Wednesday, June 08, 2005

Kepada Laut Aku Pulang

Siapalah aku, perempuanku. Hanya lelaki laut yang bermimpi mencintai karang. Kerap terempas badai dan dikitari gerombolan burung bangkai yang garang. Di laut aku berenang ke dasar samudra, mendedah ombak menciptakan buih amarah dari perih yang panjang. Sering pula kutegak melawan matahari yang pongah, memapah waktu tanpa pernah peduli bumi juga mempunyai gunung dan rumput liar. Aku terkapar pada kesunyian, di sela kayuhan perahu-perahu nelayan yang pulang. Dan bila kini kuberteriak rindu pada angin, terakhir kali kuminta, dengarlah jeritku yang sedikit pun tak pernah kau hiraukan. Sesaat saja, layaknya tubir pantai yang pasrah disapa lidah gelombang kala matahari tenggelam.

Aku hanya lelaki laut yang tak mengerti jalan pulang, perempuanku. Tengah limbung setelah kau pudarkan mimpi indahku yang terindukan. Kau cerabut akar yang kutanam pada tanah kering yang pernah kugemburkan. Kau pergi meninggalkan pantai, menjauhi dermaga dan menenggelamkanku ke dasar lautan yang kelam dan dingin.

"Hentikan." Perempuan di depanku menukas, ketika lidahku baru saja hendak bertutur tentang batu karang.
"Kenapa?"
"Aku tak bisa."
"Tapi dulu kau menyukai lautan?"
"Itu dulu"
"Kenapa sekarang tidak, sedangkan perjalan belumlah sampai?"

Perempuanku bergeming, menggigit bibirnya tanpa sebab. Lenguhanku tipis menahan kesal yang hendak tumpah. Ingin kupeluk perempuanku sebagai bentuk penolakan pada sikapnya yang tak masuk akal. Tapi tubuku mengeras menjelma menjadi patung terabaikan. Salahkah menolak sebuah keputusan yang merobek rajutan keindahan yang lama kuanyam? Keteguhannya menuntaskan perjalanan yang kuukir sekian lama, memaksaku hanya bisa terdiam tanpa perlawanan.

Begitu mudah kau tinggalkan laut yang sekian lama kau selami, perempuanku. Melupakan gelak tawa di saat kita menghintung bintang pada malam-malam yang terasa begitu ringkas? Aku adalah lautan yang kalah, yang tak lagi kau perlu renangi saat kau tergulung keresahan.

"Aku pamit." Perempuanku kembali menukas.
"Tolong jangan pergi."
"Maafkan aku."
"Pahami aku untuk terakhir kalinya."
"Aku tak bisa. Aku tak akan pernah bisa."
"Kau bilang sedang mencoba, bukan?"
"Aku berdusta, sesungguhnya aku tak pernah mencoba apa pun."
"Maksudmu?"
"Aku tak pernah sedikit pun ingin mencintaimu."

Gelombang badai datang bergulung-gulung menyelimuti tubuhku yang limbung. Kupejamkan mata menahan takut yang datang. Kubiarkan empasan ombak raksasa membawaku entah ke mana. Jerit gagak yang berkeliaran berebut mencari celah. Aku menahan napas, menahan benturan dinding cadas karang yang kering. Meringis menahan sengatan pecahan ombak. Seketika aku menjadi lautan yang tumbang pada ganasnya gelombang. Perempuanku menjelma menjadi pusaran yang merobek jaring berisi jutaan asa yang kukumpulkan.

Kubiarkan perempuanku menghilang. Pergi meninggalkanku yang rebah di tempat tidur dengan keringat bercucuran. Lapat kudengar lantunan The Blower's Daughter Damien Rice. Kucoba bangun dari tempat tidur, tapi rangkaian belulangku seakan terlepas. Aku lunglai sampai matahari pagi datang membawa senyumnya yang pudar. Kutulis pagi ini dengan tinta air mata. Aku adalah lautan yang kalah diempaskan dashyatnya badai.

Waktu berputar bagai roda pedati yang ditunggangi sais pemalas. Kupandangi jendela yang basah ribuan titik embun. Nyanyian burung di balik rerimbunan pohon mengajakku bernyanyi. Tapi aku lautan yang sedang tumbang dihantam badai? Godaan kicauan burung yang riuh, juga angin yang menampar wajah, mengusikku agar terbangun. Lalu kulempar senyum ke halaman, pada warna warni bunga dengan wajah yang sembab.

"Selamat pagi."

Bunga-bunga di taman yang kusapa balas melambai. Sambil kupejamkan mata, kureguk aroma pagi yang basah sisa hujan semalam. Kulihat jam di atas pintu kamar. Satu jam lagi aku harus pergi bekerja. Hidup, pada akhirnya adalah sebuah rutinias yang tak pernah berhenti. Kubuang pandangan ke langit, menyapu jingga tipis surya memanjang, seolah mengajakku untuk tetap menjadi lautan.

Cukup enam jam aku terempas badai. Kelelahan ini harus kuselesaikan. Aku ingin kembali menjelajahi samudera, memecah hantaman jutaan gelombang, meninggalkan cerita memuramkan yang tak semestinya menjadi bayang di perjalanan. Aku ingin menyelami lautan, menemani ikan-ikan melawan dingin dasar lautan. Selamat datang lautku, kupulang menjelma menjadi batu karang.

11 comments:

Anonymous said...

Miris. Kenapa kisah dan puisi hidupmu tak putus dari kemuraman?

-TeA-

Anonymous said...

Jadi orang dewasa gak enak... sedih muli


sincerely,
anak kecil

Anonymous said...

Setuju dengan Tea.
Kenapa sih belakangan ini tulisanmu berbau kemuraman ?

Anonymous said...

love is around u
love is knocking outside ur door waiting 4 u

Anonymous said...

puisinya bagus, sediihh...:(

grey

Auf Klarung said...

seperti biasa selalu bagus..mungkin emang lagi dilema kali tea.^^
kenapa selera lagunya sama sih iea.damien rice,frente^^

me said...

Tu kan mbem.. gue bilang juga dari dulu apa? puisi lu suka tuh muram.. bagus, tapi muram. Jangan jawab "gitu ya" tar dapet piring cantik

Anonymous said...

Hv a great weekend orang dewasa :)

Anonymous said...

woiiiiiiiiiiii ini niatnya mau bikin cerpen, kenapa pada nangkepnya puisi sih? heran!

Anonymous said...

eh si gendut... jangan pake me dong, itu cuma buat gw... oya de, damien rice n frente biasa" aja kok, cuma suka iwan fals aja... ga ada yg laen... hehehe... gitu deh.

Auf Klarung said...

iya deh, sekali iwan fals tetap iwan fals (jgn jawab hehehe..gitu ya.)