Sunday, February 08, 2004

lelaki itu selalu menyapa pagi

lelaki itu melipat sprei kumal yang menjadi alas tidurnya semalam. bibirnya menjepit sebatang rokok sisa yang juga bekas semalam ia hisap. asap menyapu wajahnya yang dingin. itu terlihat jelas karena cahaya matahari pagi masuk lewat celah-celah jendela. sudah saatnya sprei ini dibuang, lelaki itu bergumam, sudah hampir tiga bulan alas kasur tipisnya tak ganti. "kamar sialan!" lelaki itu melempar keras sprei ke sudut ruangan yang besarnya tak lebih luas dari kamar mandi hotel.

tak ada yang menyenangkan di ruangan ini, selain kesunyian panjang yang membungkus. tak ada juga yang lebih menyenangkan selain tibanya pagi dihiasi aroma tanah basah yang meruap. lelaki itu duduk di atas dipan penuh bangsat, yang tiap malam selalu menyeruput darahnya. dia masih merokok, meski bara mendekati pangkal batang keretek. diambilnya garpu di atas meja reot kecil. lalu dia menorehkan garis di tembok. tiga bulan lewat sehari sudah dia meringkuk tanpa alasan yang tak pernah dia mengerti. yang dia tahu, malam itu ketika anak istri lelap di sampingnya, empat pria bertopeng membawanya pergi. sampai sekarang telinganya masih sulit menghilangkan jerit dan tangis Kedasih dan Adinda, istri dan anaknya tercinta, yang memohon-mohon agar dirinya tak diculik.

diculik? baginya itu memang sebuah penculikan. sebab polisi negeri ini tak akan sedemikian seenaknya. tapi siapa yang percaya pada etika penangkangkapan di zaman gendeng begini? lelaki itu lelah menerka-nerka. dia tak peduli lagi pengalaman pahit yang menimpanya sebuah penangkapan atau penculikan. saat ini dia hanya ingin bertemu istri dan anaknya, yang hingga kini tak ia ketahui lagi kabarnya.

0 comments: