Wednesday, July 25, 2007

tak akan

tak ada yang aku tinggalkan dalam diam
selain senyummu
warna jingga di ufuk senja
yang menipis ditelan malam yang lelah

ini cerita tentang gelisah
biru laut yang koyak panas telaga
ombak yang bisu tanpa buih
rindu yang tertelan waktu sendiri

tak akan pernah kembali
tak akan pernah terulang lagi

Thursday, July 19, 2007

amarah

aku ingin tidur panjang
limbung bersama waktu yang lengang
lelap pada nada yang bimbang
mengambang, meradang, melayang
membiarkan segala mimpi terbang

satu waktu aku tak percaya
satu waktu aku menjadi percaya
tidak ada satu pun yang bisa
tidak ada satu pun yang bisa...

aku ingin tidur panjang
sekadar memastikan jalan ini tak berlubang...

Memegang Janji Hiu

Rupert Murdoch membeli kantor berita Dow Jones. Independensi Dow Jones dan Wall Street Journal bakal terancam.

TIDAK kurang dari 175 wartawan The Wall Street Journal beberapa waktu lalu mogok kerja. Mereka memprotes rencana Rupert Murdoch, 76 tahun, membeli mayoritas saham Dow Jones, pemilik koran besar itu. ”Kalau jadi, sudah pasti koran ini tak lagi independen,” kata E.S. Browning, pemimpin aksi tersebut.

Browning adalah reporter senior yang telah bekerja selama 28 tahun di koran itu. Dengan pengalamannya, dia paham betul masuknya orang tua kaya-raya itu berarti sebuah bencana. Mereka berharap Dow Jones mencari calon pembeli lain. Tapi, waktu bergerak cepat. Apa mau dikata, satu-satunya penawar yang masih tinggal hanya News Corporation, perusahaan Murdoch. Calon investor lain, seperti General Electric yang memiliki jaringan berita bisnis CNBC dan Washington Post, sudah kandas di tengah jalan.

Dua pekan silam, Murdoch dan keluarga Bancroft, yang menguasai mayoritas saham perusahaan, bertemu di New York, Amerika. Bancroft setuju melego Dow Jones seharga US$ 5 miliar atau Rp 45 triliun. Keduanya juga sepakat membuat perjanjian untuk menjaga independensi dan integritas Wall Street Journal. Dua hal tersebut yang paling dipegang teguh harian yang para wartawannya berkali-kali merebut Pulitzer, penghargaan untuk karya jurnalistik terbaik di Amerika, itu.

Sayangnya, dalam soal itu nama Murdoch sudah telanjur cemar. Banyak yang ragu ia bakal memegang janji. Buktinya banyak. Saat membeli The London Times, 25 tahun silam, Murdoch juga berjanji akan tetap menghormati redaksi. Kenyataannya? Harry Evans, editor koran itu, langsung dipecat tak lama setelah si juragan masuk kantor. Pemicunya pemuatan komik yang sangat memihak satu kelompok. Nasib serupa menimpa Fred Emery, redaktur juga. ”Aku bisa memerintah editor di seluruh dunia, kenapa di London tidak?” kata Emery menirukan Murdoch ketika itu.

Taipan media asal Negeri Kanguru ini memang dikenal dengan reputasinya yang hobi mencampuradukkan kepentingan bisnis dan politik dengan media yang dikendalikannya. Dia bisa dengan mudah berpindah-pindah haluan mengikuti kepentingannya. Tahun lalu, misalnya, Murdoch mendukung kampanye pemilihan senat untuk Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Padahal, sebelumnya dia salah satu pendukung kuat Bush dan Partai Republik.

Murdoch juga dikenal sebagai pendukung Bush dalam kampanye perang Irak, terutama melalui stasiun TV yang dimilikinya, Fox News Channel. Kebijakan itu diabadikan dalam film dokumenter berjudul Outfoxed: Rupert Murdoch’s War on Journalism. Dalam film itu, orang-orang yang pernah bekerja di Fox menceritakan bagaimana mereka dipaksa untuk mendukung pandangan sayap kanan Murdoch.

