Thursday, September 11, 2003

Wartawan Kok Dikenai Hukuman Pidana*

TENTUNYA ada yang segera bertanya, memangnya wartawan tidak boleh dihukum? Tentu saja boleh. Kalau seorang wartawan melakukan tindakan kriminal, tentunya ia pantas dikenai hukuman pidana. Wartawan bukanlah orang yang kebal hukum, tidak bisa tersentuh hukum.

Hanya saja kita menilai berlebihan kalau sampai wartawan dikenai hukuman pidana karena melaksanakan tugas jurnalistiknya. Nyaris tidak ada negara di dunia yang menerapkan sanksi pidana kepada seorang wartawan ketika ia sedang menjalankan profesinya.

Bahwa wartawan bisa membuat kekeliruan ketika menjalankan tugas jurnalistik, itu bisa saja terjadi, bahkan sering terjadi. Sebab, wartawan bukanlah superman ataupun malaikat. Wartawan adalah manusia biasa yang setiap kali bisa berbuat kesalahan.

Kesalahan yang dilakukan seorang wartawan bisa saja sangat fatal dan merugikan nama baik seseorang. Namun, hukuman terhadap kesalahan itu bukanlah memasukkannya ke dalam bui. Jika kesalahan itu melanggar etika profesi dan tidak bisa dimaafkan, kalau perlu wartawan yang bersangkutan dipecat dari profesinya.

DENGAN ilustrasi seperti itulah kita menerima dengan penuh keprihatinan hukuman yang dijatuhkan kepada mantan Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka, Karim Paputungan. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Karim hari Selasa (9/9) dijatuhi hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan karena dianggap bersalah memuat karikatur Ketua DPR Akbar Tandjung bertelanjang dada pada terbitan tanggal 8 Januari 2003.

Karim bukanlah orang pertama yang menerima hukuman pidana seperti itu. Sebelumnya, nasib yang sama dialami Pemimpin Redaksi Matra Nano Riantiarno. Tokoh teater Indonesia itu dijatuhi hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan karena dianggap bersalah menyebarluaskan gambar yang menyinggung kesusilaan pada sampul majalah Matra.

Beberapa wartawan lain kini sedang menghadapi ancaman hukuman dalam kasus lainnya. Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Supratman sedang diadili di PN Jakarta Selatan karena dinilai menyerang kehormatan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sementara itu, Pemimpin Redaksi dan wartawan Tempo Bambang Harymurti, Ahmad Taufik, dan Iskandar Ali diadili di PN Jakarta Pusat karena dinilai menyebarkan berita bohong yang bisa menyebabkan keonaran dan melakukan penghinaan serta pencemaran nama baik seseorang.

KALAU kalangan wartawan berteriak keras terhadap putusan hakim dan ancaman hukum yang harus dihadapi, jangan diartikan wartawan mau menang sendiri dan tidak mau dipersalahkan. Wartawan harus sportif dan mengakui kesalahan apabila ada kesalahan yang ia lakukan.

Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia di antaranya ditetapkan bahwa wartawan harus segera memperbaiki kesalahan yang ia perbuat. Perbaikan itu bisa dilakukan dengan cara memberi hak jawab, melakukan koreksi, atau bahkan mencabut berita yang dianggap keliru.

Pekerjaan wartawan di mana pun bukanlah pekerjaan biasa. Selain dituntut memiliki keterampilan dan pengetahuan, sebagai sebuah profesi, pekerjaan wartawan itu dibatasi oleh kode etik yang bersifat mengikat.

Kode etik wartawan itu mengikat ke luar dan juga ke dalam. Keluar berkaitan dengan institusi tempat bekerja, organisasi tempat ia bergabung, dan juga masyarakat pembaca yang setiap hari menilai karya sang wartawan. Ke dalam berkaitan dengan kebanggaan dirinya, kehormatan dirinya sebagai insan yang wajib memberikan informasi yang benar, akurat, dan dapat dipercaya.

PENGALAMAN selama ini menunjukkan bahwa menjadi wartawan itu tidak bisa sekali jadi. Dibutuhkan sebuah proses yang panjang di mana pendidikan, pemberian keterampilan, dan pendampingan merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk melahirkan wartawan andal.

Oleh karena itulah tidak semua orang yang bergabung dengan institusi pers segera disebut wartawan. Setidaknya, dalam lima tahun pertama, mereka disebut sebagai cub reporters, wartawan anak macan.

Dengan berjalannya waktu dan semakin adanya pematangan serta penguasaan emosi, barulah ia kemudian bisa disebut sebagai wartawan. Wartawan yang baik harus bisa menangkap persoalan yang menjadi pembicaraan masyarakat untuk ditempatkan dalam frame dan dalam konteks agar kemudian masyarakat bisa mengerti duduk perkara dari sebuah persoalan.

Berita yang dibaca oleh pembaca setiap hari bukanlah sekadar kumpulan dari peristiwa-peristiwa. Tetapi, peristiwa yang mempunyai makna sehingga setiap orang yang membacanya bukan hanya semakin kaya pengetahuannya, tetapi sekaligus tercerdaskan dan tercerahkan.

DI samping terus mengingatkan berbagai kalangan bahwa penjatuhan hukuman pidana kepada wartawan akan mencederai pembangunan demokrasi, tentunya ada baiknya nasib buruk yang harus dialami mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka dijadikan kesempatan oleh kalangan pers untuk berefleksi diri.

Dalam perkembangannya, pers Indonesia tidak bisa lagi berprinsip publish and be damned, publikasi saja selanjutnya masa bodoh. Sebab tidak semua peristiwa itu adalah berita. Bahkan, sekarang ini pers tidak cukup lagi menjalankan prinsip cover both sides, meliput dua pihak, tetapi cover all sides, meliput semua pihak.

Jurnalisme verifikasi merupakan tuntutan tugas bagi wartawan di mana pun berada. Wartawan sejauh mungkin harus bisa mendapatkan kebenaran dari sebuah fakta. Meski segera ditambahkan, kebenaran dalam jurnalisme tidak harus merupakan kebenaran materiil, tetapi cukup kebenaran formal.

SEMUA pihak rasanya perlu belajar lagi mengenai prinsip dan pilar demokrasi. Kita pun ingin mengingatkan lagi ucapan Thomas Jefferson bahwa apabila ia harus memilih antara pemerintahan tanpa pers dan pers tanpa pemerintah, ia tanpa ragu akan memilih yang kedua.

*Kompas 110903

0 comments: