Sunday, September 28, 2003

Andai "Rakyat Merdeka" Terbit di Dili atau Manila

*Atmakusumah

SEANDAINYA harian Rakyat Merdeka diterbitkan di Dili, ibu kota Timor Lorosae, atau di Manila, ibu kota Filipina, agaknya gugatan seorang ketua parlemen atas foto karikatural yang dimuatnya sebagai sindiran atau parodi tidak menjadi perkara pidana, tetapi perdata. Kalaupun dituntut berdasarkan hukum pidana, agaknya harian itu hanya akan dikenai denda (jika tidak dibebaskan), bukan hukuman badan. Bahkan, amat mungkin pemuatan karikatur itu sama sekali tidak akan menjadi kasus hukum yang harus diperkarakan di pengadilan seperti dialami Rakyat Merdeka di Jakarta.

Tetapi, di Jakarta, mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Mereka, Karim Paputungan, dijatuhi hukuman penjara lima bulan dalam masa percobaan sepuluh bulan karena dinyatakan melanggar Pasal 310, Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ini gara-gara surat kabarnya memuat foto parodi yang dianggap "menyerang kehormatan atau nama baik" Akbar Tandjung, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan Ketua Umum Partai Golkar. Vonis itu dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 9 September lalu, untuk pemuatan foto kolase edisi 8 Januari 2002.

Timor Lorosae atau Timor Leste hingga kini menggunakan peraturan perundang-undangan Indonesia (bila masih berlaku di wilayah itu sampai 25 Oktober 1999), termasuk KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda sejak seabad silam. Tetapi, ada Perintah Eksekutif No 2000/2 tentang Pencabutan Status Pidana Tindak Pencemaran Nama Baik (Executive Order on the Decriminalization of Defamation). Perintah itu dikeluarkan 7 September 2000 oleh pemimpin Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timor Timur (UNTAET), Sergio Vieira de Mello, tokoh PBB yang tewas karena serangan bom bunuh diri di Baghdad 19 Agustus lalu.

Perintah Eksekutif UNTAET itu menyatakan, "Sejak dikeluarkannya perintah ini, perbuatan yang didefinisikan dalam Bab XVI (Penghinaan) KUHP Indonesia, yang terdiri atas Pasal 310 sampai 321, bersifat bukan-tindak-pidana di Timor Timur. Dalam keadaan apa pun pasal-pasal itu tidak dapat digunakan Jaksa Penuntut Umum sebagai landasan bagi tuntutan pidana. Orang yang merasa nama baiknya dicemarkan hanya dapat mengajukan gugatan perdata dan hanya sejauh tuntutan ganti rugi atau perbaikan-perbaikan lain yang kelak ditentukan dalam Peraturan UNTAET." (Pasal 310 KUHP digunakan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menjatuhkan putusan pidana penjara terhadap mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka).

Presiden Timor Lorosae, Kay Rala Xanana Gusmao, bahkan menegaskan, "Bila kita masih menggunakan KUHP Indonesia, kita harus sama sekali menyingkirkan sifat, substansi yang mencerminkan rezim represif. Tetapi jika pengadilan kita masih terus menggunakan undang-undang dengan cara seperti yang dulu dilakukan Indonesia (di Timor Timur), Konstitusi kita tidak lagi akan menjadi pelindung bagi kebebasan-kebebasan dan hak-hak kita."

Ia juga mengatakan, "Kita semua berharap, Pasal 134 (penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden) dan Pasal 154 (menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di muka umum terhadap Pemerintah Indonesia), dalam KUHP Indonesia, hendaknya tidak digunakan di Timor Leste." Pendirian yang maju dan berani itu disampaikan dalam Konferensi Hukum Media yang dihadiri peserta dan pembicara dari beberapa negara, termasuk Indonesia, dan diadakan di Dili, 26 Agustus lalu.

Adapun Konstitusi Republik Demokrasi Timor Timur menyatakan pada Pasal 41 tentang Kebebasan Pers dan Media Massa bahwa "Kebebasan pers dan media massa yang lain dijamin" dan "Negara akan menjamin kebebasan serta independensi media massa publik dari kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi."

DI berbagai negara demokrasi tidak ada sanksi pidana penjara atau hukuman badan bagi pembuat karya jurnalistik dan pekerjaan wartawan. Perlakuan yang sama juga diberikan kepada warga yang menggunakan haknya untuk berekspresi dan menyatakan pendapat secara damai atau tanpa menggunakan kekerasan.

Bila terjadi pelanggaran hukum, sanksi lazimnya ialah membayar denda. Filosofi di balik tradisi ini ialah orang tidak mudah takut untuk berekspresi atau mengemukakan pendiriannya karena ekspresi dan pendapat sering bermanfaat bagi kemajuan manusia.

Ketua Mahkamah Agung Filipina, Hilario G Davide Jr, sepakat dengan pendapat, karya jurnalistik atau pekerjaan kewartawanan hendaknya tidak mengakibatkan sanksi pidana penjara. Kecuali, katanya, dalam kasus seorang wartawan menerima suap saat menjalankan pekerjaan kewartawanannya. Hanya dalam kasus seperti itu ia masih menyetujui hukuman badan bagi wartawan karena sogok-menyogok adalah kriminalitas atau kejahatan. Kami berbicara tentang hal ini saat makan malam di Siem Reap, Kamboja, di sela-sela suatu konferensi yang kami hadiri pada Oktober 2002.

Perkembangan lebih maju daripada di Indonesia dalam perlakuan hukum dan penegak hukum terhadap pers dan pekerjaan kewartawanan telah dicapai di sedikitnya dua negara Amerika Latin, yaitu di Kosta Rika dan El Salvador. Dalam serangkaian pertemuan di kedua negeri itu, para hakim dan wartawan sepakat mendekriminalisasi kasus pencemaran nama baik (libel offenses) yang dilakukan pers. Dengan demikian, kasus pencemaran nama baik oleh pers di Kosta Rika dan El Salvador tidak lagi diperlakukan sebagai perkara pidana, tetapi sebagai perkara perdata.

Pertemuan itu diadakan pada 11-12 November 2002 atas prakarsa The Inter-American Press Association (IAPA). Pertemuan seperti ini, dengan harapan dapat menghasilkan kesepakatan yang sama, selanjutnya juga diselenggarakan oleh IAPA di Cile dan Brasil tahun ini.

LALU, apa yang kira-kira terjadi di negara-negara yang sepenuhnya mendukung dan menjamin kebebasan berekspresi, kebebasan menyatakan pendapat, dan kebebasan pers-atau yang sudah lama memiliki tradisi kebebasan demikian-saat timbul konflik seperti antara Akbar Tandjung dan Rakyat Merdeka?

Yang lebih lazim terjadi dalam konflik seperti ini-antara narasumber atau subyek berita dan media pers-ialah bahwa ketua parlemen itu atau para pendukungnya, mengirim surat kepada redaksi atau melontarkan komentar lisan yang mengkritik karikatur itu. Kemudian media pers yang bersangkutan dengan senang hati memublikasikan surat atau komentar lisan itu secara mencolok. Ekspresi kritis ini mungkin perlu dilontarkan karena setiap redaksi media pers tidak pernah mengharapkan pendapatnya dapat selalu diterima semua pihak, termasuk narasumber dan subyek berita.

Boleh jadi, sang ketua parlemen membiarkan pemuatan karikatur itu bagaikan angin lalu yang tidak perlu dirisaukan. Malahan, mungkin ia bergurau kepada sekretarisnya agar membingkai karikatur itu dan memasangnya bersama sederetan karikatur yang lain sebagai hiasan dinding di ruangan kantornya di gedung parlemen. Itulah, umpamanya, yang biasa dilakukan para pemimpin pemerintahan di Amerika Serikat-termasuk para gubernur di negara-negara bagian. Seperti foto-foto, karikatur juga merupakan cermin yang menarik-dan boleh jadi lebih jujur-dalam perjalanan bersejarah dari kehidupan sang pemimpin.

Adapun yang dilakukan ketua parlemen itu-mengecam karikatur itu atau sekadar tersenyum dan meliriknya bagaikan angin lalu atau membingkai dan memakunya sebagai hiasan dinding-ia merasa bahwa itulah konsekuensi "getir" sebagai seorang pemimpin. Lebih-lebih sebagai pemimpin pemerintahan yang mendapat gaji dari pajak rakyat, yang sejak awal karier politiknya sudah harus siap untuk menghadapi kritik pedas atau olok-olok sekalipun dalam media pers atau dari para demonstran.

Ini adalah bagian dari dinamika kontrol masyarakat terhadap para pemimpin dan pejabat negara, dan terhadap tokoh-tokoh penting lainnya termasuk dari kalangan swasta, yang tindakan-tindakannya sedikit banyak mempengaruhi kehidupan rakyat.

Namun, mengapa kritik pedas atau sindiran di Indonesia masih menyebabkan banyak pemimpin kita mudah tersinggung?

Mochtar Lubis-wartawan, budayawan, dan Pemimpin Redaksi Harian Indonesia Raya yang dibredel Orde Lama tahun 1958 dan Orde Baru tahun 1974-mengatakan dalam sebuah tulisannya, "Banyak orang Indonesia kurang berkembang rasa humornya. Terlalu banyak di antara kita terlalu panjang jari-jari kakinya. Mudah sekali merasa tersinggung dan terhina. Lalu marah meluap-luap. Tak tahan kritik, apalagi bila sudah jadi pembesar yang berkuasa. Bangsa yang tak punya humor, yang tak pandai menertawakan diri sendiri, sukar dapat maju, karena dia merasa dirinya saja yang paling benar dan paling jago."

Di tengah kepungan kemajuan jaminan perlindungan hukum bagi kebebasan berekspresi, kebebasan menyatakan pendapat, dan kebebasan pers, yang bahkan kian menjalar di negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin, Indonesia masih kelihatan ketinggalan zaman dalam penghargaannya terhadap kebebasan manusia.

*AtMakusumah Pengajar Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS); Mantan Ketua Dewan Pers (2000-2003)

Saturday, September 13, 2003

Istilah Fotografi

DECISIVE MOMENT:
Puncak kejadian. Yaitu saat-saat yang menentukan keberhasilan sebuah foto, di mana terjadi puncak gerakan atau aksi dari subjek pemotretan. Bila pemotret mampu memanfaatkan saat seperti ini pada setiap peristiwa, maka boleh jadi akan menghasilkan foto yang baik.


DENSITOMETER:
Alat untuk mengukur density yang sangat penting keberadaannya saat mencetak foto berwarna.


DENSITY:
Densiti. Kepekatan dalam fotografi. Istilah ini untuk menyatakan tebal tipisnya lapisan perak yang melekat pada film. Semakin pekat suatu warna, berarti semakin gelap, semakin berat warnanya.


DEPTH:
Kedalaman. Adalah efek dimensional yang timbul karena adanya perbedaan ketajaman.


DEPTH OF FIELD PREVIEW LEVER:
Tuas pengontrol ruang tajam, untuk mengetahui ruang tajam yang direkam oleh kamera.


DEPTH OF FIELD:
Adalah bagian yang tampak tajam (tidak buram) dan jelas, yang berada dalam jangkauan tertentu, biasa juga disebut sebagai ruang tajam. Sebuah ruang di depan kamera di mana jarak yang terdekat tertentu dengan yang terjauh yang tampak tajam atau fokus dalam gambar. Sangat bergantung pada pemakaian diafragma, panjang lensa dan jarak objek.


DEVELOPING DRUM:
Tabung pengembang (cuci) film. Adalah suatu tabung yang kedap cahaya, yang digunakan untuk mengembangkan (mencuci) film.


DEVELOPING TANK:
Tangki atau tabung yang digunakan untuk memeroses film negatif. Film yang berada di dalamnya tidak akan terkena sinar meski lubang di atas tabung seperti tidak tertutup, karena sistem kedap cahaya yang diciptakan.


DEVELOPING TRAY:
Baki pengembang. Adalah tempat yang digunakan untuk proses pengembangan foto. Dalam proses cuci-cetak hitam-putih manual, yang menggunakan enlarjer (pembesar), biasanya dibutuhkan empat buah baki seperti ini. Terdapat berbagai ukuran baki, sesuai besarnya kertas cetak foto.


DIAPHRAGM:
Diafragma. Adalah lubang di dalam lensa kamera tempat masuknya cahaya saat melakukan pemotretan. Pada lensa, lubang ini dibentuk oleh kepingan-kepingan logam tipis yang berada di dalam atau di belakang lensa yang membentuk lubang yang dapat diciutkan atau dilebarkan.

Thursday, September 11, 2003

Wartawan Kok Dikenai Hukuman Pidana*

TENTUNYA ada yang segera bertanya, memangnya wartawan tidak boleh dihukum? Tentu saja boleh. Kalau seorang wartawan melakukan tindakan kriminal, tentunya ia pantas dikenai hukuman pidana. Wartawan bukanlah orang yang kebal hukum, tidak bisa tersentuh hukum.

Hanya saja kita menilai berlebihan kalau sampai wartawan dikenai hukuman pidana karena melaksanakan tugas jurnalistiknya. Nyaris tidak ada negara di dunia yang menerapkan sanksi pidana kepada seorang wartawan ketika ia sedang menjalankan profesinya.

Bahwa wartawan bisa membuat kekeliruan ketika menjalankan tugas jurnalistik, itu bisa saja terjadi, bahkan sering terjadi. Sebab, wartawan bukanlah superman ataupun malaikat. Wartawan adalah manusia biasa yang setiap kali bisa berbuat kesalahan.

Kesalahan yang dilakukan seorang wartawan bisa saja sangat fatal dan merugikan nama baik seseorang. Namun, hukuman terhadap kesalahan itu bukanlah memasukkannya ke dalam bui. Jika kesalahan itu melanggar etika profesi dan tidak bisa dimaafkan, kalau perlu wartawan yang bersangkutan dipecat dari profesinya.

DENGAN ilustrasi seperti itulah kita menerima dengan penuh keprihatinan hukuman yang dijatuhkan kepada mantan Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka, Karim Paputungan. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Karim hari Selasa (9/9) dijatuhi hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan karena dianggap bersalah memuat karikatur Ketua DPR Akbar Tandjung bertelanjang dada pada terbitan tanggal 8 Januari 2003.

Karim bukanlah orang pertama yang menerima hukuman pidana seperti itu. Sebelumnya, nasib yang sama dialami Pemimpin Redaksi Matra Nano Riantiarno. Tokoh teater Indonesia itu dijatuhi hukuman lima bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan karena dianggap bersalah menyebarluaskan gambar yang menyinggung kesusilaan pada sampul majalah Matra.

Beberapa wartawan lain kini sedang menghadapi ancaman hukuman dalam kasus lainnya. Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Supratman sedang diadili di PN Jakarta Selatan karena dinilai menyerang kehormatan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sementara itu, Pemimpin Redaksi dan wartawan Tempo Bambang Harymurti, Ahmad Taufik, dan Iskandar Ali diadili di PN Jakarta Pusat karena dinilai menyebarkan berita bohong yang bisa menyebabkan keonaran dan melakukan penghinaan serta pencemaran nama baik seseorang.

KALAU kalangan wartawan berteriak keras terhadap putusan hakim dan ancaman hukum yang harus dihadapi, jangan diartikan wartawan mau menang sendiri dan tidak mau dipersalahkan. Wartawan harus sportif dan mengakui kesalahan apabila ada kesalahan yang ia lakukan.

Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia di antaranya ditetapkan bahwa wartawan harus segera memperbaiki kesalahan yang ia perbuat. Perbaikan itu bisa dilakukan dengan cara memberi hak jawab, melakukan koreksi, atau bahkan mencabut berita yang dianggap keliru.

Pekerjaan wartawan di mana pun bukanlah pekerjaan biasa. Selain dituntut memiliki keterampilan dan pengetahuan, sebagai sebuah profesi, pekerjaan wartawan itu dibatasi oleh kode etik yang bersifat mengikat.

Kode etik wartawan itu mengikat ke luar dan juga ke dalam. Keluar berkaitan dengan institusi tempat bekerja, organisasi tempat ia bergabung, dan juga masyarakat pembaca yang setiap hari menilai karya sang wartawan. Ke dalam berkaitan dengan kebanggaan dirinya, kehormatan dirinya sebagai insan yang wajib memberikan informasi yang benar, akurat, dan dapat dipercaya.

PENGALAMAN selama ini menunjukkan bahwa menjadi wartawan itu tidak bisa sekali jadi. Dibutuhkan sebuah proses yang panjang di mana pendidikan, pemberian keterampilan, dan pendampingan merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk melahirkan wartawan andal.

Oleh karena itulah tidak semua orang yang bergabung dengan institusi pers segera disebut wartawan. Setidaknya, dalam lima tahun pertama, mereka disebut sebagai cub reporters, wartawan anak macan.

Dengan berjalannya waktu dan semakin adanya pematangan serta penguasaan emosi, barulah ia kemudian bisa disebut sebagai wartawan. Wartawan yang baik harus bisa menangkap persoalan yang menjadi pembicaraan masyarakat untuk ditempatkan dalam frame dan dalam konteks agar kemudian masyarakat bisa mengerti duduk perkara dari sebuah persoalan.

Berita yang dibaca oleh pembaca setiap hari bukanlah sekadar kumpulan dari peristiwa-peristiwa. Tetapi, peristiwa yang mempunyai makna sehingga setiap orang yang membacanya bukan hanya semakin kaya pengetahuannya, tetapi sekaligus tercerdaskan dan tercerahkan.

DI samping terus mengingatkan berbagai kalangan bahwa penjatuhan hukuman pidana kepada wartawan akan mencederai pembangunan demokrasi, tentunya ada baiknya nasib buruk yang harus dialami mantan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka dijadikan kesempatan oleh kalangan pers untuk berefleksi diri.

Dalam perkembangannya, pers Indonesia tidak bisa lagi berprinsip publish and be damned, publikasi saja selanjutnya masa bodoh. Sebab tidak semua peristiwa itu adalah berita. Bahkan, sekarang ini pers tidak cukup lagi menjalankan prinsip cover both sides, meliput dua pihak, tetapi cover all sides, meliput semua pihak.

Jurnalisme verifikasi merupakan tuntutan tugas bagi wartawan di mana pun berada. Wartawan sejauh mungkin harus bisa mendapatkan kebenaran dari sebuah fakta. Meski segera ditambahkan, kebenaran dalam jurnalisme tidak harus merupakan kebenaran materiil, tetapi cukup kebenaran formal.

SEMUA pihak rasanya perlu belajar lagi mengenai prinsip dan pilar demokrasi. Kita pun ingin mengingatkan lagi ucapan Thomas Jefferson bahwa apabila ia harus memilih antara pemerintahan tanpa pers dan pers tanpa pemerintah, ia tanpa ragu akan memilih yang kedua.

*Kompas 110903

Sunday, September 07, 2003

Istilah Fotografi

CORRECT EXPOSURE:
Pencahayaan normal atau tepat. Suatu istilah yang sering digunakan saat melihat suatu film atau cetakan foto yang tidak kekurangan atau kelebihan pencahayaan.

CROMOFILTER:
Penyaring (filter) sinar yang hanya mengandung warna separuh dari lingkarannya. Digunakan untuk mengoreksi warna dalam suatu pemotretan yang bidang bawah dan bidang atasnya sangat atau kurang kontras. Terdapat banyak pilihan penyaring sejenis ini yang dapat digunakan.

CROPPING:
Adalah pemadatan/pemotongan gambar dengan membuang bagian-bagian tertentu yang kurang dikehendaki berada dalam foto atau sesuatu yang tercetak. Biasanya bertujuan untuk memperbaiki komposisi atau tujuan-tujuan lain untuk menyederhanakan subjek.

CROSS SCREEN FILTER:
Penyaring (filter) yang mengandung goresan-goresan bersilangan, sehingga bila diarahkan pada lampu-lampu, setiap persilangan akan membentuk bintang berekor dari setiap lampu.

CS:
Singkatan dari continuous soft. Yaitu pergerakan motor kamera dengan suara lembut. Pilihan mode ini sering digunakan untuk memotret dalam situasi di mana bunyi-bunyian atau sesuatu yang berbunyi dilarang, seperti dalam pertunjukan panggung atau memotret binatang yang telinganya peka.

D.19:
Adalah jenis larutan pengembang film yang kontrasnya tinggi, yang biasa digunakan untuk mengembangkan film x-ray dan film aerial.

DAILY LIFE - D/DLS:
Adalah salah satu kategori yang dilombakan dalam World Press Photo. Foto-foto (DL) atau sekumpulan foto yang bercerita/portfolio (DLS) menggambarkan kekayaan atau keragaman hidup sehari-hari.

DATA BACK:
Yaitu perekam tanggal atau data lainnya pada kamera modern yang terletak pada punggung kamera.

DATA IMPRINT:
Fasilitas pencetakan data pada film.

DAYLIGHT FILM:
Film untuk digunakan pada cahaya hari (cerah). Film seperti ini khusus diperuntukkan bagi pemotretan di alam terbuka, di bawah cahaya matahari (cahaya alami), tetapi juga dapat dipakai di bawah cahaya buatan yang berwarna putih.

Friday, September 05, 2003

Kembar Program Berita Televisi

BERSAHABAT di lapangan, bersaing dalam menyiarkan berita. Hal seperti ini sudah menjadi kelaziman kerja wartawan. Baik jurnalis media cetak maupun elektronik, kearkaban saaat meliput adalah hal yang tak terhindarkan. Tak jarang, kedekatan itu membuat para wartawan seakan lupa bahwa sebetulnya, mereka berada pada payung berbeda. Saling memberi atau berbagi informasi adalah wujud lain lengketnya hubungan para reporter di lapangan.

Para wartawan yang sehari-hari meliput berita-berita politik, ekonomi, hukum, atau hiburan, umumnya memang kerap bergerombol. Berduyun-duyun ke suatu tempat, lalu pindah lagi ke tempat lain. Begitu melihat sumber berita yang dicari, bersama-sama pula mereka menyorongkan tape recorder atau mike dan handphone. Bergiliran melontarkan pertanyaan, meski banyak pula yang cuma merekam sumber berita berbicara.

Paling banter, satu dua wartawan saja yang bergerak sendiri mencari sumber berita. Biasanya, untuk yang terakhir ini, si wartawan bekerja untuk media berkala mingguan. Bisa majalah, tabloid, atau untuk sebuah program khusus televisi. Ini pun belum tentu kasus yang diliputnya menarik dan cukup ekslusif. Sebab, kerja pers yang memproduksi berita dengan periodesasi terbit mingguan atau bulanan, cenderung sekadar mengkonfirmasi ulang kasus-kasus yang sebelumnya dilansir media harian. Ini membuktikan bahwa investigasi reporting untuk sebagian besar wartawan di Indonesia belumlah membudaya. Satu hal yang amat disayangkan, mengingat betapa banyak--sekadar contoh--kebobrokan di lingkaran birokrasi pemerintahan atau dunia bisnis.

Untuk dunia televisi, boleh jadi, cermin dari senangnya wartawan bergerombol dari suatu tempat ke tempat lain itu adalah lahirnya program-program kembar. Ambil contoh, misalnya, Indosiar dengan Patroli, yang kemudian diekori Buser di SCTV, Sergap di RCTI, TKP di TV7. Ada kesan latah tampaknya yang melatarbelakangi program jenis ini. Memang, mengekor sesuatu yang menarik tak ada salahnya. Sebab, barangkali, bukanlah urusan stasiun televisi untuk memenuhi hak masyarakat menerima informasi yang tak sejenis. Stasiun televisi tahunya, sebuah program yang menarik dan banyak penonton akan laris iklan. Dan iklan adalah nyawa sebuah stasiun partikelir.


***

Wartawan bekerja untuk media harian, besar kemungkinan, dia memiliki kasus menarik yang cukup ekslusif. Wartawan yang terlihat berjarak atau cenderung menyendiri, besar kemungkinan, akan melahirkan ganjelan antara si wartawan tersebut dengan wartawan lainnya. Tentu tak setiap kasus begitu. Namun, seringnya, ya, begitu itu.

Thursday, September 04, 2003

Bola Matahari

kulubangi bola matahari dengan mata terpejam
sesekali kulemparkan bintang agar bulan tak lagi suram
air yang menetes dari dedaunan
jatuh tertelan di rongga kerongkongan
aku terkulai
dalam kepasrahan panjang
dan kudapatkan pagi tak seindah impian