Sunday, April 04, 2004

lelaki dan hujan

LELAKI itu pulang ketika hujan baru saja datang. Hujan yang rinai, yang rintiknya berkejapan terkena lampu kendaraan dan merkuri. Tak jauh dari kedai penjual rokok ketengan, di sela orang-orang yang berjeringkat menghindari genangan, lelaki itu menghentikan langkah. Berteduh dia pada bentangan seng yang siang harinya menjadi atap tukang sol sepatu. Rumahnya sudah dekat, jaraknya sama dengan menghisap sebatang rokok putih. Bisa saja dia menerabas hujan. Tapi persimpangan ini seperti memanggil untuk sejenak berhenti.

Mendongkak seraya membetulkan topi, mata lelaki itu membentur layang-layang yang tersangkut di tiang listrik. Terbayanglah masa kecil, ketika dia berlarian membawa bilah bambu yang disambung rapia, beradu lari cepat agar layangan yang putus tak disambar teman. Di sudut jalan yang dindingnya rompal penuh coretan inilah, lelaki itu tumbuh. Orang-orang menjuluki kawasan ini Kampung Comberan, karena got di tepian meruapkan aroma yang menyakitkan hidung. Mungkin gara-gara limbah pabrik di hulu sungai. Ah, lelaki itu tak mau ambil pusing, justru sesungguhnya dia amat berterima kasih, sebab dari kampung ini dia merasa tak perlu mencari jawab kenapa hidup kerap penuh dengan kejutan-kejutan yang menyesakkan.

Lalu membayang wanita renta yang selalu menjadi temannya berbicang sepanjang hidup. Wanita yang pernah menyimpan dirinya di dalam rahim, yang kepergiannya membuat dirinya merasa amat sendirian. Cukup lama dia pulih, bangun dari rasa perih. Lima belas tahun sudah sang ibu tak menemaninya, sejak usianya baru saja menapak angka tigabelas. Lelaki itu melenguh. Kedua tangannya masuk ke saku jaket. Wajahnya dipalingkan agar tak melihat sudut jalan tempat dulu ibunya berjualan nasi uduk saban pagi. Ibuku yang baik, sedang apa kau di dalam tanah sana saat hujan begini?

"Payung, om!" Campring suara bocah gundul membuyarkan lamunan. Hujan menderas. Dari mulut-mulut gang, bocah-bocah ingusan muncul satu per satu, berkeliaran membawa payung besar.

"Payung, om!" Si bocah tak menyerah. Mata lelaki itu datar menatap, yang malah membuatnya seolah ditarik jauh, sewaktu dia merasakan menjadi pengojek payung, seperti bocah gundul yang kini menarik-narik bajunya agar mau menyewa payung.

---

Sudah pukul sepuluh malam. Hujan belum reda. Kamar yang sunyi, televisi dengan adegan pantat penyanyi dangdut yang disorong-sorongkan ke pemirsa, kipas angin yang malas berputar, lelaki itu rebah di ranjang. Dia menatap langit-langit dan kerinduan perlahan memeluk. Penat membuat dia tak lagi sanggup berpikir apa-apa. Tanpa sadar matanya terpejam. Dia tak berharap apa pun, tapi Tuhan memberinya mimpi berjumpa ibu dan dua adiknya yang tewas ditabrak kopaja. Dalam mimpi lelaki itu melihat mereka bersayap, memanggil-manggil dari kejauhan. Dia ingin sekali menghampiri, tapi tak sampai-sampai, sampai pada akhirnya dia terbangun karena dering pesan pendek telepon genggamnya menjerit.

Taruna 378. Korban anak usia 10 thn. TKP Jln Bambu, dekat persimpangan. Dino, Koran Pagi.

Pesan pendek itu dibacanya cepat. Sang kawan mengabarinya telah terjadi pembunuhan terhadap bocah berusia sepuluh tahun. Lokasinya tak jauh dengan tempat dia berdiri menunggu hujan reda. Siapa lagi yang kali ini mati? Kelelahan dan rasa malas yang menyergap mendadak hilang. Ini bukan bereta kecil-kecilan, sebab urusan nyawa bukan perkara sepele. Lelaki itu menyambar jaket di atas kursi, mengambil ransel berisi kamera, setelah sebelumnya mencuci muka sekadarnya.

Sesampainya di lokasi kejadian, lelaki itu melihat orang-orang sudah berekurumun. Ada juga Dino kawannya, serta beberapa kawan wartawan lain. Setelah dekat dan menyapa rekan, lelaki itu dingin menyaksikan sesosok mayat bocah tergeletak ditutupi lembaran koran. Lalu dia setengah berjongkok. Dibukanya lembaran yang menutupi wajah korban. Betapa tercekatnya dia, meski sebagai wartawan kriminal, berkali-kali sudah dia melihat korban pemubunuhan. Seketika ingatannya menelusuri dua jam sebelum kejadian, saat dirinya ditawari seorang bocah gundul agar mau menyewa payung. Seketika ingatannya melayang, saat mendengarkan bocah ini bercerita tentang adiknya yang ingin sekali memiliki boneka barbie. Kenapa harus dia yang menjadi korban? Kenapa mesti bocah yang ingin membelikan ibunya ayam kentaki ini yang harus mati mengenaskan? Orang sinting mana yang tega menghabisinya? Lelaki itu menjauh diri dari kerumunan, membatu dekat tempat sampah, menatap kosong ke arah jalan dan mobil polisi yang baru datang.

0 comments: