Thursday, May 06, 2004

durah

Namanya Durah. Tubuhnya gempal seperti batang pohon palem. Tingginya tak lebih dari leher orang dewasa pada umumnya. Berambut ikal, berhidung bak jambu air, Durah adalah potongan lelaki yang senang senyum. Akan tetapi bukan lantaran itu orang-orang di desanya menganggap dia tak normal. Tingkah lakunya yang monotonlah yang membuat warga desa menganggap Durah sinting. Betapa tidak, kerja Durah cuma menggiring dua ekor kerbaunya kesana kemari saat siang dan meniup seruling bambu ketika malam datang. Selalu begitu setiap hari.

Padahal, Durah sama sekali tidak gila. Dia cuma sekadar menyayangi kerbau pemberian kakeknya. Dia hanya tak ingin kerbaunya mati karena kebanyakan melamun. Entah ide dari mana, agar kerbau itu tetap ceria, setiap hari Durah membawanya keliling kampung. Asal tahu saja, kerbau-kerbau itu dia beri nama Durah pula. Dia tak tahu harus memberi nama apa. Agar mudah diingat, maka Durah pulalah dia namakan. Soal memainkan seruling setiap malam, itu semata-mata karena Durah memang tak tahu lagi cara harus mengusir sepi. Toh, di mata orang-orang, tetap saja ada yang tak beres pada diri Durah. Durah sadar orang-orang menganggap otaknya miring, tetapi dia tak peduli. Baginya, yang penting dia senang bersama kerbau dan serulingnya.

Sehari-hari Durah tinggal bersama kakeknya, seorang dukun sakti yang amat disegani. Ayah ibunya tewas terkubur reruntuhan longsor. Bertahun-tahun dia menjadi cucu kesayangan sang kakek. Karena sosok kakeknyalah, orang-orang kerap sungkan memandang Durah. Padahal, tingkah Durah benar-benar menyebalkan. Durah sering tanpa rasa bersalah menggiring kerbaunya ke tengah perkumpulan orang-orang yang sedang berjudi. Di situ kerbaunya dibiarkan membuang kotoran, lalu mengacak-acak duit di atas meja judi. Para penjudi cuma bisa terbengong-bengong melihat itu semua. Andai mengamuk dan menghajar Durah beramai-ramai, bisa-bisa kakeknya yang turun tangan dan semua disihir jadi kodok.

Pada lain kesempatan, tak jarang pula Durah membawa kerbaunya ke sebuah kedai tempat beberapa berandal sedang menenggak kopyekan. Ini minumkan khas masyarakat kaki Rinjani, yang kalau diminum berlebihan, bisa memabukkan. Nama kopyekan berasal dari wadahnya yang berupa botol plastik yang kalau dipencet-pencet akan terdengar bunyi “pyek pyek pyek”. Sama pada saat di arena judi, dengan santainya pula, Durah membiarkan kerbaunya membuang kotoran di kedai sambil mengacak botol-botol kopyekan. Tak seorang pun bisa melawan Durah. Semua hanya pasrah tanpa gerutuan. Dan Durah cuma senyam-senyum dengan air muka yang amat datar.

Kedongkolan orang-orang tak pernah meruap menjadi amarah. Warga desa yang nyaris semuanya punya hobi berjudi dan menenggak kopyekan hanya bisa menggerutu di belakang. Pemangku adat yang juga penggemar judi dan kopyekan pun hanya bisa diam. Bukan apa-apa, marah terhadap Durah sama saja mencari perkara dengan kakeknya. Itulah sebabnya warga desa cuma bisa menggerundel. Mereka hanya membicarakan ulah Durah sembunyi-sembunyi.

Lama tertekan dengan kelakuan Durah, warga desa sepakat mencari cara agar Durah tak lagi mengganggu kesenangan mereka, berjudi dan menenggak kopyekan. Dan momen yang ditunggu-tunggu itu pun dating. Sesakti-saktinya sang kakek, dia tak sanggup melawan panggilan Tuhan. Kakek Durah meninggal dan warga desa gembira bukan kepalang. Usai prosesi pemakanan yang diikuti sedikit orang, warga desa langsung mengusir Durah. Mereka benar-benar gerah.

Saat diusir, Durah hanya bengong sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Apa salah saya? Kenapa saya disuruh pergi dari kampong ini?” Durah bertanya kepada orang-orang yang mengerumuni sambil menepuk-nepuk badan kerbaunya.

"Salahmu segunung Rah! Sudah tak usah banyak cingcong. Pergilah dari sini dan tinggal saja di gunung. Kami sudah benar-benar muak dengan ketololanmu!” sahut seorang warga yang dikenal sebagai penjudi ulung.

“Di gunung? Lalu rumah kakek saya bagaimana?”

"Rumah kakekmu akan kami bakar. Sudah lama kami menunggu kesempatan ini datang.

Ulahmu benar-benar merusak kesenangan kami. Kami betul-betul marah Durah!”

Durah mengernyitkan dahi. “Tapi apa salah saya?

“Heh, dasar idiot! Kamu pikir, saat menggiring kerbau untuk mengacak-acak meja judi kami, kedai kopyekan kami, itu bukan gangguan? Kalau kamu melihat kami tidak marah saat itu, itu karena kakekmu.”

Durah tak pernah menyangka ulahnya menggiring kerbau selama ini membuat warga geram. Sesungguhnya dia tak benar-benar ingin menggangu kesenangan warga. Soalnya. kerbaunya sendiri yang bergerak merusak arena judi dan tempat ngopyek. Dia hanya mengikuti langkah kaki kerbaunya ke mana pergi.

“Kalau rumah kakek saya dibakar, rumah kakek saya bisa hangus. Kasihan kakek saya.” Mata Durah memandang dingin ke orang-orang yang mengelilingi.

Orang-orang merasa lelah bicara dengan Durah. Pemangku adat yang semestinya menjadi pengayom, malah berteriak bakar bakar.

Komando itu memancing reaksi spontan warga. Satu per satu mereka bergerak, menyalakan api, menyiram bensin. Ada yang melempar obor ke dalam rumah, melempar ke atap, mengguyur dinding-dindingnya dengan minyak tanah.

Durah tak bisa apa-apa. Perlahan-lahan dia mundur menjauh. Dalam kebingunan itulah, bersama dua kerbau kesayangannya, Durah pergi dari desa tempatnya tumbuh. Berjam-jam Durah berjalan, hingga akhirnya dia terdampar di punggung Gunung Rinjani. Di sana dia membuat sebuah berugak atau gubuk saung yang beratap rumput kering. Kala panas atau hujan, cahaya matahari tembus dan air hujan menetes. Tak ada tetangga, hanya pohon kruing dan burung-burung yang tampak.

Kini, setahun sudah Durah jauh dari hiruk-pikuk desa. Dia sakit hati rumah kakeknya dibakar. Dia marah diusir dari desa kelahirannya. Kenapa orang-orang itu malah marah karena kesenagannya berjudi dan mabuk-mabukan dirusak kerbaunya? Kenapa mereka tak berterima kasih karena justru dengan demikian hidup mereka jauh dari hobi yang sia-sia. Durah menghela napas. Tak sampai nalarnya memikirkan itu semua.

Warga desa bukan tak tahu tempat tinggal Durah. Semua tahu, karena setiap kali ingin berdoa ke puncak Rinjani, warga desa selalu melewati berugak Durah. Meski kesal, setiap warga desa melintas, Durah selalu menyapa sambil melambaikan tangan, tetapi setiap kali itu pula warga desa bergeming. Tak dipedulikan, bahkan dianggap tak ada, tak sedikit pun membuat Durah kapok. Tetap saja dia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar setiap warga desa lewat.

***
Dua bulan terakhir ini, warga desa sedang heran. Durah tak pernah lagi tampak di berugaknya. Tak ada lagi lambaian dan senyum Durah. Kerbau-kerbaunya juga tak kelihatan. Semula Durah dikira sembunyi. Toh, sehari, seminggu, tiga minggu, dan setelah sebulan lebih Durah tak tampak batang hidungnya, keheranan warga desa memuncak menjadi penasaran. Mereka mengecek di berugaknya, Durah tak ada. Dia benar-benar lenyap.

Seperti penyakit menular yang ganas, kabar Durah lenyap menyebar cepat ke penjuru desa. Tua muda, lelaki perempuan, bahkan sampai para bocah, memperbincangkan tentang lenyapnya Durah.

Dalam kebingungan ini, pemangku adat mengatur strategi. Dia memimpin rapat besar yang dihadiri seluruh warga desa. Semua prihatin dengan keberadaan Durah yang menghilang seperti terbang ke langit.

“Kita harus mencari Durah sampai ketemu! Kita masuk ke hutan, naik ke gunung, ke tengah laut, ke mana saja, kalau perlu ke kutub! Durah harus kita temukan!” Pemangku adat memekik disambut teriakan orang-orang yang bertepuk tangan.

Dan kentongan, penerang dari batang jor-joran, juga bekal untuk pencarian Durah disiapkan. Orang-orang bertekad mencari Durah tercinta. Eit, tercinta? Aha, di balik kesebalan tingkah laku Durah yang dianggap nyleneh, rupanya warga desa menyayangi Durah. Mungkin benar kata orang-orang bijak, rasa sayang kerap muncul ketika orang yang dicintai tak ada.

Satu per satu orang-orang berpencar. Ke arah utara, dua puluh orang. Ke selatan empat puluh orang. Ke barat tujuh puluh. dan ke timur lebih banyak lagi. Desa itu mendadak seperti desa mati.

Satu hari berlalu, dua hari, sepekan, hingga berbulan-bulan desa seperti tak berpenghuni, Durah tak kunjung ditemukan. Orang-orang sudah lelah, tetapi Durah mesti ketemu.

“Durahhh...!” teriak warga di sebelah utara.

“Di mana kamu Durah! Pulanglah!” begitu pula yang di selatan. Warga yang di barat dan di timur pun sama saja. Semua sibuk dan tak pernah lelah mencari Durah.

****

Pagi merayap menyapu punggung gunung Rinjani. Matahari yang tidur, kini perlahan menghangatkan desa. Jingga emasnya melipir tipis di antara nyiur yang melambai di bibir ladang. dari balik bukit, di alur anak sungai yang jernih, seorang lelaki gempal berjalan sambil cekikikan. di pundaknya ada gembolan dan seruling.

“Orang-orang tolol!" lelaki yang tak lain Durah itu menggaruk kepala. "Mereka tolol semua karena lebih sibuk mengurus aku ketimbang warga yang kerap berjudi dan mabuk-mabukkan. Tak bolehkah orang menggembala kerbau seiap hari? Tak bolehkah orang meniup seruling setiap malam? sinting! mereka sinting! Hahaha.” Durah tergelak sampai punggungnya terlonjak-lonjak.

“Sekarang aku mau ke desa. Aku mau bertanya pada pemangku adat, sebetulnya apa salahku yang sebenarnya hingga rumah kakek dibakar dan aku tak boleh lagi tinggal di sana? Pemangku tolol! Bisanya cuma main judi dan mabuk,”
Durah terus berjalan bersama kerbaunya. Terdengar siulnya riang. Kontras dengan pagi ini yang hangat.

“Sebagai Durah, aku harus bisa meyakinkan orang-orang goblok itu bahwa aku tidak gila dan bukan pengacau!”

Dua jam berlalu, dari atas bukit Durah sudah bisa melihat desanya. Dia tersenyum. Dia yakin warga desa akan kaget melihat dirinya datang. Durah sama sekali tak tahu bahwa desanya saat ini kosong karena semua orang bergerak mencarinya.

“Kok sepi?” Durah celingak-celinguk. “Kemana orang-orang ini? Hoiii!”

Tak ada jawaban, hanya gema suara Durah yang terdengar. Durah mengira, warag desa takut terhadap dirinya dan sengaja menghindar. Sekali lagi Durah berteriak, memanggil-manggil nama-nama yang dikenalnya agar keluar rumah. lagi-lagi tak ada seorang pun yang menyahut.

"Anjing kurap! keluar kalian semua! Aku bukan orang gila! Kalianlah yang sakit jiwa! Keluar orang-orang sinting!”

Sama saja, hanya hening yang terdengar. Daun-daun kering jatuh tertiup angin. Gemerisik ranting terdengar begitu jelas, bersamaan kicau burung kepodang, dan teriakan ngik ngik monyet hutan. Durah mulai curiga. tanah lapang yang biasanya ramai, tak ada orang. Di berugak Agung juga sepi. Durah memutar badannya seperti gangsing dan tak ada sepotong tubuh manusia pun terlihat.

“Bangsat! Hanya karena aku setiap hari menggiring kerbau, mereka pindah semua! Seperti apa otak orang-orang itu?" Durah meradang. Dia berlari menuju rumah Mantiri teman kecilnya. Tanpa pikir panjang dia tendang pintunya. Brak! Kosong. Sarang laba-laba meliar di sudut-sudut ruang. Dahi Durah berkerut, lalu dia berlari ke rumah pemangku adat di sebrangnya.

“Pemangku! Pemangku!" Tak ada jawaban. Durah membuka pintu yang tak terkunci. Masuklah dia ke dalam. Tak ada seorang pun. Durah benar-benar tak habis pikir desanya bisa kosong seperti ini. Jangankan manusia, anjing yang biasanya berkeliaran seperti ayam pun tak ada.

Di ruang dapur, Durah mencari-cari sesuatu. Diambilnya sebatang korek dan dinyalakannya cepat-cepat. Dia cari ilalang dan digulung-gulungkannya agar mudah terbakar. Setelah itu, dia melempar ke atap rumah pemangku. Seketika rumah itu menyala.

Tak cukup sampai di sini, Durah pindah ke rumah di sebelahnya, melempar ilalang atau kayu yang sudah dibakarnya. Begitu seterusnya sampai setiap rumah di kampung itu habis dilalap jago merah. “Mampus kalian semua!” Durah bergumam duduk di atas kerbaunya. Senja memerah di langit. Perlahan Durah menjauh, pergi entah ke mana.

*Gatsu, oktober 2004

0 comments: