Thursday, April 29, 2004

jarum jam di ujung jalan

wanita tua itu tak henti-hentinya berbicara. tak sedikit pula tersirat kelelahan di wajahnya. padahal sudah lima jam lebih dia melakukan itu. dari satu dua, lama-kelamaan orang yang memperhatikan semakin banyak. semua melihat dengan tatapan takjub, seolah enggan mengedipkan kelopak mata. begitu larut mereka mendengarkan tiap kata yang keluar dari mulut wanita itu. tentu saja reaksi kerumunan di depannya membuat dia kian bergairah. intonasi suaranya melantang. keras terbawa angin menyusuri lorong-lorong jalan, singgah di pintu-pintu rumah, masuk lewat jendela atau lubang angin. orang-orang yang tengah bersantai di kamar tidur, yang baru saja selesai makan, yang baru saja terlelap, bergerak perlahan. mereka keluar rumah dan berduyun-duyun menuju tugu di pusat kota, tempat wanita tua itu berdiri dengan gagahnya.

lima tahun sebelumnya, wanita tua ini amat dibenci. setiap dia lewat, orang-orang selalu menutup hidung, menahan aroma busuk yang meruap dari tubuhnya. tak pernah jelas alasan orang-orang begitu anti terhadap wanita itu. sampai-sampai ada yang pernah mencoba membakarnya agar tak perlu lagi dia hidup. upaya itu gagal karena dianggap tak beradab. maka jalan keluar adalah pengucilan. dan dipasunglah wanita itu di dalam kerangkeng yang terbuat dari bambu kuning. dengan kaki terikat, wanita itu tiap malam merintih, menangis, dan menjerit. tak ada yang peduli, sebab warga setempat menganggap itulah hukuman untuk penghianat yang telah mencoreng nama baik kampung. wanita ini dianggap telah berkhianat karena telah mencederai hati penduduk kota dengan bercerita pada dunia bahwa kota ini penuh dengan orang-orang yang berhati busuk. kurang ajar betul, begitu dulu orang-orang berpikir.

awal-awal wanita tua itu dipasung, tak seorang warga pun yang bisa tidur nyenyak. bukan apa-apa. jeritan wanita itu, juga tangisan dan ocehannya yang dianggap tak keruan, benar-benar membuat rasa kantuk hilang. jelas ini amat menyusahkan. dari hari ke hari, sikap ganjil wanita itu di dalam kerangkeng tak pernah jelas. sampai pada suatu ketika, warga tak lagi mendengar sedikit pun wanita itu berceloteh. semula warga mengira wanita itu mati kelaparan atau sakit diserang nyamuk-nyamuk hutan yang ganas. akan tetapi, bukan itu yang terjadi. wanita itu tetap tenang dengan kaki yang masih terkunci lingkaran besi. duduk berselonjor dengan kedua tangan yang tak pernah pindah dari paha.

rasah heran yang muncul memancing rasa penasaran warga. satu per satu orang berkumpul, memperbincangkan wanita aneh itu di kedai-kedai makanan, atau di sudut-sudut jalan kala meronda. kesunyian yang datang karena lenyapnya suara brisik wanita tua itu memaksa warga untuk bertanya. pak lebai yang diutus warga pun mendekat ke kerangkeng.

"He, Wanita Sinting! Kenapa mulutmu tidak lagi bersuara? Kamu sudah bisu?" Pak Lebai bertanya di kelilingi warga yang ingin tahu. Akan tetapi wanita itu bergeming. Sorot matanya tak menunjukkan dia ingin menjawab pertanyaan tersebut. Dia hanya menunduk. Orang-orang yang berkerumun hanya bisa melihat rambut wanita itu yang tergerai tak beraturan menutupi bagian wajah.

"He, Sinting! Kamu dengar kata-kataku tidak?" Pak Lebai gusar.

Wanita itu tetap bergeming. Dia bukan tak mendengar. Meski matanya terpejam, dia amat tahu ada kerumunan orang banyak mengelilinginya. Meski pula telinganya kotor tanah, sangat jelas pula dia menyimak pertanyaan Pak Lebai. Tak ada pentingnya menjawab rasa heran warga yang telah membuat pergelangan kakinya mengecil. Tak ada urusan pula menjawab rasa penasaran orang-orang kenapa dirinya tak lagi menjerit atau berteriak-teriak. Bagi wanita tua ini, bersikap diam adalah jangan terbaik.

Setiap hari, orang-orang terus bertanya. Tak lagi Pak Lebai yang kelelahan karena sudah berhari-hari mencoba mengorek keterangan si wanita itu.