padi menguning tinggal dipanen
bening air dari gunung
ada juga yang kekeringan
karena kemarau
semilir angin perubahan
langit mendung kemerahan
pulanglah kitari lembah
persawahan
purnama di desa adalah sebuah prosesi menikmati sinetron cahaya, cinta bunga, cinta fitri, entah cinta-cinta siapa lagi, reality show extravaganza, empat mata atau ber-sms ria dengan ponsel kelas menengah ke bawah.
saya tengah berada di gunung kidul, yogyakarta, ketika purnama mei tiba. desa yang pernah ditimpa kelaparan dan sejumlah penduduknya menyantap nasi aking ini, dulu sekali, seperti layaknya desa-desa di tanah jawa, adalah sebuah desa yang meriah setiap purnama datang.
dulu sekali pula, malam bulan purnama di desa yang jaraknya sekitar dua jam dari pusat yogya ini, adalah malam yang riuh dengan lari bocah dan senda gurau perempuan tua berkebaya atau lelaki renta menarik rokok klobot di beranda.
dan setiap itu pula, purnama membuat wajah desa ceria, berhias cahaya bulan dari balik dahan dan ranting pohon mangga atau jati tua.
ada bocah-bocah bermain karet, bermain kuda dari pelepah pisang, bermain gobak sodor, bermain benteng, macam-macam. sementara ibu atau ayah mereka duduk atau berdiri di sekitar sambil ikut bergembira.
bulan purnama menjadi sebuah momen rekreatif setelah seharian mencari kayu bakar di belantara rimba atau menuai padi di sawah.
semuanya persis seperti gambar-gambar di buku pelajaran yang pernah saya lihat sewaktu duduk di sekolah dasar.
tapi itu dulu.
sekarang? tidak cuma di gunung kidul. tiap kali saya singgah di dusun-dusun pelosok jawa. dan kebetulan beberapa kali pula jatuh purnama, yang terlihat hanyalah sebuah lorong jalan tanah khas pedesaan yang senyap, dengan rumah-rumah separuh bilik dan batu yang bisu. malam purnama seperti sebuah malam yang lelah. tak terdengar sedikit pun gelak tawa bocah berkeliaran, selain derik jangkrik dan suara kodok di pematang.
desa-desa berubah dan saya kehilangan sejarah, meski saya lahir di kota.
tentu buku-buku pelajaran sekolah dasar saya dulu tak menipu. waktu rupanya telah menggiring kemurnian desa, yang tengah belajar merangkak menjadi duplikat kota yang pongah.
saya berjalan keliling kampung. sendirian. saya berpapasan dengan satu dua orang, atau menyaksikan satu dua pula warga duduk di bambu-bambu yang dirangkai menjadi bangku panjang. mereka santun dan ramah, watak khas jawa. tapi selebihnya, yang tampak hanyalah lorong sepi. di langit, bulan purnama seperti gadis yang tak memikat untuk ditemani.
pada sebuah warung, saya berhenti. membeli rokok. lengkap juga. terbukti ada marlboro, bertumpuk-tumpuk bersama rokok-rokok jawa yang namanya lucu-lucu. ada gentong, klenteng, tokcer, dan lain-lain.
di situ pula, saya melihat televisi dengan adegan seorang ibu tapi berwajah remaja, sedang teriak-teriak memarahi anaknya. dan keluarga pemilik warung itu duduk serius di depan televisi. ada yang tiduran. ada yang menganga. melupakan purnama indah di luar sana.
saya kembali berjalan. melewati jalan desa yang senyap. di halaman sebuah rumah, di bawah lampu yang cahayanya redup, terlihat seorang gadis tengah bersms ria. tersenyum sendiri. mungkin sedang bahagia karena kekasihnya akan datang malam minggu nanti. pada sebuah rumah yang lain lagi, terdengar suara tukul arwana menghina diri sendiri dalam empat mata. pada sebuah rumah lagi terdengar seorang remaja mengemis cinta dalam sinetron cahaya.
pada lahan kosong yang mestinya menjadi tempat bermain bocah-bocah, saya melihat dua ekor anjing tengah menggonggong berkejaran. berebut tulang ayam. sisa santapan sebuah keluarga yang tampaknya enggan memasak, karena lebih praktis membeli langsung dari sebuah kedai yang mengklaim sebagai jagonya ayam.
saya terus melangkah, saya merasa asing.
Friday, May 30, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment