Saturday, January 29, 2005

Senja Pantai Tanpa Matahari

Kami berdua tergelak. Ringan saja, tak sampai terbahak. Di tengah irama tribal progressive ramuan disc jockey, kami berbicang nyaris berteriak. Entah kenapa kami sudah seperti teman akrab. Padahal kami baru berkenalan sepuluh menit lalu. Dia mengaku bernama Saskia. Muncul begitu saja di sebelahku dan mengajak bicara. Wajahnya tak begitu jelas. Maklumlah, suasana begitu remang. Cahaya cuma datang dari kerjapan bola lampu warna-warni yang bergerak liar ke sana ke mari. Aku hanya sempat sekilas menangkap dagunya yang terbelah. Dagu yang menarik.

"Dagumu lucu."

"Apa lucunya?"

"Lucu saja."

"Aneh, dagu kok lucu? Rokok?"

"Aku tidak merokok. Terimakasih."

"Hebat."

"Apa hebatnya?"

"Bisa tidak merokok."

"Ah, kamu yang hebat."

"Lho kok?"

Aku mengangguk.

"Kenapa?"

"Karena gaya merokokmu keren. Asyik dilihatnya."

"Kamu benar-benar aneh." Perempuan di sebelahku ini tersenyum, "Tidak turun?"

"Turun ke mana?"

"Hahaha. Dance maksudnya." Saskia menunjuk dengan dongakkan kepala ke tengah arena, tempat puluhan orang berjingkrakan mengikuti irama lagu.

"Aku tidak bisa joget. Ke sini saja baru pertama kali."

"Pantas dari tadi seperti patung."

Aku tersenyum. Inilah untuk pertama kalinya aku masuk diskotek. Kalau tidak diperintahkan koordinator liputan, tak akan pernah aku berada di tempat berisik ini. Kebetulan aku ditugaskan mewawancarai seorang penulis yang akan meluncurkan buku keduanya. Buku tentang dunia gemerlap Jakarta, yang katanya berisi segala macam kemaksiatan kaum muda metropolitan.

"Di sini semua orang bergoyang. Seperti cacing kepanasan ya?" kata Saskia. Aku pura-pura terbatuk, karena dia menangkap basah diriku yang tengah mengamatinya diam-diam.

"Iya, seperti cacing."

"Kamu musti coba. Joget itu enak, lo. Selain sehat, kamu pasti terlihat lebih macho," Saskia mencoba meyakinkan. "Tidak tertarik mencoba?" Kulihat alis Saskia naik, bersamaan gerak cahaya lampu yang cepat menerpa wajahnya. Meski sesaat, wajah itu kulihat juga. Lumayanlah. Rupanya memang menawan.

"Aku tidak bisa joget."

"Kamu ini kacau. Kamu tahu? Awalnya memang susah, tapi lama-lama akan terbiasa. Aku dulu juga begitu. Takut diperhatikan orang. Malu dianggap jelek, norak, kampungan, dan sebagainya. Kalau berpikir begitu terus, kita tidak akan pernah bisa joget. Nikmati saja. Ikuti irama lagunya, nanti badan kita akan bergerak begitu saja. Di sini setiap orang asyik dengan diri sendiri. Tidak ada yang peduli dengan gerakan orang lain. Sayang kan sudah di sini cuma berdiri-diri seperti patung."

"Waduh, aku tetap tidak bisa. Mungkin nanti-nantilah." Aku menjawab sekenanya.

"Cobalah sekarang, mumpung ada di sini kan?"

"Nantilah, sekarang aku belum mood." Tambah sekenanya.

Saskia menatapku sambil mengangkat bahu. "Terserah kamu deh, sebentar ya."

"Ke mana?"

Saskia tak menjawab. Tubuhnya hilang di antara kerumunan orang yang berdandan dengan tampilan termodisnya. Aku melenguh, kembali seperti kambing congek di sudut dekat toilet. Diam-diam kurutuk si penulis yang akan kuwawancarai nanti. Kenapa begitu lama untuk sekadar memberi keterangan peluncuran buku? Kenapa juga harus di diskotek? Sialan.

"Enak ya jadi wartawan?"

Lamunanku pecah, Saskia sudah muncul lagi. Tangannya memegang dua gelas bir dingin. Aku pura-pura tak terkejut. Terus terang aku agak heran Saskia bisa tahu profesi yang kugeluti.

"Tahu dari mana aku wartawan?"

"Hahaha. Rata-rata yang datang malam ini kan wartawan. Aku tahu pengunjung rutin diskotek ini. Aku tahu kamu bukan salah satu di antara mereka. Ini minum dulu. Aku traktir," Saskia menyodorkan segelas bir di tangan kanannya.

"Maaf, aku tidak minum."

"Oh ya? Wah, kalau begitu aku yang minta maaf. Kamu memang benar-benar hebat."

"Hebat terus."

"Hebatlah. Tidak merokok, tidak minum bir."

"Kamu juga hebat, kok."

"Karena aku merokok dan minum bir?"

"Bukan itu."

"Lalu?"

"Kamu hebat karena membuatku tidak grogi untuk bicara."

"Maksudnya?

Aku menarik sudut bibir. Saskia lurus menatapku, menunggu. Suasana kian bising. Teriakan sang DJ menambah suasana panas. Mereka yang di tengah arena terlihat histeris. Lampu-lampu berkejapan, membuat orang-orang terlihat seperti kelebatan kilat. Aku memicing. Tak terbayang rasanya berada di tempat seperti ini. Kalau bukan tugas kantor, kalau bukan Saskia, aku lebih baik pulang. Kalau bukan Saskia? Dahiku berkerut. Kenapa pula aku ini? Kenapa karena Saskia aku merasa nyaman di tempat yang sesungguhnya membuatku tak betah? Tak pernah terpikir aku bisa berlama-lama di diskotek. Diskotek membuatku sakit kepala. Mungkin karena aku memang kampungan, mungkin juga karena aku tak menyenangi kebisingan. Tak tahulah. Tapi kenapa karena Saskia? Nalarku belum sampai menjawabnya, selain merasa senang bisa kenal dengannya.

"Kamu rajin yang datang ke sini." Kataku.

"Lumayan."

Dan tak seperti biasanya, aku tiba-tiba menjadi cerewet dan dominan. Aku bercerita apa saja pada Saskia. Tentang masa kecil, kerjaan, utang keluarga pada rentenir, sampai soal ayah yang ketat dalam mengajarkan agama. Aku juga mengisahkan duka ketika pacar pergi begitu saja, sehingga membuatku susah tidur sampai sekarang. Lebih gila lagi, aku juga menjabarkan mimpi-mimpi tentang keluargaku kelak, tentang istri yang kudambakan, anak, rumah, dan banyak lagi. Semua tumpah begitu saja.

Sejak kecil aku kesulitan berbicara panjang dengan perempuan. Apalagi dengan yang baru dikenal. Kalaupun terjadi, itu dalam rangka kerjaku sebagai wartawan. Aku bekerja di majalah yang isinya politik melulu. Datang ke sini pun, seperti kubilang tadi, dalam rangka mewawancarai penulis itu untuk sebuah rubrik kecil tentang kehidupan sejumlah tokoh. Kupikir-pikir, sekalian belajarlah, karena memang aku belum lama menjadi wartawan. Profesi ini membuatku punya alasan untuk tidak gugup saat menghadapi orang. Tapi anehnya, meski sejak awal tak mengaku sebagai wartawan, aku sama sekali tak gelagapan berbincang dengan Saskia.

Setiap kali aku bicara, Saskia hanya mengangguk. Sesekali aku menangkap senyumnya dalam remang cahaya. Senyum yang membuat gerah ruangan ini tak terasa. Aku tak habis pikir, energi apa yang dimiliki Saskia hingga aku merasa nyaman menceritakan apa saja kepadanya. Perempuan ini menarik jauh anganku, angan tentang seorang teman hidup yang menyenangkan.

"Kamu baik." Sebuah pujian meluncur dari bibirku.

"Terimakasih. Kamu juga baik. Senang bisa kenal dengan wartawan. Siapa tahu suatu saat nanti, karena kenal kamu, aku bisa terkenal. Hahaha. Aku ingin sekali wajahku terpampang di koran atau majalah. Aku ingin mengubah hidup menjadi artis. Awalnya harus difoto macam-macam pun aku berani."

"Foto macam-macam? Maksud kamu?" Aku mengernyitkan jidat.

Belum sempat Saskia menjawab, sang DJ mengumumkan sebentar lagi peluncuran buku akan dimulai. Irama yang mengentak berubah pelan. Cahaya berubah terang benderang. Orang-orang menepi, membiarkan areal tengah diisi para wartawan dan undangan. Pada saat itu pula, ekor mataku melihat Saskia pergi.

"Nanti kita ngobrol lagi." Kata Saskia sambil berlalu.

Aku ingin mencegah, tapi urung. Terus terang aku kehilangan. Aku telanjur senang berbicang-bicang dengannya. Aku bukan orang yang mudah menyukai perempuan, tapi sosok Saskia membuatku berani berharap jauh, meski aku mengenalnya di diskotek, tempat yang membuat kepalaku sakit.

