Friday, June 13, 2003

Lingkar Mencari Bapak

"Kenapa surga cuma ada di telapak kaki Ibu?"
"Karena Ibulah yang melahirkan."
"Artinya, di telapak kaki Bapak tidak ada surga?"
"Pengertiannya tidak begitu..."
"Itu tidak adil. Bapak yang membuat Ibu hamil, kenapa surga cuma ada pada Ibu?"
"Karena ibulah yang melahirkan. Bapak tidak melahirkan. Bapak cuma menamam benih. Menanam benih nikmat, melahirkan sakit."
"Tapi aku tak pernah melihat sosok Bapak sepanjang hidup. Orang-orang bilang, aku lahir tanpa Bapak. Kenapa bisa begitu? Benih dari langitkah aku?"

Sulastri masygul. Dia tatap wajah anak laki satu-satunya itu sambil meremas tangan. Pertanyaan ini tak mudah untuk dijawab. Sebetulnya, bukan baru kali ini dia ditanya demikian. Tapi, cara bertanya anaknya sekarang terlihat lebih serius. Inikah pertanda anaknya sudah semakin dewasa? Ah, anak zaman sekarang terlalu cepat menjadi tua. Umurnya kan baru 17 tahun. Lulus SMU pun belum. Sulastri membatin, juga gelisah.

"Ceritanya panjang, Lingkar..."
"Ceritakan saja, Bu. Aku akan dengarkan. Aku perlu tahu siapa Bapakku. Aku selalu membayangkannya akhir-akhir ini."
"Lingkar, Ibu tak siap. Jangan sekarang. Suatu saat Ibu akan ceritakan semuanya."
"Kapan?"
"Sabar..."
Lingkar melipat bibir. Melenguh sebentar, lalu membalik badan masuk ke kamar. Meninggalkan ibunya di meja makan. "Aku capek disuruh bersabar!"

Brak!

Terdengar bunyi pintu kamar dibanting. Sulastri membisu. Derik jangkrik lapat-lapat membunuh malam. Detak jam di dinding terus berputar, menakutkan Sulastri akan hari esok.

Pada waktu bersamaan, di sebuah rumah mewah, tiga orang tengah membahas sesuatu dengan serius. Dua dari mereka berkepala botak dan bertubuh ceking. Sedangkan seorang lagi jauh lebih tua, gendut, berdasi, wangi, dan rambut tersisir rapi. Dari pakaian dan sikap yang terpancar, terlihat jelas bahwa antara dua orang ceking dan Si Berdasi ada jarak status yang tegas. Si Berdasi mungkin bos dan dua orang ceking itu cuma kacung.

"Sudah ada orangnya?" Si Berdasi berkata sambil menghisap cerutu. Kedua kakinya lurus di atas meja.
"Ada, Bos. Ada tiga orang. Semuanya residivis. Tompel, Murai, dan Jenggo." Satu di antara dua orang ceking itu menjawab. "Seberapa hebat mereka?"
"Pokoknya dahsyat Boss. Tompel adalah napi yang senang sekali merampok ATM. Dia tak segan-segan membunuh saksi. Murai itu pemeras di perusahaan-perusahaan. Dia mendapat obyekan dari pejabat di Pemda. Sedangkan Jenggo, tentara desersi yang jago tembak. Semuanya hebat. Semuanya punya naluri membunuh. Kami jamin."
"Hm... Kalau begitu, kerjakanlah. Jangan mengecewakan saya." Si Berdasi menyeruput kopi di meja.
"Beres, bos!"

Si Berdasi yang dipanggil bos itu adalah pengusaha besar yang culas. Namanya Guntoro. Dia penjahat yang pengusaha atau pengusaha yang penjahat, sama saja. Intinya dia orang beruntung. Sebab, dia masih bisa berbisnis, menghirup udara bebas, meski sudah menggondol duit negara lewat pinjaman bank pemerintah yang kemudian macet. Dia juga pernah curang di lantai bursa, menggandakan laporan keuangan, hingga merugikan pemegang saham kecil. Dia tak segan-segan membunuh lawan bisnis. Semuanya tak terungkap, cuma menjadi desas-desus, karena dia banyak uang. Uang bisa membungkam kebenaran. Apalagi, dia juga dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Lagi, pada waktu bersamaan, di sebuah kamar hotel mewah, lelaki tua sedang tertawa-tawa ditemani dua gadis belia yang lebih cocok menjadi cucunya. Tak jauh beda dengan Guntoro, dia juga seorang pengusaha yang di jidatnya ada label penjahat. Namanya juga label, predikat penjahat itu benar-benar cuma tempelan. Namanya Samdura Prawira. Dulu, dulu sekali, Guntoro dan Samdura adalah teman sekampung di desa. Sama-sama perantau, dan sukses setelah pontang-panting bertahun-tahun di Jakarta.

Baik Guntoro dan Samudra sepakat bahwa dalam berbisnis, yang terpenting bukanlah kejujuran, tapi cara yang tepat untuk meraih keuntungan. Masa bodoh caranya baik atau buruk, terpuji atau laknat, yang penting untung. Peduli setan orang lain buntung. Nah, melihat cara bisnis kedua orang ini, bisa ditebak mereka kerap menghalakan segala cara. Memanfaatkan koneksi di pusat kekuasaan, sih, soal kecil. Bagi mereka, jauh lebih penting adalah mengeluarkan banyak uang menyuap kiri kanan, agar bisnisnya lancar. Jangan heran bahwa keduanya adalah orang tak tersentuh hukum, sebab hukum cuma keras untuk orang-orang berkantong cekak.

"Wah, kalian hebat." Samudra menyeringai senang, memuji dua gadis yang baru saja melayaninya dengan pelayanan habis-habisan.
"Itu belum seberapa, Oom. Kami biasa melakukan seperti tadi. Kalau Oom ketagihan, Oom tinggal kontak kami. Oke Oom?"
"Itu bisa diatur. Ini cek buat kalian." Samudra tersenyum.
Kedua gadis itu terbelalak melihat nominal yang tertulis di cek. Mereka benar-benar tak percaya mendapat bayaran tinggi. Setelah memasukkan cek ke tas, keduanya keluar kamar dengan riang.
"Thank you, Oom!"
Pintu kamar tertutup. Sedetik kemudian, Samudra menelepon seseorang. "Bereskan dua gadis centil itu. Ambil cek dari tasnya."

===

Esok siang, televisi ramai memberitakan penemuan mayat dua gadis tanpa busana di tepi sungai. Lingkar dan ibunya menyaksikan berita itu sekenanya, tak fokus. Maklum, mereka sedang asyik ngobrol. Lagi pula, berita pembunuhan yang disiarkan siang hari oleh televisi sudah menjadi rutinitas. Setiap hari, televisi berlomba-lomba menyiarkan info kriminalitas dengan gayanya yang nyaris seragam: selalu ada polisi bak jagoan sedang membentak-bentak pengedar shabu-shabu atau ganja, meninju, dan memaki perut pencuri ayam, tapi sopan sekali saat menangkap pejabat korup atau pembunuh yang kebetulan anak pejabat.

"Bagaimana rupa Bapakku, Bu?" Lingkar bertanya sambil menyendok nasi dari bakul. Dia baru pulang sekolah. Kelaparan.
Kerongkongan Sulastri tersedak. "Kamu masih penasaran?"
"Saya memang ingin tahu, Bu. Apa saya salah?"
Sulastri menarik napas. "Baiklah.... Bapakmu itu seorang pengusaha. Dia orang besar, orang sukses."
"Di mana dia sekarang? Kenapa Ibu berpisah?"

Sulastri menarik-narik taplak meja yang sebetulnya sudah rapi. Ini pertanyaan sulit. Lidahnya terasa kaku menuturkan masa silam yang perih, karena sejujurnya, dia sama sekali tak pernah menikah, karena sejujurnya pula dia hamil lantaran diperkosa Samudra. Peristiwa kelam itu terjadi 17 tahun silam, saat dirinya bekerja sebagai pembantu di rumah pengusaha besar itu.
"Bapakmu menceraikan Ibu, karena kami sudah tak cocok lagi." Sulastri berbohong.
"Oh... di mana Bapak sekarang? Kenapa kita miskin? Bapak kan pengusaha sukses. Kenapa sebagai orang yang pernah menjadi istri pengusaha sukses Ibu mencari uang dengan mencuci baju orang dan aku mengamen untuk menambah uang jajan? Kenapa rumah kita cuma seluas lapangan bulu tangkis dan ngontrak? Aku ingin mencari Bapak. Aku ingin protes padanya. Aku ingin marah! Kenapa dia membiarkan kita melarat?"

