Saturday, February 23, 2008

Iwan Fals, Humanisme dan Utusan Tuhan yang Diabaikan

Entah mengapa, setiap kali mendengar lagu-lagu yang dibawakan oleh Iwan Fals, banyak orang sadar sejenak tentang kondisi sosial yang ada di Tanah Air ini. Orang suka, gemar dan gandrung karena lagu-lagunya mudah dicerna dan mengandung pesan-pesan humanis yang dalam. Lagu-lagunya bagaikan kolaborasi antara ayat-ayat Tuhan dan teriakan obyekif kondisi sosial yang ada di Indonesia. Iwan Fals adalah utusan Tuhan untuk rakyat Indonesia.

Orang lain mungkin akan mengernyitkan dahi ketika Iwan Fals dianggap sebagai utusan Tuhan. “Apa dasarnya?!” pertanyaan pertama yang pasti akan terlontar dari lisan banyak orang. Tentu ada alasan untuk klaim itu. Alasan yang berangkat dari renungan subyektIwan Fals dan penghayatan akan lagu-lagu yang pernah dinyanyikan oleh Iwan Fals serta memperhatikan karakter pribadinya. Saya tidak hafal betul pada tahun-tahun berapa setiap lagu yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Bagi saya itu tidak penting, karena substansi pesan yang ada dalam lagu-lagunya itu yang perlu dihafal. Itu sebabnya, sebagian besar lagu-lagu yang pernah dinyanyikan oleh Iwan Fals, begitu melekat di kepala banyak orang. Melalui lagu-lagunya, kesadaran kondisi sosial politik di Tanah Air Indonesia terkonstruksikan di kepala orang Indonesia. Pernah saya katakan kepada seorang kawan bahwa Iwan Fals adalah guru sosiologi terbaik, paling tidak bagi saya.

Dari lagu-lagu yang pernah dinyanyikannya, orang akan mudah menilai bahwa Iwan Fals adalah sosok “pemberontak”. Dia adalah pemberontak terhadap kondisi sosial politik yang sebenarnya tidak terlalu rumit untuk diurai. Setiap nurani yang hidup akan mudah sekali menemukan bahwa “di sini” ada ketidakadilan, penindasan, bahkan kerusakan moral. Hanya saja, ketidakjujuran telah mem-perumit semua itu, hingga orang tidak mampu mengatakannya. Ketidakjujuran itu bahkan tidak jarang dibungkus dengan gaun in-telektualitas yang elit, namun tetap hanyut dalam irama anomali sosial yang ada. Gak usah sekolah tinggi-tinggi, kalau begitu! Untuk apa sekolah tinggi, kalau akhirnya, diam-diam, kita semua mengamini mekanisme sosial yang tidak fair?! Kita serempak terserang amnesia ketika berhadapan dengan nilai-nilai. Makanya, di negeri ini yang menonjol adalah para penjilat, durno, kancil, bandit, karet, bunglon… Jadi? Jangan sekolah tinggi-tinggi! Begitulah kira-kira salah satu pesan “orang murka” yang pernah disampaikan oleh Iwan Fals. Walau bisa jadi, ada orang murka karena tidak kebagian.

Kelebihan lirik lagu-lagu yang pernah dibawakan oleh Iwan Fals adalah tidak bergerak dari ruang hampa. Lirik-liriknya lahir dari hasil potretan kondisi sosial politik di Tanah Air Indonesia dengan kata-kata yang sederhana, telanjang dan jenaka. Hampir seluruh profesi sosial yang dijalani oleh orang Indonesia pernah dipotret secara sederhana tapi dalam oleh Iwan Fals: Iwan Fals menyampaikan potret sosial mereka dengan kata-kata yang mudah dicerna, bahkan oleh nalar awam sekalipun; Iwan Fals mampu melihat sisi manusiawi dari satu profesi yang oleh kebanyakan orang dianggap sampah. Sebagai contoh, profesi pelacur atau yang lebih dikenal sekarang ini dengan Penjaja Seks Komersial (PSK).

Sebagian besar kita hanya mampu melihat para PSK sebagai sampah masyarakat. Tidak jarang, para agamawan pun ikut melakukan stigmatisasi terhadap mereka. Tapi Iwan Fals, dia mampu mengungkapkan bahwa di antara mereka ada perempuan yang berjuang untuk anak-anak yang ayahnya tidak jelas rimbanya. Bahkan Iwan Fals memberikan harapan, bahwa Tuhan tetap akan mendengar doa mereka. Ini bisa dicermati dari lagunya yang berjudul Doa Seorang Wanita Pengobral Dosa. Pandangan humanis seperti ini tidak akan kita temukan dalam diri orang yang tidak memiliki kesadaran sosial dan spiritual yang dalam.

Dalam politik, orang mungkin akan mencemooh Iwan Fals jika sekarang dia menjadi salah satu politisi di Tanah Air. Pandangan-pandangan politik yang ada dalam lagu-lagunya tidak akan dijadikan mars oleh para demonstran jika dia ikut masuk dalam “dunia pesta pora para binatang”. Iwan Fals akan disejajarkan dengan mereka yang senang “bermain lompat karet”. Kenyataannya, seorang Iwan Fals betul-betul menunjukkan karakternya dalam menyikapi kondisi sosial politik berhadapan dengan pamor dirinya. Iwan Fals betul-betul “patah arang” terhadap politik. Bagi Iwan Fals, panggung politik adalah panggung para binatang yang merasa diri sebagai bintang (Asyik gak asyik).
Padahal, jika Iwan Fals mau, dengan wibawa dan popularitasnya, partai manapun akan siap menerimanya sebagai bagian dari elit partai. Bahkan mendirikan partai pun bisa ia lakukan, walau belum tentu jadi partai besar. Dan itu berarti hasrat untuk memperkaya diri akan menemukan jalurnya, sebagaimana banyak dilakukan oleh para belalang (Belalang Tua). Namun, kekuatan karakter yang ada dalam dirinya keras membimbing Iwan Fals agar tidak tergiur ikut berpesta. Di era reformasi (katanya), lagu-lagunya yang terbundel dalam album Manusia Setengah Dewa mempertegas sikap sosial politik dan karakter dirinya sebagai seorang utusan Tuhan.

Hal yang mengagumkan dalam diri Iwan Fals adalah kematangan diri yang sulit kita temukan dalam diri kebanyakan orang. Dia adalah utusan Tuhan yang menerima wahyu non-evaluatIwan Fals untuk disampaikan kepada masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat manusia. Walau lirik dalam lagu-lagunya begitu kental dengan pesan-pesan moral (di balik kritik sosial pasti ada pesan moral) yang realistik-eternal, namun kerendahan hati dan ketenangan tampak begitu inheren dalam dirinya akhir-akhir ini. Gaya bicara yang tidak lantang (baca: pongah), menunjukkan bahwa Iwan Fals sadar bahwa dirinya bukan manusia setengah dewa. Dia tidak memiliki pretensi bahwa untuk membenahi kondisi sosial politik di Indonesia cukup dengan bernyanyi. Ini yang membuatnya tidak pernah geer. Namun, pergu-latan batin yang dahsyat berkenaan dengan ketimpangan sosial yang terjadi di Bumi Pertiwi, tetap ia suarakan dengan lantang melalui lagu. Kelantangan itu seolah ia cukupkan terwakili oleh lagu. Sikap diri yang terdapat dalam seorang Iwan Fals, jika harus diberi tanda, maka tanda itu tidak lain adalah konsistensi dan integritas.

Mendengarkan lagu-lagu cinta Iwan Fals, kita akan menangkap bahwa cinta yang dihayati oleh Iwan Fals adalah cinta orang-orang marjinal di negeri ini. Itu bisa kita lihat dalam lagu-lagunya seperti Lonteku, Kembang Pete, Yakinlah (duet bersama Eli Sunarya) dan lain-lain. Itulah cinta yang jujur, dalam dan kere. Saking kere-nya, sang lelaki hanya mampu mempersembahkan kembang pete kepada perempuannya. Keberpihakan Iwan Fals pada rakyat kecil nan marjinal begitu jujur dan mendarahdaging, hingga dalam lagu-lagu cinta pun ia memilih potret cinta-cinta orang pinggiran. Biasanya, dalam lagu, orang akan berbicara tentang cinta yang mengandaikan sudah didukung oleh keserbacukupan materi; cinta yang membuat kebanyakan orang Indonesia menjadi lupa akan kondisi sosialnya; cinta yang cengeng, genit, glamor dan norak. Perhatikan kebanyakan lagu-lagu cinta yang dinyayikan di negeri ini, tidak pernah dewasa.

Seorang kawan pernah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Iwan Fals, karena Iwan Fals pernah mengeritik Tuhan dalam salah satu lagunya, Tolong Dengar Tuhan! Lagu yang ia nyanyikan setelah peristiwa meletusnya gunung Galunggung di Tasikmalaya. Jika disikapi dengan nalar terbuka, lagu itu justru merupakan ekspresi penghayatan tentang alam semesta dan Tuhan yang dialami oleh orang bebas dan berani. Dalam dunia filsafat, penghayatan seperti ini banyak diungkapkan oleh para filsuf. Penghayatan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya teologi atroposentris. Jadi, menghayati isi lagu-lagu Iwan Fals, kita akan menemukan kecenderungan humanisme yang kuat. Humanisme yang dari zaman ke zaman selalu disuarakan oleh para utusan Tuhan. Kini dan di sini, Iwan Fals adalah utusan Tuhan yang diabaikan!

*(Jakarta, 16 Mei 2005, Taufik Damas, Alumnus Akidah Filsafat Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, penggemar lagu-lagu Iwan Fals)

2 comments:

bambang aryan said...

JAWABAN SY UNTUK KOMENTAR ANDA DI BLOG SAYA:
disuruh nonton ke bioskop?sorry ya! Jika anda merasa lebih pintar dari saya, tentu anda lebih tahu hukum pergi ke bioskop yang disana terjadi ikhtilat dan juga kemaksiatan (banyak yang pacaran/mendekati zina), padahal orang yang GILA ....nk yang mau melacurkan diri pada lembah dosa!!!! tulisan saya hanya bersipat prediksi!!!!kayaknya anda sekolahnya cuma tamat SD! jadi komentarnya ASBUN BANGET!!!SEKOLAH DULU DEH BIAR PINTER DAN BISA MEMBEDAKAN MANA YANG BENAR DAN SALAH!

Anonymous said...

hahaha... dasar guru bodoh.... guru kok kayak gini... hahaha... untung gue bekan bekas muridnya...