Wednesday, October 13, 2004

Lebaran

Kolong jalan layang, pada suatu siang yang terik. Sekat-sekat triplek bekas pakai, tersusun alakadarnya membentuk puluhan kamar hunian. Petak-petak bilik itu berjajar seperti deretan gerbong kereta tua. Seperti layaknya perumahan, di antara sekat-sekat kamar itu tercipta lorong-lorong sempit untuk jalan. Hawa yang pengap tak membuat penghuninya berpikir untuk hengkang. Bunyi gludug gludug jalan layang saat terlindas ban mobil, tak membuat mereka kebisingan. Iramanya yang rutin membuat mereka terbiasa. Inilah sisi buram kota yang gemerlap, yang terkucil di antara gemuruh riuh peduduknya.

Seperti sebuah kampung, kolong jalan layang itu pun memiliki nama. Kampung Kolong orang-orang menyebutnya. Peghuninya berasal dari desa dan nasib yang sama. Sama-sama datang dari desa kecil di ujung Jawa, sama-sama bermodal nekat untuk hidup di kota yang liar macam Jakarta.

Dan seperti warga negara yang lain, mereka yang sudah di atas 17 tahun juga memiliki kartu tanda penduduk resmi. Ada cap kelurahan dan tangan Pak Lurah, meski secara administratif, Kampung Kolong tak tercatat di dinas tata kota. Tapi tak susah, kok, membuat KTP. Yang penting ada duit, sehari juga jadi.

Penghuni Kampung Kolong rata-rata bekerja sebagai pemulung. Lihatlah di tiap muka bilik mereka. Kardus-kardus bertumpuk rapi, siap dijual pada agen yang mereka tak tahu untuk apa. Beberapa ganco dan ransel dari kulit bambu, wadah yang biasa mereka pakai untuk mencari kardus, berjajar di dekat tiang penyagga jalan.

Warga Kampung Kolong belakangan ini sedang risau. Kardus-kardus, entah kenapa, sudah mulai sulit dicari. Mereka benar-benar pusing. Kepusingan ini kian menjadi-jadi, ketika mereka tersadar bahwa besok sudah malam takbiran dan lusa lebaran. Semua bermimpi bisa berlebaran di kampung. Lantaran pendapatan seret, angan-angan itu terpaksa dibuang jauh-jauh. Jangankan untuk mudik, untuk membeli baju lebaran pun tak ada. Malah, sekadar membeli kulit daun ketupat pun benar-benar nihil. Dan salah seorang yang pusing itu bernama Parmin. Usianya kira-kira 55. Istrinya bernama Ijah. Dua anaknya kembar bernama Rois dan Rauf.

"Bangun! Bandot pemalas! Kalau selalu kesiangan mana bisa bawa duit yang banyak?!" Midah, perempuan muda yang menjadi istri Parmin menggebuk suaminya yang lelap dengan sapu lidi.
"Arghhh... jam berapa sekarang Midah?!"
"Jam 12 malam! Mana aku tahu?! Memangnya kita punya jam?!"

0 comments: