Wednesday, June 11, 2003

Namaku Khianat

KHIANAT namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Hatiku gelap warnanya, karena lebih pekat dari hitam. Aku tak seperti engkau. Tapi, jelek-jelek begini, aku bisa merasuki jiwa kotor yang selalu kau bangga-banggakan. Eh, aku bukan setan, lho. Kebetulan saja rupaku seperti iblis. Aku ingat, dalam buku tebal yang kuintip di rumah seorang pakar bahasa, namaku bermakna perbuatan tak setia; tipu daya, dan bertentangan dengan janji. Membacanya jidatku berkerut, dulu itu.

Dari hari ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan, tahun ke tahun, abad ke abad, kupikir-pikir buku milik ahli bahasa itu benar juga. Hidupku memang penuh siasat untuk menipu, sarat taktik menghasut. Sampai-sampai, muncul anggapan bahwa aku keji, kejam, dan tak berperasaan. Aku pengacau. Biar sajalah. Toh, kenyataannya begitu. Sehari-hari kerjaku memang merayu orang agar tak menghargai kesetiaan, ingkar dari janji sehidup semati. Aku adalah musuh loyalitas. Deduri bagi ketulusan agung.

Perjalanan hidupku yang panjang, membuat kupaham betul jiwa-jiwa yang sudah kusinggahi. Di antara mereka ada yang kaya, tak sedikit pula yang melarat. Ada yang terkenal, termasuk juga dari kalangan biasa. Malah, beberapa di antara mereka kerap muncul di layar televisi, berbicara tentang moral seperti orang suci. Ada juga yang pendiam dan lebih senang sibuk di belakang layar. Tak semuanya berhasil kuseret pada liang mudarat, memang. Tapi, cukup banyak pula yang sukses kuajak menari-nari di kubangan nista.

Setiap kali sukses mengajak orang-orang itu agar melupakan kesetiaan, aku selalu berpesta bersama teman-teman. Kami mabuk-mabukan, berjudi, teriak-teriak, bersenggama sambil tak lupa bertukar pasangan, mengguncingkan tren yang sedang digandrungi selebritas dunia, ngobrol ngalor-ngidul soal bumi yang semerawut--sekadar menunjukkan bahwa kami peduli--lalu tertawa-tawa laksana musuh yang mampu mengalahkan pendekar hebat. Aku menggelar pesta keberhasilan itu di mana saja. Di kamar-kamar mahal apartemen mewah, di basement gedung tua yang kusam, malah bisa juga di lorong-lorong comberan yang jorok. Teman-teman yang selalu menemaniku berpesta adalah Si Dengki yang kucel, Si Iri yang buleng, Si Sirik yang kumal, Si Buruk Sangka yang brengsek banget, dan banyak lagi lainnya, yang sumpah mampus, tak satu pun enak dilihat.

Khianat namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Hatiku gelap warnanya, karena lebih pekat dari hitam. Aku tak seperti engkau. Tapi, jelek-jelek begini, aku bisa merasuki jiwa kotor yang selalu kau bangga-banggakan. Selama hidup aku tak pernah tidur. Moyangku melarang aku mengantuk, apalagi sampai memejamkan mata. Aku harus selalu waspada. Jangan sampai aku lengah mengganggu orang-orang. Aku harus siap siaga dalam tempo 24 jam sehari, mirip slogan iklan televisi tentang suami yang baik. Wilayah kerjaku melintasi batas negara, juga seabrek-abrek. Banyak, deh. Aku meloncat dari tubuh ke tubuh, masuk dan pergi begitu kerjaan selesai.

Sukses-tidaknya pekerjaanku dapat dilihat apakah orang tersebut melepas kesetiaan atau tetap menggenggamnya. Kalau yang kugoda berkeras teguh untuk setia, aku gagal. Andai yang kugoda goyah lalu berpaling dari kesetiaan, aku berhasil. Kan kuberi engkau gambaran sederhana kisah suksesku. Aku menembus berbagai permasalahan, dari urusan cinta, politik, ekonomi, budaya, sampai tetek bengek perang.

Dalam soal cinta, misalnya, aku bisa dengan mudah memberantaki jalinan kasih dua insan yang tengah memadu asmara. Caranya, mengajak seorang di antara pasangan itu untuk nakal dan akhirnya hengkang dari pasangannya. Aku juga sering membuat antarkelompok bertikai, melahirkan perang mulut, cecok, saling tonjok, bahkan mengajak mereka untuk saling membunuh.

Aku merayu siapa pun. Tak pandang bulu. Jika yang kugoda dokter, akan kubuat dia rela ingkar pada sumpah untuk membohongi pasien. Andai yang kurayu politisi, dia kuajak menipu orang banyak dengan janjinya, melompat sana-sini seperti kodok, sehingga tanpa sadar dia sedang melacur. Kalau yang kuganggu seorang polisi, kan kubikin tanpa beban dia menerima recehan saat menilang pelanggar lalu lintas. Bila yang kuganggu adalah presiden, kan kuajak dia melupakan cita-cita menyejahterakan rakyat, cukup keluarga dan kerabatnya saja yang diberi kemakmuran. Singkat kata, kehadiranku membuat kesetiaan menjadi sesuatu yang amat istmewa. Sesuatu yang diidam-idamkan. Aku adalah perusak, dan engkau harus tahu, kini aku merasa lelah karenanya. Maka, di malam ini izinkan aku mengungkapkan penyesalan. Sebab terus-terusan begini aku tak tenang. Aku sungguh tersiksa habis-habisan menyandang nama Khianat.

"Terkutuklah aku..." Kumaki diriku geram.

Dari serangkaian pekerjaan yang sudah kujalani, terbaru adalah tugas di daerah konflik perang saudara. Itu terjadi di sebuah negeri yang sedang tertatih bangkit dari keterpurukan. Di arena bergejolak itu, aku bekerja mati-matian. Tujuannya cuma satu: merangkul orang-orang agar melecehkan kesetiaan, hingga dengan demikian aku puas dan bisa pesta-pesta bersama para teman. Tapi, selama aku menjalani rutinitasku menipu daya, baru kali ini air mataku menetes. Kusaksikan begitu kental duka yang timbul karena pekerjaanku.

Aku teringat ketika seorang pemuda anggota kelompok yang menuntut kemerdekaan tanah kelahirannya, didor jantungnya lantaran kepergok berakrab-akrab dengan pasukan penumpas. Lelaki itu bernama Zulkifli. Dia lahir 23 tahun silam di kawasan yang tak pernah sepi dari darah, air mata, dan letusan senjata. Sepuluh tahun hidup dari hutan ke hutan, bergerilya agar tak terbunuh dalam perang, Zulkifli mati karena aku. Dia diadili dengan cara yang amat primitif: duduk dikelilingi puluhan pemuda dengan AK 47 di tangan, mukanya ditunjuk-tunjuk, diludahi, dimaki-maki, dan pada akhirnya dadanya bolong ditembus dua letusan pelor sang panglima. Zulkifli terkapar. Mayatnya dibiarkan membusuk di tengah hutan, di makan ratusan belatung. Sebelum Zulkifli lumat, aku sempat membaca torehan kata pengkhianat dari darah di jidatnya.

"Mampus kau!" Seorang anggota penuntut kemerdekaan itu menendang kepala Zulkifli. Setelah meludah, dia pergi menyusul teman-temannya ke hutan, bergerilya lagi, entah sampai kapan.

Aku menyaksikan semuanya sambil mencaci-maki diri sendiri. Kubayangkan menjadi jasad Zulkifli, yang harus dibuang atau ditumbuk menjadi serpihan debu karena dianggap mengotori perjuangan. Betapa memilukan, begitu mengerikan. Jahat sekali panglima perang itu, juga si ceking yang mengumpat sambil menendang kepala. Baru kali ini aku merasa kasihan pada korban yang sudah berhasil kurayu. Lama aku terpana. Andai saja aku tak ada, barangkali Zulkifli masih bernyawa. Andai saja aku tak menggodanya, orangtua Zulkifli di kota tentu tak akan menangis buah hatinya menghadap Ilahi dengan cara mengenaskan.

"Terkutuklah aku..." Kumaki diriku geram.

Khianat namaku. Lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta. Aku tak seperti engkau. Tapi, aku bisa merasuki ruh kotor di badan yang selalu kau bangga-banggakan. Aku sedang menyesali diri kini. Aku ingin memberontak, tapi terbentur karena garis takdir aku harus menyandang nama Khianat. Monyet! Bangsat! Kenapa orangtuaku bisa-bisanya memberi nama aku demikian?

Dan penyesalanku datang lagi. Ingatanku belum bergeser dari tanah yang sedang diperebutkan itu. Seorang serdadu penumpas sukses kubujuk membelot menjadi pendukung kelompok kemerdekaan. Namanya Badrun. Sejak kecil, cita-citanya ingin bisa terbang malam seperti kalelawar. Tapi nasib menggiringnya menjadi tentara, meski gaji yang dia dapat tak sebanding dengan nyawa yang harus dikorbankan. Hobinya bernyanyi lagu-lagu kebangsaan, yang dia hafal dari buku Lagu Wajib perjuangan saat duduk di sekolah dasar.

Badrun selalu yakin akan menjadi tentara yang baik, yang membuat ayah ibunya bangga, dan bangsa menaruh hormat padanya. Tapi Badrun lupa bahwa dalam hidupnya, seperti juga pada manusia-manusia lain, aku selalu menghantui. Dia pun lengah dan gagal bertahan, lantas menjadi korban godaanku. Di puncak sukses karir militernya, aku berhasil meracuni rohnya untuk membuang kesetiaan pada negara yang dia cintai. Buntutnya fantastis: Badrun menjadi lawan perang pasukan penumpas yang sebelumnya adalah kawan seperjuangan.

Sebetulnya, pasukan penumpas tak terlalu risau dengan pembelotan Badrun. Sebab dia cuma prajurit kecil, kelas teri yang kalau mati masih ada sejuta lagi sekelas dirinya. Pada pertempuran sengit di jantung belantara rimba, Badrun yang diberi kepercayaan sebagai panglima, tak berkutik saat pasukan penumpas menyergap. Sepuluh anak buahnya tewas dalam baku tembak itu. Badrun selamat, meski dia terkepung todongan senapan laras panjang tiga belas serdadu penumpas. Tapi dengan gagah, Badrun tak mengangkat tangan saat diperintahkan menyerah. Dia malah menantang.

"Jangan bertindak bodoh, Drun!" Fikar, kawan sekampung Badrun yang menjadi teman sejalan saat masuk dunia militer, mencoba membujuk sobat kecilnya agar meletakkan senjata. Telunjuknya siap menarik pelatuk, begitu juga dengan dua belas pasukan penumpas lain yang mengelilingi Badrun.

"Kalian yang semestinya tidak bertindak gegabah. Tanah ini memang pantas merdeka. Ini negeri kaya yang dirampas kekayaan buminya oleh orang-orang pintar keblinger dari kota. Apakah kalian tega membunuhi pemuda-pemuda desa yang ingin merasakan tanahnya bebas dari cengkraman edan itu?" Badrun mendengus, matanya melirik satu persatu pasukan penumpas yang dingin.

"Kamu salah Drun. Orang kota tak sejahat itu. Orang kota ingin tanah ini dikelola untuk kemakmuran seluruh negeri, bukan demi segelintir orang, apalagi pejabat. Penduduk di sini pun kebagian. Ada jatahnya. Pejabat negeri baik-baik, kok. Mereka mencintai rakyat, mengabdikan hidupnya demi kesejahteraan rakyat." Fikar tenang tapi siaga penuh.

