Thursday, December 29, 2005

dan kita lebih sering...

mata bocah itu basah
sesaat setelah gerimis
kota gelisah
dedaunan menangis
tapi kita lebih sering melenguh
setiap kali lewat

air mata tinggal air mata
masih kuingat serumu
"bersatulah wahai engkau yang dimiskinkan"
dan tetap saja
mata bocah itu basah
dan kita lebih sering melenguh
setiap kali lewat

kota menjadi batu

Tuesday, December 27, 2005

elang

di senja ini
semestinya
aku adalah seekor elang
menukik riang
mengepak sayap menelan langit
di sela pucuk pinus dan bukit
disapu angin
sendirian
karena engkau tak lagi bersayap

waktu, memang
mengabadikan perubahan
kota ini dulu senggang
dan malam selalu dingin
gemebyar itu telah membawamu
jauh menyelami dasar lautan
menjadi sulit terlihat
kian sukar kukenali

dan dengarlah derit trem
menggilas rel bisu
ada saatnya kita berhenti
mengunci diri
meski semestinya
di senja ini aku adalah seekor elang
yang mencoba terbang
sendiri saja

karena engkau tak lagi bersayap
seperti menaburkan enggan
tak terjawab
entah sampai kapan...

masih kuingat
kemarin kita tergelak
memunguti hari
bercengkrama tentang bunga dan hujan
seperti ingin
tak ada hari esok
berharap waktu berhenti
memaku kita
pada bahagia

tapi kini kau tak lagi bersayap
dan aku kesunyian...

Friday, December 23, 2005

yang tergerus gelombang

aku adalah sebongkah batu
menetas melahirkan seribu kerikil
pecah menghampar
di jalan yang mungkin kau lalui

seperti karang
yang mengerang
di tengah ombak garang
dengarlah angin meradang
menolak menjadi pecundang

tidakkah kau resah?
sedang tapakmu tak berterompah
amat mungkin kau berdarah
menginjak anak bundaku yang marah

Tuhan, kenapa?

waktu menyiksaku tanpa jeda
malam menguliti membunuhku
menggiring pada gelap
menyudutkan pada pengap

Tuhan, kenapa aku?
yang harus menerima
yang mesti merasa
yang patut mencoba

getir di lidah
perih bersemu bahagia
tertawa berair mata
ketika
semua baru saja terasa indah
salahkah bila aku membenci-Mu?

Wednesday, December 21, 2005

seperti ketika, sewaktu ketika

dan biarkan saja
pudar semua
aku tak butuh apa
kecuali air mata
dan sisa gerimis pada senja

maka biarkan saja
hilang segala
aku tak ingin apa
kecuali air mata
dan angin pagi pada beranda

punggung bukit sunyi
tepi laut sepi
pucuk pinus dan ombak lirih bernyanyi
sedikit pun
aku tak menghendaki
wajahmu menari
seperti ketika
sewaktu ketika...

Tuesday, December 20, 2005

mungkin

mungkin
kita hanya sedang merangkai mimpi
melukis pagi
menggambar hujan dan matahari
gemerisik ranting
di sela kicau sepasang merpati

mungkin
kita hanya sedang merajut temali
tanpa pernah hendak meniti
mengusung angan sembari berlari
kita membiarkannya mati
tanpa pernah kembali
tiada pernah menikmati

mungkin
kita hanya sedang mencoba
meraba dan menerka
mencicipi hidup alakadarnya
lupa bahwa sebetulnya
kita tak seharusnya saling meluka
menorehkan belati baja
sambil tertawa

mungkin
kita diam-diam memang tak ingin
sedikit pun melukis angin
menari di malam dingin
merenda bahagia
melupakan janji-janji kita
yang meruap menghampa

mungkin
kita memang tak sadar saling menjauh
membiarkan jarak itu tumbuh
perlahan kita runtuh
luruh bersama dada bergemuruh...

Sunday, December 18, 2005

aku tak berani lagi

dan aku
telah terkhianati
pada waktu
yang tersia-siakan
pada hati
yang tak bisa dipercaya
dan ternyata aku
hanya melangkah di tempat

lalu aku menjadi tak percaya
pada apa pun
pada siapa pun
untuk sekedar menarik senyum
aku tak berani lagi...

Wednesday, December 14, 2005

aku kehilangan

aku kehilangan kata-kata
pada gulita
ketika semestinya
aku bisa berbahagia

di pucuk menara
langit terhalang pucat warna
malam tak lagi biasa
bukan lantaran bulan tiada
atau bintang yang enggan merona

haruskah di tengah sunyi tertawa?
sedang perih tertekan luka
pada jentera
ketika seharusnya
aku bisa bergembira

aku kehilangan kata-kata
tanpa pernah bisa mengeja
huruf demi huruf alfabeta
yang mereka sebut sebagai cinta

aku hanya mampu meraba
cinta mungkin sebuah hampa
tanpa sedikit suara
tanpa seuntai pun nada
mungkin juga tiada sinarnya

tapi dengarlah
paulo coelho berkata;
"cinta adalah perangkap
ketika ia muncul
kita hanya melihat cahayanya
bukan sisi gelapnya"

Sunday, December 11, 2005

bambu rakit

aku adalah bambu rakit
pada alur sungai
di tepi bukit
berpayung matahari terbit
menahan sakit
ketika hari memaksaku bangkit

masih kuingat
bunyi ranting
aroma hutan bakau
yang kering
wajahmu mengiring
tersenyum tersungging
ketika waktu memaksaku bergeming

lalu
bagaimana bisa aku
menepikan
sedang detikku
waktuku
mulai
terganggu ronamu
ketika pagi
memaksaku untuk tak memintamu

Friday, December 09, 2005

cuma bunyi gerimis

pada senja aku pernah bertanya
Tuhan, kenapa hidup perlu air mata?
tapi
hanya hening
cuma bunyi gerimis
helai demi helai
ketika senja
di mana aku
semestinya tak harus menangis

Tuesday, December 06, 2005

suara anak

dan kami kehilangan bunyi
kota terlalu rakus menelan sunyi
tak seperti dongeng pagi
tentang kecipak patin di jernih sungai
juga kicau murai rimba di ranting jati

lalu kami kehilangan tempat berteduh
panas melepuh
kulit memedih
kaca-kaca meninggi saling tindih

lalu lintas memadat
amarah menjerat
lihatlah
three in one bohong besar!
pelukan ozon tinggal janji

maka kami pasrah
pada debu hitam mewabah
pada gatal air hujan
pada apa pun...
ibu, kenapa tak kau bilang kami menelan kuman?

kami harus selalu terpejam
barangkali
agar sejenak
mimpi menyelam
mencium terumbu dan tenggiri

atau terbang
menemani layang dan elang
menunggangi pelepah pisang
seperti koboi texas yang enggan pulang

atau menari di hamparan savana
merayapi bukit tak bernama
berkejaran menjemput senja
yang kerap basah di tepi januari



*untuk anambo tono yang gelisah

Monday, December 05, 2005

perlukah...

lewat tengah malam
kau pernah berharap
pada butir gerimis
Tuhan, izinkan aku bahagia
sebentar saja
karena pada pagi
aku tak ingin menangis

tapi seketika
bulan memucat
langit gelisah
angin lemas
lalu asamu timpas

perlukah bahagia bercampur derita diberi nama?

dan kau
mungkin sempat
memaki-Nya
lupa sesungguhnya Tuhan
bukan terlalu lelap
doamu lenyap

ada hal-hal
yang kita tak sampai
bahagia
juga derita
mungkin
memang tak akan pernah selesai
meminta
menyiksa

perlukah derita bercampur bahagia diberi nama?



*untuk sahabat, pino bahari

tapi Tuhan...

"tapi Tuhan tak ada di meja makan," katamu

Ia mungkin sedang sembunyi
barangkali selalu
hanya nasi keras
garam
irisan kacang panjang
maka perut kami kenyang

lalu aku melenguh
detik melambat
hari terkunci
menyudutkan

"sejahat itukah Dia?" aku bertanya

kau cuma menoleh
tak henti mengunyah
bersama istri
juga tiga anak
yang terpencar
di lantai tanah
yang selalu basah
setiap hujan gelisah

benarkah Tuhan tak ada di sini?

Saturday, December 03, 2005

ayah

dulu
aku tak pernah tahu
batu-batu karang
ternyata lunak
selembut kertas tissu
yang kau seka
ketika pipimu basah

aku masih ingat
sepeda motor tua
disirami hujan
pada rembang senja
deras tak menakutkan
sewaktu
wajahmu belum melisut

adakah
yang lebih indah, ayah?
selain potret-potret lama
yang membisu
dengan senyum kekal
saat kau memapahku lekat
sebelum helaan napasmu
memberat

pada setiap pagi
yang beku
seperti akhir-akhir ini

perempuan itu

perempuan itu
tak meminta lahir
tapi hidup memaksa
memintanya
menjadi pelacur

di atas dipan
yang di tepinya
berbaris kutu busuk
ibumu menunduk

di kamar yang lantainya rompal
berdinding koran-koran bekas
ayahmu
membetulkan jejari sepeda tua
ia menahan
kegetiran
dengus napas ribuan lelaki

"tapi mau bagaimana lagi?" katamu

matamu berkaca-kaca
bibir gemetar
dan di luar
senja mengendap
sunyi
bersama bunyi gerimis
yang lindap

malam memaksaku mencoba

malam memanggilku
mengukir namamu kembali
seperti gema
setengah menekan
seolah-olah
luka itu
seakan-akan
perih itu

tak membuatku gemetar
lupakah engkau?
telah membuatku gentar

sebegitu jauh kita
merintangi tawa
air mata
di atas tanah penuh kerakal
menahan waktu bersama
tanpa jeda
tiada kesah

tapi kenapa?

nalarku tak pernah sanggup
kenapa harus engkau?
yang sesaat menghentikan napas
menangisi malam-malam bahagia
mengusik riang
ketika merenangi hari

sedang telah kuiris separuh hatiku
sepanjang waktumu...

perih itu
juga luka
masih menetes
dari kelopakku...
tak ingatkah kau?

Friday, December 02, 2005

seperti angin

lalu aku lupa mengunci pintu
dan kau kembali masuk
begitu saja
seperti angin

tanpa ketukan
tanpa sapaan
keluar pun tiada sepatah kata
membuatku takut berdiri di ambang hari

Thursday, December 01, 2005

hati yang terpanggil

ada rindu yang kita singkirkan hari ini
barangkali karena kita tengah tak ingin
mungkin juga lantaran kita sudah tak ingat
apa sesungguhnya kerinduan
kapan sebetulnya cinta menciptakan

dada yang tergetar
bulir-bulir ingatan
juga keinginan untuk selalu bersama
boleh jadi memang tak perlu dinamakan
tak perlu diistilahkan...

dibiarkan saja
sampai waktu datang
memanggil hati kita
yang tak lagi sanggup sendiri..

Wednesday, November 30, 2005

Tuhan...

...Tuhan, semalam aku menangis
dan Kau tak ada
katanya Kau tak pernah tidur
tapi kemana Engkau semalam, Tuhan?
hanya sisa gerimis yang terdengar
juga suara jangkrik yang sembunyi

di ujung sunyi yang muram...

... aku tak terpejam hingga pagi menjelang
sampai kutemukan Kau di gerbang
tersenyum dam membuatku tersadar
hidup memang kadang melelahkan
dan hanya sabar yang meski kutelan...

Monday, November 28, 2005

kepada laut aku pulang

Siapalah aku, perempuanku... Hanya lelaki laut yang bermimpi mencintai karang. Kerap terempas badai dan dikitari gerombolan burung bangkai yang garang. Di laut aku berenang ke dasar samudra, mendedah ombak menciptakan buih amarah dari perih yang panjang.

Sering pula kutegak melawan matahari yang pongah, memapah waktu tanpa pernah peduli bumi juga mempunyai gunung dan rumput liar. Aku terkapar pada kesunyian, di sela kayuhan perahu-perahu nelayan yang pulang. Dan bila kini kuberteriak rindu pada angin, terakhir kali kuminta, dengarlah jeritku yang sedikit pun mungkin tanpa sadar tak kau hirau. Sesaat saja, layaknya tubir pantai yang pasrah disapa lidah gelombang kala matahari tenggelam.

Aku hanya lelaki laut yang tak mengerti jalan pulang, perempuanku. Tengah limbung setelah kau pudarkan mimpi indahku yang terindukan. Kau cerabut akar yang kutanam pada tanah kering yang pernah kugemburkan. Kau pergi meninggalkan pantai, menjauhi dermaga dan menenggelamkanku ke dasar lautan yang kelam dan dingin...

Tuesday, November 22, 2005

tak pernah sanggup

kita tak sedang berada di gerbong yang sama
jarak dan waktu memaksa kita pasrah
mengalah pada takdir
membiarkan semua berjalan dengan sendirinya

senja yang kita tunggu belum tentu teduh
lalu akankah hujan sesaat membasahi segala kering?
aku masih mengingat gelakmu
meski kutahu engkau tak ingin untuk dikenang
tapi bunyi gerimis sore itu masih terngiang

aku tak pernah sanggup
tak pernah kuasa pun
melawan rindu yang tak kunjung mati terbunuh waktu

kita tak sedang berada di gerbong yang sama, memang
tapi bola matamu masih saja meneduhkanku....

Monday, November 21, 2005

dan inilah saatnya

dalam hening
yang ada hanya nada-nada bisu
seperti malam ketika bulan enggan menampakkan wajahnya
laksana siang saat matahari malas memanggang

tapi tak perlu takut, katamu
kesunyian selalu menghadirkan kesempatan merenung
untuk sejenak mencari
sisa-sisa waktu yang tak sempat
jejak-jejak yang pernah disia-siakan...

Wednesday, November 16, 2005

kelopakmu

aku terkunci pada matamu
kulihat dedaunan menari
dalam gemerisik angin
kicau burung-burung senja
adakah kau masuk dalam rongga batinku?
lelap dalam setiap tarikan napas
sepanjang waktu
tidur di kelopak indahmu...

air mata

kita bicara tentang waktu
yang bercerita tentang butir-butir gerimis
di senja yang basah
ketika lara yang mengendap
perlahan memudar ditelan dingin

ada saatnya kita tergelak
setelah lelah menangis
sepanjang detik
yang teruap hanyalah tatapan
matamu basah

apa yang kau tangisi?
sedang hidup tak selalu memerlukan air mata?

Thursday, November 10, 2005

tak setapak pun

senja yang pernah kita lewati tak memiliki jejak
tak setapak pun
hanya sisa terang langit yang masih memantulkan cahaya
setiap kali malam merayap
tentang sosokmu yang tak pernah lekang
tentang kisahmu yang tak jua memudar

lalu bagaimana sebuah kisah bisa bertahan di pucuk hari?
di antara rinai gerimis yang meliuk
di sela detik yang lapat
aku hanya menemukan repihan senyummu
yang tak kunjung hilang...

Tuesday, November 08, 2005

meski...

kendati malamku ditemani phosporus
juga jutaan bintang yang menyelimuti sunyi
meski gelapku disirami bulan
dan siangku ditaburi matahari
serta dadaku bersemayam pedang ali
aku tetap memerlukan sepasang matamu
yang merona menyelubung dalam batinku

Sunday, October 23, 2005

di jalan itu

jalan itu basah perempuanku
malam lembab dan dingin merayap
seperti arak awan di kulit langit
kita termangu pada janji
di sudut persimpangan
di bawah merkuri yang remang
disirami rinai yang berkilauan

tapi malam nyaris memahat nyaliku, cha
seperti mpu yang dengan tenangnya mendedah ujung keris
kita diruncingkan pada tanda tanya
untuk apa sebenarnya kita ada
ke mana sesungguhnya kita melangkah

dan di jalan itu
kita masih termangu pada janji
berdua saja
seperti bulan dan bintang yang hadir
sesaat setelah gerimis berhenti

Saturday, October 22, 2005

no inferno

aku ingin memeluk malam sambil mendekap bayangmu
membiarkan waktu kedap
berlalu tanpa kata
tanpa suara

larut dalam mimpi
yang singgah setiap sepi menghampiri
ditemani jutaan gemintang
juga bulan yang enggan pulang
karena pagi tak ingin membiarkanku sendiri
sebab hari tak menghendakiku menjadi sunyi

Friday, October 21, 2005

di mana engkau sobat?

saya marah malam ini
begitu banyak kedengkian yang meruap
tak bisakah orang itu bersikap sedikit arif
di tengah hidup yang tak membutuhkan pembuangan energi dengan beriri hati?

saya gelisah malam ini
terlalu memuakkan menelan orang-orang itu berganti wajah
sebentar menjadi kambing, sedetik kemudian menjelma menjadi babi
tak mampukah bersikap sedikit bijak
di tengah hidup yang tak perlu menguras tenaga dengan sikap negatif mengurusi hidup manusia lain...

dimana engkau sobat, di saat saya membutuhkan waktu untuk sejenak tersenyum?

Tuesday, October 11, 2005

ariel dan sutini

apa yang bisa dilakukan ketika tekanan begitu kuat membebani kepala? ariel peterpan menulis lagu dan sutini memenggal kepala sahabatnya, ningrum. pilihan adalah hak, tapi menulis lagu dan membunuh bukanlah persoalan boleh atau tidak, melainkan soal perlu atau tak perlu, masuk akal dan tidak. dan ketika pilihan bodoh dan tak perlu sekaligus tak masuk akal sudah terjadi, salahkah sutini?

masuk ke dalam koridor agama jelas salah, karena membunuh adalah dosa. koridor hukum pun demikian. kini perempuan berusia 24 tahun itu mendekam di penjara, karena membunuh sahabatnya. utang yang bertumpuk, juga keinginan untuk memiliki limabelas gram emas di leher sahabatnya, membuatnya kalap. dia tak menulis lagu, malah membiarkan anaknya menyaksikan saat-saat ia menjerat leher sahabatnya dengan kawat, memenggal leher agar kepala sahabatnya muat ditaruh di kaleng cat.

berlebihan mungkin membandingkan ariel dan sutini. tapi hidup memang begitu. selalu ada kontradiksi yang ekstrem. ada garis nasib yang melekat dan tak bisa kita elakan. ada hal-hal baik, ada hal-hal buruk. tinggal terserah ingin apa dan mau jadi apa... patokannya satu saja, semoga kita bisa bahagia tanpa perlu menyesal di kemudian hari...

dan tenggelam di balik kubikal, aku larut pada sisa tatapan wajah salsabila, putri semata wayang ningrum, sahabat sutini yang tewas mengenasan itu. salsabila berusia setahun. dia musti merelakan tak lagi menyusu dari tetek ibunya... rasto, suaminya memeluk hangat dengan mata berurai... dan sutini meringkuk di sel yang dingin dengan air mata yang sulit berhenti menetes...

Tuhan, kenapa hidup harus memilih?

intermezo

lihatlah jalan itu, perempuanku
temaram merkuri
juga persimpangan yang bisu
di sisa hujan kita pernah tergelak
pada suatu saat

... dan pada akhirnya
lelah katamu
hujan pun terhenti
hati memberat
di jalan itu
aku begitu tersayat

Wednesday, October 05, 2005

tanpa sungguh-sungguh selesai

kepergianku ini justru karena aku mulai mencintaimu. satu hal yang sangat kuhindari, setelah bertahun-tahun sulit memahami perempuan. seharusnya aku meminta maaf, karena telah menjadi pengecut. tapi aku yakin kamu mengerti bahwa banyak hal sering diakhiri tanpa ucapan perpisahan. tanpa sungguh-sungguh selesai...

*kef

Monday, October 03, 2005

^%&%&$*$%$@#$%

pemerintah gila!
gila pemerintah!
tau gak sih pemerintah lo tuh gila!
gila abis!!!
sialan!
bangsat!
penipu anjing!
seolah-olah kita ini bodoh...

Tuesday, September 27, 2005

batu dan bocah

bocah-bocah itu memainkan batu-batu koral
mendorong-dorongnya
membayangkan sebagai tamiya
di lorong jalan layang
ketika kota ini begitu garang memanggang

brum, brum, brum...
batu-batu tak mengeluarkan asap
seperti mobil-mobil mewah yang pongah
tak seperti metromini yang ringkih tertatih

Sunday, September 25, 2005

tahukah engkau...

ada yang kugenggam ketika malam jatuh
saat sunyi merayap
dan bulan muram di pangkuan langit

tahukah engkau tentang kesenyapan?
sewaktu hari begitu memenatkan?

semua pudar dengan sendirinya
saat kuterpejam dan membayangkan matamu...

rinai gerimis jatuh memeluk pagi
aroma tanah kering yang lembab
meruapkan kerinduan yang tak putus
aku menantimu
seperti pagi merindukan mentari
laksana malam merindukan bintang-bintang

angin, selimuti lelapku dengan memimpikannya...

sampai kapan?

lalu pagi datang dan matahari menjemput kita yang kelelahan
semalaman kita menanti hujan
dan sepercik pun kota ini tak kunjung basah
hanya embun di dedaunan
seperti biasa
menetes tak henti
seperti luka kita yang tak pernah kering

dan semuanya kian menjadi hambar
waktu yang kita jalani adalah sebuah keterpaksaan
kita tersenyum dalam perih
tergelak dalam sakit
menangis dalam tawa
sampai kapan kita bersandiwara?
sedang hati ini sudah ingin sekali berhenti

Saturday, September 24, 2005

Gagu di Kampung Kolong

Kolong jalan tol layang, suatu pagi yang basah. Sekat-sekat triplek berjajar membentuk hunian. Pengap membungkus hampir seratus keluarga yang tumpat-pedat menempati ratusan bilik seukuran separuh lapangan bulu tangkis. Nyaris di setiap ruang kosong terlihat kardus dan plastik bertumpuk. Ganco dan ransel bambu juga bertebaran di tepi comberan besar yang airnya cokelat kehitaman. Aroma yang meruap begitu khas. Barangkali bau limbah, mungkin juga semerbak tahi dan air kencing warga perumahan di kejauhan. Tapi apa penting memikirkan bau di kota yang gara-gara sejengkal tanahnya orang bisa begitu mudah mencabut parang?

Orang-orang menyebut kawasan itu Kampung Kolong, karena hunian di rongga jalur layang bebas hambatan itu memang sebuah pemukiman. Ada pengurus rukun tetangga dan warga, juga pos kamling. Bagi penghuninya, bunyi gluduk hentakan roda mobil di aspal yang menjadi atap, ibarat degup jantung yang cemas karena sewaktu-waktu rumah mereka amat mungkin diterjang buldoser pemerintah kota. Saban hari, selalu ada lagu dangdut dari transistor rongsokan, merayap masuk ke ruang tamu yang sekaligus menjadi kamar tidur. Tak boleh ada tangisan di sini. Semua harus senang meski kardus dan plastik belakangan susah dicari.

Gang atau lorong tikus yang menghubungkan antarpenghuni tercipta sendiri, mengikuti bentuk kamar triplek yang tambal sulam berjajar sembarang. Suasananya remang, karena sinar matahari cuma sampai sisi jalan. Cahaya hanya tembus samar dari celah puluhan baju, celana, dan kain basah yang tergantung pada bentangan tali rapia di bilah bambu. Dari jalan raya pengendara mobil bisa melihat pakaian-pakaian itu melambai seperti bendera berbagai negara yang tengah berkonferensi.

Lalat yang terbang bergerombol ke sana kemari menjadi hiasan sehari-hari. Ada yang hijau, kecil dan besar, melahirkan dengung yang akrab. Sesekali nemplok di tumpukan pisang dan tahu goreng di kedai milik perempuan renta yang tak pernah berhenti menyirih. Sekumpulan bocah tanpa sandal, sebagian bertelanjang dada, yang tergelak berlarian di gang selebar rentangan tangan orang dewasa adalah hiburan rutin melawan sumpek. Begitu juga dengan kartu-kartu domino di meja bekas peti buah, yang di kelilingi remaja tanggung sambil menenggak topi miring hasil saweran.

“Gembel! Mana uang kembaliannya?” Seorang perempuan tua memekik sambil mencoba menarik kaus anaknya yang berlari cuek ke penjaja gulali. “Gembel! Kemari kau! Ah, bapak dan anak sama saja kelakuannya! Awas kalau kau kembali nanti.”

“Kenapa kau bawa-bawa aku perempuan comel? Apa salahku?” Parmin, lelaki berusia sekitar enam puluhan, suami perempuan itu, bangun dari kursi reot. Derit khas rotan usang terdengar bikin ngilu telinga.

“Anakmu si Gembel sama saja modelnya dengan kau lelaki bandot. Persis! Tidak boleh melihat duit lebih, selalu saja disikatnya,” Minah, perempuan tua itu, menyerocos sambil membanting tumpukan pakaian kotor ke ember.

“Alah, sudah biar saja. Uang segitu saja kok dipermasalahkan. Sekali-kali anak diberi senang apa salahnya, sih?” Parmin berkacak pinggang sambil menarik sarungnya yang melorot. Tanpa baju, tubuhnya terlihat seperti sebilah papan.

“Heh? Hampir setiap hari anak itu mencuri kembalian belanjaan warung. Mau jadi apa kalau besar nanti? Mau jadi maling kayak bapaknya dulu?”

“Setan kau! Aku sudah bukan maling lagi sekarang.”

“Tapi dulu kau memang maling kan?”

“Hei Minah! Kalau dulu aku bukan maling. Aku tak akan bisa mencuri dirimu dari si Roib tengik.”

“Harusnya aku bisa hidup lebih baik kalau menikah dengan Roib. Sekarang dia jadi bos, punya tiga bajaj.”

“Brengsek! Kalau kau tidak diam pelacur tua, kurobek mulutmu!” Parmin meludah, menatap istrinya sambil menyentil tahi kuping sebesar biji jagung, yang baru dikoreknya dengan kelingking. Ludahnya jatuh di atas tumpukan sandal japit yang saling-silang.

Pagi di Kampung Kolong adalah jam rawan pertengkaran keluarga. Rutinitas yang datang setiap hari: sekitar pukul enam pagi, bersamaan ketika matahari datang menyapa dan wajah-wajah kusut penghuninya berebut ke kamar mandi umum.

Untuk sesaat Parmin dan istrinya terdiam. Seorang bocah yang jongkok tak jauh dari mereka, tampak asyik mencari cacing di tanah lembab dekat pintu. Cacing-cacing itu untuk santapan ikan peliharaanya.

“Bu, bagi aku dua ribu,” Seperti tak terjadi apa-apa, Parmin merajuk pada istrinya yang sibuk bercermin memerhatikan alis. Istri Parmin pura-pura tak mendengar. Duit yang diambil anaknya tadi, sebetulnya akan dia belikan pensil HB. Minah memang biasa menghitamkan alisnya yang botak dengan pensil tulis.

“Bu, mimpiku bagus semalam. Aku menggendong bayi gemuk. Kata primbon, bayi adalah simbol rejeki. Kalau bukan delapan enam, mungkin enam sembilan. Pasti kena. Yakin aku Bu. Bagi aku dua ribu. Punya kan?” Parmin mendesak, tapi Minah bergeming cemberut, persis tempelan kertas kusut yang dijadikan pelapis dinding triplek kamar.

“Bu, bagi aku dua ribu. Punya kan? Ayolah!” Parmin tak menyerah.

“Tua bangka sableng! Otakmu nomor buntut saja isinya!”

“Aduh… jangan marah-marah terus. Nanti urat lehermu putus. Kalau tembus nanti, akan kubelikan kau gelang untuk pergi kondangan. Ayo. Sekarang sudah Selasa. Ini hari terakhir. Besok sudah tidak bisa lagi dipasang. Sia-sia saja aku mimpi menggendong bayi kan?”

“Tidak ada uang! Sudah diminta Bahri buat beli Super.”

Bahri anak mereka yang nomor tiga. Abang si bocah yang sedang mencari cacing. Meski usianya baru sembilan tahun, Bahri sudah pandai merokok.

“Monyet! Kemana anak itu sekarang?”

Minah tak menyahut. Mengangkat ember, lalu pergi ke tempat mandi umum diikuti Neneng, putri pertamanya yang memang selalu membantu membilas pakaian. Tinggallah Parmin uring-uringan sambil membanting pantatnya yang tepos ke sofa koyak hasil mulung.

Mata Parmin menatap dingin si bungsu yang masih larut mencari cacing. Dilihatnya bocah itu menjatuhkan cacing satu per satu ke kaleng. Sesekali ekor matanya mengarah ke lima perempuan berdaster, yang duduk bertingkat membentuk anak tangga di kejauhan, mencari kutu. Paling depan seorang perempuan gendut, kakak si Jupri, teman mengojek payung anaknya saat datang hujan. Perempuan gendut itu duduk mengangkang. Celana dalamnya ke mana-mana. Ah, kenapa harus yang gendut yang di depan? Parmin melengos malas.

“Eh, tuyul! Dari tadi kuperhatikan cacing saja yang kau urus. Punya uang kau?”

Bocah yang dipanggil tuyul itu terkejut mendengar suara Parmin. Dia cuma menggeleng menjawab pertanyaan Parmin sambil terus mengorek tanah. Kalau tidak hujan, dia tidak punya uang. Tidak ada orang yang menyewa payung saat hari terik begini.

“Gagu sialan!” Parmin bangun, lalu pergi setelah menendang kaleng ikan milik si bocah, yang kontan panik dan segera memunguti ikan-ikannya yang gelagapan. Bayangan Parmin hilang di kelokan. Terdengar kelontang kaleng membentur dinding di tikungan. Parmin kembali menendang sesuatu.

Parmin memang kerap memanggil bocah itu dengan sebutan Gagu. Bukan tanpa alasan. Sejak dua tahun silam, bocah itu tak pernah mengeluarkan suara. Nama aslinya Kurnia, tapi karena bisu, Parmin kerap menyapa Gagu. Kurnia tak sekolah, meski usianya pantas duduk di kelas dua sekolah dasar. Kurnia selalu menjadi saksi keributan antara Parmin dan Minah. Dia hapal betul, saat sedang marah ibu kerap memanggil bapak maling. Begitu sebaliknya, bapak selalu menyebut ibu pelacur tua.

Sebetulnya Kurnia tidaklah bisu. Dia hanya malas berbicara, sebagai wujud kesalnya pada keluarga yang sudah miskin, tapi selalu ribut terus menerus. Kurnia menyaksikan bapak ibunya saling memaki setiap hari, begitu juga dengan abang-abangnya. Dia tak bisa berbuat apa-apa, meski hati kecilnya berontak melihat itu semua. Maka diamlah yang dia lakukan sejak dua tahun lalu. Dalam diam Kurnia merasa damai, walau harus rela disapa Gagu. Orang tuanya sudah membawa Kurnia berobat kemana pun, tapi percuma, karena Kurnia memang tidak sakit. Dia hanya protes entah sampai kapan.

***

“Aku yakin malam ini tidak akan terjadi apa-apa.”

“Jangan terlalu yakin, kita harus tetap waspada. Mereka bisa datang setiap saat, malah di saat kita sedang tidur.”

Malam rembang dan angin terasa dingin sisa hujan sore. Lampu teplok dan listrik berpijar menciptakan bayangan sejumlah orang yang berkumpul di kedai Mpok Sumirat. Kurnia baru pulang mengojek payung, ketika menyaksikan orang-orang itu berbincang. Kepalanya masih pusing dan perutnya lapar. Tadi Jupri memaksanya ngelem. Sialan juga si Jupri. Karena lapar, Kurnia mendekati membeli pisang goreng, berdiri di pojokan dan menyomot dua pisang goreng sambil menunggu Mpok Sumirat membikin tes manis.

“Lalu apa yang harus kita lakukan kalau mereka masuk malam ini?” Pemuda berkain sarung bertanya ke sebelahnya yang sedang menyeruput kopi.

“Ya lawan! Kok Bingung?”

“Betul, kita harus melawan! Cuma itu cara kita untuk bertahan.”

Satu per satu orang-orang di warung Mpok Sumirat berteriak sambil mengumpat. Ada yang menggebrak meja. Ada juga yang bangun dari duduk lalu berdiri sambil berkacak pinggang. Tiga pisang goreng habis sudah dilahap Kurnia, tapi dia belum juga paham topik yang diperbincangkan warga.

“Yang aku takutkan, kampung kita dibakar. Kalau itu sampai terjadi, kita semua bisa hangus!”

“Kalau sampai membakar aku rasa tidak mungkin. Mereka kan manusia juga. Apa iya mereka tega mengusir kita dengan cara seperti itu?”

“Kenapa tidak? Sudah bertahun-tahun kita di sini, dan sudah berkali-kali dibuldoser. Tapi kita tidak pernah kapok. Balik lagi ke sini, karena kita betah. Bagaimana dong? Kita kan juga tidak gratis tinggal di sini. Kita selalu bayar uang sewa ke orang kelurahan.”

Kurnia tercekat mendengar kata hangus. Dia buka telinganya lebar-lebar, agar tak terlewat setiap kata yang warga lontarkan. Kini dia mulai paham. Kampung tempat tinggalnya sedang terancam penggusuran, sesuatu yang belakangan juga dibahas kawan sebayanya. Tapi kenapa malam ini sepertinya orang-orang begitu cemas? Kurnia tiba-tiba saja teringat rumah. Terbayang tempat tinggalnya dilalap api. Terbayang pula wajah bapak, ibu, dan abang-abangnya terpanggang. Setelah membayar empat pisang dan minuman, Kurnia bergegas pulang. Lari secepat kilat.

Sesampainya di muka rumah. Dilihat ibunya tengah merapikan tumpukan pakaian, dibantu bapaknya yang sibuk mengikat sejumlah kardus seperti orang hendak pindahan. Tak seperti diduga sebelumnya, kali ini Kurnia tak melihat orang tuanya bertengkar. Parmin memang memutuskan untuk meninggalkan Kampung Kolong. Dia sulit menjamin keluarganya tetap bertahan. Dia tak ingin penggusuran menelan keluarganya tercinta, meski tak tahu akan dibawa pindah ke mana mereka.

“Bapak, Ibu! Aku tidak mau kita semua hangus terbakar,” Kurnia terbata menyapa keduanya. Parmin dan Minah menoleh bersamaan. Mereka terpana menyaksikan anak bungsu tercintanya berbicara.

Wednesday, September 21, 2005

kita

pada mulanya adalah kata
sejumput harap yang meruap
dari dada yang selalu bertanya
adakah kita menjadi kita yang sesungguhnya?

lalu pagi datang meninggalkan malam
dalam larut kita menangis
ada jejak yang terlewat dalam kelam
sesungguhnya kita tak pernah menjadi apa pun...

menanti bulan

tolong kauh buka jendela itu
sedikit saja
dan biarkan angin menyapu batinku
siapa tahu aku bisa tersenyum

di sudut malam ini
aku termangu menanti bulan
langit gelap tak memberi cahaya
ke mana bintang
sedangkan aku begitu kesunyian...

tak sedikit pun

barangkali kita hanyalah sekumpulan riak
yang tercacah di sesak hari
terjepit di antara riuh
teraniaya waktu yang tak pernah memberi jeda

kita tertatih pada jalan berkerakal
sesekali berhenti mencabut kerikil di telapak
mungkin sebentar menangis kehausan
tapi kita mesti terus berjalan

dunia, katamu sobat, tak pernah membiarkan kita menyerah
menjadi anak alam
lahir di ujung malam
bumi bunda bapak angkasa

sejenak pun
sekejap pun
tak sedikit pun
kita tak boleh berhenti

Sunday, September 18, 2005

air mata

pada mulanya adalah luka
menjelma menjadi air mata
jatuh menetes
karena kita tak lagi percaya
pada apa pun
pada siapa pun

lalu kita menjadi buta
larut dalam tanda tanya
yang tak pernah terjawab
kenapa kita bisa bersedih?
sedangkan apa pun
siapa pun
tak pernah mencoba sedikit pun memahami

dan kita terpaku
terkurung
sampai air mata kering dengan sendirinya
betapa perihnya tak mengerti
betapa sunyinya...

Friday, September 16, 2005

Gelap Kan Sirna

Satu masa
Lewat berganti
Diputar detik
Detak ku berhenti
Tiba tuk menyepi
Sendiri ku bermimpi

Luka hati
Bagai ada duri
Beragam coba
Ingin kututupi
Mataku mengabut
Teteskan kerinduan

Kasih, bayangan sedih perlahan pupus jua
Badai gelap, kini sinarkan cahaya
Sayup sepi percikan rasa damai
Pintu hati kini kubuka tuk jelang esok

Pijar api barakan dendamku
Getaran cinta, padamkan kembali
Namamu menyusup
Bisikan lirikku, menggapaimu

Thursday, September 15, 2005

Sepasang Mata Manik Ayu

Perempuan itu meletakkan gelas di atas meja kecil di sudut kamar. Teh manis panas yang direguk sedikit, sejenak mampu melumatkan penat yang mengendap. Setelah menyalakan lampu meja rias, bercermin sambil melepas kuncir yang membelit rambut lurusnya sepundak, mulailah ia membuka helai demi helai pakaian. Badannya terasa lengket, mungkin mandi akan membuat segar. Seharian ini dia larut syuting program menyambut bulan suci Ramadan untuk stasiun televisi tempatnya bekerja. Sebagai koordinator tim kreatif, dia harus menyelesaikan paket jauh hari sebelum bulan puasa datang. Sudah menjadi rutinitasnya terlibat sampai selesai sebuah proyek. Dan itu benar-benar melelahkan. Maka satu-satunya yang membuat lega adalah ketika sampai di rumah. Kini saatnya memanjakan tubuh, berendam sambil membaca asterix diselingi alunan pelan instrumen klasik.

Tapi baru dua langkah menuju kamar mandi, perempuan itu berhenti. Bunyi telepon genggamnya memaksa dia membalik badan ke meja rias, tempat teleponnya diletakkan.

"Manik Ayu?"

"Iya, siapa ini?"

"Hm, akhirnya. Kamu nggak kenal saya, tapi saya betul-betul senang bisa mendengar suaramu."

Perempuan yang memang bernama Manik Ayu itu terdiam. Dia berpikir, lelaki di seberang sana pasti orang iseng dan karena itu mematikan telepon mungkin tak ada salahnya. Tapi, seolah tahu apa yang dipikirkan Manik Ayu, lelaki itu menukas cepat.

"Jangan tutup teleponnya. Saya cuma ingin kenal."

"Ini siapa sih?"

"Gilank Balindra."

"Apa Balindra?"

"Gilank."

"Gila?"

"Gilank!"

"Oh, saya nggak kenal."

Klik. Telepon Mati. Manik Ayu bergegas ke kamar mandi. Tapi teleponnya bunyi lagi. Manik Ayu melihat sebentar. Nomor yang tadi menelponnya. Dia pun mengangkat tanpa bersuara.

"Kok dimatiin sih?"

Klik. Lagi-lagi telepon dimatikan Manik Ayu. dan dia kembali menuju kamar mandi. Tapi teleponnya bunyi lagi. Hm, bimbang sebentar, Manik mengangkat lagi. Masih nomor yang sama.

"Tolong jangan ditutup lagi. Kamu memang nggak kenal saya, tapi saya ingin sekali kenal kamu. Boleh kan?"

"Kamu siapa sih?"

"Sudahlah, nama saya tidak penting. Yang penting, boleh nggak saya kenal kamu?"

"Nggak."

Klik. Kali ini Manik Ayu tak cuma mematikan tombol jawab, tapi juga mematikan powernya. Kini dia bisa ke kamar mandi dengan tenang.


Setelah hampir tiga puluh menit mandi, telepon genggamnya pun kembali dinyalakan. Seketika sejumlah pesan singkat masuk. Dari nomor yang tadi menelepon. Isinya singkat. jangan sok kecakepan deh. saya cuma mau kenal. izinkan saya ngobrol sebentar.

Sialan. Manik Ayu menahan geram. Dia membalas cepat pesan itu, mengizinkan lelaki itu menelpon. Sambil mengenakan pakaian, Manik Ayu menunggu. Tanpa menanti lama, telepon genggamnya pun berdering.

"Terima kasih. Sekarang langsung saja. Boleh saya menikah dengan kamu?"

Sejujurnya Manik Ayu kaget, tapi dia mencoba tenang. Dia cuma diam.

"Hei, boleh? Jawab dong."

Manik Ayu menarik napas, "kamu tuh tahu nomor saya dari mana sih?"

"Gampang kok. Orang semenarik kamu pasti banyak yang punya nomor teleponnya."

Kembali Manik Ayu melenguh. Dorongan kuat untuk mematikan telepon kalah dengan rasa penasarannya.

"Manik Ayu Sartika Dewi. Namamu bagus sekali ya? Pas sekali dengan wajahmu yang cantik."

"Gombal banget. Kamu siapa sih? Nggak usah aneh-aneh deh." Sejujurnya Manik Ayu terperanjat. Jarang ada orang yang tahu kepanjangan namanya.

"Kan tadi sudah dijawab, saya Gilank Balindra."

"Maksud saya, kamu tuh teman kerja saya atau cuma orang iseng yang lagi nggak ada kerjaan?"

Lelaki di seberang sana tergelak. Tawanya yang renyah terdengar enak di telinga Manik Ayu. Tanpa sadar suara lelaki aneh itu telah membuatnya betah menahan telepon untuk tetap hidup.

"Nggak penting saya ini teman kerja atau bukan. Nggak penting juga saya ini orang iseng atau bukan. Jauh lebih penting adalah bagaimana caranya saya bisa nggak terus menerus terganggu matamu."

"Maksud kamu?"

"Matamu indah sekali Manik Ayu. Saya sebetulnya orang yang nggak pernah percaya jatuh hati saat pandangan pertama, tapi lewat matamu saya harus meralat keyakinan itu. Saya jadi percaya bahwa ternyata pandangan pertama bisa juga membuat hati saya terusik."

"Saya tak mengerti." Manik Ayu berbohong. Sesungguhnya dia paham, kata-kata yang keluar dari lelaki itu menunjukkan ketertarikan pada dirinya, sesuatu yang sebetulnya tak mengejutkan. Banyak sudah lelaki terpikat lewat bola matanya yang, kata orang, sungguh indah. Bagi Manik Ayu, matanya biasa-biasa saja. Dia tak merasa matanya menarik, malah dia benci dengan bulatannya yang terlihat besar. Alisnya yang legam halus seperti barisan semut, juga tak sampai dirawatnya secara khusus. Lelaki memang sering tak masuk akal saat menyukai perempuan.

