Friday, April 25, 2003
mata yang berkaca
melewati jendela
tangisan jangkrik pada malam yang ditebas hujan
mengerang seperti perih yang pernah singgah
begitu dalam
luka yang mengawang
bergelayut pada daun-daun bambu
menghelaku pada genderang rindu
suaramu meredam di dinding-dinding tebing
mungkin bagimu aku hanyalah sebuah sampan
yang terombang-ambing dalam lautan rindu
mencari cintaku sendiri
aku ingin selalu berlayar dan tak ingin menepi
mungkin mampir sesekali melihat daratan sunyi
yang melambaikan tangan menyapa sepi
bermain dan menari dalam mimpi
kelam di bawah bulan yang menyusup di balik mendung kelabu
ketika saat hendak berhenti
atau saat lelah dan ingin berlabuh
dalam penantian
dalam angan-angan
aku menjemput bulan pada sebuah kesunyian
Thursday, April 24, 2003
Saturday, April 19, 2003
Thursday, April 17, 2003
saya tidak tahu harus berbuat apa. barangkali saya jenuh, karena saya sedang bergerak pada sebuah lingkaran yang tak berpintu. kadang saya memiliki perasaan ingin keluar, melompat seperti anak-anak katak menyeberangi kali kecil. dinding macam apakah ini? rasanya terlalu keras untuk ditembus. haruskah saya menjelma menjadi casper agar bisa melewatinya? ah, saya mengada-ada.
segelas air putih ogah-ogahan saya tenggak. saya paling malas mereguk air tak berwarna. rasanya hambar. barangkali, kali ini saya benar-benar merasa kosong, seperti air putih di gelas putih itu. saya sedang tak merasakan apa pun. dingin sekali. sunyi... saya tidak tahu sampai kapan... yang saya tahu, besok mungkin masih ada matahari dan di sekitar saya orang-orang sibuk. larut pada diri dan kepentingannya masing-masing. kenapa pula saya merasa tersudut? panah saja bulan itu dan katakan pada langit: saya tak pernah takut pada malam dan siang....
Monday, April 14, 2003
tapi di manakah dia? saya tak pernah jauh berharap dia ada, lalu muncul membawa bulan ke pangkuan. tapi saya sering merindukannya, seperti malam yang merindukan bulan, seperti pagi yang berharap terbit matahari dari timur. sekali waktu, pernah juga saya ingin membunuh kecamuk ini. tapi untuk apa? saya pikir, hidup barangkali memang kumpulan mimpi-mimpi. dan perlahan-lahan saya merajutnya menjadi sebuah cerita nyata.
tapi tetap saja, di mana dia? perempuan itu menari-nari seakan memanggil dan berkata, "saya ada di sini, tunggu saja." saya terkesiap pada angan-angan. saya tertidur lelap pada bayang-bayang. saya tak mampu bergerak, terpasung pada kerinduan keindahan... lebih baik saya diam saja...
Saturday, April 12, 2003
Friday, April 11, 2003
DI senja ini saya tiba-tiba teringat pada seorang lelaki usia 30-an yang menggandeng bocah wanita di siang hari yang membuat kerongkongan begitu kering. Lelaki dan bocah itu berjalan melintas di depan saya. Cukup cepat untuk dikatakan mereka sedang santai. Ada sebuah tape karaoke ditenteng memakai tas kumal hitam. Besarnya setas koper ukuran mini. Tak seperti lelaki setengah baya itu, si bocah rapi dandanannya. Memakai sepatu, jaket jins, dan kepala dikuncir pita merah. Mirip anak-anak kecil di lorong-lorong kota saat Lebaran.
Di sebuah rumah yang kebetulan membuka usaha warung kelontong, mereka berhenti. Alunan lagu keluar dari kotak karaoke. Nadanya khas para penjaja lagu jalanan: dangdut. Sang bocah dengan suaranya yang cukuplah untuk teriak-teriak, bernyanyi lagu yang kerap dinyanyikan Thomas Djorgi. Saya lupa judulnya, tapi sering mendengar.
Matahari di atas kepala masih jauh pindah ke barat. Saya termangu tak sekejap pun berkedip. Saya melihat dengan jelas mata bocah dan lelaki yang menurut dugaan saya, ayahnya itu. Pandangannya tenang. Seolah beban hari itu adalah rutinitas yang memang harus digerus. Panas terik seperti sebuah nikmat yang di tubuh tak akan terasa panas. Dan bayangan saya melompat pada kenyamanan anak-anak kecil lain yang sedang asyik lari-larian di mal, nonton televisi, bermain barby, atau menekan tombol play stasion di ruang keluarga.
Saya tak melihat apakah lelaki dan perempuan cilik itu diberi uang oleh si pemilik warung. Saya tak kuat melihat mereka terus bernyanyi, seraya terus bergandengan tangan. Saya menghindar, menjauh, mencaci maki diri sendiri sambil terus meracau: kenapa Kau perlihatkan hal-hal seperti ini pada saat saya tak ingin peduli pada air mata anak manusia, Tuhan? Barangkali saya memang tak diizinkan berjarak... Saya gagal menjadi seperti mereka...
Monday, April 07, 2003
Sunday, April 06, 2003
Friday, April 04, 2003
pada pagi yang biadab ingin kubanting sekeranjang sumpek yang merasuk. berlarian di antara deretan orang-orang yang memasang lehernya tegak lurus, ingin rasanya menjambak rambut mereka, seraya membisikan bahwa hati mereka laksana kotoran kambing. saya tak pernah bisa membayangkan mampu bernapas di tengah aroma busuk yang merampas semua akal sehat. pada senja yang dingin dan sunyi malam, dalam nalar yang terengah-engah kelelelahan, saya memanah rembulan dengan mata hati yang terkulai...
Thursday, April 03, 2003
DIA baru berusia 23 tahun, usia yang sebetulnya sangat pas untuk menikmati hidup. Tapi dia berani bersikap lain: mati membawa keberanian melawan kebiadaban, ketika Ahad menapak di angka 16 Maret.
Rachel Corrie nama gadis itu. Lahir di timur laut Amerika Serikat, datang ke tanah yang sulit sekali untuk bermimpi: Palestina. Bersama teman-temannya, mahasiswa Evergreen State College di Olympia, Washington, ini datang mengusung bendera Solidaritas Internasional. Dia ingin membebaskan orang-orang Palestina yang lemah dari ketamakan Israel, yang setapak demi tapak merampas tanah warga Jalur Gaza.
Dan menghadanglah Corrie di muka rumah penghuni yang hendak dilumat buldoser, di Kota Rafah. Dia mencoba membujuk pengemudi bulodser berkebangsaan Israel itu. Menggunakan loud speaker, Corrie berteriak agar buldoser berhenti. Tapi, hati pengemudi itu sudah tuli. Dia terus merangsek, tak peduli pada jiwa Corrie yang tengah tegak berdiri. Dan tergilaslah Corrie. Dia mati, membawa keberanian yang sulit, menyisakan amarah tertahan.
Pada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang tak masuk akal, saya mendoakan Corrie menari di surga...
PADA sebuah kesempatan berbincang-bincang dengan Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV Karni Ilyas, saya bertanya soal kecenderungan redaksi Liputan 6 menampilkan tindakan keras polisi terhadap tersangka pelaku kejahatan dalam program berita kriminal Buru Sergap. Saya yakin, banyak orang gerah melihat polisi sedemikian kasar, seperti sering terlihat pada program berita sejenis Buser. Ketika itu, di pengujung Januari 2003, Karni menjawab tenang, "Jangan televisinya yang disalahkan. Salahkan polisinya. Itu kan fakta. Fakta itu suci dalam kaidah jurnalistik." Secara tak langsung, Karni ingin mengatakan bahwa memang begitulah hasil reportase kru Liputan 6, sehingga sah-sah saja televisi menampilkan polisi tengah menampar, meninju, atau menjambak tersangka pelaku kejahatan.
Fakta yang dimaksud Karni, boleh jadi, memang demikian adanya. Tapi, saya mencoba mengejar jawaban Karni dengan bertanya, bukankah SCTV memfasilitasi kekerasan polisi itu, untuk disiarkan dan ditonton jutaan orang? Mungkin saya bukan siapa-siapa, tapi saya keberatan dengan sikap stasiun televisi yang seolah-olah menolak bertanggung jawab pada pemberitaan yang menonjolkan unsur kekerasan. Jenis berita macam apakah polisi yang tengah menabok penjudi, memukul perut maling atau pengedar narkoba? Meski sang kameraman merekam adegan polisi seperti itu, artinya memang demikian faktanya, terlalu berlebihan sebuah berita kriminal mengenai maling ayam, misalnya, tapi gambar yang ditonjolkan adalah saat si tersangka dikerasi supaya mengaku.
Mendengar pertanyaan susulan saya, Karni tetap pada pendiriannya seraya menambahkan bahwa polisilah yang seharusnya berbenah, jangan bertindak berlebihan kepada orang yang belum tentu bersalah. Pernyataan Karni bermakna bahwa dalam konteks pemberitaan kriminal, menyiarkan tindakan kasar polisi pada tersangka, stasiun televisi ada pada posisi yang sesuai jalur: mendapatkan fakta apa adanya, dan atas dasar itulah hasil reportase menjadi layak tayang. Bagaimana pula ini bisa diterima akal sehat? Kenapa harus polisi saja yang berubah, stasiun televisi tidak?
Sejak program berita kriminal Patroli mengudara dari stasiun televisi Indosiar, secara perlahan, tayangan-tayangan sejenis memang bermunculan. Ada kesan latah, memang. Tapi, mengekor sesuatu yang menarik bukanlah perkara tabu. Apalagi, rupanya, program berita yang memfokuskan kriminalitas ini bisa mendulang iklan lantaran rating yang diperoleh juga cukup tinggi. Maka, menyusulah Buser di SCTV, Sergap di RCTI, Modus di Trans TV, serta TKP di TV7. Lepas dari upaya menjaring iklan, ada pula yang yakin bahwa siaran model seperti itu akan mengurangi tindakan kriminal dalam bentuk apa pun. Benar demikian? Butuh penelitian lebih lanjut menjawabnya. Satu hal pasti, kalau aksi kriminalitas berkurang, sudah pasti tayangan seperti itu akan kekurangan berita.
Dari serangkaian tayangan, sejauh ini, sulit memungkiri bahwa memang terjadi ulah polisi yang terkesan berlebihan terhadap tersangka kriminal. Ada polisi yang menampar pipi tersangka sambil membentak-bentak. Ada pula polisi yang umumnya berseragam preman meninju perut tersangka supaya mengaku. Umumnya, yang terkena damprat adalah penjahat-penjahat kelas teri: dari penjudi kere, pengedar narkoba kelas ketengan, sampai maling ayam. Pada kesempatan lain, mata kita berbenturan dengan sikap ramah polisi pada penjahat kerah putih. Saya tak meminta golongan penjahat seperti ini dikerasi pula. Saya cuma ingin mengatakan bahwa kalangan kecil--meski seorang penjahat--tetap saja diperlakukan tak adil. Betapa malangnya nasib mereka.
Kamera televisi senang merekam adegan saat polisi bertindak kasar. Sebab, itulah gambar bagus dan dengan demikian sangat layak tayang. Lalu, upaya penyaringan menonton televisi di rumah sedemikian kendur dan anak-anak kecil bisa dengan leluasa membelalakkan mata di depan layar kaca, lupakah bahwa tayangan seperti Patroli Cs memiliki dampak yang tak bisa dianggap remeh?
*bersambung* (cape, soalnya)
ANDAI sebuah negeri adalah bandul, maka penguasa adalah seorang aktor yang memainkan tali. Bergerak ke sana ke mari, bandul tak bisa diam. Keras tidak geraknya tergantung sosok di belakang yang mengendalikan. Dan ketika hidup para jelata terguncang-guncang, boleh jadi, ada yang tak beres dengan sang penguasa. Bisa saja karena kedunguan, bandulnya terlalu kencang diayunkan, sehingga gerak yang keluar melahirkan irama tak nyaman. Itulah sebabnya, menjadi penguasa tak mudah. Anehnya, kekuasaan layaknya madu yang dikerubungi semut. Kerap diperebutkan, kalau perlu dengan darah.
Untuk apa berkuasa kalau tak mampu menjadi penguasa yang baik? Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, memberikan janji dengan teori mutakhir, kalau kekuasaan tak pernah juga bisa diajak lurus? Hidup barangkali memang keras. Tapi menyiksa rakyat dengan kebijakan yang tak jelas dan menyengsarakan bukanlah kemuliaan sebuah tugas. Sebab penguasa yang mengabdi pada rakyat, mesti memiliki niat tulus. Tak cuma memakai otak, tapi juga hati. Kalau cuma otak--ini pun kalau masih punya--jangan berharap sebuah negeri akan tenteram.
"...saya tidak punya kesempatan untuk sekolah di universitas. Saya mengembara dan bekerja dan itulah sekolah saya. Apa arti sebuah ilmu? Dia akan berarti jika ia berguna bagi rakyat. Bukan untuk mencetak orang-orang sombong dan hidup jauh dari rakyat, tetapi bekerja dan mengabdi untuk rakyat, " kata Ho Chi Minh.
Dan Minh benar. Mantan pemimpin Vietnam Utara yang tak tunduk ditaklukkan Prancis, Amerika Serikat, ini menyerahkan jiwa dan raga untuk rakyatnya. Ketika itulah pengabdian menjadi suci, seperti embun. Sulit membayangkan bandul bergerak tenang di belakang penguasa yang tak sadar arti penderitaan, meski dipimpin perempuan yang katanya selalu menderita.