"Taik! Pejabat negeri baik-baik? Butakah mata kalian? Coba cuci otak kalian yang sudah dicemari panji-panji bela negara itu. Berpikirlah jernih! Apa yang sudah pejabat negeri lakukan pada diri kalian?! Gaji kalian cuma bisa untuk bayar kontrakan, jatah beras kalian banyak belatung dan itu juga disunat, uang kesehatan kalian cuma bisa untuk beli obat masuk angin, nyawa kalian cuma tumbal untuk slogan persatuan dan kesatuan tak jelas. Jangan bego! Dengan turut berjuang di tanah yang ingin merdeka ini, kalian berada di jalur yang benar. Ingat, kalian bukan anjing beludak yang cuma bisa diperintah atas nama negeri sialan!" Badrun meledak. Dan aku bergidik mendengarnya. Aku cemas.

"Badrun! Omonganmu kacau! Tidakkah kamu ingat cita-cita kecilmu yang ingin mengabdi pada negeri? Kenapa kamu sekarang aneh begini? Didoktrin apa kamu oleh para penutut kemerdekaan brengsek itu? Mereka pemberontak! Mereka ingin memisahkan diri dari negera kesatuan! Sesuatu yang sangat kamu tentang, karena kamu cinta pada kekokohan bangsa! Letakkan senjata itu Drun. Kami tak main-main. Sekali kamu mencoba menembak, secepat kilat kami akan lebih cepat mengokang senjata!" Fikar membetulkan posisi berdiri, menatap Badrun yang terengah-engah.

"Tidak. Kalianlah yang seharusnya menyerah! Saya tak mempan oleh gertak sambal kalian! Kalian pikir saya takut? Dengar baik-baik! Saya tak takut mati demi perjuangan yang saya yakini saat ini."

Aku luar biasa tegang menyaksian semuanya. Bergetar jantungku membayangkan yang akan terjadi pada beberapa detik nanti. Ah, ini semua salahku. Andai tak kuracuni Badrun supaya meninggalkan kesetiaannya pada negeri, dia tentu tak akan berhadap-hadapan dengan kawan-kawannya itu. Dia pasti masih setia pada pertiwi. Ah.

"Terkutuklah aku..." Kumaki diriku geram. Kupejamkan mata, risau.

Tar, tar, tar!

Letusan senjata itu mengejutkanku. Aku melongo. Badrun telah menarik picunya. Menembak Fikar yang jaraknya sekitar lima langkah. Fikar roboh, dan dua belas pasukan penumpas lain segera memberondong Badrun habis-habisan. Dadanya kena, bahunya kena, lehernya kena, batok kepalanya kena, matanya kena, kakinya kena. Badrun tumbang bermandi darah.

Fikar mati. Badrun mati. Persahabatan kedua pemuda itu berakhir memilukan. Aku menyaksian semuanya dengan gamang. Dua belas prajurit penumpas bergerak cepat, mencoba menyelamatkan Fikar. Setelah menyadari temannya tewas, mereka membawa Fikar pergi. Badrun ditinggal sendiri. Mungkin dibiarkan membusuk.

"Kenapa Badrun tak kita bawa juga? Dia teman kita." ujar seorang pasukan penumpas kepada temannya yang sedang sibuk mengangkat mayat Fikar.

"Kita tak punya teman pengkhianat. Badrun pengkhianat negeri. Dia pantas mati dan biarkan saja busuk di sini." jawab serdadu penumpas lain. Tentara yang tadi ingin membawa Badrun diam. Posisinya yang memaksa begitu. Dia kalah pangkat.

Saya juga diam. Lidah saya kelu. Hati saya hancur. Aku, yang lahir dari rahim ibu yang tak suci, tumbuh bersama bapak yang tak kenal cinta, menangis. Aku berteriak histeris membuang ingatanku sambil berlari.

"Kan kubunuh Ibuku! Kan kubantai Bapakku!"

Tebet, 11 Juni 2003

0 comments: