Thursday, October 28, 2004

Suatu Malam di Kota Apel

"Hiburan Mas?"
"Hiburan?"
"Iya, hiburan. Bagus-bagus Mas. Kalau cuma pijat, lima puluh ribu. Kalau yang pake plus plus, tambah dua ratus ribulah. Mau Mas?"

Aku tersenyum mendengar kata-kata itu meluncur dari bibir seorang lelaki tua di depanku. Lelaki tua itu berprofesi sebagai tukang becak, yang mangkal di depan hotel tempatku menginap malam ini. Kebetulan, aku memang sedang mendapat tugas ke luar kota dari kantor. Dan baru saja aku keluar kamar untuk sekadar jalan-jalan melihat situasi tempatku dinas, lelaki tua itu menyapa.

"Cantik-cantik Pak?"
"Oh ya jelas! Ada yang masih kuliah, ada juga yang ibu rumah tangga. Tinggal pilih. Ada yang namanya Lulu. Umurnya 25 tahun. Cantik Mas. Pijetannya sip!"

Aku lagi-lagi tersenyum mendengar omongan Pak Tua ini. Kusapu tubuhnya dengan tatap mata yang penuh rasa ingin tahu. Pak Tua ini bertubuh kurus. Itu terlihat jelas dari pipinya yang peyot dan tangannya yang ringkih. Di balik balutan jaket penuh tambalan, Pak Tua ini terlihat tak seperti lelaki renta yang mesti berjalan dengan tongkat.

"Saya Pak Gundul."
"Rakit." kubalas sodoran tangannya. Terasa jemarinya cukup keras. Mungkin karena sering memegang bagian belakang bangku becaknya.
"Piye Mas? Mau? Kalau mau, nanti saya panggilkan anaknya."

Sesungguhnya aku tak tahu harus menjawab apa ketika Pak Gundul bertanya begitu. Sejujurnya pula aku lebih tertarik pada pekerjaan Pak Gundul sebagai tukang becak, tetapi memiliki sampingan sebagai makelar wanita-wanita panggilan. Begitu sulitnya mencari uang sehingga orang tua ini mengais rezeki dengan cara yang benar-benar di luar dugaanku.

"Nanti saya pikirkan dulu ya Pak! Sekarang saya mau cari makan dulu. Bapak bisa antar ke tempat makan yang enak di sini?"
"Oh, bisa, bisa! Mari"

Di atas becaknya, aku terus mendengar ocehan Pak Gundul tentang wanita-wanita yang kerap diperantarainya.

Wednesday, October 20, 2004

Jangan Salahkan Jendela

Dari balik kamarnya, mata bocah itu tak pernah bisa pindah dari kerjapan lampu-lampu di luar jendela. Selalu begitu setiap ia menjelang tidur. Dia senang ada terang di kejauhan, tak seperti di kamarnya yang temaram.

Wednesday, October 13, 2004

Lebaran

Kolong jalan layang, pada suatu siang yang terik. Sekat-sekat triplek bekas pakai, tersusun alakadarnya membentuk puluhan kamar hunian. Petak-petak bilik itu berjajar seperti deretan gerbong kereta tua. Seperti layaknya perumahan, di antara sekat-sekat kamar itu tercipta lorong-lorong sempit untuk jalan. Hawa yang pengap tak membuat penghuninya berpikir untuk hengkang. Bunyi gludug gludug jalan layang saat terlindas ban mobil, tak membuat mereka kebisingan. Iramanya yang rutin membuat mereka terbiasa. Inilah sisi buram kota yang gemerlap, yang terkucil di antara gemuruh riuh peduduknya.

Seperti sebuah kampung, kolong jalan layang itu pun memiliki nama. Kampung Kolong orang-orang menyebutnya. Peghuninya berasal dari desa dan nasib yang sama. Sama-sama datang dari desa kecil di ujung Jawa, sama-sama bermodal nekat untuk hidup di kota yang liar macam Jakarta.

Dan seperti warga negara yang lain, mereka yang sudah di atas 17 tahun juga memiliki kartu tanda penduduk resmi. Ada cap kelurahan dan tangan Pak Lurah, meski secara administratif, Kampung Kolong tak tercatat di dinas tata kota. Tapi tak susah, kok, membuat KTP. Yang penting ada duit, sehari juga jadi.

Penghuni Kampung Kolong rata-rata bekerja sebagai pemulung. Lihatlah di tiap muka bilik mereka. Kardus-kardus bertumpuk rapi, siap dijual pada agen yang mereka tak tahu untuk apa. Beberapa ganco dan ransel dari kulit bambu, wadah yang biasa mereka pakai untuk mencari kardus, berjajar di dekat tiang penyagga jalan.

Warga Kampung Kolong belakangan ini sedang risau. Kardus-kardus, entah kenapa, sudah mulai sulit dicari. Mereka benar-benar pusing. Kepusingan ini kian menjadi-jadi, ketika mereka tersadar bahwa besok sudah malam takbiran dan lusa lebaran. Semua bermimpi bisa berlebaran di kampung. Lantaran pendapatan seret, angan-angan itu terpaksa dibuang jauh-jauh. Jangankan untuk mudik, untuk membeli baju lebaran pun tak ada. Malah, sekadar membeli kulit daun ketupat pun benar-benar nihil. Dan salah seorang yang pusing itu bernama Parmin. Usianya kira-kira 55. Istrinya bernama Ijah. Dua anaknya kembar bernama Rois dan Rauf.

"Bangun! Bandot pemalas! Kalau selalu kesiangan mana bisa bawa duit yang banyak?!" Midah, perempuan muda yang menjadi istri Parmin menggebuk suaminya yang lelap dengan sapu lidi.
"Arghhh... jam berapa sekarang Midah?!"
"Jam 12 malam! Mana aku tahu?! Memangnya kita punya jam?!"