Thursday, January 20, 2005

Sang Aktor

Sejak kecil aku mencintai dunia akting. Tepatnya sejak usiaku sekitar lima tahun, ketika aku selalu larut dalam serial boneka Unyil di televisi. Terdengar aneh mungkin. Dari boneka-boneka yang digerakkan tangan, yang bibirnya tak pernah terbuka saat berbicara itu, aku bisa jatuh cinta pada dunia seni peran. Serial Unyil adalah pemicu utama aku menyenangi akting. Pikirku, boneka saja bisa berakting, kenapa aku yang manusia tak mampu melakukannya? Itulah sebabnya, serial Unyil adalah sumber inspirasiku terpenting dalam berakting. Betapa keranjingannya terhadap Si Unyil, aku tak pernah mau dimandikan ibu sebelum menyaksikan tayangannya. Aku sering terpingkal-pingkal menonton aksi Unyil dan kawan-kawan. Apalagi kalau mereka sudah dimarahi Pak Raden.

Satu hal yang juga tak pernah bisa kulupa adalah ketika Unyil bersama teman-temannya, dikejar-kejar orang gila. Tak ada peran menarik seperti yang dimainkan si orang gila itu. Betapa lucunya, betapa serunya, dulu itu. Unyil kucing! Celetukan ini juga tak pernah bisa hilang dari ingatanku sampai sekarang. Bagiku, tak ada film anak sedahsyat serial Unyil. Bukan bermaksud sok-sokan kalau aku kerap kerap prihatin dengan maraknya film-film kartun yang rata-rata kental aroma Jepangnya. Tapi biarlah, itu urusan para pengamat film dan budayawan. Urusanku sekarang hanya akting, akting, dan akting. Titik.

Sejak mulai menyukai dunia akting, aku menyalurkan hobi ini dengan ikut serta sebagai anggota teater di sekolah. Hobi ini berlanjut sampai di bangku kuliah. Aku sempat vakum berakting setelah bekerja dan menikah. Dan kini, sejak setahun silam, kecintaanku pada dunia akting kembali bergelora. Ini terjadi setelah aku menjadi korban pemecatan massal yang dilakukan perusahaan tempatku bekerja. Kondisi perusahaan sedang sulit, begitu kata Prihandoyo, sang bos besar, seperti disampaikan bagian personalia. Belakangan aku tahu, pemecatan itu hanyalah taktik perusahaan untuk merekrut tenaga baru yang bisa digaji dengan murah. Aku sakit hati, termasuk ratusan temanku yang merasa dibuang begitu saja setelah mengabdi puluhan tahun. Aku panik, bingung. Makan apa anak dan istriku dengan statusku yang pengangguran? Dari mana aku harus membayar kontrakan? Membeli beras? Membayar listrik? Membayar uang sekolah anak?

Kucoba bangkit dan melempar lamaran ke berbagai perusahaan, sementara istriku mencoba membuka warung kecil-kecilan di muka rumah. Aku kasihan pada istriku yang tak sesegar kala aku masih bekerja. Sambil menunggu datangnya panggilan kerja, aku ikut bantu-bantu istriku berjualan. Dan pada saat menunggu pembeli, aku kerap teringat masa kecilku. Boneka-boneka Unyil dan kawan-kawannya menari-nari di kepalaku. Kegiatanku berteater juga terbayang jelas. Perlahan, kecintaanku pada dunia akting bangkit kembali. Aku tak ingin terus bersedih. Dan hanya ada satu jalan untuk mengusir kemurunganku: akting. Aku yakin, hanya dengan berakting aku bisa tegar menjalani hidup yang rumit ini.
Kini, setahun sudah aku tenggelam dalam dunia akting. Sehari saja tak berakting, aku bisa demam. Pernah suatu ketika aku lupa berakting. Tak lama setelah tersadar, tubuhku mengigil tak keruan. Keringat mengucur deras laksana tutup panci berisi air yang dimasak. Aku kelimpungan, karena mendadak aku seperti menyaksikan orang-orang di sekitarku menatap dengan sorot mata yang ganjil. Aku takut sekali. Sampai-sampai aku berlari sekencang-kencangnya, bersembunyi di sudut kamar, dan tanpa sadar tertidur bersandar dinding.

Sekarang aku tak pernah lupa lagi. Aku betul-betul sudah menjiwai diriku sebagai aktor. Aku harus selalu berkonsentrasi menjalani hidup sebagai aktor tak tertandingi. Untuk itu, aku tak perlu piagam atau trofi. Aku tak membutuhkan penghargaan. Sama sekali tak pernah aku bernafsu menerima piala Citra, misalnya, diangkat tinggi-tinggi sambil mengucapkan basa-basi terima kasih. Duh, di mataku, kemampuan para aktor atau aktris di film-film itu hanyalah sejentik tahi kuku. Tak ada apa-apanya dengan kemampuanku yang brilian soal akting.

Kalau sampai sekarang wajahku tak pernah muncul di layar lebar atau kaca, itu bukan berarti aku tak laku. Sudah kubilang, aku tak ingin sejajar dengan aktor atau aktris sampah itu. Aku menempatkan diriku secara eksklusif. Tak pernah aku punya minat bermain film, terlebih lagi sinetron, yang ceritanya aneh-aneh itu. Aku berakting di atas panggung yang tak berlayar, tak berkaca. Aku berakting di dunia tanpa waktu dan medium yang tak terbatas. Setiap hari, aku selalu begitu tanpa lelah. Keluargaku, teman, dan istriku, memanggilku dengan sebutan Raja Akting, meski namaku sebenarnya Tukiman.

Pagi ini, seperti biasa, aku membolak-balik catatanku tentang peran-peran yang sudah kumainkan. Aku ingin setiap hari berbeda peran. Maka catatan tentang akting dan adegan yang sudah kumainkan harus selalu kulihat. Aku berakting tanpa lawan main. Aku aktor mandiri yang berakting dari hati. Tak perlu naskah cerita, karena semua sudah ada di kepalaku. Harus begini, harus begitu, sudah kuatur sendiri dalam otak dan hatiku. Maka saat hati kecilku berteriak “action”, seketika itu pula aku harus mulai memainkan peran yang sudah kurancang.

“Makin parah kondisinya Nem?”

“Tak tahulah, Bu. Makin aneh saja. Aku tak sanggup lagi berbuat apa-apa.”

Perbincangan ibu dan istriku lapat-lapat kudengar dari kamar. Kupasang telinga layaknya seorang agen yang sedang menguping pembicaraan rahasia.

“Kapan kamu terakhir melihatnya berulah lagi?”

“Semalam, dia berteriak-teriak sendiri di dapur. Katanya, dia tengah memerankan diri sebagai pemburu tikus.”

“Gawat.”

Aku tersenyum mendengarnya. Bangga dalam batinku, karena istri dan ibuku memperbincangkan aktingku. Semalam, aku memang tak tidur karena harus berperan sebagai pemburu tikus yang selalu merusak lemari makan atau baju kami.

“Anakmu bagaimana?”

“Somad tak pernah lagi dicolek sejak Mas Tukiman sibuk dengan ulah anehnya itu.”

Kulihat ibu menarik napas panjang saat kukeluar kamar membuka gorden. Aku pura-pura tak melihat ibu dan istriku. Kubayangkan diriku tak bisa terlihat oleh mereka. Kuperankan diriku sebagai pendekar yang bisa menghilang. Agar aku bisa leluasa mendengarkan obrolan mereka lebih jauh, agar aku tahu isi pembicaraan mereka tentang akting-aktingku yang dahsyat. Kulihat ibu tersenyum menyapaku. Istriku tidak. Dia hanya menunduk sambil memangku anakku Somad yang tertidur. Aku tak membalas senyum ibu, karena aku adalah sesosok mahkluk yang tak terlihat.

“Mau kemana Man?”

Aku tak menjawab sapaan ibu. Waduh, ibu ini bagaimana? Kok tak mengerti anaknya sedang memerankan diri sebagai jagoan yang bisa menghilang.

“Begitulah, Bu. Aku tidak sanggup lagi, Bu. Tidak sanggup.” Istriku menatap dingin ke wajahku.

Kulihat air mata istriku menetes. Kuhentikan langkah dan mengurungkan niat untuk mematung di dekat ibu dan istriku. Kupandangi istriku yang terus menundukkan kepala sambil mengusap air mata di pipinya. Kulihat ibu memeluknya. Kucoba mencari celah agar aku bisa masuk dalam obrolan mereka. Dan untuk itu aku harus menjelma sebagai orang yang kembali bisa terlihat.

“Simsalabim! Bukan sulap bukan sihir!”

