Saturday, January 29, 2005

Senja Pantai Tanpa Matahari

Kami berdua tergelak. Ringan saja, tak sampai terbahak. Di tengah irama tribal progressive ramuan disc jockey, kami berbicang nyaris berteriak. Entah kenapa kami sudah seperti teman akrab. Padahal kami baru berkenalan sepuluh menit lalu. Dia mengaku bernama Saskia. Muncul begitu saja di sebelahku dan mengajak bicara. Wajahnya tak begitu jelas. Maklumlah, suasana begitu remang. Cahaya cuma datang dari kerjapan bola lampu warna-warni yang bergerak liar ke sana ke mari. Aku hanya sempat sekilas menangkap dagunya yang terbelah. Dagu yang menarik.

"Dagumu lucu."

"Apa lucunya?"

"Lucu saja."

"Aneh, dagu kok lucu? Rokok?"

"Aku tidak merokok. Terimakasih."

"Hebat."

"Apa hebatnya?"

"Bisa tidak merokok."

"Ah, kamu yang hebat."

"Lho kok?"

Aku mengangguk.

"Kenapa?"

"Karena gaya merokokmu keren. Asyik dilihatnya."

"Kamu benar-benar aneh." Perempuan di sebelahku ini tersenyum, "Tidak turun?"

"Turun ke mana?"

"Hahaha. Dance maksudnya." Saskia menunjuk dengan dongakkan kepala ke tengah arena, tempat puluhan orang berjingkrakan mengikuti irama lagu.

"Aku tidak bisa joget. Ke sini saja baru pertama kali."

"Pantas dari tadi seperti patung."

Aku tersenyum. Inilah untuk pertama kalinya aku masuk diskotek. Kalau tidak diperintahkan koordinator liputan, tak akan pernah aku berada di tempat berisik ini. Kebetulan aku ditugaskan mewawancarai seorang penulis yang akan meluncurkan buku keduanya. Buku tentang dunia gemerlap Jakarta, yang katanya berisi segala macam kemaksiatan kaum muda metropolitan.

"Di sini semua orang bergoyang. Seperti cacing kepanasan ya?" kata Saskia. Aku pura-pura terbatuk, karena dia menangkap basah diriku yang tengah mengamatinya diam-diam.

"Iya, seperti cacing."

"Kamu musti coba. Joget itu enak, lo. Selain sehat, kamu pasti terlihat lebih macho," Saskia mencoba meyakinkan. "Tidak tertarik mencoba?" Kulihat alis Saskia naik, bersamaan gerak cahaya lampu yang cepat menerpa wajahnya. Meski sesaat, wajah itu kulihat juga. Lumayanlah. Rupanya memang menawan.

"Aku tidak bisa joget."

"Kamu ini kacau. Kamu tahu? Awalnya memang susah, tapi lama-lama akan terbiasa. Aku dulu juga begitu. Takut diperhatikan orang. Malu dianggap jelek, norak, kampungan, dan sebagainya. Kalau berpikir begitu terus, kita tidak akan pernah bisa joget. Nikmati saja. Ikuti irama lagunya, nanti badan kita akan bergerak begitu saja. Di sini setiap orang asyik dengan diri sendiri. Tidak ada yang peduli dengan gerakan orang lain. Sayang kan sudah di sini cuma berdiri-diri seperti patung."

"Waduh, aku tetap tidak bisa. Mungkin nanti-nantilah." Aku menjawab sekenanya.

"Cobalah sekarang, mumpung ada di sini kan?"

"Nantilah, sekarang aku belum mood." Tambah sekenanya.

Saskia menatapku sambil mengangkat bahu. "Terserah kamu deh, sebentar ya."

"Ke mana?"

Saskia tak menjawab. Tubuhnya hilang di antara kerumunan orang yang berdandan dengan tampilan termodisnya. Aku melenguh, kembali seperti kambing congek di sudut dekat toilet. Diam-diam kurutuk si penulis yang akan kuwawancarai nanti. Kenapa begitu lama untuk sekadar memberi keterangan peluncuran buku? Kenapa juga harus di diskotek? Sialan.

"Enak ya jadi wartawan?"

Lamunanku pecah, Saskia sudah muncul lagi. Tangannya memegang dua gelas bir dingin. Aku pura-pura tak terkejut. Terus terang aku agak heran Saskia bisa tahu profesi yang kugeluti.

