Tuesday, June 28, 2005

selamat tinggal

SEBETULNYA, ini sudah lama saya pikirkan, cuma tidak pernah berani untuk memulai... tapi malam ini, kegelisahan itu memuncak, dari sebidang tanah kegalauan yang datar, menjadi bukit, lalu menjelma menjadi gunung. dan malam ini saya tak tahan. inilah saatnya kegundahan itu meledak. barangkali...

saya cuma mau bilang satu kata: pamit. komunitas dunia maya, dengan segala macam perangkat lunaknya, blog, chat, friendster, atau apalah, sulit dipungkiri sebagai "rumah" yang menyenangkan. begitu banyak tawa, juga air mata, menyelinap bagai mata elang yang resah mencari umpan. segala hal itu menciptakan warna tersendiri sejak saya mengenal ini semua hampir sebelas tahun silam.

dan yang paling fenomenal adalah dunia chatting. tidak ada wadah seliar ini dalam angan-angan nenek moyang kita dulu, Adam, tentu. tak perlu jauh-jauh. boleh jadi pula, itu tak pernah terbayangkan dalam benak penggagas pertama bahasa program web berners lee, juga pencipta yahoo jerry yang dan david filo.

kegilaan, keharuan, keriangan, tumpah menjadi kekayaan cara pandang. dunia maya menjadi tempat bertahan dalam sakit dan tersenyum dalam bayang-bayang suram. dari sana lahir sesosok teman, menjadi sahabat, menjadi lawan, rekan, bahkan... ah, terlalu banyak untuk direpihkan. pertemanan datang silih berganti dengan perselisihan. memaksa kita terkerangkeng dalam penjara teknologi yang kadang menyesatkan--di sela segala hal yang menyenangkannya.

tapi zaman mungkin selalu berkehendak demikian. selalu ada kegelisahan dan pertanyaan. masih jauhkah perjalanan atau harus berhenti? selalu ada masanya untuk mengambil sikap. jika tidak, bisa saja, roda hidup terlalu besar untuk menggilas jiwa kita yang ringkih, tertatih.

itulah sebabnya, keputusan pahit musti saya ambil. bukan soal sepele, karena sebelas tahun bersetubuh dengan aktivitas maya bukanlah waktu yang ringkas. meninggalkan teman dan sahabat di sini, jauh lebih berat ketimbang melupakan mereka yang sehari-hari hidup di sekitar kita. dan mata saya basah. kini sedang menahan airnya agar tak jatuh untuk itu semua. saya tak ingin bersedih, tapi menghentikan ini semua bukanlah tanpa alasan. dari tanah kembali ke tanah, realita kembali ke realtita.

ah... akhirnya saya menangis, tapi aneh, saya juga tersenyum. sebuah kegilaan lain dari sisi maya bukan? atau hidup memang selalu begitu? air mata dan senyum menjadi dua sisi keping logam recehan. mungkin ada baiknya saya bersikap sentimental begini. inilah air mata selamat tinggal, juga senyum menahan semua kenangan yang datang berkejapan dalam angan, dialog-dialog yang melingkar di ingatan.

air mata dan senyuman untuk memutuskan, inilah terakhir saya menulis di blog, meski tetap membiarkan blog ini ada sebagai tanda bahwa saya pernah hidup di dalamnya... tulisan ini juga sekaligus pemberitahuan bahwa mulai malam ini saya tidak akan melogin yahoo messenger dan sebangsanya, termasuk friendster... saya harus memilih pamit. hidup tak bisa menunggu. saya harus terus melangkah, dengan atau tanpa cinta dan air mata yang tersisa, yang lahir dari ini semua...

selama tinggal teman, sahabat, juga lawan... khusus mereka yang kerap membuang waktu membaca kata demi kata apalah di iea.blog ini, terima kasih atas komentar-komentarnya. maafkan semua kekhilafan, semoga kita tetap berpikir sederhana... bahwa hidup adalah pelangi yang membutuhkan mata hati bersih, agar bisa memandang warna-warninya dengan jernih dan bahagia... doakan agar saya selamat dalam perjalanan panjang yang meletihkan... dalam hitam putih dan abu-abu zaman... bayangkan kita bersalaman, dan biarkan saya membalik badan... mari... :(

Saturday, June 25, 2005

cangkir retak

pada mulanya adalah tanda tanya
datang dari malam yang muram
kala angin berembus perlahan
ketika bulan enggan tersenyum di pangkuan

lalu aku sendiri mendedah lorong jalan
di bawah temaram lampu kota yang suram
tapi apa yang kau tinggalkan?
secarik kertas luka di atas rompal kerakal
hati yang basah air mata

dan pada akhirnya adalah sebuah cangkir
datang dari pagi yang basah
terbasuh jingga dari kaki langit
secangkir teh panas di beranda
menemani detik yang lelah

cangkirku cangkir sederhana
warna cokelat tanah
dari cinta yang pernah menjadi mimpi
tapi retak terjatuh di lantai asa
aku mereguk teh panas tanpa gula
begitu getir
juga pahit
menyisakan kembali tanda tanya

sejak itu aku meyakini
engkau dan aku bukanlah lukisan indah
yang mekar di sela bunga-bunga taman
maka aku pun kesunyian
menjelma sendiri menjadi kepenatan
dan enggan percaya pada siapa pun
kecuali pada kesetiaan bulan dan bintang...

Wednesday, June 22, 2005

atas nama malam

atas nama malam
juga angin yang gelisah
aku bersumpah
engkau adalah sebuah puisi
pelangi di senja yang teduh

dan kau juga kelopak
mekar di pagi yang basah
dan kembali aku bersaksi
engkau adalah sebuah simponi
mutiara di hari yang keruh

tak seperti burung kertas
kau kering di bawah rinai
tak pula luluh diterpa angin
lalu aku menghela napas
hanya bisa membayangi

Tuesday, June 21, 2005

tentang kesepian

pagi menjemput sunyi malam
langit yang pekat
bulan yang lelap
angin yang berembus pelan
pudar seketika
tapi tahukah engkau tentang kesepian?
hati yang terbalut air mata

matahari tak berarti apa-apa
kokok ayam jantan pun begitu
waktu adalah penantian panjang
dan tanda tanya tak henti menggerus
aku rasa engkau tak tahu sedikit pun tentang kehampaan
nadi yang terbungkus air mata

aku kamu

aku
kamu
jauh

kamu
aku
jauh

aku
kamu
cinta?

kamu
aku
cinta?

lupakakanlah
hidup cuma ruang-ruang mimpi

air dan minyak

katakanlah kita pernah kenal
meski seperti air dan minyak
tapi kita pernah dekat bukan?
salahkah bila pada akhirnya aku rindu?

lalu kita pura-pura lupa
menjauh kita
menciptakan jarak yang tak kita pahami
salahkah aku mengenangmu?

suatu ketika
pada sebuah pagi yang muram
kita berpisah
tanpa air mata
kita sudah lelah menangis
dan tak bisa pula aku membencimu

Friday, June 17, 2005

butir debu

lalu kita kembali terkucil
betapa tak mudah menjadi orang-orang kecil
tersudut dan terkalahkan
terjungkal kemudian terabaikan

dan kita tak pernah tahu
hidup barangkali adalah sebuah lomba
kita tak pernah bisa berbuat nista
kita tahunya hidup adalah garis lurus
yang penting sampai

tapi kita orang-orang kecil
kita punya pilihan untuk menang
juga berhak untuk bermimpi
tapi kita tak pernah berhak untuk juara
kita selalu ditempatkan di belakang

kadang kita sakit hati
tapi itu pun percuma dan dilarang
orang kecil tak boleh mengeluh
orang kecil tak pantas macam-macam
hidup adalah menghitung mundur
hari-hari curang yang berkurang

Wednesday, June 15, 2005

rumah makan orang tua

seharian tidur, kaki pegel-pegel gak keruan. si ndrit telpon. janjian ketemuan. jalan-jalan. diajak makan di tempat orang-orang tua makan! nengok kiri ibu-ibu sama anaknya. nengok kanan, bapak-bapak sama istrinya. bete banget! gw belum tau besok jadi atau gak nih ke medan... berharap sih batal... males gw belum istirahat-istirahat gitu de...

Tuesday, June 14, 2005

mata hati lagi

baru balik dari bandung, trus ke serang. dukun cabul lagi! capek, dan sebegini larut belum bisa tidur. dengerin lagu mata hatinya iwan fals. sumpah, kayak terbang-terbang gitu jiwa dibawanya... kayak melayang di atas hamparan savana yang luassss banget! sore hari, trus metik-metik bintang sendirian sambil liat alur sungai di bawah... duh.... gila nih lagu. lumayan ngilangin stres sebelum lusa ke medan... puter lagi ah...

dalam kusendiri
coba mengerti
perjalanan ini
tak terasa
di sini...

aku di sampingmu
begitu pasti
yang tak kumengerti
masih saja
terasa sepi...

matahari yang berangkat pulang
tinggal jingga tersisa di jiwa
bintang-bintang menyimpan kenangan
kita diam tak bisa bicara

hanya mata
hanya hati
hanya kamu
hanya aku

ketika

burung terbang menelan bintang
dingin mencekam menakutkan
bunga-bunga api menari-nari
liukkan hening panjang...

pada mulanya adalah airmata

pada mulanya adalah airmata
titik-titik kepedihan
hari-hari yang panjang
limbung terempas kebahagiaan

lalu aku merakit kembali
menyusuri anak sungai
sendiri memandangi rerimbunan
di atas air yang jernih

kenapa begitu mudah semua berubah?
dari airmata lahir airmata
bahagia menjadi duka
bagai burung yang patah sayapnya

Sunday, June 12, 2005

kok?

lelaki tua itu datang
tergopoh-gopoh
adiknya dibunuh
pelakunya pemilik hotel besar di bandung

lelaki itu bercerita
amarah meruap dari rongga dada
bola mata nanar
polisi menyudutkan keluarganya
pengadilan selesai sebelum meja hijau digelar

pada malam yang biadab
aku mengutuk hari dengan dada terkoyak
pada malam yang menyakitkan
aku memaki detik dengan nadi berdarah

polisi memeras
memeras pengacara
jaksa memeras
memeras hakim
preman pasar kalah jumlah
selamat datang hukum preman!

dan terbata-bata
terjepit aku di selanya
hanya menatap mata lelaki itu
pipinya basah
aku menarik rokok tergesa
tanpa suara
lirihnya terdengar
sampai sekarang masih terngiang
"kok keadilan diperjualbelikan, ya?"

aku

aku adalah hujan
yang deras membasahi hatimu
menyiram setiap ruang kering
yang tersisa dari kepedihan

tapi aku juga bulan
yang hanya bisa berharap menyentuh matahari
yang kesunyian di kala bintang-bintang mulai terlelap

bahagia
sekejap saja
lalu waktu
menjadi batu

Wednesday, June 08, 2005

Kepada Laut Aku Pulang

Siapalah aku, perempuanku. Hanya lelaki laut yang bermimpi mencintai karang. Kerap terempas badai dan dikitari gerombolan burung bangkai yang garang. Di laut aku berenang ke dasar samudra, mendedah ombak menciptakan buih amarah dari perih yang panjang. Sering pula kutegak melawan matahari yang pongah, memapah waktu tanpa pernah peduli bumi juga mempunyai gunung dan rumput liar. Aku terkapar pada kesunyian, di sela kayuhan perahu-perahu nelayan yang pulang. Dan bila kini kuberteriak rindu pada angin, terakhir kali kuminta, dengarlah jeritku yang sedikit pun tak pernah kau hiraukan. Sesaat saja, layaknya tubir pantai yang pasrah disapa lidah gelombang kala matahari tenggelam.

Aku hanya lelaki laut yang tak mengerti jalan pulang, perempuanku. Tengah limbung setelah kau pudarkan mimpi indahku yang terindukan. Kau cerabut akar yang kutanam pada tanah kering yang pernah kugemburkan. Kau pergi meninggalkan pantai, menjauhi dermaga dan menenggelamkanku ke dasar lautan yang kelam dan dingin.

"Hentikan." Perempuan di depanku menukas, ketika lidahku baru saja hendak bertutur tentang batu karang.
"Kenapa?"
"Aku tak bisa."
"Tapi dulu kau menyukai lautan?"
"Itu dulu"
"Kenapa sekarang tidak, sedangkan perjalan belumlah sampai?"

Perempuanku bergeming, menggigit bibirnya tanpa sebab. Lenguhanku tipis menahan kesal yang hendak tumpah. Ingin kupeluk perempuanku sebagai bentuk penolakan pada sikapnya yang tak masuk akal. Tapi tubuku mengeras menjelma menjadi patung terabaikan. Salahkah menolak sebuah keputusan yang merobek rajutan keindahan yang lama kuanyam? Keteguhannya menuntaskan perjalanan yang kuukir sekian lama, memaksaku hanya bisa terdiam tanpa perlawanan.

Begitu mudah kau tinggalkan laut yang sekian lama kau selami, perempuanku. Melupakan gelak tawa di saat kita menghintung bintang pada malam-malam yang terasa begitu ringkas? Aku adalah lautan yang kalah, yang tak lagi kau perlu renangi saat kau tergulung keresahan.

"Aku pamit." Perempuanku kembali menukas.
"Tolong jangan pergi."
"Maafkan aku."
"Pahami aku untuk terakhir kalinya."
"Aku tak bisa. Aku tak akan pernah bisa."
"Kau bilang sedang mencoba, bukan?"
"Aku berdusta, sesungguhnya aku tak pernah mencoba apa pun."
"Maksudmu?"
"Aku tak pernah sedikit pun ingin mencintaimu."

Gelombang badai datang bergulung-gulung menyelimuti tubuhku yang limbung. Kupejamkan mata menahan takut yang datang. Kubiarkan empasan ombak raksasa membawaku entah ke mana. Jerit gagak yang berkeliaran berebut mencari celah. Aku menahan napas, menahan benturan dinding cadas karang yang kering. Meringis menahan sengatan pecahan ombak. Seketika aku menjadi lautan yang tumbang pada ganasnya gelombang. Perempuanku menjelma menjadi pusaran yang merobek jaring berisi jutaan asa yang kukumpulkan.

Kubiarkan perempuanku menghilang. Pergi meninggalkanku yang rebah di tempat tidur dengan keringat bercucuran. Lapat kudengar lantunan The Blower's Daughter Damien Rice. Kucoba bangun dari tempat tidur, tapi rangkaian belulangku seakan terlepas. Aku lunglai sampai matahari pagi datang membawa senyumnya yang pudar. Kutulis pagi ini dengan tinta air mata. Aku adalah lautan yang kalah diempaskan dashyatnya badai.

Waktu berputar bagai roda pedati yang ditunggangi sais pemalas. Kupandangi jendela yang basah ribuan titik embun. Nyanyian burung di balik rerimbunan pohon mengajakku bernyanyi. Tapi aku lautan yang sedang tumbang dihantam badai? Godaan kicauan burung yang riuh, juga angin yang menampar wajah, mengusikku agar terbangun. Lalu kulempar senyum ke halaman, pada warna warni bunga dengan wajah yang sembab.

"Selamat pagi."

Bunga-bunga di taman yang kusapa balas melambai. Sambil kupejamkan mata, kureguk aroma pagi yang basah sisa hujan semalam. Kulihat jam di atas pintu kamar. Satu jam lagi aku harus pergi bekerja. Hidup, pada akhirnya adalah sebuah rutinias yang tak pernah berhenti. Kubuang pandangan ke langit, menyapu jingga tipis surya memanjang, seolah mengajakku untuk tetap menjadi lautan.

Cukup enam jam aku terempas badai. Kelelahan ini harus kuselesaikan. Aku ingin kembali menjelajahi samudera, memecah hantaman jutaan gelombang, meninggalkan cerita memuramkan yang tak semestinya menjadi bayang di perjalanan. Aku ingin menyelami lautan, menemani ikan-ikan melawan dingin dasar lautan. Selamat datang lautku, kupulang menjelma menjadi batu karang.

Monday, June 06, 2005

lingkaran hening

di lingkaran keheningan
tak ada lagi batasan waktu
nyala api nyala keheningan
menyentuh dinding jiwa yang luka

satu-satu
wajah datang
satu persatu menghilang lagi
batas langit
batas hidup
kita melayang tak tentu arah

sayap-sayap jiwa yang terluka
darah menetes basahi senja
untuk apa mengasingkan diri
lingkaran hening

telah tumbuh
pohon baru
di atas tanah yang pernah kering
air hujan
air hidup
mengalir dari jiwa yang hening

bayang-bayang tarian jiwaku
memenuhi ruangan dunia
pintu langit semakin terbuka
lingkaran hening

lingkaran hening
jiwa yang hening
lingkaran hening
jiwa yang hening
lingkaran hening
jiwa yang hening
lingkaran hening
jiwa yang hening

*dewa dari leuwinanggung

doa dalam sunyi

angin datang dari mana
merayapi lembah gunung
ada luka dalam duka
dilempar ke dalam kawah
memanjat tebing-tebing sunyi
memasuki pintu misteri
menggores batu-batu
dengan kata sederhana
dengan doa sederhana

merenung seperti gunung
mengurai hidup dari langit
jejak-jejak yang tertinggal
menyimpan rahasia hidup
selamat jalan saudaraku
pergilah bersama nasibmu
pertemuan dan perpisahan
di mana awal akhirnya
di mana bedanya

doa-doa terdengar dalam sunyi
doa-doa terdengar dalam sepi
doa-doa terdengar dalam sunyi
doa-doa terdengar dalam sepi

*dewa dari leuwinanggung

malam jahanam

di sela rumput liar
dekat gelas plastik minuman mineral
seekor anak kucing meringkuk
ringkih dan ingusan
mengeong lirih mengusik
disinari merkuri yang temaram
anak kucing yang kedinginan
mungkin ditinggal ibunya kawin lagi

di tepi trotoar dekat bak sampah
terdengar kerongkongan menahan dahak
sebuah gerobak bertuliskan doa ibu
di sebelahnya lelaki tua rebah
memeluk kaleng di bawah bulan yang muram
pada sehelai kardus dengan kaki terlipat
lelaki tua kedinginan merengkuh malam

Tuhan, berulang kali Kau menyiksaku...

Sunday, June 05, 2005

pada sebuah batas

waktu mengurungku pada batas yang tak pernah sanggup kulawan. tersudut dalam ruang, aku sering terjebak pada celah yang sebetulnya bukan jalan keluar. aku terkapar dan terkucil, menahan amarah yang selalu gagal kuredam pada setiap detik yang pongah. adakalanya kesabaranku memudar menjadi kebodohan, silih berganti menjadi sebuah kedunguan. kebanalan yang merusak. pernahkah engkau menjadi begitu asing dan hidup seakan-akan begitu keji?

kubayangkan matahari tak lagi terbit esok. biarkan saja jutaan bintang selalu menyelimuti. aku tak pernah berani menatap hari, karena selalu saja aku tersingkir dalam dengus kegelisahan. terban dalam kekalahan. selalu saja kesendirian mengurungku, pada batas yang tak pernah sanggup kusingkirkan. kupejamkan dan kulayangkan diriku pada punggung bukit. hamparan hijau dan dingin. angin menyapu wajah. dedaunan menguning bergerak seiring arak awan yang berkejaran di langit. Tuhan, kenapa dalam keindahan selalu ada kesedihan?