"Gini deh. Singkat saja, saya suka kamu sedetik setelah saya melihat matamu. Seharian tadi saya benar-benar menikmati betul kesibukan kamu syuting. Saya menyukaimu dan tanpa ragu-ragu saya merasa jatuh hati setelah mengamatimu diam-diam,"

Manik Ayu ingin menyelak, tapi akhirnya dia memilih diam. Dia mencoba mengingat-ingat, sosok yang memperhatikan dirinya diam-diam saat syuting siang tadi. Ah, bukan soal mudah, karena cukup banyak kru yang terlibat. Lelaki ini benar-benar mengunci dirinya agar terus memasang telinga mendengar ocehannya. Keinginan kuat untuk menelpon benar-benar tak sanggup dia lakukan. Lelaki di seberang sana tak bisa dipungkiri mampu memancing rasa penasaran.

"Manik Ayu?"

"Ya?"

"Nggak ada salahnya kan saya kenal kamu?"

"A e gi duh, kamu siapa sih?"

"Nanti juga kamu akan tahu sendiri. Sudah dulu ya, nanti akan saya telepon kamu lagi. Terima kasih sudah mau angkat telepon saya. Selamat malam cantik..."

"Hei, tung..."

Terlambat. Lelaki di seberang sana sudah memutus telepon. Dan Manik Ayu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

"Orang gila..." Manik Ayu membalik badan sambil melangkah ke kamar mandi.

***

Hujan malam ini semestinya bisa jadi pengantar Manik Ayu untuk tidur. Udara dingin dan tenang. Tapi meski sudah bersembunyi di balik selimut, mata Manik Ayu tak kunjung terpejam. Dia seperti menunggu sesuatu. Menanti sebuah rutinitas yang selama hampir tiga pekan terakhir berlangsung. Selama itu pula Manik Ayu memang larut dalam sebuah perbincangan dengan lelaki misterius yang kerap menghubunginya tengah malam lewat telepon.

Selama itu pula dia tak pernah merasa terganggu. Padahal, dia sama sekali tak mengenal lelaki itu. Wujudnya seperti apa pun dia tak tahu. Tapi dalam ketidaktahuan itu justru dada Manik Ayu tergetar. Tak pernah seumur hidupnya kenal lelaki sinting yang tiba-tiba saja mengajaknya menikah. Bertemu pun belum. Berbincang empat mata apalagi. Anehnya, kesintingan itu pula yang membuatnya terpenjara pada rasa penasaran. Dan malam ini lelaki itu akan memberinya sebuah puisi dengan judul sepasang mata. Tapi mana?

Jarum jam di dinding menapak di angka satu. Biasanya, telpon genggamnya sudah berbunyi. Berkali-kali Manik Ayu melihat layar telepon genggamnya. Berharap dering yang selalu mengusiknya di ujung malam terdengar. Semenit, lima menit, tigapuluh menit, satu jam, ponselnya tak juga bunyi. Manik Ayu gelisah. Mencoba menelpon, gengsinya masih jauh lebih besar. Dia tak ingin lelaki yang entah dari mana itu tahu bahwa diam-diam dia mulai menyukai.

Tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Manik Ayu langsung menyambar dan tanpa melihat lagi nama si penelpon, dia langsung menekan tombol jawab.
"Hei, kok lama sih?"
"Hallo dengan Manik Ayu?"

Manik Ayu tercekat. Suara di seberang sana bukan suara yang telah akrab selama tiga pekan terakhir, tapi suara perempuan. Siapa? Manik Ayu menahan diri untuk tak bersuara.

"Manik Ayu?"

Perempuan di seberang sana menyapa, tapi Manik Ayu bergeming. Tanpa pikir panjang, telepon pun dia matikan. Wajahnya cemberut, tarikan bibirnya menyisakan garis tipis di pipi. Sesungguhnya dia benar-benar kesal. Lelaki yang ditunggu-tunggu tak kunjung menelpon. Sekalinya bunyi, malah orang lain yang menelepon, perempuan pula.

Setengah jam sudah Manik Ayu diam. Matanya tak bisa lepas dari telepon genggamnya yang berkali-kali berdering. Dia tak mengangkat, karena nama yang terbaca bukanlah nama lelaki itu. Manik Ayu tak habis pikir. Malam ini teleponnya berdering sampai lebih dari sebelas kali. Nomornya pun tak dikenal. Sebetulnya bisa saja dia menjawab, tapi itu tak dilakukan. Harapannya cuma satu: telepon genggamnya bunyi dan tertulis nama lelaki itu.

Mungkin karena lelah pula hingga pada akhirnya Manik Ayu lelap dengan sendirinya. Tepi langit perlahan memerah. Pagi datang dan matahari tebrit mencium tanah. Kicau burung terdengar riang bersahutan. Sinar matahari masuk menerobos lewat kaca jendela yang tak sempat ditutup Manik Ayu semalam, menampar wajah perempuan berbulu mata lentik itu hingga membuatnya terbangun. Sebetulnya terlalu cepat dia terbangun, karena semalam dia tidur cukup larut.

Setelah mengucek-ucek mata sebentar, Manik Ayu bangun langsung mengambil telepon genggamnya. Ada 21 kali missed called dari nomor yang sama. Gila. Kantuk Manik Ayu benar-benar hilang. Selain panggilan tak terjawab ada pula sebuah pesan singkat, dari nomor itu. Dengan dingin, Manik Ayu membuka pesan itu. Tapi awal kalimat itu membuatnya hanya bisa diam seribu bahasa.

Innalilahi wainailaihi roji'un... Telah berpulang Gilank Balindra, semalam, karena kecelakaan. Saya temannya, maaf terpaksa lewat sms karena semalam telepon tak dijawab-jawab. Almarhum akan dimakamkan siang ini. Apakah bisa ketemu? Ada puisi tentang sepasang mata yang dititipkan Gilank buat kamu.


Udara kedap seketika. Kicau burung yang tadi terdengar riang seolah pergi entah ke mana. Di luar, mendadak gerimis datang. Rinainya membasahi kaca jendela, menyisakan bintik-bintik, seperti air mata yang jatuh di pipi Manik Ayu.

***
abis ngerjain tabir, buka blog.setan! hahahaha... sekarang giliran sms gue! hahahaha... sarap! makan dulu ah cuy! musti direvisi nih... kurang asik.

kita masih punya doa, katamu

tapi aku bukanlah burung
yang mampu terbang memecah awan berarak
menelan angin dalam dingin hujan
memetik bintang-bintang berpendaran
sekedar memastikan hari ini masih indah

kita masih punya doa, katamu
terbanglah dengan dada tergetar
mungkin sambil menangis
sesekali bersedih tak apa

lalu aku cuma diam
pada apa
pada siapa
aku tak pernah paham sesungguhnya
dari jejak tapak yang tertinggal
keindahan yang kudapat adalah warna hitam
warna hitam yang kuterima adalah kabar duka

tapi kita masih punya doa, katamu

Tuesday, September 13, 2005

di pucuk dedaun teh

di antara pucuk rimbun dedaunan teh
di sela gelombang bukit
aku menghirup udara pagi
dengan hati yang tak menginginkan apa-apa

lihatlah puluhan perempuan-perempuan bercaping itu, sobat
mengular memetik bunga-bunga sambil tersenyum
dan bernyanyi indonesia pusaka
menutup lelah dengan gelak dan tawa

aku terpesona
larut dalam indahnya kesabaran
yang barangkali kerap kita tinggalkan...

Saturday, September 10, 2005

manik ayu

pada matamu aku runtuh
dedaunan luruh
senja hari
dari pucuk-pucuk ranting kering

detik menjadi hening
malam membuatku bergeming
aku tak tahu

tolong ceritakan saja larikmu
sebait saja tak mengapa
wahai mata yang mengganggu...

pada auramu aku tergetar
pasir memudar
pagi hari
dari malam yang menciut

waktu menjadi kedap
matamu datang mengendap
aku tak paham

tolong uraikan saja nadamu
seuntai saja tak mengapa
duhai hati yang mengusik...

padamu manik ayu
aku terhanyut

Thursday, September 08, 2005

dan pada akhirnya

pada akhirnya
aku menyentuh sebuah batas
ketika aku tak lagi punya pilihan
terus melaju atau berhenti
dan tanpa perlu mencari jawabnya
aku tebentur pada limit

laut selalu punya tepi
begitu juga mungkin sebuah kesabaran
aku tak pernah sanggup sebetulnya
tapi sendiri mungkin jalan keluar
biar saja sepi menemani
sunyi mengurung diri

seperti biasa
seperti kita tak pernah saling tersenyum menanti pagi

Wednesday, September 07, 2005

"@#$%^&*#$%"

fiuh...
pagi-pagi udah basah mata hanya karena ngeliat dua cowok tanggung, mungkin baru lulus smu, kebingungan nyari alamat tempat ngelamar kerja... celingak-celingkuk di dalam mikrolet, matanya panik... kemeja hitam putih, sepatu bapak-bapak, duh... "@#$%^&*#$%"

seperti ketika aku...

dan pada dedaunan yang gugur ditiup angin, aku hanya terpaku menatap senja. sendiri saja, memeluk dingin yang tak tercatat pada termometer, seperti ketika telingaku tak pernah mendengar suara dan gelak tawamu.

dan di tengah laut, yang kulihat cuma perahu mengecil, ditelan merah matahari yang perlahan tenggelam. kaki langit yang sunyi, seperti dulu ketika hatiku tak terisi suara dan gelak tawamu.

kita barangkali memang tak akan pernah selesai, tapi di senja ini aku sepenuhnya melontar tanya, telah berakhirkah ini saat sedikit pun aku tak lagi kau hiraukan? aku hanya lelaki dengan seribu kedunguan, maka izinkan kulafazkan sejuta maaf untuk batinmu.

burung terbang sunyi sendiri. menelan langit malam yang terkurung hujan. aku tak kuasa menahan basah bola mata. dan kuikhlaskan engkau pergi, kan kukenang engkau lewat senyum lelaki kecilmu yang selalu kugenggam dalam hati.

Tuesday, September 06, 2005

pulang kerja

kucing hutan ibu dan anak berang-berang
tikus salju dan harimau kumbang berwarna cokelat
mereka berkelahi untuk kehidupan
yang aku rasakan adalah keseimbangan

kucing hutan lari karena kalah berkelahi
ibu berang-berang pulang ke rumah
kucing hutang bertemu tikus salju
ibu berang-berang bercanda dengan anak-anaknya

karena lapar kucing hutan menerkam tikus salju
tikus salju malah mendapatkan teman
kucing hutan yang gagal, gagal lagi
tikus salju biasa saja
sudah nasibnya selamat

dari balik bukit di kaki cemara
aku melihat mulut harimau berlumuran darah
kucing hutan yang gagal
ia terkapar
akhirnya mati

sudah takdir harimau mendatangi berang-berang
tetapi berang-berang sudah pulang
sementara tikus salju
entah pergi ke mana
harimau itu kesepian

aku terkesima
aku terkesima
aku terkesima
terkesima

duhai langit
duhai bumi
duhai alam raya
kuserahkan langkahku padamu

duhai ada
duhai tiada
tersimpan
kupercaya

biarkan aku...

anggap saja kita tak pernah saling kenal
menghilanglah
dengan cara menyakitkan sekalipun
tak kan menangis aku
dan bila basah mataku
tak tahu aku maknanya
entahlah kesedihan
ataulah amarah

lalu biar saja semua seperti semula
sebelum dedaunan bermekaran
jauh ketika bunga-bunga rindu masih menguncup
tak kan kecewa aku
tapi bila berdarah hatiku
tak tahu aku artinya
entahlah kegalauan
ataulah kebencian

yang kutahu
kau pergi begitu saja
memunggungi tanpa sepatah kata
menyisakan keterpanaan panjang
setelah segalanya menjelma menjadi mimpi

sampai detik ini
ketika beranda malam memekat
dan lampu kota menemaram
jalan-jalan melengang
aku tak pernah menemukan jawabnya

lihatlah manis
aku tak menangis
aku tak kecewa
mungkin karena
tak lagi bisa aku merasakan apa pun

biarkan aku...

Monday, September 05, 2005

kenapa?

tiba-tiba aku menjadi kayu
yang rapuh dipapak ngengat
di depan buram
pandangku samar
dan aku tak bisa mengurai sedikit pun tentang makna itu

jalan itu tak lagi lengang
ramai mengisi
tapi sunyi tak pernah berubah
selalu begitu setiap kecewa datang
dan aku tak mampu mengupas secuil pun tentang makna itu

berselimut dingin
aku terpana pada jeda
kenapa?
kenapa?
kenapa?
cuma itu yang terucap, ketika senja jatuh menjemput malam...

Sunday, September 04, 2005

mimpi membuatku tak berani

di sudut itu tak ada lagi terang
kering
udara beku dalam hening
meyisakan tanda tanya
dengan lengkung yang besar

di ruang itu tak lagi pantas aku berharap
hambar
relung basah air mata
menorehkan titik
dengan bulatan yang besar

lihatlah malam lebih pekat dari biasanya
tidakkah kau takut?
terus terang aku ngeri

mimpi membuatku tak berani tidur malam ini...

Wednesday, August 31, 2005

intro

dalam gelap kuberjalan
membelah belantara akal
sendiri
sendiri
selalu sendiri

pada terang kumerenung
mencari kesejatian
mencari
mencari
selalu mencari

pada ruang
pada waktu
aku ingin datang

pada ruang
pada waktu
aku ingin datang

gitar kayu kumainkan
suaranya lahirkan tanya
bertanya
bertanya
selalu bertanya

*dewa dari leuwinanggung

"so long not goodnight"

Long ago
Just like the hearse, you died to get in again
We are so far from you

Burning on, just like a match you strike to incinerate
The lives of everyone you know
And what’s the worst you take (worst you take)
From every heart you break (heart you break)
And like a blade you stain (blade you stain)
Well, I've been holding on tonight

What’s the worst that I could say?
Things are better if I stay
So long and goodnight
So long not goodnight

Came a time
When every stars fall
Brought you to tears again
We are the very hurt you sold
And what’s the worst you take (worst you take)
From every heart you break (heart you break)
And like a blade you stain (blade you stain)
Well, I've been holding on tonight

What’s the worst thing I could say?
Things are better if I stay
So long and goodnight
So long not goodnight

Well, if you carry on this way
Things are better if I stay
So long and goodnight
So long not goodnight

Can you hear me
Are you near me
Can we pretend
To leave and then
We’ll meet again, when both our cars collide

What’s the worst thing I could say?
Things are better if I stay
So long and goodnight
So long not goodnight

well, if you carry out this way
things are better if i stay
so long and goodnight
so long not goodnight

Monday, August 29, 2005

fatamorgana

udara kedap
senyap
dalam barisan hujan
dingin
menusuk tulang

dan aku telanjang
pada segumpal asa yang koyak
tak sejumput pun
menduga
ini sebuah kepalsuan

Friday, August 26, 2005

kepada putri rampen (41)

pak lili belum balik dari puncak, mengantar istrinya. dan aku sendirian. firman ikut wendi dan tim potret. hp pak lili mati. aku ingin kembali ke hotel, tapi malam ini aku benar-benar tak keruan.

malam, aku ingin bertanya padamu. apa yang kau rasakan ketika dibohongi? begitu halus, juga rapi. kita larut pada sebuah drama, yang mengharubirukan. tapi dusta selalu menyisakan celah. mungkin Tuhan tak akan pernah rela. itulah sebabnya aroma kebohongan itu terkuak. menyisakan sesak di dada, nyeri yang menjalar di setiap pembuluh darah.

aku benar-benar limbung malam ini... seperti jatuh ke liang jurang, melayang di antara tebing dan akar pepohonan. dan seperti yang selalu saja terjadi, aku pun teringat masa kecil... ketika berlarian di tanah lapang, tergelak di antara riang kawan-kawan yang selalu berkata benar... betapa indah masa kanak-kanak, tak ada yang ditutupi, tak ada sandiwara yang membuat perih...

pak lili ke mana ya... sepi sekali di sini... senyap dan hampa...

dingin senja

di senja ini aku adalah lelaki yang merindukan gerimis
menyapu penat
juga setiap inci kelelahan yang bersarang

senja selalu menyisakan bayangan
sisa-sisa kepedihan
dari jejak yang tertinggal

dingin tak tercatat pada termometer, kata goenawan mohamad
dan aku didekap kesunyian
dipeluk mimpi dan rindu panjang

Tuhan, kenapa hidup bisa bersedih?

kamuflase

apa arti sebuah pertemanan?
di hari ini aku memahaminya sebagai sebuah keegoisan
kita tak tahu sebatas mana makna solidaritas
kita tak paham sebatas mana hati yang masih punya nurani
kita tahunya
yang penting tak terganggu
dan bisa senang-senang sesukanya

di simpang lampu merah

di simpang lampu merah itu
seorang bocah, mungkin lima tahunan, menggendong adiknya
menggunakan kain
dia memeluk seperti seorang ibu pada bayinya

angin berembus bercampur asap knalpot
perempatan kota yang congkak
orang-orang mendongakan kepala

di langit tak ada matahari
yang tersisa hanya hening
termangu pada tanda tanya...
sendiri saja

Sunday, August 21, 2005

anya, pada sebuah batas

pesan singkat itu membuat aku sejenak menahan napas. isinya singkat: anya sudah meninggal 16 Agustus lalu, karena mengalami penggumpalan darah.

udara sunyi seketika. aku tak tahu harus mengucapkan apa, tak tahu pula harus bagaimana. tak sedang bercandakah orang mengabarkan berita muram itu, yang mengaku tantenya anya? kucoba telepon, diangkat, tapi tanpa suara. hanya suara orang memimpin doa dalam sebuah gedung. mungkin seorang pendeta. aku tak bisa memastikan. lalu telepon kumatikan. kemudian datang pesan singkat lagi: sekarang abu jenazah anya sedang didoakan.

Ya Tuhan. anya. nama lengkapnya natasha anya, tapi aku memanggilnya anak kecil. kematian selalu datang tak terduga. lima tahun aku sudah mengenal anya, ketika umurnya masih sekitar 19an tahun. anya tinggal di Solo. perkenalannya lewat mIRC, ketika proses pembuatan liputan6.com dimulai. kalau boleh dibilang, anyalah perempuan pertama dari dunia maya yang rajin menelpon. cerewet. selalu bertanya, sampai sering kubentak karena bawel. dia tak cuma akrab denganku, tapi juga teman-teman sekantor dulu yang chatting bareng. seperti pino atau wawan, juga adit. dan semuanya ditelepon. hampir tiap hari. giliran. dan selalu lama kalau menelpon. sampai-sampai, kita jadi malas mengangkatnya, karena kuping jadi panas. lalu pertemanan itu mengalir begitu saja. menjadi sebuah hal yang biasa. menjadi teman, dan dia lebih sering curhat tentang pacar-pacarnya yang sering merepotkan dan menyakitkan. biasanya aku tak memberi nasihat, hanya memarahi anak kecil sebaiknya tak usah pacaran. bikin pusing. dan dia tergelak, tertawa dengan logat jawa solonya yang kental.

anya. anaknya lucu, pintar, dan senang sekali dengan perangkat teknologi seperti handphone atau komputer. awal-awal kenal dia memang sering menelpon. tapi lambat laun, kontak itu berkurang dengan sendirinya, sampai akhirnya hanya sebatas chatting di yahoo atau sekadar membaca blognya yang luar biasa bagus, si anak kecil

hingga akhirnya kabar duka itu datang. seperti mengail lembar demi lembar ketika aku dan anya berkenalan. ada derai tawanya yang terngiang begitu saja. kami tak pernah berjumpa. selama lima tahun itu, hanya lewat dunia maya atau telepon.

anya, kenapa kamu tak pernah cerita sakit yang begitu parah? kamu selalu tertawa dan riang? kenapa tidak berbagi soal satu itu? aku sedih sekali hari ini. baru kemarin rasanya kita kenal, engkau masih terlalu belia untuk pulang selamanya.

kalimat terakhir lewat komen di blog ini dan smsmu masih aku ingat. mas, siapakah putri rampen itu? lalu aku jawab, dia bidadari aku. kenapa? lalu engkau menjawab lagi anya, "nggak, cuma mo tau aja perempuan yang dipuja mas gilank itu". lalu aku jawab lagi, anaknya baik. dan anya diam. tak biasanya dia memberi respon yang tanpa ledekan.

ah anya, aku tak tahu harus berkata apalagi. meski kita tak pernah bersua, terlalu banyak kenangan yang sempat mengisi hari-hariku. selamat jalan anak kecil. maafkan segala kesalan aku... semoga Tuhan menerima hati dan jasadmu di tempat terindah... amin.

kepada putri rampen (40)

malam tergerus sunyi. dingin menyelimuti. angin basah dan lampu kota berpendar muram. dalam langkah pulang aku merindumu sendirian. pada setiap tarikan napas, denyut nadi, juga jantung yang berdetak. selalu begitu, tak pernah selesai.

lihatlah perempuanku, Tuhan ada di sini. menemani riak hidup yang bergelombang. biarkan lelap mengendap, kan kugenggam jemarimu erat. melupakan kesedihan dan kegelisahan. tersenyum menyambut pagi, membawa harapan ke gerbang malam. ditemani jutaan bintang. mungkin sedikit remang cahaya bulan.

kita larut, bersama cinta yang tak tergantikan. sedikit pun aku tak akan pernah bisa membiarkanmu lelah dalam kehampaan... mari ikuti langkahku menjemput keabadian yang menjadi mimpi... berdua saja. menciptakan keindahan-keindahan.... tegar dan tak terlena dalam tangis dan tawa... i love you tha...

aku, lelakimu yang mengusung bulan kerinduan...

Saturday, August 20, 2005

kepada putri rampen (39)

sepasang kupu-kupu menari di taman
berkuntum-kuntum bunga
mekar di indahnya senja

sepasang kupu-kupu mengepak di taman
mengitari hari berdua
saling menjaga
berbagi mengisap madu

sepasang kupu-kupu menampik sedih di taman
di sela rinai hujan yang datang
tetap terbang dengan riang
hari esok adalah madu yang tak disia-siakan

sepasang kupu-kupu membawa kabar dari kejauhan
bisik rindumu yang kunantikan
membasuh pagi dan menyapa malam
melumatkan penat dan dingin panjang

sepasang kupu-kupu di malam berbulan
adakah keindahan musti dibiarkan?
ikhlaskan kami seperti kupu-kupu yang riang
di antara pucuk-pucuk daun dan kelopak bunga
menggapai setiap janji yang tak pernah selesai mencinta...

kepada putri rampen (38)

tapi tak ada kicau burung di rumahku, tha
hanya ada lukisan tua di dinding lapuk yang tergerus usia
halaman tanpa taman
bayangan pinus yang tegak sendirian
rerumput pun tak ada
embun tak bisa menetes

tapi kisah kita cuma butuh keberanian, katamu

kupanah pandang ke tepi langit
pelangi menari warna-warni
keraguan yang mengendap tersapu angin sore
senyap yang merayap (seperti museum tua yang ditinggalkan)
memudar perlahan
kecipak ikan di danau mengisi relung
aku melayang di pendar arak awan
menyanyikan tembang riang

di senja ini aku adalah lelaki yang bahagia
meski tak ada kicau burung di rumahku
hidup adalah kontras yang tak terelakkan
dan kau menjadi penyeimbang, tha

Friday, August 19, 2005

kepada putri rampen (37)

sempat semua seketika kedap
tuli mengurung
luka yang menganga
tak terduga
seperti tak menginjak tanah
melayang bagai kapas
meretas perih di pucuk malam

tak tahu apa
tak tahu bagaimana
tak tahu kenapa
tak tahu di mana

tanda tanya
tanpa koma
titik sudah di depan mata
barangkali
sunyi menyerbu menyergap

pada sebuah hening
aroma tanah basah
hati yang tercacah
luka
tergetar sendirian

dan perjalanan kini hampir sampai
jangan biarkan sedetik pun aku kesunyian
aku tak akan pernah tahan
tak akan pernah tahan, perempuanku...

kepada putri rampen (36)

tha yang baik...
dari kemarin bawaannya seneng aja nih! setelah ngobrol-ngobrol sama kamu kemarin, perasaan enteng aja gitu lho. kayak ga ada beban. padahal kalo dipikir-pikir, beban liputan buat besok masih lumayan berat juga. soalnya bakal ketemu anak-anak smu lagi. waduh, mudah-mudahan gak ketemu anak smu cewek kemarin yang galak itu lagi. hiy! jangan sampe deh.

tau ga beb?
tanpa sengaja gitu nih ya, dalam gerak dan lamunan gitu deh, aku ngelantunin lagu yang pernah kamu nyanyiin ditelpon dulu itu lho. nah! iya itu lagunya! dari pulang kerja semalem, pas di trotoar, di bus malam yang sepi, di pintu depan rumah, sampe kamar, pas mo tidur, aduhhhhhhh! nyanyi-nyanyi kecil terus! jatuh cinta dengan orang yang tepat tuh asik ya... (kesian deh yang baru ngerasain jatuh cinta yang asik... hehehe).

you’re just too good to be true
can’t take my eyes off of you
you’d be like heaven to touch
i wanna hold you so much
at long last love has arrived
and I thank God i’m alive
you’re just too good to be true
can’t take my eyes off of you

pardon the way that i stare
there’s nothing else to compare
the sight of you leaves me weak
there are no words left to speak
but if you feel like i feel
please let me know that it’s real
you’re just too good to be true
can’t take my eyes off of you

teret teret teret teret!teret teret teret teret!teret teret teret teretttttttttttttttttt!

i love you baby, and if it’s quite all right
i need you baby to warm a lonely night
i love you baby... trust in me when i say ok...
oh pretty baby, don’t let me down i pray
oh pretty baby, now that i found you stay
and let me love you, oh baby let me love you, oh baby....

teret teret teret teret!teret teret teret teret!teret teret teret teretttttttttttttttttt!

beb, tau apa yang membuat kita merasa nyaman jatuh cinta? karena kita dibiarkan mencintai dan dicintai dengan tetap menjadi diri sendiri...

dah deh. sekarang kerja dulu. topik liputannya agak-agak melebar nih. soal eksibisionis lewat hp dan dunia maya. orang-orang yang senang memamerkan tubuhnya pada orang lain... menarik... tapi sulit. mudah-mudahan lancar aja. duh, lupa ngontak tika bisono sama pak sarlito... minta sama wawan ketua deh nomornya.

bye bye tha... hati-hati ya jalan-jalannya dan perjalanannya ke kalimantan. jaga diri baik-baik. sampe kalimantan langsung sms ya... kangen juga denger suara kamu. yuhuuuu! 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, ,9 yez! mwah mwah mwah! love u tha!

aku, bukan binatang jalang yang ingin hidup bersamamu lebih dari seribu tahun lagi (om chairil anwar, maap ya puisinya diplesetin).

Thursday, August 18, 2005

kepada putri rampen (35)

I'm so in love with this women and a million other things as well... There are far too many reasons, but one thing I have found some one like u i want thx to God...

Wednesday, August 17, 2005

kepada putri rampen (34)

di tepi trotoar jalan depan kantor, babeh dan mamang melamun. di atas bangku kayu dekat gerobak dagangan rokok dan minuman, mata mereka kosong melihat lalu lintas padat merayap. jakarta selalu sesak selepas senja sampai sekitar pukul delapan malam. pekerja-pekerja pulang ke rumah, menjumpai keluarga atau bisa juga selingkuhan. rutinitas yang entah kapan akan selesai.

di tepi trotoar jalan babeh dan mamang melamun, di sela debu dan asap knalpot, juga raungan sepeda motor serta klakson mobil yang congkak. dulu, mereka tak memakai gerobak, tapi sebuah warung permanen yang ditanam dekat jembatan penyebrangan. aku dan kawan-kawan sering sekali duduk-duduk di situ. kadang sampai ketiduran. diiringi tembang dangdut atau instrumen sunda kegemaran si mamang.

lalu tiba-tiba semua berubah. aparat pemerintah kota datang. warung diangkut ke dalam truk, meski setiap bulan sudah bayar uang suap jatah keamanan berjualan. aparat-aparat sialan, kenapa kalian bisa hidup tanpa hati? jakarta yang indah selalu menjadi dalih untuk menyingkirkan pedagang kali lima. toh jakarta tak juga indah? kenapa uang jatah keamanan diterima? kenapa sewaktu mendirikan warung itu ada biaya Rp 300 ribu di keluarahan? aparat-aparat sialan, aku ingin tahu, terbuat dari apakah hati kalian? dari batu gunung ya?

babeh dan mamang masih melamun. dulu, setiap hujan, mereka tak kebingungan, karena bisa berteduh di warung permanen. sekarang tidak bisa. gerobak tak punya atap. saat air dari langit datang, mereka harus menyempil di sela daun-daun atau di bawah jembatan penyebrangan. mendekap dada menahan angin dingin yang basah. hidup begitu cepat berubah dan mereka tak pernah lelah bertahan. kenyamanan warung hilang, dan format berdagang pun diubah. tujuannya sama: istri dan anak musti diberi makan. betapa keras, betapa mengesankan...

sampai kemarin malam, ketika pulang dan sejenak duduk-duduk berbincang sambil minum teh botol babeh dan mamang, aku masih berandai warung permanen mereka tak dirampas aparat. pasti babeh dan mamang tak perlu kelelahan di tepi jalan, karena bisa rebahan di warung. babeh dan mamang tak semakin gelap kulitnya, karena saat panas datang bisa berteduh dalam warung. babeh rambutnya beruban, umurnya di atas 55 tahun. mamang lebih muda 10 tahun. orang-orang tua yang tak pernah lelah menjalani nasib. begitu kontras dengan gelak tawa mereka-mereka yang nyaman di mobil mewah yang dingin, yang mungkin saja hasil menipu atau korupsi--meski ada juga yang hasil jerih payah sendiri.

aku tak ingin apa-apa hari ini. aku hanya ingin merasakan kelelahan batin orang-orang yang keras bertahan... ada kesabaran yang panjang, juga perjuangan yang tak kenal kelelahan. sambil membayar teh borol dan berlalu menghampiri bus sesak yang datang, aku bergumam dalam batin: di usia 60 tahun negeri ini, kita tak pernah tahu kapan selesainya berjuang menjalani hidup yang tak pernah adil dan tak terduga cobaannya...

sebab persoalan... bagai gelombang
tenanglah tenang, tenanglah sayang...

tenang... tenanglah sayang
semuanya sudah suratan

tenang... tenang seperti karang
bintang-bintang jadikan hiasan...

dan aku turun di halte rudi, yang bernasib tak jauh beda dengan babeh dan mamang. aku tak banyak bicara. setelah mengambil majalah langganan, aku pulang. rudi melambai saat aku sudah berdiri dalam bus yang melaju malas. istrinya tersenyum di bangku halte. hidup tak pernah selesai bertahan... tak pernah selesai bersabar... kita belum merdeka... selamat berjuang sobat dan kawan... aku tidur sebentar, semoga bermimpi bertemu perempuanku yang selalu membuat nyaman...

Monday, August 15, 2005

kepada putri rampen (33)

bayangkanlah danau di senja hari. di atas sampan bambu rakit, berdua kita mengayuh dayung, mengitari luas cinta yang dikelilingi bukit hijau. dalam sunyi kita menghampiri malam, di sela kicau nuri dan kecipak ikan. bayang pelangi memudar, merayap gelap datang, tapi kita tak pernah kesepian. danau ini terlalu indah untuk ditakuti dan tak diarungi...

sampan kita adalah sampan cinta. sampan sederhana dari bilah-bilah bambu rindu yang diikat sabut kelapa. di atasnya kita duduk berpegangan tangan. menghirup aroma anggrek hutan dan daun pinus. menjemput bulan dalam malam bertabur bintang. kita berpelukan di bawah biru langit, di hamparan danau cinta dan kasih yang tenang. perjalanan ini mungkin melelahkan, tapi di atas sampan bambu sederhana, kita tak boleh gentar, karena cinta abadi tak kenal rasa dan kata takut...

kepada putri rampen (32)

dalam diam kita sering terjebak pada angan-angan
selalu pada kesunyian kita kerap terkurung mimpi
menjadi ini atau itu
berharap itu atau ini
hidup seperti menanti bintang jatuh ke pelukan
lupa bahwa kaki ini masih di tanah
menapak di jalan penuh kerakal
menginjak hamparan deduri tajam

kita sering tak paham dan menyadari
mimpi, juga harapan, adalah lautan bayang-bayang
kita terlena tanpa pernah sedikit pun berupaya
jangankan mengejar, berusaha mendekatinya pun tidak
kita lebih senang berkhayal ketimbang berbuat sesuatu
berenang di tempat
sedangkan samudera mimpi begitu luas terbentang

aku tak ingin begitu bersama perempuanku...

Sunday, August 14, 2005

kepada putri rampen (31)

lalu aku membayangi air matamu menetes di sunyi malam. jatuh perlahan membasahi pipi. hatimu terkoyak, batinmu terluka, dan aku merasakan hal serupa saat mencoba menyelami. kekasihku yang baik, ke mari sebentar, menangis di pundakku agar bisa kupeluk erat. hidup barangkali seperti papan catur. hitam dan putih tak bisa kita hindari. selalu ada suka dan duka, tawa atau tangisan. begitulah warna-warni kehidupan. dan ketika kita harus menangis, ingin kubisikkan padamu sebaris kata: sabar dan tenanglah, karena engkau tak sendirian. ada aku, bersama cinta yang ingin kuabadikan... love u tha..

aku, lelaki yang memetik bintang agar malammu tak lagi sunyi...

kepada putri rampen (30)

ketika biru langit perlahan memudar dan mendung merayap datang, aku adalah lelaki yang tak lagi takut pada gelap. lalu saat gelombang laut bergulung keras menghantam karang, aku telah menjelma menjadi lelaki yang tak lagi gentar merenangi waktu. rindu dan sayangku tumbuh mematahkan sunyi dan kemuraman. bersama warna-warni pelangi di kaki langit, lewat angin basah senja ini, kutiupkan cinta dari hati yang tak ingin mengenal dusta...

kepada putri rampen (29)

where are you tha... i really miss you.... :(

Thursday, August 11, 2005

kepada putri rampen (28)

kulukis malam ini dengan tinta kerinduan
di sela kerlip gemintang yang berpendaran
langitku adalah langit bahagia
yang tak pernah lagi menjelma menjadi pekat

bersama bulan yang tak henti tersenyum
angin dingin tak lagi membuatku takut
pada mata yang terpejam
kupeluk dirimu dari kejauhan
disaksikan phosporus yang datang
diintip hesperus yang perlahan pulang

wahai angin yang tak gelisah dan tenang
tolong terbangkan rengkuhanku untuknya
sampaikan pula aku tak sabar menanti senja januari tiba
jarak dan waktu yang terbentang terlalu indah untuk dicemaskan

Wednesday, August 10, 2005

kepada putri rampen (27)

senja mengendap perlahan di langit blitar. kota ini sebetulnya seperti kebanyakan kota-kota kecil lain di tanah jawa: jalanan lengang, sawah menghijau, lebat hutan jati di kiri kanan jalan, dan anak-anak kecil berlarian telanjang dada di tanah lapang. andai makam bung karno tak di blitar, sulit menemukan keistimewaan blitar selain hobi warganya memelihara ikan koi.

dan di senja itu, ketika dalam perjalanan kembali ke surabaya, kulihat matahari tertatih mencium tepi langit. lima sampai tujuh perempuan petani kedelai yang bercaping (topi khas petani yang terbuat dari anyaman bambu, seperti pendekar cina), berjalan beriringan di tengah sawah. di pundak mereka cangkul dan bakul terpanggul. gelak tawa yang terlihat dari balik kaca mobil mengusik lamunanku tentang derap desa yang lamban. rupanya kota membentukku menjadi tak sabaran menyaksikan kehidupan desa yang terasa pelan. tapi keriaan petani-petani sederhana itu membuatku iri. alangkah indah bersenda gurau di tengah padi menguning, di bawah jingga langit yang memayung teduh. petani-petani, sampai jumpa lagi nanti...

dan tiga jam kemudian, setelah melewati beberapa kali macet di jalan, terutama ketika masuk kota malang, juga take untuk on screen di tengah hutan jati yang kering, aku pun tiba di surabaya. tiga jam termasuk cepat, karena perjalanan biasa bisa memakan waktu empat jam. jenggo--nama aslinya erwin, tapi jalanan melahirkannya dengan sebutan itu--driver yang kusewa, mungkin bukan pembalap. tapi lama di timur jawa membuatnya hapal lika-liku lintas jalan. menyalip dari kiri atau kanan truk dan bus besar, jenggo menginjak pedal gas seperti kesetanan. untung saja kami sampai di surabaya dengan selamat. syukurlah...

aku sampai di hotel sekitar pukul tujuh malam. setelah membereskan peralatan kerja dan barang bawaan ke kamar, aku, kameramen, dan jenggo keluar mencari makan. lapar juga ternyata, tapi aku tak perlu menambah. sepiring saja cukuplah. lumayan enak soto ayamnya, meski agak terlalu kental dan krupuk putihnya alot. sambelnya juga kurang pedas.

sehabis makan, kameramenku mengajak melihat-lihat ikan hias. wah, kameramenku memang seorang bapak-bapak tulen. hobinya sangat orang tua sekali. memelihara binatang atau mengumpulkan souvenir unik. sebetulnya aku lelah, tapi tak turut serta kurang enak juga. bayangkanlah jalan sepanjang 300 meter. di sepanjang jalan itulah penjaja ikan hias berjajar. bagus-bagus sih. aku jadi teringat masa kecil. masa ketika aku senang memelihara ikan dan mencari cacing di sungai anak ciliwung yang kotor. di tempat ikan hais itu, seetlah sebentar melihat-lihat, aku dan jenggo akhirnya duduk di warung yang dijaga pak tua yang tak henti menembang lagu jawa. minum teh botol dingin, dan membiarkan kameramenku jalan melihat-lihat ikan laut dan tawar. ada juga monyet dan anjing, kelinci dan kucing impor.

sekarang jam sebelas malam, jam ketika aku mulai mengetik surat ini untukmu. mereka tak ikut, langsung ke hotel. aku minta diturunkan di warnet. aku tak sabar ingin membaca email-emailmu. aku rindu sekali. di blitar tak ada warnet. mengelilingi sepanjang jalan di blitar, yang kutemukan selalu toko buah dan ikan koi.

dan benar saja, ada empat emailmu yang datang. betapa senangnya. satu per satu kubaca, dengan gerak mata yang tak sabar dari balik kaca mata yang sedikit berdebu. degup jantung terasa riang. aku bahagia sekali, kerinduan ini seperti terbasuh begitu saja ketika kurenangi kata demi kata yang kau tuliskan... aku senang sekali membaca kalimatmu ini: and i must say thanks to god cos heaven hear's my pray... the love we have is more than miracle every day of my life. you're more than miracle for me... kurasa, engkau pandai kok berdoa... :) terima kasih sayang ya. i miss u too tha... buatku, engkau juga lebih dari sebuah keajaiban... percaya ya tha...

well, aku turut sedih dengan kabar putusnya ghea. betapa menyakitkan. kubayangkan suasana hati yang terekam. pasti perih ya? berpisah dalam jarak yang jauh mungkin lebih sakit, karena protes dan kekesalan tak tersalurkan terarah. mudah-mudahan juniormu bisa lebih bersabar. hidup memang kadang seperti melangkah dalam bentangan jalan yang penuh lubang. tak perlu terkejut ketika suatu saat kita terjatuh. percayalah, tak seluruhnya jalan di depan rompal dan penuh batu kerakal. anggap saja Tuhan belum memberikan juniormu kekasih yang terbaik. mungkin kalau diteruskan malah membuat keadaan semakin tidak baik. sedih boleh-boleh saja, tapi larut lalu membuat kita terus menangis hanya membuat mata sembab. masih ada yang lebih baik ketimbang kekasihnya yang di bali itu...

tha yang baik...
dari cerita itu, telah kuresapi ketakutanmu, dan tanpa menganggap enteng luka hati juniormu itu, aku cuma ingin bilang begini padamu: jangan pernah ragu pada cinta dan sayangku dari kejauhan ini. singkirkan segala macam pikian yang membuat batinmu tak tenang, yang sekarang mungkin masih bersarang di hati kecilmu. kadang aku pun merasakan itu, ragu padamu dan pesimis pada kisah yang sedang kita jalani. tapi hidup untuk takut dan menjadi pengecut buat apa? biasanya, kalau sudah begitu, aku buru-buru membalik keadaan dengan memupuk kepercayaan padamu. sama sepertiku, mungkin engkau bukan manusia sempurna, tapi aku percaya sekali, hati kecilmu baik dan mulia. orang baik tak akan pernah tega berkhianat atau menyakiti orang yang mencintainya... dan orang bijak pasti taat membayar pajak. lho? ga nyambung ya? hehehe... nggak ding. serius, serius. aku sayang padamu tha... aku masih terus menunggu senja di januari basah itu menjadi hari indah yang kita rindukan...

aku tak sedang menggombal tha. barangkali kata demi kata yang kutuliskan terkesan berlebihan. tapi cinta memang selalu membuat kita menjadi tak biasa. percayalah, kata demi kata yang kutuliskan bukanlah omong kosong lelaki iseng yang kesepian. aku tak menganggap internet dengan perangkatnya seperti chat atau friendster sebagai wadah liar imajinasi. aku tak terlalu kaget bahwa ada orang yang menganggap dunia maya adalah dunia permainan yang sangat mungkin membuat orang bersikap omong kosong. masa-masaku seperti itu sudah lewat. internet bukanlah tempat bermain buatku. cobalah berpikir sederhana: kita jauh dan email atau chat adalah media yang cukup efektif bertukar kabar. bahwa muncul kecemasan ada dusta yang tak terungkap, nah, di sinilah kejujuran dan kesetiaan diuji. semua terpulang pada niat dan hati kecil.

tha yang baik...
kita jelas bukan malaikat, tapi tanyalah dalam hati, sebetulnya apa yang kita cari dari hubungan ini? kebahagiaan atau sekadar iseng semata? bila kebahagiaan yang diimpikan, bersikaplah total untuk bersikap jujur dan setia dalam jarak dan waktu yang jauh sekalipun. tapi kalau cuma mau iseng-iseng, bermain-mainlah sampai lelah datang sendiri. setiap kebohongan, sandiwara, atau kepura-puraan akan selalu terkuak dengan sendirinya. andai aku dan engkau ada yang berkhianat diam-diam, Tuhan tak akan tinggal diam membiarkan salah satunya terluka. pasti kita akan pisah dengan sendirinya, karena Dia tak akan tega membiarkan yang tulus menjalani cinta yang sia-sia... lalu di mana aku berada? tanpa ragu aku akan berkata: kebahagiaanlah yang kucari dan aku tak sedang bermain-main denganmu. penat kerjaku tak membuat aku menjadi bodoh lalu menganggap dirimu tak ada tha... aku sayang kamu dan ingin terus mencintaimu...

lalu ketika takdir menyatukan kita lewat perantara teknologi semacam ini, logiskah disebut sebuah khayalan semata? kekasih imajiner? bebas-bebas saja orang berpandangan, tapi barangkali--aku bisa saja keliru--mereka pernah trauma pada kekejaman dunia maya yang telah memorak-morandakan hati kecil. aku tak tersinggung dengan pandangan semacam itu. biar sajalah. suka-suka. mereka tak pernah paham bisikan hati kecil kita, yang menginginkan cinta ini jalan dengan langkah sederhana dan baik-baik saja...

tha perempuanku yang cantik...
aku tak memungkiri hubungan jarak jauh mungkin membuat kita kerap dihantui rasa takut. selalu ada perasaan cemas bahwa diam-diam pasangan kita menyimpan dusta dan keliaran yang disembunyikan. itu sangat mungkin terjadi, tapi jangan kau bayangkan aku begitu. barangkali aku bukan orang sempurna, tapi tolong hayati kalimatku ini: aku memang bukan orang yang sempurna, tapi aku terus berupaya menjalani cinta ini dengan cara-cara yang mendekati kesempurnaan. aku percaya, niat baikku akan melarangku untuk berbuat bodoh: mendustaimu dari kejauhan, atau diam-diam misalnya berselingkuh. ah, selingkuh atau apalah namanya pokoknya bermain perempuan itu butuh biaya. nakal itu perlu modal. aku ini apalah... hidupku terlalu serius untuk hal-hal yang membuang-buang waktu seperti itu... sudahlah, tak perlu kujelaskan betapa aku sangat ingin terus menerus bersama cinta yang tengah kita bangun ini. kebanyakan kata-kata kadangkala hanya melahirkan pandangan aku sedang membual. aku cuma bisa mencinta dan setia, selebihnya hanyalah rindu yang tumbuh setiap hari. adakah kesetiaanku bakal abadi? aku bertekad untuk itu, menjadi orang terakhir yang memelukmu dalam dekapan hangat sayang yang kurawat sejak tanggal delapan juli dan hitungan kesembilan yang ada "ha? ha? ha?"-nya itu... so, jangan sedih lagi ya tha sayang... eits, nah senyum gitu kan manis. bikin kamu jadi semangat menjalani hari yang penuh dengan buku-buku tebal itu...

hei, kok bisa ketiduran sih? hahaha... kamu kecape'an ya? mikirin apa memangnya sampai malam nggak bisa tidur? jadi ngantuk deh pas mata kuliah orthopedi? atau kamu kelelahan setelah bermain ke town seharian? tapi sudahlah, itung-itung menambah pengetahuan ketika kau disuruh baca paper tiga bab itu. hahaha. lucu sekali sih kamu. nggak terlalu sering kan? jangan ya, jangan seperti aku. tau gak, dulu, setiap kelas aku sering tidur sampai-sampai dosennya bosen bangunin aku yang pulas di meja. malah pernah aku tidur dibiarin sampai kelas sepi. hahaha. kurang ajar. betapa lucunya masa-masa kuliah itu. aku sering ketiduran begitu karena kecape'an beb. habis meliput lalu kuliah, habis meliput pasti kuliah. aku masih di koran media indonesia saat itu. jadinya ya begitu sampe kampus tidur... sering banget aku dateng ke kampus nggak masuk kelas, malah ke masjid kecil kampus untuk tidur. hahaha. teman-temanku pasti sudah paham, kalau aku ke masjid, bukan salat malah tidur. hehehe... udah bagus bisa selesai. bangga juga sih, karena banyak kawan-kawanku yang nggak kerja sambil kuliah, selesai kuliahnya malah lebih dulu aku. :)

lalu bagaimana papermu yang baru disusun itu? duh paper terus ya. nggak ada bosen-bosennya deh tuh dosen. jangan-jangan mereka balas dendam karena pas kuliah sering dikasih tugas begitu juga. hehehe... jaga diri kamu baik-baik ya. tetep jangan nakal ya. biarin aja aku dibilang bawel. sayang tapi terlalu cuek juga ga bagus buat metabolisme cinta kita. hehehe. ;) jangan sakit dan sedih lagi ya. kamu ga boleh mikir macem-macem. besok rencananya kita bertiga akan ke main ke kantor biro sctv di surabaya. silaturahmi gitulah, sekalian liat-liat peralatan untuk siaran sctv jawa timur. ada juga sih rencana beli oleh-oleh buat rumah. tapi apa ya beb? di sini makanan yang menarik kerupuk usus itu. di daerah genting namanya. nantilah cari-cari. aku udah beli sih tiga potong pakaian buat tiga keponakan. binyo, angga, dan anggi. gambar bung karno. hahaha. lucu juga anak kecil pake baju bung karno. gak apa-apa. biar mereka tahu bahwa mereka pernah punya presiden hebat yang ditakuti amerika meski playboy abis. tetap semangat ya beb... aku tetap nunggu kamu di januari nanti... dan akan kubawa kamu jalan sebentar naik bajaj yang bikin badan kamu bergetar saat turun. :) aku pamit dulu ya tha yang baik. sudah larut, sekitar jam satu dini hari. takut kameramennya udah pulas dan pintu ga dibukain dari dalam. masa aku tidur di halte? kan ga boleh sama kamu yang bawel itu. :) kita akan chat lagi sesampai aku di jakarta ya, jumat siang dari surabaya. nanti kamu kabari aku kapan bisa online-nya. aku selalu bawa foto-fotomu. dan sudah kuprint yang terbaru. yang di kamar itu dan yang rambutnya keriting depannya itu. cantik ya kamu tuh... tadi sewaktu di jalan ke surabaya, aku sempat liatin sambil senyum-senyum kayak orang bener. hehehe... si jenggo sampe ketawa-tawa. :) love u tha... miss u juga...

salam sayang dan rindu selalu...
aku, lelakimu yang tak sabar menanti senja januari datang...

Monday, August 08, 2005

kepada putri rampen (26)

dan aku pun berterima kasih pada angka delapan. angka ketika kita tak percaya bahwa cinta bisa datang dengan sendirinya. kita mungkin memang tak pernah menyangka ini bisa terjadi begitu mudah, tapi bukankah hidup selalu penuh kejutan? ada saatnya kita tertunduk dan mengurai airmata. ada kalanya kita larut dalam tawa. dan bila sebulan terakhir ini kita menjadi bahagia, rasanya tak ada kata yang lebih indah selain ucapan terima kasih pada Sang Kuasa. sambil memanjat doa, agar pagi dan malam selalu indah, karena cinta kita lahir dari niat dan cita-cita sederhana: mencintaimu adalah mencintai hidup......

Sunday, August 07, 2005

kepada putri rampen (25)

di senja ini aku adalah lelaki yang menanti pelangi. sendiri menantang waktu, menunggu merpati membawa kabar tentangmu. aku rindu. sejuta kegelisahan merayap, bersama takut yang menyergap. kegelisahanku adalah buah dari cinta yang tumbuh. ketakutanku adalah bibit dari mimpiku yang menjadi nyata. di senja ini aku adalah lelaki yang menunggu langit warna-warni. tahukah engkau tentang keindahan sore hari? senja ini menjadi manis karena di setiap awan berarak dan gagak yang pulang, terlukis di langit kalimat "aku mencintaimu putri rampenku, Tuhan tahu itu".

aku, yang kau panggil jelekku dan sebagai empat katup jantungmu...

kepada putri rampen (24)

di luar tak ada bunyi. sunyi merayap hening. bunyi gesekan kertas di kamar terdengar jelas. jakarta pukul tiga dini hari. terdengar dentang tiang listrik yang dipukul pak hansip. tiga jam ke depan matahari akan segera terbit. sejak tiba di rumah dari kantor pukul dua belas malam tadi, sampai kini aku belum juga mengantuk. padahal telah kucoba melelahkan mata dengan membaca sejumlah buku.

lalu aku tiba-tiba teringat ibuku. kesibukan rupanya membuat aku jarang berjumpa ibu. andai bertemu pun, tak sampai dua jam. berbincang-bincang sebentar kemudian aku menghilang lagi. biasanya ke kantor atau halte rudi. aku bukan jarang pulang, tapi setiap tiba di rumah, malam sudah terlalu larut dan ibuku sudah lelap di kamar. paling-paling, aku hanya bisa melongok ruang tidur dan menatap diam-diam wajah ibuku yang lelap. pagi hari pun begitu. biasanya, setelah menyantap telor mata sapi buatannya, aku langsung pergi. dulu, aku masih sempat ngobrol apa pun. dari soal berita di koran pagi sampai urusan pribadi. saat siang senggang, aku sering tiba-tiba tiduran di samping ibuku yang tidur siang. mencolek bahu agar terbangun, memaksanya mendengarkan ceritaku. mendumel sebentar, tapi akhirnya didengarkan juga.

kedekatanku dengan ibu tak membuatku jadi "anak mama". aku tak manja pada ibuku. aku hanya butuh teman bicara, yang begitu paham isi hati dan kepalaku. jangan pula berpikir bahwa perempuanku kelak musti berwatak seperti ibuku. itu berlebihan. aku cuma mencintai dan merasa nyaman berada di dekat ibu. dan perempuan dalam bayanganku memiliki kriteria sendiri yang sangat mungkin berbeda dengan karakter ibu. dan di di pagi buta begini, aku hanya teringat sosok ibu, dari masa kecil yang menjadi kenangan manis.

ada semacam kerinduan masa silam yang muncul begitu saja. ada dorongan untuk membalas jasa dan pengorbanannya, meski aku tahu seorang ibu tak pernah meminta. aku selalu merasa belum cukup membahagiakan ibu, meski selalu berupaya membuatnya senang.

ada yang tak pernah bisa aku lupa. ketika duduk di sekolah dasar, guruku mengajari cara membahagiakan ibu. tepat pada 22 desember, ketika jatuh hari ibu, guru itu memerintahkan seluruh murid termasuk diriku, membelikan oleh-oleh untuk ibu. isinya sederhana: sebungkus permen cokelat, sapu tangan, kacang, dan kue yang dimasukkan ke sebuah kardus kecil. makanan itu dibeli dari uang jajan yang dikumpulkan serentak.

begitu sampai di rumah, aku ingat sekali, ibuku sedang tidur siang di kamar. kuletakkan kardus kecil itu di atas kepalanya lalu aku pergi bermain. sorenya, saat sampai di rumah, ibu menciumku. aku terkejut karena tak biasanya ibu menciumku yang selalu bau matahari setiap habis bermain layang-layang. setelah mencium, dia mengucapkan terima kasih atas hadiah itu. ibuku menangis membaca sebait kalimat "selamat hari ibu, aku sayang ibuku" di kertas di balik lipatan sapu tangan.

kebahagiaan mungkin sebuah absurditas, persis lukisan abstrak, tergantung sudut pandang orang yang melihat. tapi di mataku, membuat ibu tersenyum dan tak menangis sudah cukup. ibu tak menuntut macam-macam. dan belakangan, karena pertemuan yang jarang, aku tak sesering dulu membuatnya tersenyum. keluhannya pun sambil lalu kudengar. berbincang-bincang tentang negara yang tak pernah beres atau mengenai kisah-kisah pribadiku pun sekadarnya. aku rindu sekali situasi seperti itu.

karena aku tak ingin menyesal kemudian... akan kucoba cari waktu untuk menyepatkan diri membuat ibu tersenyum dan mendengar keluhannya... aku sayang padamu ibu...

di pagi sunyi ini aku juga teringat putri rampenku. tadi aku berbincang dengannya di yahoo. tak telalu lama, karena dia bilang ada urusan penting. aku tak tahu urusan apa, tapi dia janji akan bercerita. baiklah. aku tunggu saja ceritanya nanti. perempuanku juga berkisah, ada seorang kakak temannya yang menyatakan perasaan suka kepadanya. lelaki itu tengah mempertimbangkan untuk lama di kanada karena ingin melanjutkan studi.

lalu aku berpikir. selalu ada godaan dalam sebuah percintaan dan begitu mudah orang jatuh cinta. lelaki itu mungkin baru pertama kali bertemu perempuanku, tapi bisa langsung jatuh hati. ah, betapa lucunya suara hati. aku tak tahu dia emosional atau bukan, meski dari cerita perempuanku, pernyataan suka dikemukakannya setelah dia menumpahkan segala permasalahan. curhat selalu memunculkan risiko pindahnya perasaan. berpijak pada teori transformasi sigmund freud, bapak psikoanalisa itu, seorang dosen pernah memberi contoh kasar begini: kalau kita curhat ke seseorang dan curhat itu didengarkan dengan baik, besar kemungkinan yang curhat akan naksir. itulah sebabnya, amat berbahaya curhat pada lawan jenis. perasaan nyaman didengarkan dan dimengerti melahirkan stimulasi ganjil rasa suka.

aku tak tahu lelaki yang menyukai perempuanku curhat soal apa. mungkin soal perempuan, atau bisa jadi soal lain. tapi apalagi yang ditumpahkan lelaki pada perempuan kalau bukan kisah sedih cinta? lelaki selalu punya seribu cara menarik simpati atau iba perempuan, tapi mengumbar cerita sambil memancing agar si perempuan membalas rasa suka, bagiku terlalu naif dan agak cengeng. lelaki tak boleh begitu. menjadi jantan lebih berharga ketimbang memelas dengan kisah duka yang sentimental. hidup dan cinta mungkin menyedihkan, tapi berharap simpati dari cerita duka rasanya seperti memasang kelemahan.

aku sejujurnya tak terlalu peduli dengan naksir-naksiran yang dirasakan lelaki itu. berpikirnya sederhana saja. perempuanku pasti menarik, hingga dia ditaksir orang. bukankah menyenangkan memiliki perempuan yang menarik, meski rasa cemas juga kerap membuat jantung deg degan? aku lebih peduli pada reaksi perempuanku ketika lelaki itu menyatakan rasa suka dan minat memacari. reaksi perempuanku menarik dan membuat aku begitu menghargai dia sebagai kekasih yang baik dan tahu makna kesetiaan...

sengaja kupasang dialog aku dan perempuanku di yahoo, sekadar mengenang dan menjadi simbol hormat pada sikap perempuanku...

kau: im a lonely
kau: aku kangen kamu banget apa kamu tau itu?
kau: tha kgn kamuuuuuuuuuuuuuuuuuu.
kau: kemarin ada yg nyatain perasaan sama tha
kau: namanya T****a
aku: namanya lucu amat
kau: iyh
kau: serius niyh
kau: trus dia bilang aku akan nuggu kamu sampai PUTUS
kau: hiks...hiks.....
kau: tha mau ketemuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu sama kamu
aku: wih....
kau: tha gak mau disini
kau: tha kangennnnnnnnnnnnnnn
kau: kamu dgr gak sih
kau: ini tha dah nangissssssssssssss
aku: T****a kuliah di mana beb?
kau: sebel
kau: tha kangennnnnnnnnnnnnnnnn
aku: aku juga kangen lho....
aku: seharian kemarin sampe detik ini kangennya ga ilang2
kau: di indo
kau: tapi dia dah selse
aku: lho, nyatainnya gimana cara?
kau: dia lagi considered canada sama ade nya
kau: dia kk nya tmn thaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
aku: o gitu....
kau: hikssssssssssssssss
kau: tha kangen kamu
aku: emangnya kamu jalan gitu ya?
aku: sini sini aku peluk ya....
kau: gak boleh ngomong
kau: kamu gak boleh ngomong
aku: mwahhhhhhhhhhhhhhhh!
kau: tha dulu
kau: sebel
aku: ya deh
aku: B-)
kau: tha kangen kamu bgt
kau: tha gak mau tau
kau: tha kangen kamuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
kau: kamu tauuuuuuuuuuuuuu
kau: sebel degh
kau: tha kemarin tiba2 pas lagi abis party jadi sedih
kau: tha inget kamu
kau: tha mau peluk kamu terus bilang tha itu dah punya pacar
kau: tha gak boleh di tembak siapapun
aku: mh...
kau: tha pacarnya iea
kau: tha hrs sama iea
kau: tha kgnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn
kau: sebelllllllllllll
kau: yg jelek
kau: cannot touch
kau: i love u,u know that i love u too?
kau: i love uuuuuuuuuuuuuuu
aku: i love u too tha...
kau: gak mau lagi tha lama2 di canada
kau: gak mau
kau: sebel
kau: knapa sih cowok2 itu gak ngerti
kau: mau naik bajaj gak?
kau: gak mau
kau: maunya mikrolet
kau: iyh
aku: hehehe
aku: tha, kemarin aku nongkrong di halte
aku: cuma sebentar aja
aku: soalnya, warungnya rudi mau digrebek
kau: hiks...hiks...
kau: terus
kau: tha mau nangis niyh
aku: aku ke situ mo liat2 aja sama mau ngelawan2 gitu deh kalo mo digusur
kau: hiks....
aku: hm
aku: sini sini sayang
aku: aku peluk ya
kau: tha kgn bgt hari ini
aku: aku sayang kamu
kau: kgn bgt
kau: kgn bgt
kau: kgn bgt
aku: aku juga kangen kok... meskipun tadi kamu bikin aku sebel bilang jam 24.00
aku: maaf ya...
aku: kamu merasa sebel ya sama cowok2 yg nembak2 kamu gitu?
kau: maaf
aku: kok bisa kenalan sih?
aku: emangnya pada ngajak jalan2 gitu ya?
kau: GW BISA BUAT LO BAHAGIA KOK
kau: AH LO MASA SIH GAK MAU AMA GW?
kau: mereka kdg suka ngomong
kau: MEREKA SIH GAK NGAJAK JLN
aku: gitu ya....
kau: THA GAK NGERTI
kau: THA ITU EMANG BAIK AMA ORG BUKAN BERARTI SUKA
kau: SEBEL
kau: CUMA GARA2 THA DGR DIA CURHAT MAREN MLM TRUS T****A ITU BILANG
kau: IH THA LO BAIK BGT SIH MA GW,CARE.
kau: GW BOLEH GAK JADI COWOK LO
kau: HA?
kau: PLEASE DEGH
kau: KAMU DGR GAK SIH
aku: denger...
kau: CAPEK NIYH NGETIK NYA
aku: trus trus
kau: GAK TAU AH
kau: SEBEL
kau: :((
aku: jawab apa kamu pas T****a gomong gitu
kau: THA INI UDAHS ERIUS
kau: :((
kau: gak tau
kau: AKU BILANG T****A GW DAH PUNYA PACAR.
kau: DIA BILANG COWOK LO DI MANA
kau: DI INDO
kau: DIA BILANG..............
kau: ha
kau: its make me hurt babe
kau: aku takut
kau: aku takut
aku: hm...
kau: dgr gak sih
kau: hm mlulu
kau: sebel
aku: dia ga kul di thomas kan?
kau: jahat
kau: gak
kau: tapi dia lagi considered
aku: maksud aku, intensitas ketemunya ga sering kan ke depannya?
kau: nyari tmpt yg cocok buat program S2 nya
kau: gak tau baru planning
kau: mana dia sok nanya2 si i***n
aku: kenalnya di mana?
kau: dia ABANGNYA TMNKUW
kau: lo jadian sama ivan yah
kau: ABANGNYA TMNKUW
kau: AHHHHHHHHHHHHHHHHH
kau: GAK DI DGR
kau: iya maksud aku
kau: TAU AH
kau: SEBEL
aku: kenalnya di party?
kau: KOK PUNYA PCR OON SIHHHHHHHHHHH
kau: GAK
kau: ABANGNYA TMNKUW
aku: iya
kau: T****A ABANGNYA TMNKUW
aku: dia dateng ke room dorm?
kau: GAK
aku: kronologi ketemuannya babe
kau: AKU TURUN KE TOWN
aku: hm ic
kau: KNAPA SIH KLOW KITA BAIK SAMA COWOK,MEREKA SALAH SANGKA
kau: THA DEKET BUKAN BERAR
kau: BERARTI SUKA
kau: SEBEL
aku: :)
aku: emangnya baiknya gimana sih?
kau: ya standar lah klow cuma dgr curhat
kau: klow cuma senyum manja
kau: senyum manis
kau: kasih support dgn pelukan
kau: salah emang
aku: ha?
aku: peluk?
kau: iya
kau: SUPPORT
aku: hya ampun....
kau: CUMA SUPPORT
aku: ya tetep aja peluk
kau: emang knapa
aku: ga usah sampe gitu kali
kau: salah yah
aku: berlebihan namanya
kau: peluk biasa
kau: peluk biasa
aku: apa pun babe
kau: gak pakai apa2
aku: itu berlebihan
kau: ha
kau: masa
aku: kayak di film friends aja
kau: gak
aku: ih beb
kau: aku suka peluk tmnkuw klow lagi mereka sedih
aku: berlebihan tuh... orang indo ga bisa digituin
kau: iya tapiiiiiiiiiiiiiii
kau: aku kan mau berempati
kau: aku gak mau cuma simpati
aku: ya tapi cukup denger curhat aja...
kau: ah
aku: pantes aja mereka jadi ge er2 seneng ga penting gitu
aku: dipeluk... yah... gitu deh jadinya
kau: masa sih
aku: iya beb
kau: aku bingung?
kau: cuma peluk
aku: watak indo gimana pun masih kental ketimurannya...
kau: gini..
aku: buat kamu mungkin biasa, tapi ga setiap orang bisa begitu...
kau: masa
kau: masa sih
kau: ah
aku: ada hal2 yang keliatan beda dari sudut pandang peluk...
kau: gila
aku: iyah...
kau: iya kah?
aku: peluknya lama ga?
aku: kena dadanya dunk? :(
aku: ih....
kau: gak cuma bilang ya udah deh lo pasti dapat yg terbaik
kau: sebentar
kau: ah tau
kau: sebel degh
aku: gini gini...
aku: ya udah yg udah terjadi ya udah....
aku: biar aja t****a mungkin lagi emosi
aku: orang emosi ga punya pendirian
aku: labil
aku: didenger gitu curhatannya
aku: yah seneng deh
aku: lalu jadi suka mendadak...
aku: apalagi abis dapet pelukan, yang kemungkinan besar dia salah artikan
aku: padahal kamunya biasa2 aja...
aku: di sinilah letak masalahnya...
kau: iya deh
kau: yg tua
aku: lalu dia dengan ringannya bilang, eh gue mau dong jadi cowok lo
aku: hehehe kaget2 deh kamu
aku: dan biasanya
aku: ke depannya jadi ga enak, kecuali dia bisa nerima dengan jantan
aku: tapi lelaki jantan itu jarang, kalau bukan anak jalanan
kau: iya

dan perbincangan pun berlanjut, tapi tak lagi membahas lelaki itu. lelaki itu terpukul, lalu bilang akan menunggu perempuanku putus. hahaha. sekali lagi, inilah sebuah kelucuan suara hati yang labil dan sangat mungkin emosional. dalam bimbang dan jiwa yang belum stabil, semestinya lelaki tak boleh begitu, karena berkepala dingin jauh lebih baik daripada mengumbar cinta dengan hati yang panas. emosional selalu menghasilkan hasil yang tak sesuai harapan.

aku tak merasa menang dari kisah ini. biasa-biasa saja. aku percaya perempuanku perempuan yang baik, meski aku tak melihat dan merasakannya dari dekat. tapi tahukah kau tentang kepercayaan dan keyakinan seorang yang tulus mencintai? dia tak pernah goyah dan tegak bagai batu karang menantang ombak. seperti itulah aku bersikap. bukan hendak menyombongkan diri atau takabur, tapi mempercayai cinta dengan jalannya yang lurus, jauh lebih baik ketimbang menduga-duga pada sebuah analisis yang sifatnya negatif. aku percaya perempuanku, tapi tak begitu saja membiarkannya jalan sendiri. selalu ada cara untuk menjaga hubunganku dengannya tetap baik. di sinilah kedewasaan dan kesetiaan diuji tanpa paksaan. dan sikap perempuanku itu telah membuatku bangga dan yakin bahwa kesetiaanya teruji dengan baik. bahwa ada yang dicarinya ketimbang hubungan basa basi, yaitu kebahagiaan cinta sejati yang mungkin menjadi impiannya. apalagi yang dibanggakan pada sebuah cinta selain kesetiaan? niat baik untuk mewujudkan cinta abadi rupanya menjadi kendaraan yang baik menghindari penghianatan. semoga saja...

aku tak mengecilkan kemungkinan pada suatu saat manusia akan berubah. dalam hidup, cuma satu yang tak pernah berubah, yaitu perubahan. itulah sebabnya, cerita tentang lelaki itu hanyalah sebuah ujian kecil dalam perjalanan panjang aku dan perempuanku. ada banyak kerikil di depan jalan dan sangat mungkin aku dan perempuanku tertatih melangkahnya. sangat boleh jadi juga aku dan dia terjatuh, lalu bangkit lagi, jalan lagi menuju kebahagiaan yang dicari.

hidup adalah pelaksanaan kata-kata. dan janji yang di lafalkan sangat mungkin diingkari, tapi aku yakin, hati aku dan perempuanku tak pernah bisa berdusta bahwa ada semacam niat baik di balik hubungan ini. Tuhan pasti bukan tanpa alasan mempertemukan kami dan menjadikannya kekasih. tanpa mengindahkan bahwa semua terpulang pada kuasa Sang Pencipta, aku yakin bila jalan kami lurus-lurus saja, cinta ini akan menjadi indah dengan sendirinya. siapa yang tak ingin bahagia dengan cinta yang dipilih? siapa yang tak senang cintanya berakhir indah, seperti ketika kami sepakat menjalin kasih lewat hitungan angka-angka satu sampai sembilan diselingi celetukan khas "ha"? aku yakin niat baik selalu menciptakan senyum abadi. jaga hubungan ini baik-baik Tuhan, karena hatiku tak pernah ingin berjarak seinci pun dengannya...

perempuanku yang baik...
aku sudah mulai mengantuk... cerita di atas hanya sebatas tumpahan hati semata. aku tak membenci lelaki itu. biasa-biasa saja. bukan soal penting buatku, karena jauh lebih menyenangkan membayangkan di senja basah januari nanti kita bersua. aku percaya padamu dan terima kasih telah menjaga kepercayaan ini. aku pun begitu di sini. sekarang ada baiknya aku tidur. ngantuk. sepertinya aku batal datang pada perayaan ulang tahun marinir di cilandak. lelah sekali. tentara laut itu, kabarnya, memiliki tank-tank baru. alat perang yang mahal. andai tak ada perang pasti uang beli tank bisa untuk mengganti bajaj-bajaj yang berisik itu. meredam bunyi kenalpotnya yang membuat telinga sakit. aku tidur ya. tidak jadi pergi pagi ini, lagi pula binyo, keponakanku yang sempat gagal tes masuk sekolah dasar itu--sekarang sudah sekolah di sekolah lain, menginap di rumah kakak.

jaga dirimu baik-baik perempuanku yang baik. aku cinta kamu... apa kamu tahu itu? Tuhan tahu lho...

aku, lelaki yang tengah teringat ibu dan yang selalu membiarkanmu berbaring di batinku...