Saturday, July 22, 2006

dan kami tak pernah....

sungguh
kami tak pernah
ke pantai bersama
untuk membangun istana pasir
atau mengejar matahari tenggelam

kami juga tak pernah
memanjat pohon bersama
untuk membangun rumah
di sela dahan dan ranting
atau memunguti daun-daun kering
yang berjatuhan di taman

ada banyak hal
di dunia ini
yang tidak kami lakukan bersama...

dan di kesunyian
ketika rintik gerimis
berhenti di sisa malam
ketika kota takut
menjemput hari esok
aku bertanya

untuk apa dia ada?
membayangi setiap gerakku

untuk apa dia menganggap
kalau tak pernah kuanggap
begitu juga sebaliknya
seakan-akan kami berjalan
dengan mata yang tertutup rapat

lalu,
pada keramaian aku belajar
sesungguhnya
setiap bunga punya harum sendiri
setiap jiwa punya warna sendiri

kadang hitam tak selamanya jahat
dan putih tak selalu baik, ternyata

tapi,
ada satu hal yang meyakinkan
selepas mendung berlalu
masih ada mega di tepi langit
mengajarkanku
mengingatkanku

tak perlu mata terbuka
untuk bisa memahami
betapa berartinya engkau, lamunanku...

Wednesday, July 12, 2006

Zizou

JIKA huruf Arab yang mengeja namanya di-Latinkan dengan lafal Inggris, ia adalah Zinad-Din. Di Indonesia ia akan dipanggil Zainuddin. Konon itu berarti ”ornamen iman”.

Orang tuanya datang dari Dusun Taguemoune, di bu-kit-bukit Aljazair yang jauh. Seperti banyak orang dari wilayah Afrika yang dilecut niat memperbaiki nasib, Smaïl Zidane, si ayah, pergi merantau ke Paris. Tapi kemiskinan tetap menggilas, dan ia pindah ke Marseille, di selatan, sebuah kota yang tak teramat jauh dari negeri asal.

Pada pertengahan 1960-an itu, Smaïl bekerja sebagai pe-tugas gudang, sering dalam giliran malam. Ia ingat Zai-nuddin mudah bermimpi buruk bila si bapak tak pulang. Sebab itu pada waktu senggangnya ia penuhkan perhati-an bagi anak yang lembut hati yang dipanggilnya Yazid atau ”Yaz” itu.

Ketika Zidane muda sudah jadi pemain bola termasyhur, dan seluruh Prancis mengeluelukannya sebagai pahlawan, dan para pengagumnya memanggilnya ”Zizou”, bukan ”Yaz”, ia tak melupakan apa yang diberikan ayahnya.- ”Saya mendapatkan semangat dari dia,” katanya. ”Ayahlah yang mengajari kami bahwa seorang imigran harus bekerja dua kali lipat kerasnya jika dibandingkan dengan orang lain—dan tak boleh menyerah.”

Daerah La Castellane, di bagian utara Kota Marseille, tempat Zainuddin Zidane dibesarkan, tempat ia bermain bola di lapangan Place de la Tartane, bukanlah wilayah yang ramah. Orang menyebutnya sebagai quartier difficile, perkampungan sulit. Di tepi jalan yang berdebu itu, di deretan perumahan kotak-kotak itu, hidup si muslim, si miskin, si minoritas, yang akhir-akhir ini merisaukan Prancis: beban, ancaman, atau bantuankah mereka?

Dalam hal itu ”Zizou” mau tak mau memikul sebuah pertanyaan—meskipun kita tak tahu sadarkah ia akan hal itu.

Ketika Prancis keluar sebagai kampiun Piala Dunia 1998, sebuah perayaan spontan meluap di Paris: satu setengah juta manusia berderet di Champs Elysees. Sebuah potret besar Zidane, pencetak gol yang menjadikan negerinya sang juara, diproyeksikan di Arc de Triomphe. Ribuan orang berseru, tiba-tiba, ”Zidane! Président!”

Zainuddin, keturunan minoritas yang disebut les beurs, serta-merta jadi sebuah ikon bagi sebuah bangsa yang sering disebut ”paling rasialis” di Eropa.

Agaknya Piala Dunia sebuah simptom: kompetisi itu adalah ekspresi nasionalisme dalam demamnya yang tak berbahaya. Juga nasionalisme yang tak sama dengan rasialisme. Eropa pernah melahirkan Naziisme, tapi ada sesuatu yang sering diabaikan: nasionalisme punya kemampuan untuk melupakan.

Prancis semenjak revolusi pada abad ke-18 merupakan contohnya. Dari pengalaman itu pada abad ke-19 Ernest Renan mengemukakan pentingnya ”lupa” dalam membentuk bangsa: sebuah ”nasion” terjadi ketika ikatan kedaerahan, rasial, dan keagamaan tak lagi diingat-ingat. Telah tumbuh hasrat untuk berbareng (le désir de l’être ensemble) di antara anasir yang berbeda-beda. Sebuah kebersamaan pun terbangun.

Zidane menerima dan diterima oleh kebersamaan itu—yang bernama ”Prancis”—ketika ada kehendak ”melupa-kan” ikatannya dengan sesuatu yang bukan ”Prancis”. Ju-ga di lapangan hijau itu: ”Prancis” hadir bukan cuma pada warna kaus yang seragam, tapi juga pada agresivitas- Zidane yang melupakan diri bahwa ia seorang pemain Real Madrid—seperti halnya lawannya hari itu, Ronaldo dari Brasil.

Demikianlah identitas ”Prancis” berkibar dari lupa dan benturan. Kompetisi Piala Dunia memang metafora yang bagus tentang antagonisme, di mana perbedaan yang mutlak tak pernah ada. Sebuah pertandingan selalu mengasumsikan semacam persamaan: tak ada pihak yang 100 persen ganjil bagi pihak lain. Yang terjadi adalah ada yang menang, ada yang kalah.

Sebagaimana dalam kehidupan: ada antagonisme da-lam tiap kebersamaan, dan si menang naik, si kalah turun. Kesetaraan yang penuh tak bisa tercapai; tiap angka 0-0 akan diselesaikan dengan tendangan penalti. Tapi dorongan ke arah kesetaraan akhirnya tak dapat dielakkan, dan argu-men untuk mengekalkan perbedaan akan terguncang. ”Kami berasal dari sebuah keluarga yang tak punya apa-apa,” kata Smaïl Zidane menyaksikan tempik-sorak bagi anaknya di seantero negeri. ”Kini kami dihormati orang Prancis dari segala jenis.”

Tapi justru karena itulah Zidane membawa sebuah pertanyaan bagi Prancis: bisakah logika perbedaan diguncang oleh logika kesetaraan? Bagaimana mungkin ”mereka”—yang muslim, yang lain—dianggap sederajat dengan ”kita”, mayoritas?

Tampak bahwa di sini yang ditekankan bukanlah lupa, melainkan ingatan—dan wajah buruk nasionalisme pun menyeringai.

Setelah kemenangan tim Prancis pada tahun 1998 itu, Jean-Marie Le Pen, pemimpin Front National—yang sela-lu mencurigai minoritas—akhirnya menerima Zidane dengan catatan: sang bintang adalah ”putra Aljazair Prancis”. Itulah alasannya kenapa Zainuddin layak diterima di antara ”kita”: Zizou datang dari keluarga ”harki”, kata Arab untuk menyebut orang Aljazair yang bertempur di pihak Prancis, sang penjajah, pada masa perang kemerdekaan.

Zainuddin membantah itu: keluarganya bukan pengkhianat. Tapi bisakah ia mendefinisikan diri, ketika dunia privat seseorang diserbu kebencian hitam-putih orang ramai? Oktober 2001, sebuah pertandingan persahabatan dicoba antara tim Prancis dan Aljazair di Stade de France. Pertandingan itu simbolik: kedua negeri itu tak pernah bertemu di lapangan bola sejak perang kemerdekaan Aljazair. Tapi seperti diceritakan Andrew Hussey dalam The Observer, menjelang hari itu Zidane diancam akan dibunuh. Poster dipasang: ”Zidane-Harki”. Akhirnya permainan tak selesai. Beberapa anak muda keturunan Arab berseru mengelu-elukan Usamah bin Ladin dan mengutuk Republik Prancis.

Demikianlah lupa dan ingatan bisa dibongkar pasang untuk diteriakkan, juga bagi si pemalu yang bersuara lirih itu, Zinedine Zidane.

CP

Friday, July 07, 2006

sajak orang kepanasan

karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu .....
karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan .....
maka kita bukan sekutu

karena kami kucel
dan kamu gemerlapan .....
karena kami sumpeg
dan kamu mengunci pintu .....
maka kami mencurigaimu

karena kami terlantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan .....
karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar .....
maka kami tidak menyukaimu

karena kami dibungkam
dan kamu nrocos bicara .....
karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan .....
maka kami bilang TIDAK kepadamu

karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana .....
karena kami cuma bersandal
dan kamu bebas memakai senapan .....
karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara .....
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu

*rendra, si burung merak

Wednesday, July 05, 2006

gengsi

berapa harga sebuah gengsi? jawaban sederhananya, tergantung standardisasi masing-masing orang. ada yang murah, sedang-sedang saja, mahal, bahkan teramat mahal.

bicara soal gengsi, tak akan pernah bisa lepas dari yang namanya materi. ingin ini dan itu, jelas perlu uang untuk mewujudkannya. tapi kalau hidup harus memaksakan diri demi gengsi, apakah perlu?

mereka yang bijak pasti akan bilang tidak perlu, tapi kita hidup di tengah zaman yang isinya tak melulu orang bijak. di antara kita barangkali pernah melihat, ada orang yang selalu ngebela-belain agar penampilan lebih wah. ada semacam niat agar citra di luar dirinya menonjol dan dengan demikian mereka yang melihat akan respek. padahal, apa yang dimunculkan bukanlah dirinya sendiri alias buah dari pemaksaan.

ada banyak contoh, sebetulnya. salah satu contoh saja, ada orang yang menolak naik bus karena enggan dibilang bukan kaum berpunya. meski kendaraan pribadi tidak punya, maka dipaksakannyalah naik taksi. akibatnya, uang gaji yang pas-pasan habis begitu saja demi transpor. tabungan kosong. boro-boro bisa beli baju atau kredit cicilan rumah. hidup begini bagi mereka yang gajinya cukup tentu tak akan jadi soal.

gengsi itu merusak, lho. bikin hati jauh dari rasa bahagia, karena yang dipikirkan hanyalah bagaimana orang melihat kita, bukan karena kita ingin bahagia. dan jika Anda merasa gengsian--untuk mendeteksinya tanyakan saja hati kecil dan jawab dengan jujur--lebih baik lupakan saja agar hidup Anda bisa bahagia.

"jika kita ingin hidup bahagia, kita harus hidup sederhana. apabila Anda memakai jas mahal, Anda pasti khawatir akan rusak, kotor atau hilang. apabila Anda mengelilingi diri dengan barang mewah, Anda kerap cemas barang itu hilang atau rusak. di mana hartamu berada, di situ pikiranmu berada. engkau akan terbelenggu oleh sesuatu yang fana," begitu kata toyohiko kagawa, pemikir jepang.

ingatlah, ada banyak hal di dunia ini yang tak melulu mengedepankan citra....

Sunday, July 02, 2006

i love!

i love my beb and klinsi! viva germany!