Diam-diam aku melamunkan Saskia. Sampai-sampai aku tak menyimak ketika DJ mengumumkan sebentar lagi ada empat penari akan membuka acara peluncuran buku. Kendati tak seberisik sebelumnya, irama yang dimainkan DJ membuat pengunjung histeris. Aku masih di dekat toilet. Kulihat di tengah arena orang-orang berkerumun, berteriak tak keruan. Aku tak mengerti yang mereka ocehkan, sampai akhirnya kulihat empat sosok perempuan mengenakan topeng dan pakaian seperti kimono dengan bahan transparan, berjoget liar.

Aku tertegun, mungkin mulai tak betah. Kepalaku celingak-celingkuk mencari Saskia. Tak mudah menemukannya di tengah suasana yang semrawut begini. Lima belas menit sudah dia menghilang. Ke mana anak itu? Jangan-jangan sudah pulang, tapi ada baiknya aku menunggu, karena tadi dia janji akan menemuiku lagi. Lagi pula, setidak-tidak betahnya, aku memang harus menunggu sampai acara peluncuran buku selesai.

Sambil menunggu, aku membunuh jenuh dengan mengirim pesan singkat ke teman. Sungguh aku tak tertarik dengan keriuhan di sekitarku. Lelah menanti, tak sadar aku menguap. Mungkin aku mengantuk, tapi Saskia tak juga datang. Aku menyesal tak meminta nomor teleponnya. Kalau tadi kuminta, aku tak perlu merasa kehilangan seperti ini kan?

"Aku yakin kalau begini kamu pasti akan mau berjoget."

Perempuan bertopeng dengan kimono tiba-tiba muncul di depanku. Aku terkesiap, karena dengan santainya dia melepaskan ikatan kimononya, sehingga tubuhnya terlihat bebas.

"Masih malu untuk joget?" Perempuan itu nekat, menarik ujung kaosku dan mencoba membawaku ke tengah arena. Kontan aku menampik. Perempuan itu tak menyerah, malah sengaja meliak-liukkan tubuhnya.

"Ja, jangan aku, yang lain saja." Orang-orang bersorak riang. Wajahku terasa panas.

Perempuan itu membuka topengnya. "Aku ingin kamu menari denganku Gilank. Ayo ke tengah."

Aku terperangah memandang wajah Saskia di depanku, perempuan yang baru saja kukenal dan sempat membuatku bermimpi jauh. Aku ingin berlari, tapi tulang-tulangku seakan lepas. Kegaduhan mendadak senyap. Sunyi berkejaran di rongga hatiku yang kecewa. Aku seperti berlari di tepi pantai pada senja hari tanpa matahari. Hanya gemuruh angin merayap di daun telinga. Hanya gemuruh angin.

4 comments:

R. Insan Kamil said...

Don alias Choi kenapa anda jadi peragu dan penakut dihadapan perempuan. Itu yang membuat anda kurang tegas dalam setiap pengambilan keputusan. Sebenarnya dunia ini hanya dibagi oleh dua hal yakni:
Pria dan Wanita, Mau dan Tidak, Hidup dan Mati, Lapar dan Kenyang.

Untuk menjadi seorang satria atau yang pasti satriana, amda harus berani ambil resiko. Ketika anda diminta berjoget atau turun melantai seharusnya anda melayaninya. Itu adalah keputusan terbaik karena anda telah menyenangkan orang lain. Tapi anda tidak.

Itu juga mempengaruhi cara kerja anda selama ini. Ketika anda mengatakan bahwa liputan anda bagus maka anda harus mempertanggungjawabkan bahwa liputan anda bagus seperti saat anda mengatakan pertama kali kepada teman atau atasan anda. Konsekwesinya ada.

Begitu juga soal wanita anda harus jujur atas kata hati anda bahwa anda suka perempuan itu khan saat itu walau anda sedang bertugas. seharusnya anda bisa melakukannya. tapi kenapa tidak... sayang pantainya terlalu jauh kali ya.. haha..

Anonymous said...

Senja Pantai Tanpa Matahari, jelas banget karakter penulisnya... unik banget...

Auf Klarung said...

bukan bukan
mas riea itu pemilih..
gini dikit ntar gak mau
gitu dikit mikir2
yang cantik di list satu2, lama2 gak dapet.hahahaha.pada kabur smua,abis smuanya di test satu2.jd kayak gak serius...begitulah pokoknya...
padahal ngebet pengen punya istrinya udah bukan main!
kayaknya sih begitu..

Anonymous said...

hahahahaha!