Wednesday, February 27, 2008

pebulung

jujur, saya benci menangis. tapi pagi ini, setelah menutup telepon, mata saya basah. saya tak mengerti dari mana datangnya muram itu. sunyi tiba-tiba merayap begitu saja. sungguh berat rasanya memikul sebuah cinta yang besar. tapi mungkin ini bukan sekadar jalan hidup. ini sebuah amanat.

cinta yang saya miliki, memang hanya untuk dia, meski begitu sulit menjelaskan dengan kata-kata kenapa kami tak kunjung bisa bersama. galibnya sebuah amanat, ia harus tetap digenggam sampai kapan pun.

berkali-kali saya berpaling. bahkan harus menjadi gila untuk menepikan sebentar saja senyumnya. tapi setiap saya menoleh, menunduk, mendongak atau bahkan terpejam. lagi-lagi dia yang datang. seperti sebuah cermin besar melingkar dan saya ada di tengah-tengahnya. sebuah rumah kaca yang pantulannya tak menampilkan diri saya, tetapi dirinya. matanya, saya ingat sekali binarnya, sungguh-sungguh menggangu.

saya percaya, ada sejuta rencana yang tak pernah kita paham sebagai manusia. sejuta tanya misalnya kenapa Tuhan sering kali seperti tak memberi jalan. kenapa Dia seperti melarang dalam tanda kutip, "hei mahkluk-Ku yang lemah, kamu tidak boleh ke sana, di sini saja, meskipun kau mencintainya habis-habisan."

jahatkah Tuhan? mungkin. karena kuasa-Nya mata saya menjadi basah pagi ini. tapi bisa juga tidak. boleh jadi Tuhan cuma ingin menegaskan, seperti firman-Nya dalam kitab suci (hei, di telepon tadi dia mengutip, saya senang sekali mendengarnya, karena ayat suci itu memang sungguh bagus). "yang menurutmu baik belum tentu baik untukmu. yang buruk untukmu belum tentu buruk untukmu. sesungguhnya Aku mahatahu." begitu Tuhan berfirman, kira-kira.

pukul sepuluh lewat sepuluh. saya teringat ucapan pebulung. kakek tua, sesepuh adat dayak kenyah--ia besar di pedalaman dan memiliki hati yang luar biasa peka soal hidup. begini katanya, "semua akan berubah, terus menerus. kita cuma bisa melihat segalanya pelan-pelan. jalani saja hidup ini dengan gembira..." konteksnya, ketika ia bicara begitu, ia memprihatinkan hutan dan budaya dayak yang perlahan hilang dan memudar tergerus budaya kota yang rakus dan permisif. di suatu senja, saat gerimis dan kami berbincang di beranda rumah panggung sederhananya.

kalimat itu terngiang begitu saja ketika pagi ini saya kelelahan menjalani perubahan.

alunan forever and one-nya helloween, senyum bijak pebulung tua, dan dia yang ada di mana-mana, mungkin memang bagian dari hati saya pagi ini. entah besok apa lagi, saya tidak tahu. saya tak ingin menyeka air mata. biarkan saja, karena ini bukan sebuah siksaan, tapi anugerah. ya, saya percaya, cinta abadi yang berat begini adalah sebuah karunia. haruskah saya marah pada karunia?

percayalah, air mata ini tangis bahagia karena saya bersyukur sempat sekian lama bersama seorang yang membuat hati saya luar biasa lapangnya. luar biasa indahnya. dan itu tak akan hilang sampai saya menutup mata selamanya, suatu saat kelak...

sekarang saatnya memutar doa dalam sunyi-nya iwan fals.

Tuesday, February 26, 2008

mencari lupa

tapi laki-laki itu
tak sanggup menoleh
padahal keingintahuannya
tentang cinta
yang pernah mematri hatinya
terus memanggil

ia sungguh cuma bisa bertanya
berulang-ulang
cintakah itu?
kenapa cinta begitu?
benarkah
yang tersisa
hanya sebuah muslihat?

ia ingin sebuah perjalanan pulang
sejauh rakit terhanyut arus
menjauh tepian
ia keliru
cinta tak membawanya kemana-mana
ia tak menemukan apa pun
selain air mata
di sepanjang alur sungai

mungkin kini saatnya ia harus berhenti
sebelum bimbang
bingung mencari arah di simpang
ia musti memilih
sekarang
atau tenggelam kembali

Saturday, February 23, 2008

Iwan Fals, Humanisme dan Utusan Tuhan yang Diabaikan

Entah mengapa, setiap kali mendengar lagu-lagu yang dibawakan oleh Iwan Fals, banyak orang sadar sejenak tentang kondisi sosial yang ada di Tanah Air ini. Orang suka, gemar dan gandrung karena lagu-lagunya mudah dicerna dan mengandung pesan-pesan humanis yang dalam. Lagu-lagunya bagaikan kolaborasi antara ayat-ayat Tuhan dan teriakan obyekif kondisi sosial yang ada di Indonesia. Iwan Fals adalah utusan Tuhan untuk rakyat Indonesia.

Orang lain mungkin akan mengernyitkan dahi ketika Iwan Fals dianggap sebagai utusan Tuhan. “Apa dasarnya?!” pertanyaan pertama yang pasti akan terlontar dari lisan banyak orang. Tentu ada alasan untuk klaim itu. Alasan yang berangkat dari renungan subyektIwan Fals dan penghayatan akan lagu-lagu yang pernah dinyanyikan oleh Iwan Fals serta memperhatikan karakter pribadinya. Saya tidak hafal betul pada tahun-tahun berapa setiap lagu yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Bagi saya itu tidak penting, karena substansi pesan yang ada dalam lagu-lagunya itu yang perlu dihafal. Itu sebabnya, sebagian besar lagu-lagu yang pernah dinyanyikan oleh Iwan Fals, begitu melekat di kepala banyak orang. Melalui lagu-lagunya, kesadaran kondisi sosial politik di Tanah Air Indonesia terkonstruksikan di kepala orang Indonesia. Pernah saya katakan kepada seorang kawan bahwa Iwan Fals adalah guru sosiologi terbaik, paling tidak bagi saya.

Dari lagu-lagu yang pernah dinyanyikannya, orang akan mudah menilai bahwa Iwan Fals adalah sosok “pemberontak”. Dia adalah pemberontak terhadap kondisi sosial politik yang sebenarnya tidak terlalu rumit untuk diurai. Setiap nurani yang hidup akan mudah sekali menemukan bahwa “di sini” ada ketidakadilan, penindasan, bahkan kerusakan moral. Hanya saja, ketidakjujuran telah mem-perumit semua itu, hingga orang tidak mampu mengatakannya. Ketidakjujuran itu bahkan tidak jarang dibungkus dengan gaun in-telektualitas yang elit, namun tetap hanyut dalam irama anomali sosial yang ada. Gak usah sekolah tinggi-tinggi, kalau begitu! Untuk apa sekolah tinggi, kalau akhirnya, diam-diam, kita semua mengamini mekanisme sosial yang tidak fair?! Kita serempak terserang amnesia ketika berhadapan dengan nilai-nilai. Makanya, di negeri ini yang menonjol adalah para penjilat, durno, kancil, bandit, karet, bunglon… Jadi? Jangan sekolah tinggi-tinggi! Begitulah kira-kira salah satu pesan “orang murka” yang pernah disampaikan oleh Iwan Fals. Walau bisa jadi, ada orang murka karena tidak kebagian.

Kelebihan lirik lagu-lagu yang pernah dibawakan oleh Iwan Fals adalah tidak bergerak dari ruang hampa. Lirik-liriknya lahir dari hasil potretan kondisi sosial politik di Tanah Air Indonesia dengan kata-kata yang sederhana, telanjang dan jenaka. Hampir seluruh profesi sosial yang dijalani oleh orang Indonesia pernah dipotret secara sederhana tapi dalam oleh Iwan Fals: Iwan Fals menyampaikan potret sosial mereka dengan kata-kata yang mudah dicerna, bahkan oleh nalar awam sekalipun; Iwan Fals mampu melihat sisi manusiawi dari satu profesi yang oleh kebanyakan orang dianggap sampah. Sebagai contoh, profesi pelacur atau yang lebih dikenal sekarang ini dengan Penjaja Seks Komersial (PSK).

