengizinkan lelaki itu menelpon. Sambil mengenakan pakaian, Manik Ayu menunggu. Tanpa menanti lama, telepon genggamnya pun berdering.
"Terima kasih. Sekarang langsung saja. Boleh saya menikah dengan kamu?"
Sejujurnya Manik Ayu kaget, tapi dia mencoba tenang. Dia cuma diam.
"Hei, boleh? Jawab dong."
Manik Ayu menarik napas, "kamu tuh tahu nomor saya dari mana sih?"
"Gampang kok. Orang semenarik kamu pasti banyak yang punya nomor teleponnya."
Kembali Manik Ayu melenguh. Dorongan kuat untuk mematikan telepon kalah dengan rasa penasarannya.
"Manik Ayu Sartika Dewi. Namamu bagus sekali ya? Pas sekali dengan wajahmu yang cantik."
"Gombal banget. Kamu siapa sih? Nggak usah aneh-aneh deh." Sejujurnya Manik Ayu terperanjat. Jarang ada orang yang tahu kepanjangan namanya.
"Kan tadi sudah dijawab, saya Gilank Balindra."
"Maksud saya, kamu tuh teman kerja saya atau cuma orang iseng yang lagi nggak ada kerjaan?"
Lelaki di seberang sana tergelak. Tawanya yang renyah terdengar enak di telinga Manik Ayu. Tanpa sadar suara lelaki aneh itu telah membuatnya betah menahan telepon untuk tetap hidup.
"Nggak penting saya ini teman kerja atau bukan. Nggak penting juga saya ini orang iseng atau bukan. Jauh lebih penting adalah bagaimana caranya saya bisa nggak terus menerus terganggu matamu."
"Maksud kamu?"
"Matamu indah sekali Manik Ayu. Saya sebetulnya orang yang nggak pernah percaya jatuh hati saat pandangan pertama, tapi lewat matamu saya harus meralat keyakinan itu. Saya jadi percaya bahwa ternyata pandangan pertama bisa juga membuat hati saya terusik."
"Saya tak mengerti." Manik Ayu berbohong. Sesungguhnya dia paham, kata-kata yang keluar dari lelaki itu menunjukkan ketertarikan pada dirinya, sesuatu yang sebetulnya tak mengejutkan. Banyak sudah lelaki terpikat lewat bola matanya yang, kata orang, sungguh indah. Bagi Manik Ayu, matanya biasa-biasa saja. Dia tak merasa matanya menarik, malah dia benci dengan bulatannya yang terlihat besar. Alisnya yang legam halus seperti barisan semut, juga tak sampai dirawatnya secara khusus. Lelaki memang sering tak masuk akal saat menyukai perempuan.
"Gini deh. Singkat saja, saya suka kamu sedetik setelah saya melihat matamu. Seharian tadi saya benar-benar menikmati betul kesibukan kamu syuting. Saya menyukaimu dan tanpa ragu-ragu saya merasa jatuh hati setelah mengamatimu diam-diam,"
Manik Ayu ingin menyelak, tapi akhirnya dia memilih diam. Dia mencoba mengingat-ingat, sosok yang memperhatikan dirinya diam-diam saat syuting siang tadi. Ah, bukan soal mudah, karena cukup banyak kru yang terlibat. Lelaki ini benar-benar mengunci dirinya agar terus memasang telinga mendengar ocehannya. Keinginan kuat untuk menelpon benar-benar tak sanggup dia lakukan. Lelaki di seberang sana tak bisa dipungkiri mampu memancing rasa penasaran.
"Manik Ayu?"
"Ya?"
"Nggak ada salahnya kan saya kenal kamu?"
"A e gi duh, kamu siapa sih?"
"Nanti juga kamu akan tahu sendiri. Sudah dulu ya, nanti akan saya telepon kamu lagi. Terima kasih sudah mau angkat telepon saya. Selamat malam cantik..."
"Hei, tung..."
Terlambat. Lelaki di seberang sana sudah memutus telepon. Dan Manik Ayu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
"Orang gila..." Manik Ayu membalik badan sambil melangkah ke kamar mandi.
***
Hujan malam ini semestinya bisa jadi pengantar Manik Ayu untuk tidur. Udara dingin dan tenang. Tapi meski sudah bersembunyi di balik selimut, mata Manik Ayu tak kunjung terpejam. Dia seperti menunggu sesuatu. Menanti sebuah rutinitas yang selama hampir tiga pekan terakhir berlangsung. Selama itu pula Manik Ayu memang larut dalam sebuah perbincangan dengan lelaki misterius yang kerap menghubunginya tengah malam lewat telepon.
Selama itu pula dia tak pernah merasa terganggu. Padahal, dia sama sekali tak mengenal lelaki itu. Wujudnya seperti apa pun dia tak tahu. Tapi dalam ketidaktahuan itu justru dada Manik Ayu tergetar. Tak pernah seumur hidupnya kenal lelaki sinting yang tiba-tiba saja mengajaknya menikah. Bertemu pun belum. Berbincang empat mata apalagi. Anehnya, kesintingan itu pula yang membuatnya terpenjara pada rasa penasaran. Dan malam ini lelaki itu akan memberinya sebuah puisi dengan judul sepasang mata. Tapi mana?
Jarum jam di dinding menapak di angka satu. Biasanya, telpon genggamnya sudah berbunyi. Berkali-kali Manik Ayu melihat layar telepon genggamnya. Berharap dering yang selalu mengusiknya di ujung malam terdengar. Semenit, lima menit, tigapuluh menit, satu jam, ponselnya tak juga bunyi. Manik Ayu gelisah. Mencoba menelpon, gengsinya masih jauh lebih besar. Dia tak ingin lelaki yang entah dari mana itu tahu bahwa diam-diam dia mulai menyukai.
Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Manik Ayu langsung menyambar dan tanpa melihat lagi nama si penelpon, dia langsung menekan tombol jawab.
"Hei, kok lama sih?"
"Hallo dengan Manik Ayu?"
Manik Ayu tercekat. Suara di seberang sana bukan suara yang telah akrab selama tiga pekan terakhir, tapi suara perempuan. Siapa? Manik Ayu menahan diri untuk tak bersuara.
"Manik Ayu?"
Perempuan di seberang sana menyapa, tapi Manik Ayu bergeming. Tanpa pikir panjang, telepon pun dia matikan. Wajahnya cemberut, tarikan bibirnya menyisakan garis tipis di pipi. Sesungguhnya dia benar-benar kesal. Lelaki yang ditunggu-tunggu tak kunjung menelpon. Sekalinya bunyi, malah orang lain yang menelepon, perempuan pula.
Setengah jam sudah Manik Ayu diam. Matanya tak bisa lepas dari telepon genggamnya yang berkali-kali berdering. Dia tak mengangkat, karena nama yang terbaca bukanlah nama lelaki itu. Manik Ayu tak habis pikir. Malam ini teleponnya berdering sampai lebih dari sebelas kali. Nomornya pun tak dikenal. Sebetulnya bisa saja dia menjawab, tapi itu tak dilakukan. Harapannya cuma satu: telepon genggamnya bunyi dan tertulis nama lelaki itu.
Mungkin karena lelah pula hingga pada akhirnya Manik Ayu lelap dengan sendirinya. Tepi langit perlahan memerah. Pagi datang dan matahari tebrit mencium tanah. Kicau burung terdengar riang bersahutan. Sinar matahari masuk menerobos lewat kaca jendela yang tak sempat ditutup Manik Ayu semalam, menampar wajah perempuan berbulu mata lentik itu hingga membuatnya terbangun. Sebetulnya terlalu cepat dia terbangun, karena semalam dia tidur cukup larut.
Setelah mengucek-ucek mata sebentar, Manik Ayu bangun langsung mengambil telepon genggamnya. Ada 21 kali missed called dari nomor yang sama. Gila. Kantuk Manik Ayu benar-benar hilang. Selain panggilan tak terjawab ada pula sebuah pesan singkat, dari nomor itu. Dengan dingin, Manik Ayu membuka pesan itu. Tapi awal kalimat itu membuatnya hanya bisa diam seribu bahasa.
Innalilahi wainailaihi roji'un... Telah berpulang Gilank Balindra, semalam, karena kecelakaan. Saya temannya, maaf terpaksa lewat sms karena semalam telepon tak dijawab-jawab. Almarhum akan dimakamkan siang ini. Apakah bisa ketemu? Ada puisi tentang sepasang mata yang dititipkan Gilank buat kamu.
Udara kedap seketika. Kicau burung yang tadi terdengar riang seolah pergi entah ke mana. Di luar, mendadak gerimis datang. Rinainya membasahi kaca jendela, menyisakan bintik-bintik, seperti air mata yang jatuh di pipi Manik Ayu.
***
abis ngerjain tabir, buka blog.setan! hahahaha... sekarang giliran sms gue! hahahaha... sarap! makan dulu ah cuy! musti direvisi nih... kurang asik.
Thursday, September 15, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
12 comments:
hahahhahahahahaha.... beneran dr p rampen ke manik ayu.. keknya bersambung lagi nihh...
huehuehuehu.... dia lagi... ga ada capeknya deh nih orang.
ikutan aaaaahhh....
hehehe...tu gilank udah almarhum? koq ga kasihtau gw ya???
putri rampen mana ni? udahan? padahal kan gw lagi nungguin konflik neeehhh...hehehehe...biar seru :D
hehehe..."kumpulan dudul" berkumpul lagi disini.
hi dayu... apa kabarnya?
gue rasa si choy yg bikin karakter natasha anya aka sha nih..
abis sama.. karakternya dibuat meninggal...
eh BTW.. kalo gilank balindra udah meninggal trus yg nulis blog ini sapa?
hmmmmmm.. kayaknya dari semua komentator.. cuma gw yg dijudesin si gilank sepatu gilank ini dehh.....
protesss dah gw!!!
bless the day, if this man die someday!
kalo gue beneran mati, gue gentayangin ah yg komen terakhir... hueuhehue... eh ndrit, kayak dayu dong jadi orang... :) hahaha, gila! gak lah di! natasha anya beneran ada tuh... hahaha!
bodo ah! gw ya gw...!!!!!!!
ya udah jangan ngeluh kalo dijutekkin...
huahahaha...ga nyangka ni sepasang mata manik ayu bikin puanaaas :P
kabar gw baik ni gilank :D
koq indri d suruh kaya gw siw?? kasihtau mana yg perlu gw bikin sama..hehehe...biar jadi kembar siam kitu???
Post a Comment