Tuesday, January 18, 2005

Pelangi di Kaki Langit

Malam bagi saya tidaklah sekadar gelap, tetapi juga juga menyimpan rasa sakit. Seperti kulit yang tersayat lapis silet. Saya hanya bisa merasakan perih setiap malam datang. Sekalipun langit penuh bintang atau angin berembus halus. Selalu begitu sejak usia saya melewati angka tujuhbelas. Telah berdustakah sang pujangga Lebanon, karena ternyata saya bukanlah anak panah yang melesat dari busur. Saya seperti burung gereja dengan satu kaki dibebat rantai, dan cuma bisa bersiul irama requiem. Saya tak bisa mengepakkan sayap, apalagi untuk terbang jauh. Saya lelah mencari jawaban tentang kekejian sosok yang di tapak kakinya tersimpan sorga. Salahkah saya membenci ibu, juga ayah yang pengecut?

Saya menarik gorden kamar. Angin dingin menyergap. Di sisi kusen jendela saya sorongkan kepala ke luar. Mencium harum kesunyian dengan mata yang sembab. Di kejauhan timur, saya melihat Venus menyapa dan bertanya: "Masihkah engkau menyimpan senyum untuk esok pagi, Kania?" Saya tak menjawab. Seolah mengerti kegalauan saya, Venus, Sang Bintang Pagi, bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Saya bergeming. Saya ragu bahwa hari esok saya bisa tersenyum. Saya melenguh, berandai terbang ke langit belahan barat esok pagi, mengunjungi Phosporus dan bermain bersama. Saya muak di rumah ini.

Waktu terus bergerak. Perlahan Venus menghilang. Saya masih duduk di tepi jendela. Memandangi taman, menyapu mawar dan melati yang samar tersiram lampu kebun. Saya ingat betul kala kecil bunga-bunga itu saya petik dan selipkan ke telinga ibu. Saya juga teringat saat bermain air bersama ayah yang sibuk menyiram tanaman. Dan tubuh yang kotor saya dibersihkan ibu di wadah kolam renang plastik. Delapan belas tahun silam yang menyenangkan. Delapan belas tahun silam yang selalu muncul setiap ibuku menjelma seperti singa betina liar dan ayahku menyerupai keledai.

1 comments:

Auf Klarung said...

aku suka yang ini
pemilihan katanya juga bagus, mas ria banget...
hmmhhh..