Di Inggris, pada 1997, Murdoch mendukung kampanye Tony Blair. Padahal, sebelumnya dia menyokong Partai Konservatif. Setelah Blair menjadi perdana menteri, dia menjadi tamu resmi Downing Street Nomor 10. ”Layaknya anggota kabinet saja,” kata Lance Price, yang menjadi juru bicara Blair dari 1998 hingga 2001. Sebaliknya di Cina, media milik Murdoch memilih untuk tidak menyerang kediktatoran di sana.

Gelagat Dow Jones bakal menyerah kepada Murdoch sudah dibaca Lawrence Haverty, salah seorang investornya. Kepada Bloomberg News, ia mengatakan penawaran tersebut akan membuat perusahaan berusia 125 tahun itu harus bekerja ekstrakeras. ”Dow Jones seperti Nemo yang dikelilingi ikan-ikan hiu,” katanya.

Dengan memiliki Dow Jones, rencana Murdoch memperkuat jajaran bisnis berita kabelnya akan tercapai. Fox Business Channel kepunyaannya akan mendapatkan pasokan berita mutakhir secara rutin dari para wartawan di jaringan perusahaan barunya itu. Pengambilalihan Dow Jones, tak pelak lagi, akan mengukuhkan posisinya di singgasana maharaja media.

Tak pelak lagi, orang Australia yang kini menjadi warga negara Amerika itu bakal makin kaya. Kini dia menguasai berbagai jenis media seperti koran (New York Post, Chicago Sun), stasiun TV, saluran televisi kabel, hingga studio film. Di Indonesia ia memiliki sebagian saham ANTV. Tahun silam, dia membeli jaringan MySpace seharga US$ 580 juta atau Rp 5,2 triliun. Total kekayaannya ditaksir mencapai US$ 68 miliar atau Rp 612 triliun.


Irfan Budiman/Tempo 09 - 15 Juli 2007

Saturday, July 14, 2007

zero

untuk ZB.

"lebih baik mati seribu kali dengan gagah daripada hidup menjadi pengecut."

- kho ping ho - (kisah sepasang rajawali, episode 231)

tidak ada apa pun di sana. hanya kekosongan. sunyi yang melindap. kedap yang merapat. hampa yang tak sesak. luas seluas yang engkau bayangkan. waktu tak bertutur apa pun, meski waktu juga tidak lelap. bisu dan tidak siapa pun bisa memaksa untuk bergerak maju atau kembali.

dan saya membayangkan berdiri di tengah titik itu. mendongak berharap ada keajaiban. seakan-akan langit tidak ada. seakan-akan di atas cuma hitam. memanggul kegelisahan sambil merapal doa yang sangsi.

"Tuhan, untuk apa sebetulnya rasa takut Kau ciptakan?"

tak terdengar jawaban apa pun. lapat-lapat pun tidak. daun telinga hanya menangkap sunyi.

Tuhan tidak sembunyi, tentu. tapi Dia juga enggan menjawab. mungkin Dia juga tidak tahu, untuk apa sebetulnya rasa takut dibiarkan. berselang-seling dengan keberanian. seperti hitam putih papan catur.

dan kita berganti-ganti di atasnya. sebentar berani. sebentar takut. dan betapa gundah ini begitu menggelisahkan.

saya pun tak sanggup menahan sebuah tanda tanya. lagi-lagi dengan doa yang sangsi.

"Tuhan, untuk apa sebetulnya rasa takut Kau ciptakan?"

Wednesday, July 04, 2007

Dalam Bayang Polisi dan Dujana

Sabtu, 30 Juni 2007. Tayangan derap hukum sudah dua jam berlalu. Tayang pukul 00.30 WIB. Seperti biasa, telat satu jam dari jadwal yang sudah ditetapkan, yang sudah dipromokan. Dan saya tidak kaget.

Hari itu, jarum jam duduk di angka pukul dua dini hari. Sekitar empat jam lagi matahari terbit. Saya masih di kantor, setelah cukup stres mempersiapkan paket derap hukum. Main games sepak bola di website--tempat nongkrong saya sehari-hari, karena di web nikmat betul merokok tanpa perlu dag-dig-dug dicemberutin Mbak Nunung--hehehe peace mbak...

Dan telepon seluler saya bunyi. Tris Wijayanto, yang gondrong itu, menelepon.

"Halo Pa'e!" sapa saya. Produser Eksekutif Program Khusus itu memang lebih pas disapa Pa'e ketimbang Mas atau Oom.

"Choy, tayangan DH diprotes Densus." Pa'e berujar singkat, dingin. Saya membayangkan wajahnya tidak tersenyum.

Saya diam. Lalu Pa'e pun bercerita bahwa dia baru saja ditelepon Mas Geong. Sekitar lima belas menit, Pa'e ngoceh. Intinya, Mas Geong memberitahu bahwa polisi kecewa dengan tayangan Derap Hukum malam itu. Selesai. Saya pun kembali main games sepak bola. Saya memainkan Tim Inggris. Melawan Brasil.

Cerita Pa'e tentang protes Densus sungguh bikin konsentrasi buyar. Tim Inggris yang saya mainkan kalah berkali-kali: 3-1, 4-0, 2-0, dan terakhir paling parah: 7-0. Tidak pernah saya sebodoh itu main games.

Sebuah berita diprotes, buat saya, bukanlah hal aneh. Tapi kalimat Pa'e, mengutip cerita Mas Geong bahwa lobi dengan Densus jadi rusak gara-gara tayangan itu, sungguh, inilah yang sebetulnya menggangu pikiran saya.

Mungkin banyak orang bertanya atau heran, terutama yang tidak menonton, seperti apa sih paket derap hukum malam itu? Pesan singkat dari Komandan Lapangan Satgas Bom, yang Kombes itu, menyatakan SCTV lebih memihak dan membela satu anak teroris yang tidak luka sedikit pun, ketimbang ratusan anak korban teror yang luka, cacat, mati, ditinggal mati oleh orangtuanya yang menimbulkan luka berkepanjangan seumur hidup.

Memihak. Membela. Begitu menurut Pak Polisi. Pertanyaannya, benarkah Derap Hukum malam itu begitu?

Jawaban saya, tidak juga kok.

Tema paket panjang Derap Hukum malam itu adalah tentang penangkapan Abu Dujana yang disertai penembakan di depan ketiga anaknya yang masih kecil. Angle besarnya: Bagaimanakah seharusnya prosedur polisi untuk menangkap seorang yang diduga berbahaya, agar jangan sampai membuat, khususnya anak-anak (anak siapa pun, terlebih lagi anak yang ditangkap), menjadi trauma?

Zaenal Bhakti--Produser Eksekutif juga--dan Tris Wijayanto, mengusulkan dan meminta saya menggarap ini--untuk memberi warna Derap Hukum agar tak melulu membuat paket tentang pembunuhan yang berceceran begitu banyak di sekitar kita. Dari merekalah ide ini muncul. Khusus menyorot soal penembakan itu saja. Fokus. Tidak lebih, karena memang soal perlindungan hak anak ada undang-undangnya--tema yang sangat pas buat Derap Hukum. Niatnya bahkan mulia: agar langkah polisi untuk menangkap orang yang diduga berbahaya tidak kontraproduktif, karena cara-caranya keliru.

Sepekan sebelum paket itu tayang, tepat ketika dua petinggi Progsus itu meminta membuat paket ini, berita tentang penembakan Abu Dujana di depan anak-anaknya sedang hangat. Media cetak, website, radio atau televisi, termasuk liputan6 ramai-ramai menyorot soal itu. Derap Hukum sebetulnya telat. Sangat telat, karena ketika paket itu tayang, isu ini sudah reda.

Entah kenapa kok baru sekarang polisi keberatan dengan berita itu.

Kembali ke soal memihak dan membela itu. Sekali lagi jawabnya, tidak juga kok.

Paket itu sudah memenuhi kaidah jurnalistik, cover both side atau apalah istilahnya. Penyusunan segmen dan narasi yang saya buat, sebisa mungkin obyektif. Sumber-sumber yang--katakanlah--bertikai dikutip sesuai konteks. Ada sumber dari pihak Abu Dujana, ada juga sumber dari pihak yang dituding, yakni polisi, diwakili Humas Mabes Polri.

Paket ini pun sudah lulus saringan petinggi progsus, Tris dan Zaenal. Pa'e menyaring narasi yang saya buat. Lalu, ditemani gorengan yang sudah dingin di ruang editing, mereka juga menyimak segmen demi segmen dengan hati-hati. Bahkan Zaenal sampai merasa perlu memilihkan statement agar tak terlalu panjang.

Perimbangan sudah dibuat. Hati-hati lho bicara soal perimbangan. Perimbangan sebuah berita, bukanlah dua sumber melawan dua. Atau tiga sumber melawan tiga. Debat soal ini tak pernah habis di dunia jurnalistik. Tapi ingatlah kasus Tempo dengan Tommy Winata. Tempo cukup satu kalimat pendek sebagai wujud perimbangan, yang membantah Tommy ada di "Tenabang". Dan Tempo menang di pengadilan.

Satu hal yang cukup penting saya sampaikan, paket ini juga tidak hanya diprotes polisi, melainkan juga keluarga Abu Dujana. Saya ditelepon, sebut saja namanya Kang Asep. Dia kakak nomor tiga Abu Dujana. Orangnya ramah. Sering senyum dan logat sundanya kental sekali. Dialah yang memberi akses agar Sri Murdiati mau bicara. Sekadar informasi, setelah ribut-ribut soal suaminya ditangkap, setelah upaya ke Komnas Perlindungan Anak dan DPR dilalui, Sri menjadi tertutup.

Ia menolak diwawancarai. Terlebih lagi diambil gambarnya, termasuk wajah anak-anaknya. Padahal, sebelumnya ia begitu mudah disorot dan diwawancarai. Butuh upaya meyakinkan yang mencemaskan agar Sri mau bicara. Dan syukurlah ia mau bicara, setelah saya mencoba mencuri hati keluarganya dengan menumpang salat di musala depan rumahnya--kalau Tuhan mau, pasti saya sudah dikutuk jadi kodok karena jelaslah salat saya tidak ikhlas. Semoga Tuhan mau memaklumi saya.

Wawancara itu disepakati dengan tidak memperlihatkan wajah Sri--sesuatu yang disayangkan media televisi, karena selama ini wajah Sri sudah muncul di mana-mana. Tapi dalih Sri, penyembunyian identitas itu pesan suami. Amanat, agar tak mengumbar aurat di media massa. Sialnya, wajah anak-anaknya pun tidak boleh diperlihatkan. Ya sudah. Kita harus menghormati permintaan sumber bukan?

Dan keluarga Abu Dujana kecewa. Di telepon, Kang Asep marah-marah, karena dia berharap, Derap Hukum akan mendukung keluarga Dujana dalam kasus ini. Tidak justru memojokkan. Mereka geram melihat pernyataan Humas Mabes Polri yang mengatakan anak-anak Dujana sengaja dijadikan bemper. Dia juga kecewa dengan grafis pemetaan tentang Jamaah Islamiah yang dibuat SCTV, yang menempatkan Dujana sebagai pemimpin sayap militer organisasi teroris. Pada pembicaraan terakhir dia bilang begini: "Pokoknya saya nggak percaya lagi sama negara ini, termasuk wartawan-wartawannya!" Klik. Telepon ditutup. Saya cuma bisa bengong. Betapa apesnya malam-malam mau tidur dibentak orang. Bayangan Kang Asep yang ramah dan murah senyum hilang sekejap. Orang Sunda rupanya bisa galak juga. Saya pikir, susah lagi pasti ke depannya berhubungan dengan mereka gara-gara ini. Hancur juga nih lobi.

Tentang kebangsaan yang dipertanyakan. Biarlah soal ini saya serahkan pada polisi yang mungkin paling mengerti bagaimana berbangsa dan bernegara. Soal anak-anak korban bom itu, saya yakin, setiap orang akan geram dan marah melihat mereka menjadi korban. Dan saya pun begitu. Humas Mabes Polri sudah menjelaskan soal ini dalam tayangan itu. Kalimatnya persis seperti bunyi sms protes ke SCTV.

Tak mudah membedah soal terorisme di Indonesia. Kompleksitas persoalannya benar-benar njelimet. Berbagai opini berloncatan di mana-mana. Ada yang menuding Amerika Serikat di balik teror. Ada yang bilang latar belakang pengeboman ini ghirah berlebihan dari alumni Afghanistan. Ada yang bilang Indonesia adalah bagian dari grand design operasi intelijen negara maju. Banyaklah. Tapi apakah alumni perang Afghan semuanya teroris? Mujahid Moro dan Mindanao semuanya teroris?

Kita tahu, sebagai jurnalis, skeptis amat diperlukan agar tetap bisa jernih melihat sebuah persoalan. Kita tahu, ada tempatnya untuk memberi label seseorang bersalah sebagai teroris: pengadilan. Tugas polisi cuma menangkap, memeriksa. Mereka dibayar negara untuk itu. Mereka tidak berhak memberi cap, karena asas praduga tak bersalah tak bisa tidak musti dipegang.

Saya jadi ingat, omongan Nono Anwar Makarim yang bilang, seperti disebut Andi Budiman—ini tokoh penting dalam jaringan Topik Minggu Ini. Sayap Militernyalah. Hehehe--yang kemudian dikutip lagi oleh Tris Wijayanto dan Zaenal Bhakti. Kira-kira begini kalimatnya: "Bila sebuah berita diprotes dua sumbernya yang berseteru, artinya berita itu sudah on the right track." Sebuah kutipan yang menarik.

Dari kasus ini, ada pertanyaan yang mengganggu: Apakah kalau kita dekat dengan istana, parpol, tentara, menteri, pelacur, pelawak, polisi, atau siapa pun sumber itu, yang tentu juga punya seni kesulitan tersendiri untuk mengakrabinya, kita tidak boleh mengkritisi? Selalu ada cara buat wartawan untuk membangun hubungan yang sempat merenggang gara-gara sebuah berita. Saya pikir kita sudah cukup dewasa untuk menjadi jurnalis yang mencoba benar, tidak tidur dan lelap di kaki sumber sampai-sampai kita enggan membuka mata dan terbangun...

Saya yakin kasus seperti ini, diprotes sumber atau apalah, akan terulang lagi... Tidak apa-apa. Untuk pembelajaran...

-=Satriana Budi/Choy=-

Yang masih "MIMPI BURUK" gara-gara main games bola sampai kalah 7-0.

*******

Buat Mas Zenal: Saya kok lebih senang jadi pengamen seperti Iwan Fals sebelum tenar ketimbang jualan kacang. Hehehe.

Buat Pa'e: Asyik nih belajar bikin paket yang naratif tanpa membuang data penting sama dia... dan tetap jangan lupa tertawa Pa'e. Hehehe...

Buat Dop: Kalau nggak ada Dop, nggak tau deh tuh dokumen kasus Bom Bali dan Marriot kumpul atau nggak.

Buat Frets: Tanpa gambar ini anak, gak tau deh paket itu jadinya gimana. Gue bilang juga ape Din. Jadi seru kan nih... Hehehe...

Buat Fira: Lo gila ye, orang ikutan wawancara dimarahin... Hehehe...

Buat Cimot: Hidup lo mah mah enak Mot, dari Bali langsung ke Semarang...

Buat kru liputan6: Selamat belajar...

Buat saya sendiri: Jangan lagi shalat nggak ikhlas...