"Tahu dari mana aku wartawan?"

"Hahaha. Rata-rata yang datang malam ini kan wartawan. Aku tahu pengunjung rutin diskotek ini. Aku tahu kamu bukan salah satu di antara mereka. Ini minum dulu. Aku traktir," Saskia menyodorkan segelas bir di tangan kanannya.

"Maaf, aku tidak minum."

"Oh ya? Wah, kalau begitu aku yang minta maaf. Kamu memang benar-benar hebat."

"Hebat terus."

"Hebatlah. Tidak merokok, tidak minum bir."

"Kamu juga hebat, kok."

"Karena aku merokok dan minum bir?"

"Bukan itu."

"Lalu?"

"Kamu hebat karena membuatku tidak grogi untuk bicara."

"Maksudnya?

Aku menarik sudut bibir. Saskia lurus menatapku, menunggu. Suasana kian bising. Teriakan sang DJ menambah suasana panas. Mereka yang di tengah arena terlihat histeris. Lampu-lampu berkejapan, membuat orang-orang terlihat seperti kelebatan kilat. Aku memicing. Tak terbayang rasanya berada di tempat seperti ini. Kalau bukan tugas kantor, kalau bukan Saskia, aku lebih baik pulang. Kalau bukan Saskia? Dahiku berkerut. Kenapa pula aku ini? Kenapa karena Saskia aku merasa nyaman di tempat yang sesungguhnya membuatku tak betah? Tak pernah terpikir aku bisa berlama-lama di diskotek. Diskotek membuatku sakit kepala. Mungkin karena aku memang kampungan, mungkin juga karena aku tak menyenangi kebisingan. Tak tahulah. Tapi kenapa karena Saskia? Nalarku belum sampai menjawabnya, selain merasa senang bisa kenal dengannya.

"Kamu rajin yang datang ke sini." Kataku.

"Lumayan."

Dan tak seperti biasanya, aku tiba-tiba menjadi cerewet dan dominan. Aku bercerita apa saja pada Saskia. Tentang masa kecil, kerjaan, utang keluarga pada rentenir, sampai soal ayah yang ketat dalam mengajarkan agama. Aku juga mengisahkan duka ketika pacar pergi begitu saja, sehingga membuatku susah tidur sampai sekarang. Lebih gila lagi, aku juga menjabarkan mimpi-mimpi tentang keluargaku kelak, tentang istri yang kudambakan, anak, rumah, dan banyak lagi. Semua tumpah begitu saja.

Sejak kecil aku kesulitan berbicara panjang dengan perempuan. Apalagi dengan yang baru dikenal. Kalaupun terjadi, itu dalam rangka kerjaku sebagai wartawan. Aku bekerja di majalah yang isinya politik melulu. Datang ke sini pun, seperti kubilang tadi, dalam rangka mewawancarai penulis itu untuk sebuah rubrik kecil tentang kehidupan sejumlah tokoh. Kupikir-pikir, sekalian belajarlah, karena memang aku belum lama menjadi wartawan. Profesi ini membuatku punya alasan untuk tidak gugup saat menghadapi orang. Tapi anehnya, meski sejak awal tak mengaku sebagai wartawan, aku sama sekali tak gelagapan berbincang dengan Saskia.

Setiap kali aku bicara, Saskia hanya mengangguk. Sesekali aku menangkap senyumnya dalam remang cahaya. Senyum yang membuat gerah ruangan ini tak terasa. Aku tak habis pikir, energi apa yang dimiliki Saskia hingga aku merasa nyaman menceritakan apa saja kepadanya. Perempuan ini menarik jauh anganku, angan tentang seorang teman hidup yang menyenangkan.

"Kamu baik." Sebuah pujian meluncur dari bibirku.

"Terimakasih. Kamu juga baik. Senang bisa kenal dengan wartawan. Siapa tahu suatu saat nanti, karena kenal kamu, aku bisa terkenal. Hahaha. Aku ingin sekali wajahku terpampang di koran atau majalah. Aku ingin mengubah hidup menjadi artis. Awalnya harus difoto macam-macam pun aku berani."

"Foto macam-macam? Maksud kamu?" Aku mengernyitkan jidat.

Belum sempat Saskia menjawab, sang DJ mengumumkan sebentar lagi peluncuran buku akan dimulai. Irama yang mengentak berubah pelan. Cahaya berubah terang benderang. Orang-orang menepi, membiarkan areal tengah diisi para wartawan dan undangan. Pada saat itu pula, ekor mataku melihat Saskia pergi.

"Nanti kita ngobrol lagi." Kata Saskia sambil berlalu.

Aku ingin mencegah, tapi urung. Terus terang aku kehilangan. Aku telanjur senang berbicang-bicang dengannya. Aku bukan orang yang mudah menyukai perempuan, tapi sosok Saskia membuatku berani berharap jauh, meski aku mengenalnya di diskotek, tempat yang membuat kepalaku sakit.

Diam-diam aku melamunkan Saskia. Sampai-sampai aku tak menyimak ketika DJ mengumumkan sebentar lagi ada empat penari akan membuka acara peluncuran buku. Kendati tak seberisik sebelumnya, irama yang dimainkan DJ membuat pengunjung histeris. Aku masih di dekat toilet. Kulihat di tengah arena orang-orang berkerumun, berteriak tak keruan. Aku tak mengerti yang mereka ocehkan, sampai akhirnya kulihat empat sosok perempuan mengenakan topeng dan pakaian seperti kimono dengan bahan transparan, berjoget liar.

Aku tertegun, mungkin mulai tak betah. Kepalaku celingak-celingkuk mencari Saskia. Tak mudah menemukannya di tengah suasana yang semrawut begini. Lima belas menit sudah dia menghilang. Ke mana anak itu? Jangan-jangan sudah pulang, tapi ada baiknya aku menunggu, karena tadi dia janji akan menemuiku lagi. Lagi pula, setidak-tidak betahnya, aku memang harus menunggu sampai acara peluncuran buku selesai.

Sambil menunggu, aku membunuh jenuh dengan mengirim pesan singkat ke teman. Sungguh aku tak tertarik dengan keriuhan di sekitarku. Lelah menanti, tak sadar aku menguap. Mungkin aku mengantuk, tapi Saskia tak juga datang. Aku menyesal tak meminta nomor teleponnya. Kalau tadi kuminta, aku tak perlu merasa kehilangan seperti ini kan?

"Aku yakin kalau begini kamu pasti akan mau berjoget."

Perempuan bertopeng dengan kimono tiba-tiba muncul di depanku. Aku terkesiap, karena dengan santainya dia melepaskan ikatan kimononya, sehingga tubuhnya terlihat bebas.

"Masih malu untuk joget?" Perempuan itu nekat, menarik ujung kaosku dan mencoba membawaku ke tengah arena. Kontan aku menampik. Perempuan itu tak menyerah, malah sengaja meliak-liukkan tubuhnya.

"Ja, jangan aku, yang lain saja." Orang-orang bersorak riang. Wajahku terasa panas.

Perempuan itu membuka topengnya. "Aku ingin kamu menari denganku Gilank. Ayo ke tengah."

Aku terperangah memandang wajah Saskia di depanku, perempuan yang baru saja kukenal dan sempat membuatku bermimpi jauh. Aku ingin berlari, tapi tulang-tulangku seakan lepas. Kegaduhan mendadak senyap. Sunyi berkejaran di rongga hatiku yang kecewa. Aku seperti berlari di tepi pantai pada senja hari tanpa matahari. Hanya gemuruh angin merayap di daun telinga. Hanya gemuruh angin.

Thursday, January 20, 2005

Sang Aktor

Sejak kecil aku mencintai dunia akting. Tepatnya sejak usiaku sekitar lima tahun, ketika aku selalu larut dalam serial boneka Unyil di televisi. Terdengar aneh mungkin. Dari boneka-boneka yang digerakkan tangan, yang bibirnya tak pernah terbuka saat berbicara itu, aku bisa jatuh cinta pada dunia seni peran. Serial Unyil adalah pemicu utama aku menyenangi akting. Pikirku, boneka saja bisa berakting, kenapa aku yang manusia tak mampu melakukannya? Itulah sebabnya, serial Unyil adalah sumber inspirasiku terpenting dalam berakting. Betapa keranjingannya terhadap Si Unyil, aku tak pernah mau dimandikan ibu sebelum menyaksikan tayangannya. Aku sering terpingkal-pingkal menonton aksi Unyil dan kawan-kawan. Apalagi kalau mereka sudah dimarahi Pak Raden.

Satu hal yang juga tak pernah bisa kulupa adalah ketika Unyil bersama teman-temannya, dikejar-kejar orang gila. Tak ada peran menarik seperti yang dimainkan si orang gila itu. Betapa lucunya, betapa serunya, dulu itu. Unyil kucing! Celetukan ini juga tak pernah bisa hilang dari ingatanku sampai sekarang. Bagiku, tak ada film anak sedahsyat serial Unyil. Bukan bermaksud sok-sokan kalau aku kerap kerap prihatin dengan maraknya film-film kartun yang rata-rata kental aroma Jepangnya. Tapi biarlah, itu urusan para pengamat film dan budayawan. Urusanku sekarang hanya akting, akting, dan akting. Titik.

Sejak mulai menyukai dunia akting, aku menyalurkan hobi ini dengan ikut serta sebagai anggota teater di sekolah. Hobi ini berlanjut sampai di bangku kuliah. Aku sempat vakum berakting setelah bekerja dan menikah. Dan kini, sejak setahun silam, kecintaanku pada dunia akting kembali bergelora. Ini terjadi setelah aku menjadi korban pemecatan massal yang dilakukan perusahaan tempatku bekerja. Kondisi perusahaan sedang sulit, begitu kata Prihandoyo, sang bos besar, seperti disampaikan bagian personalia. Belakangan aku tahu, pemecatan itu hanyalah taktik perusahaan untuk merekrut tenaga baru yang bisa digaji dengan murah. Aku sakit hati, termasuk ratusan temanku yang merasa dibuang begitu saja setelah mengabdi puluhan tahun. Aku panik, bingung. Makan apa anak dan istriku dengan statusku yang pengangguran? Dari mana aku harus membayar kontrakan? Membeli beras? Membayar listrik? Membayar uang sekolah anak?

Kucoba bangkit dan melempar lamaran ke berbagai perusahaan, sementara istriku mencoba membuka warung kecil-kecilan di muka rumah. Aku kasihan pada istriku yang tak sesegar kala aku masih bekerja. Sambil menunggu datangnya panggilan kerja, aku ikut bantu-bantu istriku berjualan. Dan pada saat menunggu pembeli, aku kerap teringat masa kecilku. Boneka-boneka Unyil dan kawan-kawannya menari-nari di kepalaku. Kegiatanku berteater juga terbayang jelas. Perlahan, kecintaanku pada dunia akting bangkit kembali. Aku tak ingin terus bersedih. Dan hanya ada satu jalan untuk mengusir kemurunganku: akting. Aku yakin, hanya dengan berakting aku bisa tegar menjalani hidup yang rumit ini.
Kini, setahun sudah aku tenggelam dalam dunia akting. Sehari saja tak berakting, aku bisa demam. Pernah suatu ketika aku lupa berakting. Tak lama setelah tersadar, tubuhku mengigil tak keruan. Keringat mengucur deras laksana tutup panci berisi air yang dimasak. Aku kelimpungan, karena mendadak aku seperti menyaksikan orang-orang di sekitarku menatap dengan sorot mata yang ganjil. Aku takut sekali. Sampai-sampai aku berlari sekencang-kencangnya, bersembunyi di sudut kamar, dan tanpa sadar tertidur bersandar dinding.

Sekarang aku tak pernah lupa lagi. Aku betul-betul sudah menjiwai diriku sebagai aktor. Aku harus selalu berkonsentrasi menjalani hidup sebagai aktor tak tertandingi. Untuk itu, aku tak perlu piagam atau trofi. Aku tak membutuhkan penghargaan. Sama sekali tak pernah aku bernafsu menerima piala Citra, misalnya, diangkat tinggi-tinggi sambil mengucapkan basa-basi terima kasih. Duh, di mataku, kemampuan para aktor atau aktris di film-film itu hanyalah sejentik tahi kuku. Tak ada apa-apanya dengan kemampuanku yang brilian soal akting.

Kalau sampai sekarang wajahku tak pernah muncul di layar lebar atau kaca, itu bukan berarti aku tak laku. Sudah kubilang, aku tak ingin sejajar dengan aktor atau aktris sampah itu. Aku menempatkan diriku secara eksklusif. Tak pernah aku punya minat bermain film, terlebih lagi sinetron, yang ceritanya aneh-aneh itu. Aku berakting di atas panggung yang tak berlayar, tak berkaca. Aku berakting di dunia tanpa waktu dan medium yang tak terbatas. Setiap hari, aku selalu begitu tanpa lelah. Keluargaku, teman, dan istriku, memanggilku dengan sebutan Raja Akting, meski namaku sebenarnya Tukiman.

Pagi ini, seperti biasa, aku membolak-balik catatanku tentang peran-peran yang sudah kumainkan. Aku ingin setiap hari berbeda peran. Maka catatan tentang akting dan adegan yang sudah kumainkan harus selalu kulihat. Aku berakting tanpa lawan main. Aku aktor mandiri yang berakting dari hati. Tak perlu naskah cerita, karena semua sudah ada di kepalaku. Harus begini, harus begitu, sudah kuatur sendiri dalam otak dan hatiku. Maka saat hati kecilku berteriak “action”, seketika itu pula aku harus mulai memainkan peran yang sudah kurancang.

“Makin parah kondisinya Nem?”

“Tak tahulah, Bu. Makin aneh saja. Aku tak sanggup lagi berbuat apa-apa.”

Perbincangan ibu dan istriku lapat-lapat kudengar dari kamar. Kupasang telinga layaknya seorang agen yang sedang menguping pembicaraan rahasia.

“Kapan kamu terakhir melihatnya berulah lagi?”

“Semalam, dia berteriak-teriak sendiri di dapur. Katanya, dia tengah memerankan diri sebagai pemburu tikus.”

“Gawat.”

Aku tersenyum mendengarnya. Bangga dalam batinku, karena istri dan ibuku memperbincangkan aktingku. Semalam, aku memang tak tidur karena harus berperan sebagai pemburu tikus yang selalu merusak lemari makan atau baju kami.

“Anakmu bagaimana?”

“Somad tak pernah lagi dicolek sejak Mas Tukiman sibuk dengan ulah anehnya itu.”

Kulihat ibu menarik napas panjang saat kukeluar kamar membuka gorden. Aku pura-pura tak melihat ibu dan istriku. Kubayangkan diriku tak bisa terlihat oleh mereka. Kuperankan diriku sebagai pendekar yang bisa menghilang. Agar aku bisa leluasa mendengarkan obrolan mereka lebih jauh, agar aku tahu isi pembicaraan mereka tentang akting-aktingku yang dahsyat. Kulihat ibu tersenyum menyapaku. Istriku tidak. Dia hanya menunduk sambil memangku anakku Somad yang tertidur. Aku tak membalas senyum ibu, karena aku adalah sesosok mahkluk yang tak terlihat.

“Mau kemana Man?”

Aku tak menjawab sapaan ibu. Waduh, ibu ini bagaimana? Kok tak mengerti anaknya sedang memerankan diri sebagai jagoan yang bisa menghilang.

“Begitulah, Bu. Aku tidak sanggup lagi, Bu. Tidak sanggup.” Istriku menatap dingin ke wajahku.

Kulihat air mata istriku menetes. Kuhentikan langkah dan mengurungkan niat untuk mematung di dekat ibu dan istriku. Kupandangi istriku yang terus menundukkan kepala sambil mengusap air mata di pipinya. Kulihat ibu memeluknya. Kucoba mencari celah agar aku bisa masuk dalam obrolan mereka. Dan untuk itu aku harus menjelma sebagai orang yang kembali bisa terlihat.

“Simsalabim! Bukan sulap bukan sihir!”

Kulihat ibu dan istriku terkejut mendengar teriakanku.

“Tenang, jangan kaget dan bersedih. Akulah pangeran dari Negeri Sejuta Emas. Istriku, kenapa kau menangis?” Kupegang tubuh istriku dengan posisi setengah bersimpuh. Istriku tak menjawab, malah menangis makin keras. Aku mengernyitkan dahi. Untuk kesekian kalinya ibuku menarik napas.

“Sudahlah Istriku cantik. Hentikan air mata itu, lupakan kesedihan dan dukamu, mari kita pergi ke taman memetik bunga-bunga sambil bercengkerama layaknya pangeran dan permaisuri. Aku adalah sang pewaris kerajaan ini, yang menguasai seluruh kekayaan tanah airnya. Untuk apa kamu menangis? Untuk apa dia menangis Ibu?”

“Istrimu sedih karena ulah anehmu Man. Istighfar Man... “

“Hahaha... Ibu ini aneh-aneh saja. Aku ini kenapa?” Kalimat yang keluar dari mulut ibuku seolah membuatku semakin yakin bahwa peranku sebagai pangeran kali ini bagus sekali. “Bu, lihatlah putramu ini. Pandangi aku dari bawah sampai ujung rambutku. Adakah yang kurang dari diriku? Adakah yang aneh? Yang ganjil? Aku ini pangeran Bu. Calon Raja!”

Ibu terdiam dan tangis istriku menjadi-jadi. Aku ikut diam. Menarik napas dan berpikir keras. Sulit juga adegan ini. Akan tetapi, aktor sehebatku semestinya tak perlu bingung.

“Sebentar. Ada yang harus kuperlihatkan.” Aku bergerak seolah mengibaskan jubah, lalu bergegas masuk ke kamar.

“Hentikan tangis kamu Nem. Lihat Nem. Bu, lihat. Ini keris sakti.” Kuayun-ayunkan sebilah keris warisan kakek . “Dengan keris ini, aku ingin mengubah dunia. Tolong jangan menangis dan bingung. Airmata dan raut wajahmu membuat aku kesulitan menuntaskan misi muliaku yang dititahkan para dewa.”

Bukannya diam, istriku kian histeris dan lari masuk kamar membawa anakku. Ibuku tak berkata apa-apa, malah memelukku erat. Kulihat matanya basah.

“Tolong kembalikan anakku seperti semula, Tuhan...”

Kupandangi wajah ibu. Kukecup tangan kanannya.

“Ibu, pasti aku akan kembali dalam keadaan utuh. Aku pergi tak kan lama. Tolong doakan aku, agar aku berhasil menjalani misiku sebagai utusan kerajaan. Aku pergi Ibu.”

“Tukiman!”

Aku menghilang keluar pintu secepat kilat. Panggilan ibu, tangis istriku, perlahan-lahan lenyap ditelan angin, bersamaan langkahku yang menjauh.

****

Di lorong sebuah gedung aku berdiri tegak di muka pintu bertuliskan Dirut Prihandoyo. Kuketuk pintunya dua kali. Kutunggu. Pintu tetap tertutup rapat. Kuketuk lagi. Kutunggu lagi. Masih tertutup. Aku melenguh. Kuketuk lagi, kini dengan ketukan yang lebih keras. Sama saja. Tak ada respons dari dalam.
“Anjing!” Sambil mengumpat aku menendang pintu. Dasar pintu sialan. Tak juga terbuka.

Kudendar ada langkah kaki menuju arahku. Gawat, penyamaranku sebagai seorang agen rahasia bisa terbongkar. Kutendang pintu itu sekali lagi. Tak juga terdobrak. Kenapa di film-film pintu yang ditendang selalu bisa terbuka? Aku panik. Derap langkah kaki itu makin terdengar jelas dan dekat. Kepalang tanggung, sebagai agen rahasia yang musti menyelesaikan tugasnya, kutendang sekali lagi pintu itu. Brak!

“Hei! Siapa kamu? Sedang apa?!”

Seorang lelaki gendut berpakaian necis setengah berlari menghampiriku. Aha, ini dia orang yang kucari. Meski di luar skenario yang sudah kurancang, aku tak menyesal karena orang yang kuincar akhirnya muncul dengan sendirinya. Kubuka topeng yang menutup wajahku.

“Tukiman? Sedang apa kamu di sini?”

“Bos besar. Masih ingat juga rupanya dengan anak buahmu yang sudah dibuang ini.”

“Bagaimana caranya kamu bisa masuk?”

“Bukan soal sulit bagi seorang agen rahasia Bos.”

“Agen rahasia?”

“Yap. Aku adalah agen rahasia, yang ditugaskan markas besar, untuk membunuh bajingan tengik sepertimu.” Kutarik keris dari balik celanaku.

“Hei, hei. Apa-apaan kamu Tukiman? Jangan gila!”

“Aku tidak gila Bos besar. Lebih gila mana dengan ulahmu memecatku hingga hidupku berantakan tak keruan? Lebih gila mana dengan ulahmu yang dengan seenaknya berdalih keuangan kantor sedang susah, tetapi justru merekrut karyawan baru dengan jumlah yang lebih banyak? Lebih gila mana, jawab?!” Aku melangkah pelan mendekati Prihandoyo yang perlahan-lahan bergerak mundur. Keris di tangan kiriku mengacung.

“Tukiman. Jatuhkan keris itu. Kita bisa bicarakan soal ini baik-baik. Kamu salah paham.”

“Salah paham? Pintar omong kamu. Banyak uang, pintar omong pula. Pantas ulahmu menilap uang perusahaan tak pernah terendus. Kau bisa menyuap aparat, bisa pula berkelit tanpa pengacara hebat. Hebat, hebat!”

Di ujung kalimat, aku bergerak cepat ke arah Prihandoyo sambil menusukkan keris ke perutnya. Prihandoyo mengelak, tetapi tubuhnya yang tambun terlalu lamban untuk meloloskan diri. Prihandoyo meronta sambil menjerit minta tolong. Aku terus menekan keris hingga hanya gagangnya yang tersisa. Kulihat matanya membelalak. Prihandoyo, lelaki yang memecatku itu roboh. Darah mengalir di lantai. Kutatap sebentar tubuh tak berdaya itu, lalu kubalik badan, melangkah keluar dengan tenang.

Kudengar orang-orang berlari mendekat. Aku terus melangkah. Kudengar ada yang menjerit melihat mayat Prihandoyo. Kubiarkan di antara mereka mengejarku. Aku bergeming, membiarkan beberapa orang berseragam pengaman gedung memegang lengan dan mendorongku keluar dengan kasar. Aku tak peduli. Aku asyik merancang skenario berikut yang aku harus jalani. Terbayang wajah ibu, istri, dan anakku di rumah. Aku tersenyum sambil membatin. Aku tak akan dipenjara Ibu. Tak akan dipenjara Inem.

Gatsu, 21 Januari 2005

Tuesday, January 18, 2005

Pelangi di Kaki Langit

Malam bagi saya tidaklah sekadar gelap, tetapi juga juga menyimpan rasa sakit. Seperti kulit yang tersayat lapis silet. Saya hanya bisa merasakan perih setiap malam datang. Sekalipun langit penuh bintang atau angin berembus halus. Selalu begitu sejak usia saya melewati angka tujuhbelas. Telah berdustakah sang pujangga Lebanon, karena ternyata saya bukanlah anak panah yang melesat dari busur. Saya seperti burung gereja dengan satu kaki dibebat rantai, dan cuma bisa bersiul irama requiem. Saya tak bisa mengepakkan sayap, apalagi untuk terbang jauh. Saya lelah mencari jawaban tentang kekejian sosok yang di tapak kakinya tersimpan sorga. Salahkah saya membenci ibu, juga ayah yang pengecut?

Saya menarik gorden kamar. Angin dingin menyergap. Di sisi kusen jendela saya sorongkan kepala ke luar. Mencium harum kesunyian dengan mata yang sembab. Di kejauhan timur, saya melihat Venus menyapa dan bertanya: "Masihkah engkau menyimpan senyum untuk esok pagi, Kania?" Saya tak menjawab. Seolah mengerti kegalauan saya, Venus, Sang Bintang Pagi, bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Saya bergeming. Saya ragu bahwa hari esok saya bisa tersenyum. Saya melenguh, berandai terbang ke langit belahan barat esok pagi, mengunjungi Phosporus dan bermain bersama. Saya muak di rumah ini.

Waktu terus bergerak. Perlahan Venus menghilang. Saya masih duduk di tepi jendela. Memandangi taman, menyapu mawar dan melati yang samar tersiram lampu kebun. Saya ingat betul kala kecil bunga-bunga itu saya petik dan selipkan ke telinga ibu. Saya juga teringat saat bermain air bersama ayah yang sibuk menyiram tanaman. Dan tubuh yang kotor saya dibersihkan ibu di wadah kolam renang plastik. Delapan belas tahun silam yang menyenangkan. Delapan belas tahun silam yang selalu muncul setiap ibuku menjelma seperti singa betina liar dan ayahku menyerupai keledai.