Saturday, September 04, 2004

bapakku macan, ibuku kalelawar

bapakku kabur dan ibu menangis di kamar. aku baru saja menyaksikan remote televisi dan asbak terbang. baru saja pula aku merenggangkan kedua telapak tangan dari wajah. sempat aku melihat bapak menunjuk-nunjuk wajah ibu dan dibalas ibu dengan tatapan mata yang nyaris keluar. aku baru saja berdiri setelah berjongkok di sudut ruang, dekat kulkas yang baru saja terkena gelas yang dilempar bapak. aku baru saja mencoba melepas rasa takut melihat adegan yang tak pernah kubayangkan. aku baru saja menggigit bibir karena tak kuasa melerai keributan bapak dan ibu. aku seperti kambing dungu dengan nyali ciut dan hati yang tak pernah bisa memahami: untuk apa orang tua bertengkar dan saling memaki kala usia mereka kian senja?

sambil memunguti serpihan gelas dan barang-barang yang berantakan, kudengar rintihan suara ibu di kamar. tak begitu keras, mungkin karena wajahnya ditutupi bantal. aku tahu ibu pasti menangis. selalu begitu setiap habis bertengkar dengan ayah. ibu baru bisa diam setelah lelah dan akhirnya tertidur.

aku membuka pintu yang baru saja dibanting bapak. kutatap keluar jauh memandang. cuma gelap di depan sana. kulirik jam, jarum pendeknya menyentuh angka duabelas. kucoba pertajam pandangan, mencoba mencari bayangan bapak yang entah sudah sampai mana dia berjalan. kepalaku seperti hendak pecah. bapakku sudah tua, kemana dia pergi? kenapa ibu tega mengusirnya, hanya karena mempertentangkan aku yang tak lahir dari rahimnya? kututup pintu dengan lenguhan napas yang tersendat. aku tak pernah mengira bahwa ternyata aku hanyalah seorang anak yang pernah ditemukan di kolong jalan layang, di dalam kardus bekas mie instan dua puluh delapan tahun silam.

0 comments: