Monday, January 23, 2006

kum! selamat jalan oom!

pesan singkat di ponsel pagi itu, 14 januari 2006, seketika membuat saya terhenyak. tiba-tiba ingatan saya tertarik ke belakang. pastinya kurang jelas, tapi kalau tak salah ingat, peristiwa itu terjadi di akhir 1996. saat itu saya belum lama menjadi wartawan, sedang semangat-semangatnya belajar menjadi wartawan yang baik dan benar.

saya ditugaskan meliput tentang proses masuk sekolah negeri yang ketika itu, diselimuti sejumlah kasus suap. sekolah negeri adalah impian dan banyak orang tua menggampangkan cara agar anaknya bisa tembus, meski sebetulnya ia tak lulus tes.

banyak sekolah yang diduga diam-diam menjalani praktek seperti itu. tentu tak resmi, karena yang terlibat suap menyuap hanyalah segelintir. bisa guru, bisa juga pegawai tata usaha. untuk mencari fakta itu, lalu saya masuk ke sebuah sekolah negeri di bilangan bulungan jakarta selatan. cara yang saya pakai tentu dengan menyamar, tak mengungkapkan identitas sebagai wartawan. saya berpura-pura sebagai kakak seorang adik yang gagal masuk sekolah negeri dan ingin supaya ia bisa duduk di bangku sekolah yang terbilang favorit itu.

lama kasak-kusuk di dalam, di tengah suasana pendaftaran siswa baru yang riuh, akhirnya saya menemukan seseorang yang bisa mengupayakan agar adik saya bisa masuk sekolah itu. tentu dengan bayaran sejumlah uang, karena adik saya memang sama sekali gagal dapat negeri. setelah deal harga, yang jumlahnya lumayan untuk membeli kerupuk satu lapangan sepak bola, saya pamit dan berjanji akan kembali esok hari membawa uang. rekaman di tape kecil di balik jaket pun saya matikan.

sudah pasti saya tak akan kembali, karena tujuan saya hanya mencari bahan untuk tulisan tentang suap menyuap masuk sekolah negeri. saya kembali ke kantor dengan perasaan riang. saya membayangkan atasan yang menugaskan saya bakal senang, karena saya mendapat bahan yang cukup, boleh dibilang bukti kecil-kecilan sebagai indikasi telah terjadi suap menyuap di sekolah itu.

setiba di kantor, saya dengan antusias bercerita ke bos. saya katakan, saya dapat bahan bagus dan bukti telah terjadi suap di sekolah itu. tapi reaksi atasan saya dingin saja. tak antusias, benar-benar datar. wajahnya seperti dinding tanpa cat. saya heran, sudah pasti. yang membuat saya lebih heran, karena si bos menyuruh saya untuk menelepon orang dalam itu dan menjelaskan bahwa diri saya adalah wartawan. "biar kita lebih fair," katanya.

sinting dalam hati saya. menelepon orang yang sudah saya jebak? saya berharap sang bos bercanda, tapi ternyata tidak. ia sungguh-sungguh memerintahkan itu.

saya tak langsung menelepon. butuh tiga jam berpikir dengan hampir setengah bungkus rokok untuk memunculkan keberanian saya menelepon. menjelang malam, akhirnya, dengan perasaan cemas, saya menelepon orang itu.

"hallo pak, ini saya yang tadi siang mau mendaftarkan adik."
"oh iya iya. gimana?"
"hm, a g gi gini pak. duh, bapak jangan kaget ya."
"kaget kenapa?"

terus terang saya benar-benar takut. saya cemas orang itu punya penyakit jantung dan membayangkan ia roboh mendadak begitu tahu saya adalah wartawan.

"begini pak. sebetulnya saya nggak sedang mendaftarkan adik ke sekolah itu. saya ini wartawan, yang menyamar untuk mengumpulkan bahan dugaan suap di sekolah."
"ha?! waduh! waduh! kok begini sih? saya bagaimana ini?! jangan begitu dong dik!"

setelah yakin bahwa orang di seberang telepon tak roboh karena jantungan, saya jadi memiliki keberanian untuk menjelaskan pelan-pelan. dan akhirnya ia mengerti, setelah saya jamin identitasnya tak terungkap. masih dengan perasaan tak percaya, akhirnya dia bercerita modus suap dan segala tetek bengeknya. saya nyaris tak percaya saat itu, karena hal yang saya takuti ternyata malah membuat saya bisa memperoleh bahan yang lebih baik.

saya tak pernah bisa melupakan peristiwa itu. dan bila tiba-tiba di pagi itu saya teringat kembali, tentu karena saya teringat sosok atasan saya yang menugaskan liputan itu. ia orang yang santai, jahil, berjiwa muda, dan kadang-kadang suka sok galak. lebih dari enam tahun saya bekerja bersama dengannya. tentu bukan waktu yang sebentar.

ada banyak kenangan hilang timbul, berkejapan seperti film lama yang diputar cepat. itu terjadi setelah saya membaca pesan singkat yang membuat saya terhenyak. isinya, achijar abbas ibrahim meninggal dunia karena serangan jantung pagi tadi. bos saya, yang biasa disapa oom abbas itu, pergi selama-lamanya... menyisakan getir pada pagi basah...

selamat jalan oom, semoga Tuhan bisa bijak melihat sisi baikmu...

0 comments: