Wednesday, July 04, 2007

Dalam Bayang Polisi dan Dujana

Sabtu, 30 Juni 2007. Tayangan derap hukum sudah dua jam berlalu. Tayang pukul 00.30 WIB. Seperti biasa, telat satu jam dari jadwal yang sudah ditetapkan, yang sudah dipromokan. Dan saya tidak kaget.

Hari itu, jarum jam duduk di angka pukul dua dini hari. Sekitar empat jam lagi matahari terbit. Saya masih di kantor, setelah cukup stres mempersiapkan paket derap hukum. Main games sepak bola di website--tempat nongkrong saya sehari-hari, karena di web nikmat betul merokok tanpa perlu dag-dig-dug dicemberutin Mbak Nunung--hehehe peace mbak...

Dan telepon seluler saya bunyi. Tris Wijayanto, yang gondrong itu, menelepon.

"Halo Pa'e!" sapa saya. Produser Eksekutif Program Khusus itu memang lebih pas disapa Pa'e ketimbang Mas atau Oom.

"Choy, tayangan DH diprotes Densus." Pa'e berujar singkat, dingin. Saya membayangkan wajahnya tidak tersenyum.

Saya diam. Lalu Pa'e pun bercerita bahwa dia baru saja ditelepon Mas Geong. Sekitar lima belas menit, Pa'e ngoceh. Intinya, Mas Geong memberitahu bahwa polisi kecewa dengan tayangan Derap Hukum malam itu. Selesai. Saya pun kembali main games sepak bola. Saya memainkan Tim Inggris. Melawan Brasil.

Cerita Pa'e tentang protes Densus sungguh bikin konsentrasi buyar. Tim Inggris yang saya mainkan kalah berkali-kali: 3-1, 4-0, 2-0, dan terakhir paling parah: 7-0. Tidak pernah saya sebodoh itu main games.

Sebuah berita diprotes, buat saya, bukanlah hal aneh. Tapi kalimat Pa'e, mengutip cerita Mas Geong bahwa lobi dengan Densus jadi rusak gara-gara tayangan itu, sungguh, inilah yang sebetulnya menggangu pikiran saya.

Mungkin banyak orang bertanya atau heran, terutama yang tidak menonton, seperti apa sih paket derap hukum malam itu? Pesan singkat dari Komandan Lapangan Satgas Bom, yang Kombes itu, menyatakan SCTV lebih memihak dan membela satu anak teroris yang tidak luka sedikit pun, ketimbang ratusan anak korban teror yang luka, cacat, mati, ditinggal mati oleh orangtuanya yang menimbulkan luka berkepanjangan seumur hidup.

Memihak. Membela. Begitu menurut Pak Polisi. Pertanyaannya, benarkah Derap Hukum malam itu begitu?

Jawaban saya, tidak juga kok.

Tema paket panjang Derap Hukum malam itu adalah tentang penangkapan Abu Dujana yang disertai penembakan di depan ketiga anaknya yang masih kecil. Angle besarnya: Bagaimanakah seharusnya prosedur polisi untuk menangkap seorang yang diduga berbahaya, agar jangan sampai membuat, khususnya anak-anak (anak siapa pun, terlebih lagi anak yang ditangkap), menjadi trauma?

Zaenal Bhakti--Produser Eksekutif juga--dan Tris Wijayanto, mengusulkan dan meminta saya menggarap ini--untuk memberi warna Derap Hukum agar tak melulu membuat paket tentang pembunuhan yang berceceran begitu banyak di sekitar kita. Dari merekalah ide ini muncul. Khusus menyorot soal penembakan itu saja. Fokus. Tidak lebih, karena memang soal perlindungan hak anak ada undang-undangnya--tema yang sangat pas buat Derap Hukum. Niatnya bahkan mulia: agar langkah polisi untuk menangkap orang yang diduga berbahaya tidak kontraproduktif, karena cara-caranya keliru.

Sepekan sebelum paket itu tayang, tepat ketika dua petinggi Progsus itu meminta membuat paket ini, berita tentang penembakan Abu Dujana di depan anak-anaknya sedang hangat. Media cetak, website, radio atau televisi, termasuk liputan6 ramai-ramai menyorot soal itu. Derap Hukum sebetulnya telat. Sangat telat, karena ketika paket itu tayang, isu ini sudah reda.

Entah kenapa kok baru sekarang polisi keberatan dengan berita itu.

Kembali ke soal memihak dan membela itu. Sekali lagi jawabnya, tidak juga kok.

Paket itu sudah memenuhi kaidah jurnalistik, cover both side atau apalah istilahnya. Penyusunan segmen dan narasi yang saya buat, sebisa mungkin obyektif. Sumber-sumber yang--katakanlah--bertikai dikutip sesuai konteks. Ada sumber dari pihak Abu Dujana, ada juga sumber dari pihak yang dituding, yakni polisi, diwakili Humas Mabes Polri.

Paket ini pun sudah lulus saringan petinggi progsus, Tris dan Zaenal. Pa'e menyaring narasi yang saya buat. Lalu, ditemani gorengan yang sudah dingin di ruang editing, mereka juga menyimak segmen demi segmen dengan hati-hati. Bahkan Zaenal sampai merasa perlu memilihkan statement agar tak terlalu panjang.

Perimbangan sudah dibuat. Hati-hati lho bicara soal perimbangan. Perimbangan sebuah berita, bukanlah dua sumber melawan dua. Atau tiga sumber melawan tiga. Debat soal ini tak pernah habis di dunia jurnalistik. Tapi ingatlah kasus Tempo dengan Tommy Winata. Tempo cukup satu kalimat pendek sebagai wujud perimbangan, yang membantah Tommy ada di "Tenabang". Dan Tempo menang di pengadilan.

Satu hal yang cukup penting saya sampaikan, paket ini juga tidak hanya diprotes polisi, melainkan juga keluarga Abu Dujana. Saya ditelepon, sebut saja namanya Kang Asep. Dia kakak nomor tiga Abu Dujana. Orangnya ramah. Sering senyum dan logat sundanya kental sekali. Dialah yang memberi akses agar Sri Murdiati mau bicara. Sekadar informasi, setelah ribut-ribut soal suaminya ditangkap, setelah upaya ke Komnas Perlindungan Anak dan DPR dilalui, Sri menjadi tertutup.

Ia menolak diwawancarai. Terlebih lagi diambil gambarnya, termasuk wajah anak-anaknya. Padahal, sebelumnya ia begitu mudah disorot dan diwawancarai. Butuh upaya meyakinkan yang mencemaskan agar Sri mau bicara. Dan syukurlah ia mau bicara, setelah saya mencoba mencuri hati keluarganya dengan menumpang salat di musala depan rumahnya--kalau Tuhan mau, pasti saya sudah dikutuk jadi kodok karena jelaslah salat saya tidak ikhlas. Semoga Tuhan mau memaklumi saya.

Wawancara itu disepakati dengan tidak memperlihatkan wajah Sri--sesuatu yang disayangkan media televisi, karena selama ini wajah Sri sudah muncul di mana-mana. Tapi dalih Sri, penyembunyian identitas itu pesan suami. Amanat, agar tak mengumbar aurat di media massa. Sialnya, wajah anak-anaknya pun tidak boleh diperlihatkan. Ya sudah. Kita harus menghormati permintaan sumber bukan?

Dan keluarga Abu Dujana kecewa. Di telepon, Kang Asep marah-marah, karena dia berharap, Derap Hukum akan mendukung keluarga Dujana dalam kasus ini. Tidak justru memojokkan. Mereka geram melihat pernyataan Humas Mabes Polri yang mengatakan anak-anak Dujana sengaja dijadikan bemper. Dia juga kecewa dengan grafis pemetaan tentang Jamaah Islamiah yang dibuat SCTV, yang menempatkan Dujana sebagai pemimpin sayap militer organisasi teroris. Pada pembicaraan terakhir dia bilang begini: "Pokoknya saya nggak percaya lagi sama negara ini, termasuk wartawan-wartawannya!" Klik. Telepon ditutup. Saya cuma bisa bengong. Betapa apesnya malam-malam mau tidur dibentak orang. Bayangan Kang Asep yang ramah dan murah senyum hilang sekejap. Orang Sunda rupanya bisa galak juga. Saya pikir, susah lagi pasti ke depannya berhubungan dengan mereka gara-gara ini. Hancur juga nih lobi.

Tentang kebangsaan yang dipertanyakan. Biarlah soal ini saya serahkan pada polisi yang mungkin paling mengerti bagaimana berbangsa dan bernegara. Soal anak-anak korban bom itu, saya yakin, setiap orang akan geram dan marah melihat mereka menjadi korban. Dan saya pun begitu. Humas Mabes Polri sudah menjelaskan soal ini dalam tayangan itu. Kalimatnya persis seperti bunyi sms protes ke SCTV.

Tak mudah membedah soal terorisme di Indonesia. Kompleksitas persoalannya benar-benar njelimet. Berbagai opini berloncatan di mana-mana. Ada yang menuding Amerika Serikat di balik teror. Ada yang bilang latar belakang pengeboman ini ghirah berlebihan dari alumni Afghanistan. Ada yang bilang Indonesia adalah bagian dari grand design operasi intelijen negara maju. Banyaklah. Tapi apakah alumni perang Afghan semuanya teroris? Mujahid Moro dan Mindanao semuanya teroris?

Kita tahu, sebagai jurnalis, skeptis amat diperlukan agar tetap bisa jernih melihat sebuah persoalan. Kita tahu, ada tempatnya untuk memberi label seseorang bersalah sebagai teroris: pengadilan. Tugas polisi cuma menangkap, memeriksa. Mereka dibayar negara untuk itu. Mereka tidak berhak memberi cap, karena asas praduga tak bersalah tak bisa tidak musti dipegang.

Saya jadi ingat, omongan Nono Anwar Makarim yang bilang, seperti disebut Andi Budiman—ini tokoh penting dalam jaringan Topik Minggu Ini. Sayap Militernyalah. Hehehe--yang kemudian dikutip lagi oleh Tris Wijayanto dan Zaenal Bhakti. Kira-kira begini kalimatnya: "Bila sebuah berita diprotes dua sumbernya yang berseteru, artinya berita itu sudah on the right track." Sebuah kutipan yang menarik.

Dari kasus ini, ada pertanyaan yang mengganggu: Apakah kalau kita dekat dengan istana, parpol, tentara, menteri, pelacur, pelawak, polisi, atau siapa pun sumber itu, yang tentu juga punya seni kesulitan tersendiri untuk mengakrabinya, kita tidak boleh mengkritisi? Selalu ada cara buat wartawan untuk membangun hubungan yang sempat merenggang gara-gara sebuah berita. Saya pikir kita sudah cukup dewasa untuk menjadi jurnalis yang mencoba benar, tidak tidur dan lelap di kaki sumber sampai-sampai kita enggan membuka mata dan terbangun...

Saya yakin kasus seperti ini, diprotes sumber atau apalah, akan terulang lagi... Tidak apa-apa. Untuk pembelajaran...

-=Satriana Budi/Choy=-

Yang masih "MIMPI BURUK" gara-gara main games bola sampai kalah 7-0.

*******

Buat Mas Zenal: Saya kok lebih senang jadi pengamen seperti Iwan Fals sebelum tenar ketimbang jualan kacang. Hehehe.

Buat Pa'e: Asyik nih belajar bikin paket yang naratif tanpa membuang data penting sama dia... dan tetap jangan lupa tertawa Pa'e. Hehehe...

Buat Dop: Kalau nggak ada Dop, nggak tau deh tuh dokumen kasus Bom Bali dan Marriot kumpul atau nggak.

Buat Frets: Tanpa gambar ini anak, gak tau deh paket itu jadinya gimana. Gue bilang juga ape Din. Jadi seru kan nih... Hehehe...

Buat Fira: Lo gila ye, orang ikutan wawancara dimarahin... Hehehe...

Buat Cimot: Hidup lo mah mah enak Mot, dari Bali langsung ke Semarang...

Buat kru liputan6: Selamat belajar...

Buat saya sendiri: Jangan lagi shalat nggak ikhlas...

4 comments:

Anonymous said...

sabar...sabar...
yg ga sabar jd kodok juga.. hehehe
*piss

Anonymous said...

Apa jadinya bila polisi menyetir media (orang orangnya).

Maka Jadilah ia polisi bukan jurnalis.

Robot-robot bernyawa (iwan fals)

(ilalangsenja)

zaky muzakir said...

Kakakakaka...namanya kalah ya kalah om coy. 7-0 adalah 7-0. pake alesan gak konsen segala.

tapi baca tulisan ini bikin gue tercerahkan. seru. terharu. bangga. tengkyu om coy dah sharing.

PS: gue minta izin copy-paste tulisan ini di situs gue. gue pengen tulisan ini lebih banyak lagi dibaca. kalo ga mau dicopy, protes aja yak.

me said...

wuih, baru liat gue komennya nih... silakan bung zak... bola di tangan Anda... ;) hehehe...