Sulastri tertegun. Bibirnya terkatup. Dengan begitu, dia membiarkan anaknya terus bicara.
"Aku capek, Bu. Kakiku pegal mengamen terus. Aku tak kuat melihat Ibu terus-terusan menjadi buruh cuci. Harus ada yang bertanggung jawab kenapa nasib kita begini buruk. Setahuku, yang bertanggung jawab di rumah adalah seorang Bapak. Tapi mana Bapakku? Aku belum pernah melihatnya sama sekali. Kita membutuhkan pertolongannya. Kita membutuhkan uangnya supaya nasib kita berubah. Apa Ibu mau hidup terus-terusan menderita? Aku tidak mau. Aku capek! Capek!"

Lingkar terengah-engah. Sulastri tetap mengunci mulut.

"Sekarang coba Ibu jelaskan di mana Bapak? Saya mohon, Bu."
Sulastri membetulkan letak duduknya. Sesungguhnya dia benar-benar tak tahu rumah Samudra sekarang. Kalau pun tahu, bagaimana caranya menuntut pada orang yang pernah memperkosanya? Dalam keadaan bimbang seperti itu, yang keluar dari mulut Sulastri hanya kata-kata yang membuat Lingkar kian sebal.
"Ibu tidak tahu, Lingkar. Maafkan Ibu."
"Ah, selalu begitu. Kenapa bisa Ibu tidak tahu? Aneh! Aku harus menunggu sampai umur berapa agar diberitahu keberadaan Bapak? Aku sudah besar Bu. Ceritakan saja!"
"Kalau sudah tahu, apa yang kamu lakukan?"
"Aku akan cari dia dan minta uang yang banyak supaya kita tak sengsara!"

Sulastri menunduk. Dia betul-betul pusing. "Ibu benar-benar tidak tahu Lingkar. Ibu tidak tahu Bapakmu di mana. Tolong Lingkar, jangan paksa Ibu." Air mata meleleh di pipi Sulastri.
"Huh! Sudahlah! Aku bosan mendengar kalimat itu!" Lingkar bangun. Meninggalkan sepiring nasi yang tinggal setengah, ke kamarnya mengambil gitar. Setelah mengganti baju dan mengenakan topi, Lingkar keluar rumah. Sulastri bergeming. Dia tahu anaknya akan pergi ke terminal, turun naik bis, mengamen. Sulastri cuma bisa menatap punggung anaknya yang setengah berlari keluar pintu.

Pada saat bersamaan, di sebuah rumah mewah, seorang lelaki tua yang selalu berdasi, si Guntoro itu, sedang membentak-bentak dua lelaki ceking berkepala botak. Mukanya merah padam. Dadanya turun naik menahan kesal.

"Tolol kalian berdua! Mana sesumbar kalian? Katanya tiga residivis sialan itu hebat-hebat? Mana, mana?! Monyet semuanya! Sekarang saya tak mau tahu. Habisi Samudra sekarang juga, apa pun caranya! Kalau gagal lagi, nyawa kalian yang akan melayang! Si Bangsat itu harus habis riwayatnya. Bisnisku bisa ambruk hanya karena ulahnya yang selalu main kayu!"
"Iya bos..."
"Jangan cuma iya, iya! Jalan sekarang kunyuk!"

===
Lalu lintas macet total menjelang perempatan lampu merah. Lingkar melompat dari bus. Ia baru saja selesai mengamen. Dia haus. Berjalanlah dia ke halte, membeli minuman dingin. Tanpa sadar, Lingkar tengah diamati dua lelaki ceking berkepala botak yang sudah setengah jam duduk-duduk di halte. Kedua lelaki ini tampak kusut, ada beban berat yang menimbun pundaknya. Seorang di antaranya menegur Lingkar.
"Hei, kamu mau kerjaan? Kalau mau, kami akan membayar kamu sangat besar. Jauh sekali dari hasil kamu ngamen sebulan penuh. Mau?"
"Kerjaan? Apa kerjaannya?"
"Gampang. Cuma menaruh kantong plastik."
"Hah? Pekerjaan apa itu?"

Kedua orang ceking itu tersenyum, satu di antara mereka berkata. "Nanti akan saya jelaskan. Kamu ikut saja dulu."

Lingkar melempar gelas plastik air mineral. Diam-diam dia tertarik juga pada tawaran dua orang yang baru dikenalnya ini. Sama sekali dia tak berpikir bahwa mereka adalah orang yang berencana jahat. Lingkar diajak ke mobil yang diparkir di parkiran gedung bertingkat, kemudian ikut bersama mereka ke sebuah tempat yang tak jelas di mana.

