Friday, August 05, 2005

kepada putri rampen (23)

mayat lelaki berusia sekitar 40 tahun itu terbujur kaku di tempat tidur pasien. sebuah peti mati tergolek di sudut ruang. bau anyir darah meruap, membuat hidung terasa aneh. tapi di kamar otopsi berkapasitas delapan mayat ini, empat petugas forensik yang berdiri mengitari mayat itu tampak tenang. mengenakan sarung tangan dan penutup hidung serta kepala, mereka terlihat santai. satu perempuan, tiga lainnya laki-laki. dari dokter zul, koordinator otopsi rscm, aku tahu bahwa cuma yang perempuan dan lelaki tua yang dokter, sisanya petugas biasa.

dan kengerian di mataku itu pun berlangsung. seorang di antara mereka membuat robekan vertikal tepat di tengah tubuh. dari ujung xiphois ke arah bawah hingga simphisis pubis. aku berkernyit menahan perih, tapi dokter itu terus menggunting ke atas, dari pusar ke pinggir dada, hingga ujung rusuk keenam, satu di kanan satu di kiri. guntingan dilanjutkan dengan membentuk dua potongan horisontal dari bawah puser ke pinggang, juga kanan kiri, menyusur lekuk tulang usus. ah... tak sakitkah mayat itu meski dia sudah tak bernyawa? aku bertanya bodoh dalam batin...

lalu pisau bedah itu juga ditembuskannya ke jaringan otot. maka tersingkaplah abdomen seperti bunga yang mekar. terlihat jelas rongga perut itu menganga, menampilkan isinya: usus besar dan kecil, hati, limpa, empedu, pankreas, dan jantung. darah mengaburkan organ-organ dari pandangan mata. aku menjadi mual, tapi coba bertahan melihat. mumpung dokter zul memberikan izin padaku untuk melihat.

sambil terus memicing mata, aku melihat kini giliran kepala. lelaki yang berdiri di bagian atas mayat mulai menyayat melingkari batok kepala, di atas alis, melewati pangkal telinga dan tonjolan oksipital. sebuah sayatan melingkar, , seperti armada laksamana ceng ho di zaman dinasti ming mengitari bumi, jauh sebelum columbus menemukan benua amerika. lalu ditariknya irisan vertikal membelah tengah dahi hingga belakang kepala. kulit batok rupanya lebih tebal daripada kulit bagian tubuh lain, merekat erat pada folikel rambut dan kelenjar minyak yang kenyal.

irisan bujur tadi kemudian dilanjutkan ke bawah, membelah kulit hidung hingga bibir atas. dan inilah bagian yang menyakitkan. dokter itu menyobek dari ujung bibir kanan, melingkari kepala, melewati bawah kuping, hingga ujung bibir kiri. dibuatnya juga irisan vertikal di garis batas pipi dengan telinga. dikelupaskah kulit itu pelan-pelan, dari sisi telinga ke arah hidung. jaringan kulit ini rupanya merekat erat pada otot-otot muka. andai tak hati-hati, otot-otot itu akan tercerabut juga dan pemasangan kembali wajahnya bakal tak bagus. lantas disayatnya kulit sepanjang rahang, dari telinga kanan dan ke kiri. gunting kulit dari bibir bawah ke ujung dagu. dan... kemudian terdengarlah bunyi gergaji manual membelah batok kepala... aku tak tahan dan memilih menjauh...

"kalau saya yang otopsi, pakai gergaji listrik," kata doikter zul. aku tersenyum tak habis pikir. betapa malang nasib mayat itu. tapi dunia kedokteran selalu membuat hal yang tak lazim menjadi mungkin. kemudian satu per satu mahasiswa-mahasiswa kedokteran berdatangan. mereka adalah mahasiswa yang tengah menghadapi ujian forensik. adakah yang salah ketika sebuah praktek otopsi digunakan juga untuk pendidikan? aku tak bisa menjawab, tapi logikanya sederhana saja. andai tak ada mayat-mayat itu, bagaimana cara mahasiswa-mahasiswa itu praktek forensik? masa iya harus membunuh dulu. simbiosis mutualisme. keadaan saling menguntungkan ini sudah cukup banyak diketahui keluarga yang meninggal. itulah sebabnya, banyak yang tak rela ketika jenazah keluarga atau kerabatnya hendak diotopsi, kecuali untuk kasus-kasus kriminal. tinggal yang kasihan adalah para gembel atau gelandangan. sudah bisa dipastikan, lantaran tak ada keluarga, mereka bakal menjadi korban praktek forensik mahasiswa kedokteran. mestinya mahasiswa-mahasiswa itu berterima kasih pada gembel dan gelandangan. mungkin saja ketika berpapasan di jalan mereka cuek, tapi begitu di kamar jenazah, mereka benar-benar dihargai sebagai cadaver yang amat penting. dibedah sampai tuntas agar semester enam bisa terlewati...

dan di ruang otopsi itu aku teringat engkau perempuanku...
ingat saja. begitu kuat. kubayangkan engkau berdiri di depan jenazah yang membujur kaku. memainkan pisau dan gunting bedah. tidakkah engkau ngilu dan ngeri? ah, melihatnya saja aku nyeri, apalagi membayangkan menyayatnya. tapi sudahlah, pendidikan dan mungkin profesimu kelak memang mengharuskan engkau begitu. bersenang-senanglah dengan cadavermu. aku menulis ini cuma karena teringat pada praktekmu saat di que lalu. mudah-mudahan hasilnya memuaskan. aku doakan... aku sayang kamu. makan dulu ya...

aku, lelakimu yang pusing setelah melihat isi perut dan mendengar kepala digergaji.

0 comments: