Monday, November 26, 2007

Mata yang Mengganggu

Tuhan tak mengabulkan dosa saya lagi. Pagi ini, ketika membuka mata, saya masih bisa melihat langit-langit kamar. Dua lubang di tengah karena gigitan tikus, sebuah paku yang tak tembus karena pemaluannya tak keras. Dan ketika saya menoleh ke kanan dan ke kiri, mata saya juga mampu menangkap apa pun yang ada di ruangan. Lemari pakaian yang pintunya tak bisa rapat, kaos dan celana jins tergantung di sudut, koran dan majalah berserakan di lantai. Saya lelah bisa melihat. Saya ingin buta. Buta sebuta-butanya.

Sudah dua pekan saya berdoa menjelang tidur, berharap saat pagi tiba, saya tak lagi bisa melihat apa pun. Hanya gelap. Tak ada apa pun yang tampak. Bukan bermaksud tak menysukuri nikmat Tuhan bila saya ingin menjadi buta. Terlebih lagi cukup manusia yang suratan takdirnya telanjur tak bisa melihat. Tapi bagi saya, sudah cukup bagi selama 30 tahun melihat apa pun yang saya mau.

Sekarang saya merasa tersiksa memiliki mata ini. Saya tidak tahan, sebab setiap kali saya melewati tangga penyebrangan jalan di depan kantor, selalu saja bocah itu yang terlihat. Duduk dengan sapu lidi sambil terus menyapu tak peduli panas atau hujan. Saya tak pernah bisa kuat untuk menatap tatapan mata bocah itu. Mata yang seperti tahan pada apa pun. Mata yang tak lelah pada apa pun. Sungguh mata yang mengganggu.

Tidak cuma di jembatan penyeberangan saya menemui mata-mata yang mengganggu. Saban pagi menjelang pukul tujuh sampai sepuluh, atau pukul setengah lima sampai tujuh malam, saya juga kerap tersiksa. Three in one di jalur Sudirman, menyisakan begitu banyak penderitaan buat saya. Orang-orang, dari yang kanak sampai ibu yang menggendong bayi, mengacung kan jari telunjuk dengan tatapan penuh harap. Mata-mata mereka sama buat saya. Mata yang seperti tahan pada apa pun. Mata yang tak lelah pada apa pun. Mata yang kerap mengganggu tiap kali saya teringat.

"Tolong dok, berapa pun akan saya bayar asal dokter bisa membuat mata saya tidak bisa melihat," kepada seorang dokter mata terkenal, saya mengajukan permintaan.

"Ada-ada saja permintaan Anda. Saya tidak bisa memenuhi. Profesi saya dokter, menyembuhkan yang sakit, bukan justru membuat menjadi sakit." Dokter itu setengah tersenyum. Mungkin ia mengira saya bercanda.

"Ini serius dok. Saya lelah melihat apa pun. Berapa pun dokter minta, saya akan senang hati membayar."

"Maaf, saya tidak bisa."

Percuma memaksa dokter. Dan saya pun pamit. Meninggalkan dokter yang tak hentinya tersenyum tidak percaya.

Saturday, November 24, 2007

dalam dingin kutak menemukanmu sampai kapan pun

senja itu selepas hujan di lorong becek deretan gubuk pedagang beratap rumbia di sisi pencakar langit engkau bersijingkat meremas hatiku di mana jejakku sejak kemarin dulu sebelum kau jumpaku aku mengangkat telapak tangan kananku di dahi menengadah menatap jendela ketiga tingkat ke duabelas gedung di belakang patung buruk itu lalu bingung menumpang lift lalu menduga barangkali sebentar lagi engkau sampai menemuiku lalu mengerti siapa aku padahal aku belum pernah mendengar namamu dan engkau tak pernah menyimpan kartu namaku selain puisi itu

di sisa hujan aku melihat bayangmu melintas ketika kumasih terpaku pada apa yang terjadi apakah ini semua ilusi dan tak semestinya kumasuk ke dalam celah yang tak pernah kuduga akan berakhir pilu begini sedangkan kau tak juga bisa kutepikan agar diam di sana selamanya tanpa pernah menggangguku lagi meski kutahu ketika lalu lintas macet karena begitu sembarangannya sepeda motor berseliweran kau tetap saja bergeming berharap kisah ini tak akan pernah melukai hati yang tak pernah selesai untuk menangis dan memberi

kau tahu siapa aku meski aku tak sejauh itu sebab kuingin kau tetap tersenyum meski tak seorang pun paham bahwa segalanya ini adalah soal rindu dan cinta yang mungkin tak pernah kita rasakan sebelumnya tak sedikit pun tak setipis pun...

Saturday, November 17, 2007

aku sudah lelah dan lampu kota tak juga kunjung padam

jumpa lagi kita
dalam kata-kata yang tiada seorang pun paham
kubersandar pada sejuta gelisah yang tak jua bisa meruapkan isi hati yang tak pernah selesai bertanya
ada kalanya aku ingin berhenti
tapi selalu saja pada saat bersamaan terdorong untuk melangkah lagi
terjebak
terperangkap
pada malam yang lebih pekat
dan siang yang lebih terik
aku terengah-engah
dan kau tak juga bisa kugenggam...

ke puncak mana harus kukejar jejakmu
agar bisa kutelusuri, duhai hati yang tak pernah mampu kusudahi?
kadang aku ingin marah dengan-Mu Tuhan
kenapa Kau ciptakan situasi yang membuat semuanya menjadi begitu sunyi
air mata
tak bisa lagi bisa mengartikan apa pun...
sakit
riang
dan apa pun sama saja sekarang...

tak bisakah aku diam untuk selamanya mematung dan menganggapmu tak pernah singgah, duhai hati yang tak pernah mampu kusudahi?
sekejap saja biarkan aku sendiri...

Thursday, November 15, 2007

sore gerimis dan di simpang itu kau mencoba memetik bintang

apa kabar kau yang tak hentinya menghantui mimpi?
masih berdetakkah gelisah itu
senyampang rindu yang melayang tak kunjung terbang
mestinya kau lupakan saja saat di sudut jalan itu kurengkuh jemarimu
menuntun agar kauberlari cepat mengindari senja yang basah rintik gerimis

bilah-bilah cinta yang tercacah tak semestinya kau punguti karena kuyakin kau tak akan pernah kuat menggenggamnya
dan kini mungkin kau lelah
sendiri memupuk waktu yang tak ada habisnya menggiringmu mencari-cari cinta yang kau damba

tidurlah lelap
pagi masih jauh
masih ada purnama yang selalu indah bersama malam yang mungkin saja begitu sunyi
buatmu
begitu panjang buatmu...