===

Uang lima puluh juta rupiah bukan jumlah sedikit bagi Lingkar. Itulah sebabnya, dia gembira luar biasa. Hanya menaruh kantong plastik di kolong mobil, dia menerima uang berlimpah. "Gila orang itu. Gila!" Lingkar tak habis pikir pada dua orang ceking yang sudah memberinya rezeki itu. "Setiap hari pun kerja begitu, aku mau." Lingkar geleng-geleng kepala sambil melangkah pulang ke rumah. Dia membayangkan, ibunya pasti akan kaget melihat jumlah uang yang dia bawa.

Sesampainya di rumah, Lingkar memanggil-manggil ibunya. Sulastri yang baru saja salat Maghrib, heran menyaksikan anaknya begitu riang. Dia lihat pula Lingkar mengeluarkan bungkusan cokelat besar yang di dalamnya lembaran ratusan ribu bertumpuk-tumpuk.

"Heh, dari mana uang itu, Lingkar? Kamu merampok?" Sulastri kaget bukan kepalang. Bola matanya melotot.
Lingkar terkekeh. "Aku bukan jenis manusia seperti itu, Bu. Miskin-miskin begini, aku tak mau mencuri."
"Lalu dari mana uang sebanyak itu?" Kening Sulastri berkerut. Dia juga takut.
"Kerja."
"Kerja apa?" Sulastri semakin takut.
"Menaruh kantong plastik. Cuma itu kerjaannya. Lalu aku dikasih uang ini. Ibu tahu? Yang memberi aku pekerjaan itu orangnya ceking-ceking. Tapi uangnya banyak. Mereka menyuruhku menaruh bungkusan ke kolong sebuah mobil. Setelah selesai, aku dikasih uang ini. Lihat, Bu. Jumlahnya lima puluh juta! Sekarang kita kaya, Bu! Ini rezeki ajaib!"

Sulastri ngeri mendengar cerita Lingkar. Namun dia tak mengemukakan ketakutannya. Dia usap kepala anaknya. Naluri keibuannya muncul. Tak ingin dia merusak kebahagiaan Lingkar. Mungkin saja anaknya benar, ini rezeki ajaib. Bukankah tak baik menolak rezeki? Tapi kerjaan apa menaruh kantong plastik di kolong mobil?

"Bu, besok uang ini akan aku tabung di bank. Sekarang Ibu ganti daster, kita pergi makan. Kita harus rayakan ini, makan sepuasnya di restoran paling enak." Mata Lingkar berbinar-binar. Sulastri tersenyum, meski hati kecilnya tetap sulit menerima kenyataan uang lima puluh juta bertumpuk di depannya.

===

Lingkar sering berkhayal membawa ibunya menyantap rendang di rumah makan Padang, yang selalu menggodanya saat dia pulang. Sekarang dia mengajak Ibunya ke sana. Mereka berdua duduk di pojok, persis di bawah televisi yang dipasang di sudut atas kanan ruang. Keduanya lahap menyantap rendang, ayam bakar, dan sambal hijau. Minumannya jus alpukat. Wajah mereka disapu senyum, kegembiraan yang tak pernah terukir sebelumnya.

Orang-orang datang silih berganti. Sulastri dan Lingkar terlihat asyik. Tak pakai sendok menyantap makanan. Berkali-kali Lingkar membersihkan jari dengan mulut. Berkali-kali pula Ibunya menyuruh Lingkar minum, karena melihat anaknya terbatuk. Mereka juga sedang berencana membuka usaha agar hidup tak terus-menerus melarat. Uang lima puluh juta harus dimanfaatkan dengan baik.

Sepuluh pelayan sibuk hilir mudik membawa piring bertingkat-tingkat. Si pemilik restoran juga sibuk menghitung uang sambil sesekali menonton televisi, yang sedang menyiarkan siaran langsung peristiwa ledakan dahsyat. Diberitakan, sebuah mobil ringsek dihajar bom rakitan. Di sekitarnya serpihan tubuh lelaki gendut tua berserakan penuh darah. Kepalanya di depan, tangannya di samping, kakinya di belakang. Di sudut kiri atas tampak inzet foto korban dengan nama: Samudra Prawira.

Terdengar suara reporter stasiun televisi melaporkan, yang terdengar samar-samar karena terganggu gelak tawa dan obrolan seisi ruangan.

"Pemirsa, sejauh ini polisi masih melakukan penyelidikan. Namun, besar dugaan, mobil milik pengusaha retail, Samudra Prawira, ini meledak karena bom rakitan yang diletakkan di kolong mobil.... Polisi belum bisa mengidentifikasi pelakunnya..."

Gatsu, 13 Juni 2003

0 comments: