Wednesday, August 17, 2005

kepada putri rampen (34)

di tepi trotoar jalan depan kantor, babeh dan mamang melamun. di atas bangku kayu dekat gerobak dagangan rokok dan minuman, mata mereka kosong melihat lalu lintas padat merayap. jakarta selalu sesak selepas senja sampai sekitar pukul delapan malam. pekerja-pekerja pulang ke rumah, menjumpai keluarga atau bisa juga selingkuhan. rutinitas yang entah kapan akan selesai.

di tepi trotoar jalan babeh dan mamang melamun, di sela debu dan asap knalpot, juga raungan sepeda motor serta klakson mobil yang congkak. dulu, mereka tak memakai gerobak, tapi sebuah warung permanen yang ditanam dekat jembatan penyebrangan. aku dan kawan-kawan sering sekali duduk-duduk di situ. kadang sampai ketiduran. diiringi tembang dangdut atau instrumen sunda kegemaran si mamang.

lalu tiba-tiba semua berubah. aparat pemerintah kota datang. warung diangkut ke dalam truk, meski setiap bulan sudah bayar uang suap jatah keamanan berjualan. aparat-aparat sialan, kenapa kalian bisa hidup tanpa hati? jakarta yang indah selalu menjadi dalih untuk menyingkirkan pedagang kali lima. toh jakarta tak juga indah? kenapa uang jatah keamanan diterima? kenapa sewaktu mendirikan warung itu ada biaya Rp 300 ribu di keluarahan? aparat-aparat sialan, aku ingin tahu, terbuat dari apakah hati kalian? dari batu gunung ya?

babeh dan mamang masih melamun. dulu, setiap hujan, mereka tak kebingungan, karena bisa berteduh di warung permanen. sekarang tidak bisa. gerobak tak punya atap. saat air dari langit datang, mereka harus menyempil di sela daun-daun atau di bawah jembatan penyebrangan. mendekap dada menahan angin dingin yang basah. hidup begitu cepat berubah dan mereka tak pernah lelah bertahan. kenyamanan warung hilang, dan format berdagang pun diubah. tujuannya sama: istri dan anak musti diberi makan. betapa keras, betapa mengesankan...

sampai kemarin malam, ketika pulang dan sejenak duduk-duduk berbincang sambil minum teh botol babeh dan mamang, aku masih berandai warung permanen mereka tak dirampas aparat. pasti babeh dan mamang tak perlu kelelahan di tepi jalan, karena bisa rebahan di warung. babeh dan mamang tak semakin gelap kulitnya, karena saat panas datang bisa berteduh dalam warung. babeh rambutnya beruban, umurnya di atas 55 tahun. mamang lebih muda 10 tahun. orang-orang tua yang tak pernah lelah menjalani nasib. begitu kontras dengan gelak tawa mereka-mereka yang nyaman di mobil mewah yang dingin, yang mungkin saja hasil menipu atau korupsi--meski ada juga yang hasil jerih payah sendiri.

aku tak ingin apa-apa hari ini. aku hanya ingin merasakan kelelahan batin orang-orang yang keras bertahan... ada kesabaran yang panjang, juga perjuangan yang tak kenal kelelahan. sambil membayar teh borol dan berlalu menghampiri bus sesak yang datang, aku bergumam dalam batin: di usia 60 tahun negeri ini, kita tak pernah tahu kapan selesainya berjuang menjalani hidup yang tak pernah adil dan tak terduga cobaannya...

sebab persoalan... bagai gelombang
tenanglah tenang, tenanglah sayang...

tenang... tenanglah sayang
semuanya sudah suratan

tenang... tenang seperti karang
bintang-bintang jadikan hiasan...

dan aku turun di halte rudi, yang bernasib tak jauh beda dengan babeh dan mamang. aku tak banyak bicara. setelah mengambil majalah langganan, aku pulang. rudi melambai saat aku sudah berdiri dalam bus yang melaju malas. istrinya tersenyum di bangku halte. hidup tak pernah selesai bertahan... tak pernah selesai bersabar... kita belum merdeka... selamat berjuang sobat dan kawan... aku tidur sebentar, semoga bermimpi bertemu perempuanku yang selalu membuat nyaman...

0 comments: