Tuesday, January 10, 2006

senja di pucuk bukit

Apa yang Anda lakukan jika dokter telah memvonis Anda akan meninggal dunia sebulan lagi? Boleh jadi Anda akan menangis, mengurung diri tanpa gairah. Menahan rasa takut akan datangnya kematian. Mencoba melawan takdir dan berontak, memaki hidup yang tak adil. Mungkin juga Anda akan membenci Tuhan selama-lamanya. Anda putus asa dan begitu menyesal lahir ke dunia...

Bisa jadi pula Anda akan berterima kasih. Berterima kasih karena mengetahui bahwa ajal akan datang menghampiri. Kenapa harus berterima kasih? Sederhana saja, karena dengan demikian kita bisa habis-habisan berbuat baik, seperti yang sedang saya coba lakukan saat ini, sebagai bekal di akhirat kelak. Bukan begitu?

Semestinya memang begitu. Semestinya... karena ternyata berbuat baik itu tak semudah yang saya bayangkan.

"Hallo, di mana?"
"Masih di rumah. Jadi?"
"Jadi dong. Jam berapa?"
"Sekarang deh."
"Ok."

Klik. Telepon ditutup. Kezia, teman dulu di kampus, sahabat yang selalu ada di saat saya tak membutuhkannya dan selalu tidak ada di saat saya butuh. Sahabat menyebalkan, memang. Tapi saya tak bisa membiarkan dia keluar dari lingkaran hidup saya. Bagaimana pun, dialah orang di luar keluarga yang tahu bahwa sebulan lagi saya akan meninggal dunia. Rencananya, hari ini, dia akan mengajak saya pergi ke suatu tempat yang tak pernah saya datangi. Saya tak tahu ke mana, tapi sepertinya menarik. Entah kenapa saya bisa menduga menarik. Mungkin karena Kezia selalu memunculkan hal yang memang tak pernah diduga. Mungkin ada baiknya sekarang saya mandi, agar ketika Kezia datang, saya sudah siap.

"Kita ke mana sih?" Kata saya, saat Kezia tiba.
"Udah tenang aja."
"Kok bawa-bawa pacul segala?" Mata saya memicing, melihat perlengkapan aneh di tangan Kezia. "Lo jangan gila deh."
"Ini nggak gila. Udah deh jangan brisik, nggak usah kayak nenek-nenek. Buruan, nanti keburu sore."

Saya tak bisa mendesak. Saya cuma bisa ikuti langkah Kezia ke mobil. Setelah menaruh pacul ke dan sejumlah alat yang biasa dipakai pekerja bangunan ke bagasi, kami pergi ke arah selatan kota. Sepertinya, kalau tidak salah, ini perjalanan menuju bukit.

"Kita ke bukit?"
"Yup."
"Ngapain di sana?"
"Lihat saja nanti."
"Apa menariknya bukit? Bukannya kita sudah sering ke sana?"
"Ada hal yang harus lo ketahui."
"Apa itu?"
"Lihat aja nanti."

***ngantuk...

9 comments:

Anonymous said...

ini bersambung kan? jgn bikin org penasaran donk...

me said...

lo mulu sihhhhhhh! ampun deh! nantikan lanjutannya di layar2 tancep terdekat.

Anonymous said...

hiehehehe...gw tau lanjutannya lah :D
paling juga coy d ajak buat gali lubang kuburnya sendiri...hahaha...tul ga ;)

Anonymous said...

bwahahahhahahaha... belum pernah gw pgn ngakak kayak gini..
iteung, meuni telak euy!!
salam we lah kanggo kabayan nya...
heuheuheue..

me said...

pola pikir ending cerita di kepala lo-lo pade sinetron indonesia banget sih... di bawah standard...

Anonymous said...

hahaha...gitu ya? maklum gw ga hobi nonton sinetron indonesia kaya coy siw ;) jadi ga tau de kalo lu juga bisa bikin cerita kaya sinetron indonesia :))

eh eh...standard berapa niw? standard 1 ato 2? xixixi...jadi kaya motor dunk ;)

anakpanda said...
This comment has been removed by a blog administrator.
anakpanda said...

buntet!! buntel!! bunderan hi!!

me said...

lo tuh gendut!!!