Kulihat ibu dan istriku terkejut mendengar teriakanku.

“Tenang, jangan kaget dan bersedih. Akulah pangeran dari Negeri Sejuta Emas. Istriku, kenapa kau menangis?” Kupegang tubuh istriku dengan posisi setengah bersimpuh. Istriku tak menjawab, malah menangis makin keras. Aku mengernyitkan dahi. Untuk kesekian kalinya ibuku menarik napas.

“Sudahlah Istriku cantik. Hentikan air mata itu, lupakan kesedihan dan dukamu, mari kita pergi ke taman memetik bunga-bunga sambil bercengkerama layaknya pangeran dan permaisuri. Aku adalah sang pewaris kerajaan ini, yang menguasai seluruh kekayaan tanah airnya. Untuk apa kamu menangis? Untuk apa dia menangis Ibu?”

“Istrimu sedih karena ulah anehmu Man. Istighfar Man... “

“Hahaha... Ibu ini aneh-aneh saja. Aku ini kenapa?” Kalimat yang keluar dari mulut ibuku seolah membuatku semakin yakin bahwa peranku sebagai pangeran kali ini bagus sekali. “Bu, lihatlah putramu ini. Pandangi aku dari bawah sampai ujung rambutku. Adakah yang kurang dari diriku? Adakah yang aneh? Yang ganjil? Aku ini pangeran Bu. Calon Raja!”

Ibu terdiam dan tangis istriku menjadi-jadi. Aku ikut diam. Menarik napas dan berpikir keras. Sulit juga adegan ini. Akan tetapi, aktor sehebatku semestinya tak perlu bingung.

“Sebentar. Ada yang harus kuperlihatkan.” Aku bergerak seolah mengibaskan jubah, lalu bergegas masuk ke kamar.

“Hentikan tangis kamu Nem. Lihat Nem. Bu, lihat. Ini keris sakti.” Kuayun-ayunkan sebilah keris warisan kakek . “Dengan keris ini, aku ingin mengubah dunia. Tolong jangan menangis dan bingung. Airmata dan raut wajahmu membuat aku kesulitan menuntaskan misi muliaku yang dititahkan para dewa.”

Bukannya diam, istriku kian histeris dan lari masuk kamar membawa anakku. Ibuku tak berkata apa-apa, malah memelukku erat. Kulihat matanya basah.

“Tolong kembalikan anakku seperti semula, Tuhan...”

Kupandangi wajah ibu. Kukecup tangan kanannya.

“Ibu, pasti aku akan kembali dalam keadaan utuh. Aku pergi tak kan lama. Tolong doakan aku, agar aku berhasil menjalani misiku sebagai utusan kerajaan. Aku pergi Ibu.”

“Tukiman!”

Aku menghilang keluar pintu secepat kilat. Panggilan ibu, tangis istriku, perlahan-lahan lenyap ditelan angin, bersamaan langkahku yang menjauh.

****

Di lorong sebuah gedung aku berdiri tegak di muka pintu bertuliskan Dirut Prihandoyo. Kuketuk pintunya dua kali. Kutunggu. Pintu tetap tertutup rapat. Kuketuk lagi. Kutunggu lagi. Masih tertutup. Aku melenguh. Kuketuk lagi, kini dengan ketukan yang lebih keras. Sama saja. Tak ada respons dari dalam.
“Anjing!” Sambil mengumpat aku menendang pintu. Dasar pintu sialan. Tak juga terbuka.

Kudendar ada langkah kaki menuju arahku. Gawat, penyamaranku sebagai seorang agen rahasia bisa terbongkar. Kutendang pintu itu sekali lagi. Tak juga terdobrak. Kenapa di film-film pintu yang ditendang selalu bisa terbuka? Aku panik. Derap langkah kaki itu makin terdengar jelas dan dekat. Kepalang tanggung, sebagai agen rahasia yang musti menyelesaikan tugasnya, kutendang sekali lagi pintu itu. Brak!

“Hei! Siapa kamu? Sedang apa?!”

Seorang lelaki gendut berpakaian necis setengah berlari menghampiriku. Aha, ini dia orang yang kucari. Meski di luar skenario yang sudah kurancang, aku tak menyesal karena orang yang kuincar akhirnya muncul dengan sendirinya. Kubuka topeng yang menutup wajahku.

“Tukiman? Sedang apa kamu di sini?”

“Bos besar. Masih ingat juga rupanya dengan anak buahmu yang sudah dibuang ini.”

“Bagaimana caranya kamu bisa masuk?”

“Bukan soal sulit bagi seorang agen rahasia Bos.”

“Agen rahasia?”

“Yap. Aku adalah agen rahasia, yang ditugaskan markas besar, untuk membunuh bajingan tengik sepertimu.” Kutarik keris dari balik celanaku.

“Hei, hei. Apa-apaan kamu Tukiman? Jangan gila!”

“Aku tidak gila Bos besar. Lebih gila mana dengan ulahmu memecatku hingga hidupku berantakan tak keruan? Lebih gila mana dengan ulahmu yang dengan seenaknya berdalih keuangan kantor sedang susah, tetapi justru merekrut karyawan baru dengan jumlah yang lebih banyak? Lebih gila mana, jawab?!” Aku melangkah pelan mendekati Prihandoyo yang perlahan-lahan bergerak mundur. Keris di tangan kiriku mengacung.

“Tukiman. Jatuhkan keris itu. Kita bisa bicarakan soal ini baik-baik. Kamu salah paham.”

“Salah paham? Pintar omong kamu. Banyak uang, pintar omong pula. Pantas ulahmu menilap uang perusahaan tak pernah terendus. Kau bisa menyuap aparat, bisa pula berkelit tanpa pengacara hebat. Hebat, hebat!”

Di ujung kalimat, aku bergerak cepat ke arah Prihandoyo sambil menusukkan keris ke perutnya. Prihandoyo mengelak, tetapi tubuhnya yang tambun terlalu lamban untuk meloloskan diri. Prihandoyo meronta sambil menjerit minta tolong. Aku terus menekan keris hingga hanya gagangnya yang tersisa. Kulihat matanya membelalak. Prihandoyo, lelaki yang memecatku itu roboh. Darah mengalir di lantai. Kutatap sebentar tubuh tak berdaya itu, lalu kubalik badan, melangkah keluar dengan tenang.

Kudengar orang-orang berlari mendekat. Aku terus melangkah. Kudengar ada yang menjerit melihat mayat Prihandoyo. Kubiarkan di antara mereka mengejarku. Aku bergeming, membiarkan beberapa orang berseragam pengaman gedung memegang lengan dan mendorongku keluar dengan kasar. Aku tak peduli. Aku asyik merancang skenario berikut yang aku harus jalani. Terbayang wajah ibu, istri, dan anakku di rumah. Aku tersenyum sambil membatin. Aku tak akan dipenjara Ibu. Tak akan dipenjara Inem.

Gatsu, 21 Januari 2005

2 comments:

R. Insan Kamil said...

Mr. Satriana Budi alias Choi

Saya tertarik membaca tulisan anda yang terakhir " Sang Aktor ". Tulisan itu mengingatkan saya kepada dunia yang sedang kita singgahi. Dunia ini memang panggung drama atau kalau saya lebih tertarik menyebutnya sebagai ajang sandiwara. Banyak lakon yang harus kita perankan setiap hari.

Memang kita tak harus menjadi aktor seperti yang dicita-citakan bung Satriana, namun siapapun orangnya di dunia ini harus menjalani sejumlah peran. Terkadang memang kita mendapatkan atau kebagian peran yang jelek atau buruk namun tak jarang kita memerankan tokoh yang baik dan lucky. Inilah hidup yang harus dijalani. Kalau kita mau hidup dengan sejuta tantangan dan rintangan di depan kita, maka menjadi aktor yang baik harus kita jalani.

Tak ada jalan yang tak berbelok. Begitu juga dengan kita bung. Terkadang kita harus menjadi orang yang teraniaya atau mungkin menjadi orang yang tak pernah dianggap oleh orang-orang disekitar kita. Apa boleh buat itu kata ayah saya saat saya dipangkuannya. Artinya kita harus bertarung di dunia ini. Terkadang kita harus menerima keadaan dan terkadang kita harus berontak. Saya yakin jika kita bisa melewati semua sejarah yang menjadi beban hidup kita, yakinlah suata saat peran yang baik akan kita terima tentunya dengan bonus dan bayaran yang mahal... semahal aktor hollywood. Itu kah dambaan anda bung... semoga.

Anonymous said...

sudut pandangnya baguss...menarik...sama seperti orangnya...