jika ombak itu adalah cinta
sungguh ia tak sempat berkata
gemuruhku duka...
seorang dara duduk pada jendela
memandang...
menghirup...
menyerap...
udara yg menebal pada cuaca
menunggu sebuah rindu datang lagi
senja membawanya di sini
lalu sunyi...
lagi sepi...
kemanakah angin itu mengalir
di manakah suara itu bertitir
hujan malah tertawa
melebar sayap menutup senja
padahal...
amatlah kutunggu datangnya ia
mengobarkan lagi rindu-rindu dari sana
untukku!
rindu kuning
rindu biru
rindu merah
kini semuanya menjadi hitam...
Wednesday, August 30, 2006
menjaring angin
mungkin
terlalu banyak kepedihan
yang kau dekap sampai hari ini
dan terlalu banyak pula
rasa perih yg kau rasakan
nuranimu pasti sedang menangis
rupanya
ada saat sang waktu
menghadapkan kau pada sebuah pemberhentian
ada saat sang waktu membuatmu
terjaga dari mimpi indah
dan ada saatnya sang waktu
membunuh kebersamaan
tapi mengapa...
harus ada kata mengalah
pada sebuah takdir yang tak masuk akal
kelak suatu hari nanti
akan kau gapai angan yang terbang tinggi
mengempas...
melambai...
akan kau buka pintu pembebasan yang terputus itu
kelak suatu ketika
akan kau tanya
untuk apa mencintai
bila akhirnya mesti lari
akankah kau temui
semua yang pernah terlukis dibenakmu
sebuah kebodohan dan elegi
bukankah tak semestinya cinta mengalah
wahai perempuan
terlalu banyak kepedihan
yang kau dekap sampai hari ini
dan terlalu banyak pula
rasa perih yg kau rasakan
nuranimu pasti sedang menangis
rupanya
ada saat sang waktu
menghadapkan kau pada sebuah pemberhentian
ada saat sang waktu membuatmu
terjaga dari mimpi indah
dan ada saatnya sang waktu
membunuh kebersamaan
tapi mengapa...
harus ada kata mengalah
pada sebuah takdir yang tak masuk akal
kelak suatu hari nanti
akan kau gapai angan yang terbang tinggi
mengempas...
melambai...
akan kau buka pintu pembebasan yang terputus itu
kelak suatu ketika
akan kau tanya
untuk apa mencintai
bila akhirnya mesti lari
akankah kau temui
semua yang pernah terlukis dibenakmu
sebuah kebodohan dan elegi
bukankah tak semestinya cinta mengalah
wahai perempuan
Saturday, August 26, 2006
tak bisakah?
berkali-kali
kuhapus wajahmu
yang pernah kulukis di tepi langit
saat senja turun
meninggalkan kita
di januari yang basah
berkali-kali
kutepis lambaimu
yang pernah memanggilku di
saat surya baru saja
menghampiri kita
di januari yang indah
berkali-kali
kutinggakan bayangmu
yang mengikuti
setiap kali kumelangkah
di setiap detik yang lelah
di setiap waktu yang tak pernah
menginginkan kau kembali
tak bisakah kau pergi
dan membiarkan aku sendiri?
kuhapus wajahmu
yang pernah kulukis di tepi langit
saat senja turun
meninggalkan kita
di januari yang basah
berkali-kali
kutepis lambaimu
yang pernah memanggilku di
saat surya baru saja
menghampiri kita
di januari yang indah
berkali-kali
kutinggakan bayangmu
yang mengikuti
setiap kali kumelangkah
di setiap detik yang lelah
di setiap waktu yang tak pernah
menginginkan kau kembali
tak bisakah kau pergi
dan membiarkan aku sendiri?
Friday, August 18, 2006
kita
kita pernah tidur di atas awan, lalu melayang di antara rinai hujan. sebentar kita terjatuh di liang, berderak melangkah untuk kemudian kita tersangkut-sangkut lagi rompal kerakal. air mata kita barangkali air mata keabadian, yang tak kering meski panas menyiram. kita berlari melawan arus lautan, di antara sunyi batu karang dan elang yang pulang... kita percaya, matahari belum lelap dan bulan juga tak tertidur sepanjang malam... ada yang kita jelang, sampai perjalanan ini lelah dalam kesunyiannya... dan pada detik yang tak lelahnya berputar, engkau tetaplah bintang pada pekat hati yang terdalam... tak seorang pun kuasa menggantikan. tak seorang pun. tak seorang pun....
Wednesday, August 16, 2006
kenapa?
senja jatuh ketika burung-burung pulang menerabas awan berarak. guguran daun-daun jati di tanah basah, meruapkan aroma kenangan. dan setiap waisak tiba, kenapa aku selalu teringat rautmu yang membisu di sudut malam?