Sebagian besar kita hanya mampu melihat para PSK sebagai sampah masyarakat. Tidak jarang, para agamawan pun ikut melakukan stigmatisasi terhadap mereka. Tapi Iwan Fals, dia mampu mengungkapkan bahwa di antara mereka ada perempuan yang berjuang untuk anak-anak yang ayahnya tidak jelas rimbanya. Bahkan Iwan Fals memberikan harapan, bahwa Tuhan tetap akan mendengar doa mereka. Ini bisa dicermati dari lagunya yang berjudul Doa Seorang Wanita Pengobral Dosa. Pandangan humanis seperti ini tidak akan kita temukan dalam diri orang yang tidak memiliki kesadaran sosial dan spiritual yang dalam.

Dalam politik, orang mungkin akan mencemooh Iwan Fals jika sekarang dia menjadi salah satu politisi di Tanah Air. Pandangan-pandangan politik yang ada dalam lagu-lagunya tidak akan dijadikan mars oleh para demonstran jika dia ikut masuk dalam “dunia pesta pora para binatang”. Iwan Fals akan disejajarkan dengan mereka yang senang “bermain lompat karet”. Kenyataannya, seorang Iwan Fals betul-betul menunjukkan karakternya dalam menyikapi kondisi sosial politik berhadapan dengan pamor dirinya. Iwan Fals betul-betul “patah arang” terhadap politik. Bagi Iwan Fals, panggung politik adalah panggung para binatang yang merasa diri sebagai bintang (Asyik gak asyik).
Padahal, jika Iwan Fals mau, dengan wibawa dan popularitasnya, partai manapun akan siap menerimanya sebagai bagian dari elit partai. Bahkan mendirikan partai pun bisa ia lakukan, walau belum tentu jadi partai besar. Dan itu berarti hasrat untuk memperkaya diri akan menemukan jalurnya, sebagaimana banyak dilakukan oleh para belalang (Belalang Tua). Namun, kekuatan karakter yang ada dalam dirinya keras membimbing Iwan Fals agar tidak tergiur ikut berpesta. Di era reformasi (katanya), lagu-lagunya yang terbundel dalam album Manusia Setengah Dewa mempertegas sikap sosial politik dan karakter dirinya sebagai seorang utusan Tuhan.

Hal yang mengagumkan dalam diri Iwan Fals adalah kematangan diri yang sulit kita temukan dalam diri kebanyakan orang. Dia adalah utusan Tuhan yang menerima wahyu non-evaluatIwan Fals untuk disampaikan kepada masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat manusia. Walau lirik dalam lagu-lagunya begitu kental dengan pesan-pesan moral (di balik kritik sosial pasti ada pesan moral) yang realistik-eternal, namun kerendahan hati dan ketenangan tampak begitu inheren dalam dirinya akhir-akhir ini. Gaya bicara yang tidak lantang (baca: pongah), menunjukkan bahwa Iwan Fals sadar bahwa dirinya bukan manusia setengah dewa. Dia tidak memiliki pretensi bahwa untuk membenahi kondisi sosial politik di Indonesia cukup dengan bernyanyi. Ini yang membuatnya tidak pernah geer. Namun, pergu-latan batin yang dahsyat berkenaan dengan ketimpangan sosial yang terjadi di Bumi Pertiwi, tetap ia suarakan dengan lantang melalui lagu. Kelantangan itu seolah ia cukupkan terwakili oleh lagu. Sikap diri yang terdapat dalam seorang Iwan Fals, jika harus diberi tanda, maka tanda itu tidak lain adalah konsistensi dan integritas.

Mendengarkan lagu-lagu cinta Iwan Fals, kita akan menangkap bahwa cinta yang dihayati oleh Iwan Fals adalah cinta orang-orang marjinal di negeri ini. Itu bisa kita lihat dalam lagu-lagunya seperti Lonteku, Kembang Pete, Yakinlah (duet bersama Eli Sunarya) dan lain-lain. Itulah cinta yang jujur, dalam dan kere. Saking kere-nya, sang lelaki hanya mampu mempersembahkan kembang pete kepada perempuannya. Keberpihakan Iwan Fals pada rakyat kecil nan marjinal begitu jujur dan mendarahdaging, hingga dalam lagu-lagu cinta pun ia memilih potret cinta-cinta orang pinggiran. Biasanya, dalam lagu, orang akan berbicara tentang cinta yang mengandaikan sudah didukung oleh keserbacukupan materi; cinta yang membuat kebanyakan orang Indonesia menjadi lupa akan kondisi sosialnya; cinta yang cengeng, genit, glamor dan norak. Perhatikan kebanyakan lagu-lagu cinta yang dinyayikan di negeri ini, tidak pernah dewasa.

Seorang kawan pernah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Iwan Fals, karena Iwan Fals pernah mengeritik Tuhan dalam salah satu lagunya, Tolong Dengar Tuhan! Lagu yang ia nyanyikan setelah peristiwa meletusnya gunung Galunggung di Tasikmalaya. Jika disikapi dengan nalar terbuka, lagu itu justru merupakan ekspresi penghayatan tentang alam semesta dan Tuhan yang dialami oleh orang bebas dan berani. Dalam dunia filsafat, penghayatan seperti ini banyak diungkapkan oleh para filsuf. Penghayatan inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya teologi atroposentris. Jadi, menghayati isi lagu-lagu Iwan Fals, kita akan menemukan kecenderungan humanisme yang kuat. Humanisme yang dari zaman ke zaman selalu disuarakan oleh para utusan Tuhan. Kini dan di sini, Iwan Fals adalah utusan Tuhan yang diabaikan!

*(Jakarta, 16 Mei 2005, Taufik Damas, Alumnus Akidah Filsafat Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, penggemar lagu-lagu Iwan Fals)

Friday, February 22, 2008

buta

tak kukenal lagi aromamu
susut sudah air sungai puisi itu
mata yang kudamba terpejam
tak lagi bisa kupandang
dalam detik yang pudar perlahan

habis sudah waktukku
runtuh bersama malam yang menipu
tiada kau lagi di tepian
dalam alur cinta yang lelah

hari ini
tiada lagi kutahu rasanya merindu...


*pampang borneo, kampung petualang dayak kenyah*

Wednesday, February 13, 2008

bahagia yang terbelah

saya tak pernah sanggup memahami, kenapa akhir-akhir ini, bunyi detik di jam tangan yang kacanya tergores dinding toilet, seakan berubah menjadi dentam palu godam. dekat sekali di telinga, membuat saya selalu tergesa-gesa.

seakan-akan hari ini hanya berlangsung sekian jam, tidak dua puluh empat jam, bahkan dua belas jam pun tidak.

gilanya, saya tak ingat kemana raibnya keindahan ulang tahun, bersama gelak tawa yang dulu selalu terngiang. momen terindah dibanding peristiwa-peristiwa menyenangkan lain yang pernah saya tapaki.

seandainya saya tak pernah mengirim pesan itu.

ah, cuma jam sinting yang mampu mengubah matahari bergerak mundur. saya memang menyesal, karena saya mendapat predikat jahat. tapi saya gelisah, sebab sejujurnya, saya tak pernah berniat untuk bertindak jahat. adakah sebuah cinta yang jahat?

buat sebagian orang, menyalahkan mungkin lebih mudah. tapi menerima untuk disalahkan, saya percaya, sungguh bukan pekerjaan ringan. hari ini, saya hanya mencoba menghela napas panjang. mencoba diam, di tengah deru detik yang seakan mengejar dan menyalip langkah saya yang setengah berlari.

saya tak pernah mampu tenang, setiap kali wajahnya terkenang, bersama kota yang selalu terasa muram di setiap jatuh malam...