Thursday, July 19, 2007

Memegang Janji Hiu

Rupert Murdoch membeli kantor berita Dow Jones. Independensi Dow Jones dan Wall Street Journal bakal terancam.

TIDAK kurang dari 175 wartawan The Wall Street Journal beberapa waktu lalu mogok kerja. Mereka memprotes rencana Rupert Murdoch, 76 tahun, membeli mayoritas saham Dow Jones, pemilik koran besar itu. ”Kalau jadi, sudah pasti koran ini tak lagi independen,” kata E.S. Browning, pemimpin aksi tersebut.

Browning adalah reporter senior yang telah bekerja selama 28 tahun di koran itu. Dengan pengalamannya, dia paham betul masuknya orang tua kaya-raya itu berarti sebuah bencana. Mereka berharap Dow Jones mencari calon pembeli lain. Tapi, waktu bergerak cepat. Apa mau dikata, satu-satunya penawar yang masih tinggal hanya News Corporation, perusahaan Murdoch. Calon investor lain, seperti General Electric yang memiliki jaringan berita bisnis CNBC dan Washington Post, sudah kandas di tengah jalan.

Dua pekan silam, Murdoch dan keluarga Bancroft, yang menguasai mayoritas saham perusahaan, bertemu di New York, Amerika. Bancroft setuju melego Dow Jones seharga US$ 5 miliar atau Rp 45 triliun. Keduanya juga sepakat membuat perjanjian untuk menjaga independensi dan integritas Wall Street Journal. Dua hal tersebut yang paling dipegang teguh harian yang para wartawannya berkali-kali merebut Pulitzer, penghargaan untuk karya jurnalistik terbaik di Amerika, itu.

Sayangnya, dalam soal itu nama Murdoch sudah telanjur cemar. Banyak yang ragu ia bakal memegang janji. Buktinya banyak. Saat membeli The London Times, 25 tahun silam, Murdoch juga berjanji akan tetap menghormati redaksi. Kenyataannya? Harry Evans, editor koran itu, langsung dipecat tak lama setelah si juragan masuk kantor. Pemicunya pemuatan komik yang sangat memihak satu kelompok. Nasib serupa menimpa Fred Emery, redaktur juga. ”Aku bisa memerintah editor di seluruh dunia, kenapa di London tidak?” kata Emery menirukan Murdoch ketika itu.

Taipan media asal Negeri Kanguru ini memang dikenal dengan reputasinya yang hobi mencampuradukkan kepentingan bisnis dan politik dengan media yang dikendalikannya. Dia bisa dengan mudah berpindah-pindah haluan mengikuti kepentingannya. Tahun lalu, misalnya, Murdoch mendukung kampanye pemilihan senat untuk Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Padahal, sebelumnya dia salah satu pendukung kuat Bush dan Partai Republik.

Murdoch juga dikenal sebagai pendukung Bush dalam kampanye perang Irak, terutama melalui stasiun TV yang dimilikinya, Fox News Channel. Kebijakan itu diabadikan dalam film dokumenter berjudul Outfoxed: Rupert Murdoch’s War on Journalism. Dalam film itu, orang-orang yang pernah bekerja di Fox menceritakan bagaimana mereka dipaksa untuk mendukung pandangan sayap kanan Murdoch.

Di Inggris, pada 1997, Murdoch mendukung kampanye Tony Blair. Padahal, sebelumnya dia menyokong Partai Konservatif. Setelah Blair menjadi perdana menteri, dia menjadi tamu resmi Downing Street Nomor 10. ”Layaknya anggota kabinet saja,” kata Lance Price, yang menjadi juru bicara Blair dari 1998 hingga 2001. Sebaliknya di Cina, media milik Murdoch memilih untuk tidak menyerang kediktatoran di sana.

Gelagat Dow Jones bakal menyerah kepada Murdoch sudah dibaca Lawrence Haverty, salah seorang investornya. Kepada Bloomberg News, ia mengatakan penawaran tersebut akan membuat perusahaan berusia 125 tahun itu harus bekerja ekstrakeras. ”Dow Jones seperti Nemo yang dikelilingi ikan-ikan hiu,” katanya.

Dengan memiliki Dow Jones, rencana Murdoch memperkuat jajaran bisnis berita kabelnya akan tercapai. Fox Business Channel kepunyaannya akan mendapatkan pasokan berita mutakhir secara rutin dari para wartawan di jaringan perusahaan barunya itu. Pengambilalihan Dow Jones, tak pelak lagi, akan mengukuhkan posisinya di singgasana maharaja media.

Tak pelak lagi, orang Australia yang kini menjadi warga negara Amerika itu bakal makin kaya. Kini dia menguasai berbagai jenis media seperti koran (New York Post, Chicago Sun), stasiun TV, saluran televisi kabel, hingga studio film. Di Indonesia ia memiliki sebagian saham ANTV. Tahun silam, dia membeli jaringan MySpace seharga US$ 580 juta atau Rp 5,2 triliun. Total kekayaannya ditaksir mencapai US$ 68 miliar atau Rp 612 triliun.


Irfan Budiman/Tempo 09 - 15 Juli 2007

0 comments: